Hari itu adalah hari kelulusan anak SMA. Adriella aghata adalah salah satu alumninya. Hari di mana semua siswa sedang berbahagia menyambut hasil pencapaian dalam tiga tahun terakhir, namun justru naas bagi seorang Adriella. Dikenal sebagai gadis tercantik di sekolah itu, Adriella menjadi incaran banyak pria. Termasuk seorang pria muda bernama Ashley Anderson yang diam-diam merencanakan sesuatu hal yang buruk pada Adriella. Dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya, Ashley yang bukan warga daerah itu berhasil merenggut kesucian Adriella. Dengan tipu dayanya, Ashley berhasil membawa Adriella menuju sebuah gubuk, lalu melecehkannya hingga gadis malang itu berakhir mengandung tanpa seorang suami. Dalam duka itu, Adriella tidak hanya dikucilkan oleh warga, tapi juga diusir oleh keluarganya sendiri. "Kalau kamu tidak mau membuang anak haram itu, silakan kamu angkat kaki dari kampung ini, mulai detik ini kamu bukan bagian keluarga kami!" usir Markus, sang ayah yang turut jijik m
Keluarga Anderson adalah salah satu keluarga terpandang di kota Bangsring. Memiliki harta melimpah, tentu saja mereka adalah keluarga terhormat yang selalu menjaga nama baik keluarga secara turun temurun. Hingga kini, tidak pernah terdengar sekali pun skandal, keburukan atau aib tercela yang dilakukan oleh anggota keluarga berkuasa itu. Duduk santai di atas kursi kebesarannya, Hanley tiba-tiba mengingat wajah polos Adrie saat menyapanya. Tatapan sayu dan suara lembut itu terngiang-ngiang di telinga hingga dia tidak menyadari seulas senyum tipis telah tersungging di bibirnya yang seksi. "Dia terlihat berbeda," gumam Hanley. "Siapa yang kamu maksud?" Rauf yang duduk di hadapan Hanley penasaran. "Gadis yang bersama dengan Mery," Hanley menjawab, lalu bertanya dengan angkuh. "Apa aku terlihat kurang menarik beberapa hari ini?" Biasanya, wanita yang memiliki kesempatan bertatap muka dengan Hanley akan mengambil kesempatan untuk mendekatinya. Sengaja bertindak agresif untuk
Meski tidak sepenuhnya siap, Adrie tetap berdiri tegas. "Baik, Bu." Sebagai seorang asisten yang patuh, dia harus menunjukkan kinerja yang bagus. "Aku mau keluar sebentar, kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri?" Mery berkata lagi. "Semua dokumen ini sangat penting, jangan ada satu pun yang terlewatkan!" Adrie hanya mengangguk canggung, karena sejujurnya saat ini dia sudah mulai gelisah untuk melangkah. Bagaimana caranya menghadapi seorang pria tampan yang sering melempar tatapan amarah padanya? Adrie memeluk setumpuk berkas ketika Hanley membukakan pintu untuknya. "Maaf, Tuan, bu Mery menyuruh saya untuk mengantar berkas-berkas ini," kata Adrie dengan suara yang bergetar. Hanley tersenyum kecil, berusaha untuk bersikap ramah. Namun sehebat apapun dia menampilkan wajahnya yang bersahabat, Adrie masih saja gugup ketika mereka beradu pandang. Sikap Adrie yang demikian membuat Hanley bertanya-tanya. 'Apa aku semenakutkan itu?' pikirnya. Tidak ingin berburuk sangka, Han
