Share

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI Bab 5

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI

Bab 5

Dulu, aku mengira jika yang paling mendebarkan sekaligus menegangkan bagi laki-laki hanyalah dua hal; ketika khitan dan berhadapan dengan pria yang anak perempuannya hendak kita lamar. Aku juga sempat mengira, karena telah melewati dua fase itu, tidak akan ada lagi hal mendebarkan yang akan kulalui. Namun, ternyata pikiranku salah.

Pagi ini, di depan rumah Asya, aku kembali merasakan debaran itu. Bahkan saking kencang jantung ini memompa darah, suaranya terdengar hingga telinga, membuatku panas dingin dan perut bergejolak ingin muntah. Sumpah! Bahkan saat melamar Asya dulu rasanya tidak setegang ini.

Kutarik napas dalam-dalam, kemudian menghelanya dengan panjang. Aku berusaha mengurai grogi. Jangan sampai wibawaku turun di depan Asya dan keluarganya. Memangnya kenapa aku harus grogi? Aku ke sini hanya untuk meminta pada bapak agar Asya mau menjadi istriku, hal yang bertahun-tahun lalu pernah kulakukan.

"Permisi!" Aku mengucapkan salam dengan tangan mengetuk pintu.

Namun, meski benda berbahan kayu itu aku ketuk berkali-kali, tidak ada jawaban yang kudapat. Apa rumah ini kosong lagi, seperti waktu kedatanganku tempo hari?

"Permisi!" Kuulangi salam sekali lagi.

"Iya, tunggu sebentar!"

Suara Asya yang menyahut dari dalam cukup membuat dadaku berdesir. Ini hari Minggu, tentu wanita itu tidak bekerja. Namun, kenapa dari tadi dia tak menjawab salamku?

"Mas Andra?" Wajah terkejut Asya yang muncul dari balik pintu sukses mengundang senyum di bibirku. Wanita itu tampil dengan gamis polos dan jilbab lebar seperti saat kedatanganku tempo hari.

Ternyata memang begini tampilan sehari-hari Asya sekarang. Padahal kemarin aku kira ia hanya memakai jilbab ketika bekerja saja.

"Pagi, Asya. Lagi sibuk?" Aku melemparkan basa-basi dengan suara yang kubuat semanis mungkin.

"Enggak, Mas. Maaf lama buka pintunya, baru selesai salat Duha," jawabnya yang juga menjelaskan kenapa salamku tadi tidak langsung mendapat jawaban. "Ada apa, ya, Mas?"

"Bapak sama ibu di rumah, Sya?" tanyaku.

"Bapak sama ibu udah berangkat ke ladang. Ada urusan apa memangnya, Mas?" tanya Asya lagi.

"Ada yang mau aku omongin," kataku. "Kalau udah ke ladang, aku nunggu di sini aja. Boleh, ‘kan?"

Dari ekspresinya, Asya terlihat keberatan. Namun, mulutnya tidak sedikit pun mengeluarkan protes.

"Kalau gitu duduk dulu, Mas." Wanita itu akhirnya menunjuk kursi rotan yang ada di teras.

"Panas, loh, Sya, di sini. Memangnya aku enggak boleh masuk?" Aku mencoba peruntungan agar bisa berduaan dengannya di dalam rumah.

Asya menggigit bibir bawahnya. Aku tahu itu kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika gelisah atau sedang merasa tak nyaman. Namun, kali ini entah kenapa aku bisa tergoda dengan gerakan itu.

Bodoh!

Aku merutuk dalam hati. Bisa-bisanya berpikir kotor di saat seperti ini. Cepat-cepat kujernihkan otak agar tak semakin jauh berkhayal.

"Maaf ya, Mas, bapak sama ibu enggak ada di rumah, jadi aku enggak enak kalau bawa Mas Andra masuk. Takut ada yang lihat, terus jadi gunjingan tetangga," jawab Asya, persis seperti kata-katanya saat kedatanganku tempo hari.

Sebenarnya aku cukup kecewa dengan ucapan Asya, tapi di sisi lain ada juga rasa senang, karena berarti selama berpisah denganku, Asya tak pernah mengizinkan laki-laki lain dekat-dekat dengannya.

"Ya sudahlah, terpaksa duduk di sini." Aku sengaja memasang mimik bak orang kecewa.

Asya terlihat tidak enak denganku. Namun, saat kutatap matanya, ia langsung memalingkan wajah.

"Mau minum apa, Mas?" tanya wanita itu.

"Apa saja, yang penting manis seperti kamu," jawabku disertai godaan.

