Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Membayangkan sahabatku itu punya rasa saja pada lelaki yang belum tiga jam melamarku itu membuat kepala berdenyut, apalagi kalau mereka pernah mengukir masa lalu bersama, dan terhalang karena sesuatu hal, makin menciptakan rasa bersalah di sudut hatiku. Sungguh, di mana kuletakkan kata 'my sister' dan lamanya waktu kebersamaan itu andai ikatan pernikahan dilanjutkan?Ini bukan tentang sejarah saja yang berulang, lebih kepada pengorbanan seorang yang telah membersamai saat-saat terdown. Seseorang yang telah menggenggam tanganmu ketika kau sangat butuh sandaran. Seseorang yang telah menjadikanmu saudara tanpa ada tendensi saat kau tak dihargai. Bukankah hubungan suami istri bisa saja jadi mantan? Tapi hubungan saudara, terbawa sampai liang lahad? Teman memang gampang ditemui, tapi teman yang selalu ada ketika suka dan duka seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Dengan perasaan entah, kuletakkan berkas yang telah rampung, lalu beranjak man
"Ya, udah kalo gitu. Kami akan berangkat," ucap Simbah sambil mengusap kepalaku saat melihat mobil Abi Nailah terparkir. Mungkin baru saja menjemput abah dari masjid tempat beliau tausiah. Abah dan lelaki dingin itu berekspresi sama-sama kaget saat melihatku. Setelah ummah menjelaskan seperti kata Rina tadi. Mereka terlihat manggut-manggut. "Bulan dan Rina sebaiknya ikut sebentar. Kita bicara dulu sambil makan malam," titah abah membuatku heran namun tetap mengiyakan. Rina dan Langga berboncengan. Sedang aku dan Andi seperti tadi. Kami mengikuti avanza velos putih itu memasuki area pantai Senggol. Selain tempat ini paling terfaforit buat jalan-jalan dan berbelanja, pun pilihan paling pas untuk menikmati kuliner sambil merasakan debur ombak menghempas pinggir tanggul yang memanjang hampir seluruh laut menjorok ke kawasan kota Pare-pare. "Jadwal abah akhir-akhir ini padat sekali. Paling tiga hari di Makassar baru pulang lagi ke Tenggara. Tidak apa-apakan nikahanmu dimajukan?" ujar
"Tidak, Sayang, kami menghargai keputusanmu. Kamu memang anak yang patut diperjuangkan."Kurasakan kulit keriput Simbah memegang tanganku. Refleks aku membuka mata dan berdiri memeluknya dari belakang. "Terima kasih, Mbah. Dari awal Bulan selalu bersyukur dipertemukan dengan, Simbah." Buncahan di dada akhirnya keluar juga, dada terasa sempit menahan sesak yang sedari tadi ingin tumpah. Ya, menangis memang bagian dari simbol kelemahan, tapi sekaligus jalan untuk tetap bersabar. Bersabar dari luka, kecewa, dan takdir yang pasti terjadi. "Kalau Simbah sudah membuat keputusan, kami anak-anak bisanya berbuat apa?" ucap abah sambil bercanda, dan diangguki oleh ummah. Sementara lelaki datar itu masih setia memandang ke tengah lautan. Aku tak tahu menafsirkan raut wajah mereka satu-persatu karena aku tak berani mengangkat wajah lama-lama, selain hati malu, pun ikhlasku masih berusaha kuseimbangkan.Hamba rido dengan segala takdirMu Ya, Rabb. Termasuk tak memiliki dia yang menguasai ruang ri
"Dengar-dengar, Mbak memutuskan lamaran abangku, ya? Sayang sekali, kalian udah pas banget soalnya." Azman memulai obrolan saat Azmi tertidur. Perjalanan darat, naik kapal laut, lalu darat lagi, membuat anak itu lelah."Padahal banyak loh, wanita di luar sana mengharapkannya. Selain ada yang nawarin diri, ada juga orang tuanya langsung melamar." Aku tak menampik pernyataan Azman. Lelaki dingin itu memiliki standar semua tipe pria. Rupawan, mapan, dan terutama sholeh."Aku yang kecewa loh, Mbak, kalau ada alasan lain selain demi persahabatan saja," ucap Azman lagi setelah aku masih memilih diam. Entah bagaimana mengomentarinya. Andai anak ini tahu rasaku, dia tak bakalan berkesimpulan sendiri. "Tak ada yang lain, kan, Mbak?""Maksudnya?" Aku mengerutkan alis. Mungkinkah mengorek isi hatiku yang jadi tujuan Azman mengantar? Ck! "Karena mantan, misalnya." Tak sengaja bibir menarik senyum kecil. Andai kakaknya yang dingin itu bertanya begitu, berarti rasa ini tak bertepuk sebelah tang