"Tu .. Tuan Hanley, apa yang Anda lakukan di sini?" Bukannya bersyukur, Adrie tentu saja ketakutan melihat kehadiran pria itu. Hanley berjalan santai menuju meja gadis itu. "Seperti yang baru saja kukatakan, aku datang untuk membantu pekerjaanmu." "Tidak perlu, Tuan, saya bisa sendiri ...!" Melihat sikap santai Hanley, mengingatkan Adrie pada sosok Ashley yang tampan namun bersikap kejam seperti iblis. Adrie pun sontak bergerak mundur, tubuh rampingnya terhuyung hingga kursi di belakangnya terbalik dan jatuh. "Akhh ....!" Dia berteriak kecil dengan ulahnya sendiri, membuat kening Hanley berkerut. 'Dia yang salah, dia yang berteriak,' pikir Hanley. 'Huh wanita memang suka playing victim.' Hanley berjongkok, meraih kursi dan meletakkannya pada posisi semula. Demi apa coba, Hanley benar-benar merendahkan diri di hadapan seorang bawahan. "Ada apa denganmu, apa di matamu aku terlihat seperti penjahat?" Hanley sedikit protes. Meski tidak terima dengan sikap Adrie, namun dia tid
Pagi itu, Mery terkejut melihat hasil pekerjaan Adrie. Dia hampir tidak percaya. Semua diselesaikan dengan sempurna dan tidak ada celah sedikitpun untuk mencari kesalahan. Mery senang untuk pencapaian Adrie, tapi karena masih terselip rasa iri dalam dirinya, tidak ada pujian yang keluar untuk sang asisten. "Terima kasih, kamu boleh kembali ke tempatmu," ucap Mery dengan tegas. Kini, wanita yang selalu berpenampilan elegan itu mulai berpikir. Bagaimana jika Hanley mengetahui ini? Adrie tidak hanya polos cantik, tapi juga pintar dan bertanggungjawab. Dia bisa diandalkan dalam segi apapun. Hanley bisa saja memberi apresiasi yang tinggi pada gadis itu. Tidak, Mery tidak ingin hal itu terjadi. 'Hasil laporan kali ini harus menjadi milikku, Hanley pasti senang, dan aku tidak mau nama Adrie terlibat di dalam tugas ini,' gumam Mery sembari menatap iri pada Adrie. Dia pun tidak sabar untuk menunjukkan hasil pekerjaan itu. Akan tetapi, hingga siang menjelang, Hanley belum juga mena
"Ya, kamu yang ketinggalan." Dengan santainya, Hanley duduk di hadapan Adrie. "Setelah kupikir-pikir aku tidak bisa pulang begitu saja meninggalkanmu dengan segudang pekerjaan."Adrie melongo. "A ... apa?" suara pelannya menunjukkan bahwa dirinya terkejut sekaligus terharu dengan perhatian yang diberikan atasannya."Lagi pula aku sedang tidak ada kegiatan apapun, jadi apa salahnya kalau aku membantumu lagi," tukas Hanley dengan tenang.Sekali lagi Adrie terpana. Ini bukan pertama kalinya. Dia pun hanya bisa mematung. "Kenapa berdiri saja?" Hanley menegur. "Ayo kita mulai, aku tidak ingin melihatmu kelelahan dan pulang terlalu malam!" ajak Hanley. Setiap kata yang keluar dari mulut Hanley terdengar tulus dan apa adanya. Tidak ada intimidasi ataupun penekanan seperti yang sering dia dapatkan dari orang lain. Perlahan, Adriella mulai tersanjung.Untuk pertama kalinya, Adrie merasa berharga. Gadis berusia 22 tahun itu pun tersenyum menyambut uluran tangan Hanley.Hingga malam, keduany
Setelah tiba di ruangan Hanley, Adrie segera bertanya, "Untuk apa memanggil saya, Tuan?"Hanley dan Rauf saling berpandangan. Keduanya saling melempar senyum. Jelas tidak ada yang membutuhkan Adrie di ruangan ini. Mereka hanya sedang menyelamatkan wanita itu dari tindakan Mery yang kerap bersikap diktator pada bawahannya."Duduk saja dulu!" Rauf mempersilakan sebelum akhirnya dia juga duduk di depan kursi kebesaran Hanley."Tapi bu Mery membutuhkan bantuan saya, Tuan, saya harus keluar,, biar