Wajah Asya merona karenanya. Dia grogi, bahkan hingga masuk ke rumah tanpa pamit.

Aku terkekeh melihat itu. Dulu respons Asya juga selalu seperti itu tiap kali kugoda. Bisa jadi rasanya untukku masih sama.

"Ini, Mas, di minum dulu." Secangkir kopi dan camilan yang dibawa Asya datang beberapa menit kemudian. "Maaf, Mas, enggak bisa nemenin. Aku masih harus masak buat ngirim ibu dan bapak di ladang," ujar Asya.

"Mau aku bantu masaknya?" tawarku.

"Enggak usah, Mas," jawabnya.

"Kenapa? Takut keasinan kaya dulu, waktu aku bantu kamu masak?" tanyaku, mengingatkan pada momen indah kami dahulu.

Aku dulu memang sering menemani ketika dia sedang memasak. Namun, dari pada membantu, itu sepertinya lebih tepat jika disebut sebagai mengganggu. Karena setiap aku ikut Asya memasak, pasti masakannya akan jadi berantakan dan prosesnya pun menjadi lebih lama dari yang semestinya.

Asya melarikan pandangan dari tatapanku saat aku mengingatnya pada kegiatan kami dulu. Sekali lagi wanita itu menggigit bibir bawahnya. Apa dia tidak nyaman denganku yang mengingatkannya pada masa lalu?

"Aku masuk dulu, Mas," kata Asya pada akhirnya. Tubuh berbalut gamis lebar itu pun hilang bersama pintu yang tertutup dari dalam.

Aku menghela napas. Gagal sudah rencanaku yang ingin berduaan dengan Asya. Entah wanita itu benar-benar menjaga jarak dengan laki-laki, atau memang dia hanya menghindariku? Aku tidak tahu.

Lama-lama bosan juga duduk di teras sendirian. Akhirnya, aku beranjak dari kursi dan memutuskan untuk melihat-lihat sekeliling rumah Asya.

Bangunan tempat Asya dan orang tuanya tinggal ternyata sudah banyak berubah dari yang dulu aku ingat. Aku bahkan tidak menyadarinya di kunjunganku yang lalu.

Rumah yang dulunya berdinding kayu, kini sudah berganti dengan beton, lebarnya pun sudah bertambah dari yang terakhir kali kuingat. Ada berbagai jenis bunga bermekaran di teras dan halaman rumah ini, membuat suasana lebih indah dan berwarna-warni. Aku juga melihat kolam ikan yang bersisian dengan kandang kelinci di samping rumah.

Ternyata waktu memang sudah mengubah banyak hal.

Saat melarikan pandangan pada jalanan di depan rumah Asya, netraku menangkap gerombolan anak yang tengah bermain sepak bola di sana. Entah bagaimana anak-anak itu bisa nyaman bermain di sana, sementara sesekali kendaraan bermotor lewat dan menghentikan permainan mereka.

Karena tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan, akhirnya aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

"Udah selesai masaknya, Sya?" Aku bertanya ketika melihat Asya tengah menata lauk ke dalam rantang.

"Astagfirullah!" Perempuan itu terpekik kaget. "Mas Andra ngapain masuk?"

"Bosen di luar, Sya," kataku dengan tenang, meski ekspresi tak nyaman Asya cukup membuatku kesal.

"Ayo Mas, kita keluar! Enggak enak nanti dilihat tetangga." Asya melangkahkan kakinya, hendak keluar dari dapur. Namun, tanpa permisi tangan berbalut lengan gamis itu kucekal pelan.

"Apa-apaan ini? Lepas, Mas! Kita bukan mahram, enggak boleh bersentuhan." Asya berusaha melepaskan tangannya. Namun karena tenagaku lebih kuat, usahanya jelas sia-sia.

"Mas kangen, Sya," ucapku tanpa memedulikan dia yang sangat tidak nyaman.

"Ayo kita keluar dulu, Mas. Aku juga mau ke ladang buat ngantar makanan ibu sama bapak.” Mantan istriku itu berucap dengan panik. Lengannya masih berada dalam genggamanku.

"Mas mau kita balikan kaya dulu lagi. Kita rujuk ya, Sya,” bujukku penuh harap.

"Enggak mau, Mas. Aku enggak bisa." Dia berkata hampir putus asa. Wajahnya juga dihiasi ketakutan. Bisa jadi dia berpikir kalau aku akan nekat dan berbuat macam-macam padanya, terlebih di rumah ini hanya ada kami berdua.