"Kasus penilangan mengingkari janji. Pacarnya mau adakan percobaan bunuh diri kalau Bang Gading tak segera menikahinya. Tunggu-tunggu aja! Paling besok-besok udah bagiin undangan, tu." Seperti biasa, jika membahas Mas Gading dan Mbak Amirah, Reta pasti acuh tak acuh. "Jadi Mas Gading di mana?" tanyaku prihatin sekaligus bahagia. Setidaknya lelaki baik itu ada yang mengurus. Kalau masalah cinta, yang penting Mbak Amira mau bersabar dan berusaha, perjuangan tak akan menghianati hasil. Insya Allah."Di rumah sakit, lah. Dasar cewek berpikiran sempit. Udah jelas-jelas tak diharap masih maksa. Kalau aku, mending ke laut aja sekalian." "Ngapain ke laut? Bunuh diri?" jawabku ikut menggodanya. "Amit-amit! Ya, refresing kek, mandi-mandi kek, tangkap kepiting, kerang, atau hiu sekalian," ucap gadis periang ini dengan mulut penuh. Dia memang selalu cuek terhadap lawan jenis, makanya tak pernah kudengar dia patah hati.Tok, tok.Mendengar suara ketukan di pintu aku bergegas menarik jilbab ins
Sengaja hari ini pulang agak telat dari toko. Biasanya jam setengah lima sore, aku dan Azmi sampai di rumah. Reta juga telah bertolak, tinggal dua pegawainya yang melayani pelanggan. "Kok, lama sih, Mbak?" Azman muncul dari arah rumah Mbah. Dia memakai baju koko panjang sewarna dengan kopyah. Sekilas, tak jauh beda dengan kakaknya."Belum makan, ya?" kataku menebak maksud tujuannya menyapa. Dia menarik senyum sekilas lalu menarik Azmi duduk di teras."Sudah makan bakso tadi di luar," jawabnya sambil membantu Azmi menyelesaikan permainan rubiknya. Ini gara-gara Reta yang menghadiah putraku kado yang susah diselesaikan."Terus?" kataku memasukkan belanjaan ke kulkas. Reta ke rumah sakit melihat Mas Gading. Aku tak ikut, karena khawatir kedatanganku menambah masalah baru."Nggak, lagi rindu sama Azmi aja," jawabnya berusaha santai tapi tak bisa menyembunyikan gelisah. Aneh! "Ya, udah, kalau nggak mau ngasih tau," Aku hendak bergegas lagi ke dalam. "A-anu, Mbak." Azman menggaruk kepala
"Jodoh tak pernah salah, yang salah ketika menyalahkan jodoh kita. Bukankah Allah telah memasangkan sesuai dengan standar ukuran kita? Maka jangan pernah berfikir, diri lebih baik daripada jodoh kita itu." Aku menghela napas lalu melanjutkan, "Mbak Amira mencintaimu, Mas. Itu modal utama untuk membimbingnya. Banyak orang di luaran sana, bahagia sampai kakek-nenek, tanpa kenal lebih dulu, apalagi cinta. Sedangkan, Mas? Aku pikir ini hanya soal waktu saja." kalimat itu kutujukan jua untuk hatiku. Kami berada di tema yang sama, walau berbeda alur. Sama-sama menginginkan sesuatu yang tak mungkin termiliki. Mas Gading terlihat membuka matanya, lalu menatapku lurus, kemudian manggut-manggut sambil tersenyum. "Betul katamu, Lan. Kamu memang cocok jadi adikku, itu karena aku tak pernah menemukan tatap cinta dan sayang dari matamu yang seperti saat Amira menatapku." Ck! Kirain serius, ternyata lagi bercanda, tapi sukses membuatku tersentil. "E, e, siapa bilang? Aku juga mencuntai dan menyay
Sebenarnya meladeni pelanggan adalah bagian dari pekerjaan Pak Saleh. Tapi kebetulan beliau lagi keluar dan lidahku terlanjur merangkai janji, maka atas nama profesionalisme, aku mengikuti, menjelaskan, dan menulis setiap barang yang dipilih lelaki dingin itu, beserta jumlahnya. Jangan tanya keadaanku sekarang. Jantung dan perangkat-perangkat lainnya seperti lomba pacuan kuda di sana. Efeknya bagi tubuhku bak orang habis lari berkilo-kilo.Walau lelaki yang selalu tampak tenang itu tidak benyak komentar, apalagi penawaran, tetap saja kekakuan muncul sendiri dan sama sekali tak bisa kunetralisir.Ah, kadang diri benci dengan sikapku yang terlalu berlebihan. "Setelah salat mampir lagi ke sini, Mas." Pak Saleh muncul saat toa masjid berbunyi menandakan waktu Duhur. Sudah kebiasaan toko kami, menjamu pembeli yang mengambil barang di atas jumlah maksimal. Itu bentuk terima kasih, keakraban, dan promosi agar tetap berlangganan. Trik dagang. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Men