bagaimanapun, tugas saya adalah meringankan pekerjaan beliau," Adrie memberi alasan."Meringankan pekerjaannya tapi dia justru memperbudakmu," sindir Hanley. "Apa kamu tidak bisa merasakannya?" "Saya ...," Adrie tidak bisa menjawab. Jika dipikir-pikir, Mery memang melakukan hal itu berulang kali. Wanita itu nyaris melimpahkan semua pekerjaan pada Adrie hingga dia harus lembur setiap hari. Akan tetapi Adrie tidak mungkin membenarkan tuduhan itu begitu saja. Dia hanya wanita berpendidikan rendah
"Ya, kamu yang ketinggalan." Dengan santainya, Hanley duduk di hadapan Adrie. "Setelah kupikir-pikir aku tidak bisa pulang begitu saja meninggalkanmu dengan segudang pekerjaan."Adrie melongo. "A ... apa?" suara pelannya menunjukkan bahwa dirinya terkejut sekaligus terharu dengan perhatian yang diberikan atasannya."Lagi pula aku sedang tidak ada kegiatan apapun, jadi apa salahnya kalau aku membantumu lagi," tukas Hanley dengan tenang.Sekali lagi Adrie terpana. Ini bukan pertama kalinya. Dia pun hanya bisa mematung. "Kenapa berdiri saja?" Hanley menegur. "Ayo kita mulai, aku tidak ingin melihatmu kelelahan dan pulang terlalu malam!" ajak Hanley. Setiap kata yang keluar dari mulut Hanley terdengar tulus dan apa adanya. Tidak ada intimidasi ataupun penekanan seperti yang sering dia dapatkan dari orang lain. Perlahan, Adriella mulai tersanjung.Untuk pertama kalinya, Adrie merasa berharga. Gadis berusia 22 tahun itu pun tersenyum menyambut uluran tangan Hanley.Hingga malam, keduany
Pagi itu, Mery terkejut melihat hasil pekerjaan Adrie. Dia hampir tidak percaya. Semua diselesaikan dengan sempurna dan tidak ada celah sedikitpun untuk mencari kesalahan. Mery senang untuk pencapaian Adrie, tapi karena masih terselip rasa iri dalam dirinya, tidak ada pujian yang keluar untuk sang asisten. "Terima kasih, kamu boleh kembali ke tempatmu," ucap Mery dengan tegas. Kini, wanita yang selalu berpenampilan elegan itu mulai berpikir. Bagaimana jika Hanley mengetahui ini? Adrie tidak hanya polos cantik, tapi juga pintar dan bertanggungjawab. Dia bisa diandalkan dalam segi apapun. Hanley bisa saja memberi apresiasi yang tinggi pada gadis itu. Tidak, Mery tidak ingin hal itu terjadi. 'Hasil laporan kali ini harus menjadi milikku, Hanley pasti senang, dan aku tidak mau nama Adrie terlibat di dalam tugas ini,' gumam Mery sembari menatap iri pada Adrie. Dia pun tidak sabar untuk menunjukkan hasil pekerjaan itu. Akan tetapi, hingga siang menjelang, Hanley belum juga mena
"Tu .. Tuan Hanley, apa yang Anda lakukan di sini?" Bukannya bersyukur, Adrie tentu saja ketakutan melihat kehadiran pria itu. Hanley berjalan santai menuju meja gadis itu. "Seperti yang baru saja kukatakan, aku datang untuk membantu pekerjaanmu." "Tidak perlu, Tuan, saya bisa sendiri ...!" Melihat sikap santai Hanley, mengingatkan Adrie pada sosok Ashley yang tampan namun bersikap kejam seperti iblis. Adrie pun sontak bergerak mundur, tubuh rampingnya terhuyung hingga kursi di belakangnya terbalik dan jatuh. "Akhh ....!" Dia berteriak kecil dengan ulahnya sendiri, membuat kening Hanley berkerut. 'Dia yang salah, dia yang berteriak,' pikir Hanley. 'Huh wanita memang suka playing victim.' Hanley berjongkok, meraih kursi dan meletakkannya pada posisi semula. Demi apa coba, Hanley benar-benar merendahkan diri di hadapan seorang bawahan. "Ada apa denganmu, apa di matamu aku terlihat seperti penjahat?" Hanley sedikit protes. Meski tidak terima dengan sikap Adrie, namun dia tid