"Kenapa? Memangnya kamu udah enggak sayang sama aku?" Aku begitu kecewa dengan ucapannya yang tak mau kuajak rujuk.

"Tolong lepasin aku, Mas! Kalau ada yang lihat, pasti nanti kita dikiranya lagi ngelakuin yang enggak-enggak." Asya sudah hampir menangis, tapi aku tidak peduli. Ini hanya cekalan di tangan, aku bahkan sudah berencana akan melakukan lebih.

"Apa-apaan ini? Andra! Ngapain kamu di sini?" Jeritan itu mengejutkanku. Bahkan tanpa sadar aku melepas tangan Asya hingga wanita itu berlari meninggalkanku entah ke mana. "Pantas perasaan Ibu enggak enak. Ternyata kamu mau macam-macam sama anak Ibu, ya?"

Aku memandang ibu—yang tubuhnya masih berbalut keringat—dengan ngeri. Wanita yang telah melahirkan Asya itu begitu menyeramkan dengan mata melotot dan jari yang menuding ke arahku.

Aku mati kutu dibuatnya. Posisi ini sudah seperti maling yang tertangkap basah saja.

"Ibu, ada apa kok teriak-teriak?" Bapak yang baru memasuki dapur bertanya heran.

Kedatangan bapak seperti angin segar untukku. Semoga laki-laki kalem itu bisa membantuku lepas dari amukan istrinya.

"Loh, Andra, kok ada di sini?" tanya bapak, seperti kaget melihatku.

Aku tersenyum canggung ke arah bapak. Dengan langkah lebar, aku menghampiri laki-laki yang masih mengenakan baju lusuh khusus untuk ke ladang itu dan mengalami tangannya.

"Kapan datang, Ndra?" tanya bapak ketika kami telah berhadapan. Mati-matian aku mengabaikan tatapan ibu yang begitu tajam.

"Baru aja, Pak," jawabku.

"Dia mau macam-macam sama anak kita, Pak."

Aduan ibu membuat nyaliku merosot. Dapat kulihat tatapan penuh tanya dari bapak menyorot wajahku.

"Sudah, mending kita ke depan dulu. Enggak enak bicara di dapur," ucap bapak tetap terlihat tenang.

Akhirnya, di sinilah kami sekarang. Setelah mandi serta berganti pakaian, bapak dan ibu menemuiku yang sebelumnya ditinggal seorang diri di ruang tamu. Tidak ada Asya di sini. Mantan istriku itu mungkin masih takut atas apa yang kulakukan tadi. Seketika rasa sesal menghantam dadaku. Harusnya aku tidak berbuat seperti tadi.

"Jadi, Andra, ada apa kamu datang ke sini lagi?" tanya bapak. Nada bicaranya ramah seperti biasa. Beliau sepertinya tidak marah meski tadi ibu mengatakan kalau aku sudah berbuat macam-macam pada Asya.

"Saya mau mengajak Asya rujuk, Pak," jawabku tanpa basa-basi. Keterkejutan jelas terlihat dari wajah dua orang di hadapanku itu.

"Enggak boleh!" Ibu menolak dengan nada tinggi. "Enak aja kamu mau minta balikan sama Asya. Ibu enggak rela kalau Asya kamu bikin nangis lagi."

Aku menelan saliva mendengar kemurkaan ibu. Apa kesalahanku dulu begitu fatal, hingga ibu tak bisa memaafkan?

Bapak terlihat menangkan dengan cara mengusap bahu istrinya.

"Kamu sudah bicara pada Asya, Ndra?" Bapak dengan tenangnya bertanya.

"Sudah, Pak, tapi Asya belum jawab," ujarku. Meskipun tadi menolak, aku menganggap itu hanya respons Asya yang sedang ketakutan.

"Kalau bapak, sih, terserah Asya saja. Kan dia yang mau menjalani, jadi bapak enggak mau ikut campur.” Bapak berujar bijak. Aku hanya tersenyum kaku mendengarnya.

"Tolong panggilkan Asya, Bu," pinta bapak, yang hanya ditanggapi ibu dengan dengusan.

"Bu!" Bapak menyentuh tangan istrinya dan seketika wanita paruh baya itu melangkahkan kaki ke dalam rumah dengan langkah dientak.

Tak lama, ibu pun muncul bersama Asya.

Hatiku begitu sakit melihat Asya yang hanya menunduk, seperti tidak sudi melihat wajahku.

"Duduk sini, Nduk!" Bapak menepuk kursi kayu di sebelahnya agar Asya duduk di sana.