Meski tidak sepenuhnya siap, Adrie tetap berdiri tegas. "Baik, Bu." Sebagai seorang asisten yang patuh, dia harus menunjukkan kinerja yang bagus. "Aku mau keluar sebentar, kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri?" Mery berkata lagi. "Semua dokumen ini sangat penting, jangan ada satu pun yang terlewatkan!" Adrie hanya mengangguk canggung, karena sejujurnya saat ini dia sudah mulai gelisah untuk melangkah. Bagaimana caranya menghadapi seorang pria tampan yang sering melempar tatapan amarah padanya? Adrie memeluk setumpuk berkas ketika Hanley membukakan pintu untuknya. "Maaf, Tuan, bu Mery menyuruh saya untuk mengantar berkas-berkas ini," kata Adrie dengan suara yang bergetar. Hanley tersenyum kecil, berusaha untuk bersikap ramah. Namun sehebat apapun dia menampilkan wajahnya yang bersahabat, Adrie masih saja gugup ketika mereka beradu pandang. Sikap Adrie yang demikian membuat Hanley bertanya-tanya. 'Apa aku semenakutkan itu?' pikirnya. Tidak ingin berburuk sangka, Han
Keluarga Anderson adalah salah satu keluarga terpandang di kota Bangsring. Memiliki harta melimpah, tentu saja mereka adalah keluarga terhormat yang selalu menjaga nama baik keluarga secara turun temurun. Hingga kini, tidak pernah terdengar sekali pun skandal, keburukan atau aib tercela yang dilakukan oleh anggota keluarga berkuasa itu. Duduk santai di atas kursi kebesarannya, Hanley tiba-tiba mengingat wajah polos Adrie saat menyapanya. Tatapan sayu dan suara lembut itu terngiang-ngiang di telinga hingga dia tidak menyadari seulas senyum tipis telah tersungging di bibirnya yang seksi. "Dia terlihat berbeda," gumam Hanley. "Siapa yang kamu maksud?" Rauf yang duduk di hadapan Hanley penasaran. "Gadis yang bersama dengan Mery," Hanley menjawab, lalu bertanya dengan angkuh. "Apa aku terlihat kurang menarik beberapa hari ini?" Biasanya, wanita yang memiliki kesempatan bertatap muka dengan Hanley akan mengambil kesempatan untuk mendekatinya. Sengaja bertindak agresif untuk
Hari itu adalah hari kelulusan anak SMA. Adriella aghata adalah salah satu alumninya. Hari di mana semua siswa sedang berbahagia menyambut hasil pencapaian dalam tiga tahun terakhir, namun justru naas bagi seorang Adriella. Dikenal sebagai gadis tercantik di sekolah itu, Adriella menjadi incaran banyak pria. Termasuk seorang pria muda bernama Ashley Anderson yang diam-diam merencanakan sesuatu hal yang buruk pada Adriella. Dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya, Ashley yang bukan warga daerah itu berhasil merenggut kesucian Adriella. Dengan tipu dayanya, Ashley berhasil membawa Adriella menuju sebuah gubuk, lalu melecehkannya hingga gadis malang itu berakhir mengandung tanpa seorang suami. Dalam duka itu, Adriella tidak hanya dikucilkan oleh warga, tapi juga diusir oleh keluarganya sendiri. "Kalau kamu tidak mau membuang anak haram itu, silakan kamu angkat kaki dari kampung ini, mulai detik ini kamu bukan bagian keluarga kami!" usir Markus, sang ayah yang turut jijik m