"Ada apa, Pak?" Wanita yang masih bertakhta di hatiku itu bertanya pada bapak. Sekarang posisi Asya berada di tengah antara bapak dan ibu.

"Itu, Nduk, mantan suamimu mau ngajak kamu rujuk. Gimana, kamu mau?" Bapak bertanya tanpa tanding aling-aling.

Aku menahan napas ketika lagi-lagi Asya menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi seperti tengah berpikir. Bukan, ini bukan karena aku tengah berpikir jorok tentang Asya. Aku sedang harap-harap cemas menunggu jawaban mantan istriku itu.

"Maaf, Pak, tapi Asya belum terpikir untuk menikah lagi."

Jawaban Asya membuatku cukup kecewa. Namun, aku tentu tidak akan menyerah begitu saja. Aku harus berpikir cara lain agar bisa mendapatkan hati Asya kembali.

"Sudah dengar sendiri jawaban Asya 'kan, Ndra?" ujar bapak menatap ke arahku.

Aku mengangguk pelan.

"Aku terima penolakan kamu. Tapi kalau aku minta kamu buat membantu memulihkan ingatanku, kamu mau kan, Sya?" tanyaku. Tiba-tiba saja ide itu melintas di kepala.

Ketiga orang di hadapanku itu terlihat bingung dengan apa yang aku ucapkan.

"Bantu memulihkan ingatan bagaimana, Andra?" tanya bapak mewakili kebingungan anak dan istrinya.

"Kalau boleh, saya mau tinggal di sini supaya Asya bisa membantu saya biar cepat sembuh," ucapku tanpa memedulikan rasa malu. "Dokter bilang, saya harus sering berinteraksi dengan orang-orang terdekat agar ingatan saya cepat pulih. Karena Asya ini pernah punya hubungan dekat dengan saya saat sebelum kecelakaan, maka keberadaan Asya mungkin akan sangat membantu,” jelasku.

"Enggak! Ibu enggak setuju. Apa kata orang nanti kalau tahu anak kita tinggal satu atap sama mantan suaminya." Ibu seketika langsung menolak dengan keras.

Padahal jika hanya itu masalahnya, solusinya gampang. Tinggal nikahkan saja aku dengan anaknya.

"Saya minta tolong, Bu. Keadaan ini benar-benar berat buat saya. Selain Kak Ranti, hanya Asya yang bisa saya mintai tolong." Aku sengaja menampilkan wajah memelas, berharap mereka akan iba.

"Ibu tetap enggak setuju," tolak ibu teguh pada pendiriannya.

"Atau, kalau memang tidak boleh tinggal di sini, saya bisa mencari rumah di dekat sini untuk disewa. Yang penting saya bisa dekat dan berinteraksi dengan Asya, itu sudah cukup." Aku masih berusaha meluluhkan hati mereka.

Aku lihat, bapak tampak berpikir. Sementara Asya jelas sekali terlihat seperti ingin protes. Namun, nyatanya tidak ada kata yang keluar dari mulut wanita yang pernah menjadi istriku itu.

“Kalau memang kamu bisa sembuh dengan bantuan Asya, ya sudah, kamu tinggal saja di desa ini," ucap bapak, yang sontak membuat wajahku berbinar bahagia. "Di dekat sekolahan SD ada rumah Pak Kepala Desa yang tidak dihuni. Biasanya sih, suka disewakan untuk anak-anak magang atau kerabat jauh warga sini yang ingin tinggal sementara. Nanti bapak temani kamu ketemu Pak Kades untuk rembuk masalah biaya sewanya."

Aku mengangguk antusias atas ucapan bapak.

"Pak, tapi Asya enggak bisa.” Asya yang sejak tadi diam, tiba-tiba mengutarakan keberatannya.

"Sudah, enggak apa-apa. Anggap saja ibadah karena menolong sesama," ujar bapak pada putrinya.

Aku mengulum senyum karena mendapat dukungan dari bapak. Meski ibu dan Asya terlihat keberatan, itu tidak masalah. Aku yakin, hanya masalah waktu mereka akan menerimaku kembali.

***

Setelah pembicaraan di rumah Asya, hari ini juga aku bersama bapak menuju ke tempat Pak Kades untuk membicarakan rumah yang akan aku sewa.

Beruntung, biaya serta persyaratan yang diminta pemilik rumah itu tidak memberatkan untukku. Aku bisa langsung membayar di muka dan hari ini juga rumah minimalis itu langsung bisa kutempati.

Aku juga sudah menghubungi Kak Ranti, mengabari jika sementara waktu adiknya ini akan tinggal di desa sang mantan istri. Sekalian, aku juga meminta tolong pada kakak perempuanku itu untuk mengirimkan baju serta perlengkapan lainnya menggunakan jasa pos ke sini.

Awalnya Kak Ranti menentang. Selain karena aku baru keluar dari rumah sakit, desa Asya ini cukup jauh dari tempat tinggal kami di ibu kota. Wanita itu takut terjadi apa-apa denganku, sementara dia tidak bisa langsung datang membantu.

Namun, setelah kuberi pengertian serta tujuanku tinggal di sini, akhirnya Kak Ranti setuju juga, meskipun dengan berat hati.

"Andra, sudah belum beres-beresnya?"

Bapak yang tadi mengobrol dengan Pak Kades di depan rumah tiba-tiba muncul.

Aku sendiri sedang membersihkan bagian dalam rumah agar nanti malam bisa langsung ditempati. Tidak terlalu banyak yang dikerjakan sebenarnya. Mungkin karena dirawat oleh pemiliknya, rumah tidak berpenghuni ini cukup bersih dengan perabotan lengkap yang tertata rapi. Aku tadi hanya menyapu dan mengepel lantai, takut ada debu atau sarang laba-laba yang bisa mengganggu kenyamananku nanti.

"Sudah, Pak," ucapku, menjawab pertanyaan bapak tadi.

"Kalau begitu kita pulang ke rumah Bapak dulu. Kita makan siang di sana."

Ucapan bapak bagai angin segar yang menerpa tubuh berkeringatku selepas bersih-bersih tadi. Mata ini bahkan sudah seperti lampu taman di dalam kegelapan saat mendengar kata 'makan siang'.

"Asya yang masak kan, Pak?" tanyaku dengan semangat.

Aku bisa melihat bapak yang terkekeh geli. Bisa jadi beliau paham jika lidahku sudah sangat rindu dengan masakan anak perempuannya.

"Iya, Asya yang masak. Makanya ayo cepat kita kembali ke rumah." Bapak berkata tanpa berniat menutupi raut gelinya.

Yes! Akhirnya, setelah sekian lama, lidah ini bisa dimanjakan lagi dengan masakan lezat wanita yang aku puja.

Dengan antusias, aku mengikuti langkah lebar bapak. Benakku sudah membayangkan akan makan enak dengan ditemani wajah manis Asya. Pasti menyenangkan sekali.

***

Namun, kalian pasti pernah dengar ucapan yang berbunyi, ‘Jangan pernah berkhayal terlalu tinggi, karena ketika kenyataan tidak sesuai harapan, kita hanya akan mendapat kekecewaan.’ Kurang lebih seperti itulah yang kini sedang kurasakan.

Bayangan indahku hancur ketika sampai di ruang makan rumah bapak. Masakan lezat yang harusnya bisa kunikmati, justru menjelma bak duri, ketika tatapan tajam ibu menusuk tepat pada mataku. Bahkan, wajah manis Asya yang tadi kuharap bisa menjadi pencerah mata, justru tak terlihat sama sekali.

"Asya enggak ikut makan, Pak?" Aku nekat bertanya dengan mengabaikan tatapan tidak suka ibu.

"Asya Ibu suruh makan di kamar biar enggak bisa kamu goda," jawab ibu, yang juga mengurungkan niat bapak untuk membalas ucapanku.

Aku menelan saliva mendengar suara ketus ibu. Dalam hati aku bertanya-tanya, sefatal apa kesalahan yang pernah kubuat dulu, sehingga sikap ibu berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini?

"Sudah, makan yang banyak aja, Ndra. Lihat badanmu, kurus kaya lidi begitu. Kamu enggak pernah makan atau gimana?"

Aku hanya meringis mendengar ucapan bapak yang terselip candaan di dalamnya. Memang, aku juga sadar jika berat badanku turun banyak dari terakhir kali kuingat. Entah frustrasi karena bercerai dengan Asya, atau memang sengaja kukurangi porsi makan agar berat badanku ideal. Siapa tahu aku sedang menjalani program diet khusus laki-laki sesaat sebelum koma, ‘kan?

Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba sebuah ide cemerlang singgah di kepalaku.

"Saya memang jarang makan sekarang, Pak. Maklum aja, selain masakan Asya, saya kan memang kurang begitu selera," ucapku.

Ini memang kenyataan. Perut serta lidahku kadang terlalu manja, sehingga apa pun yang masuk, harus lulus verifikasi versi Andra terlebih dulu.

"Lah! Padahal Bapak cuma bercanda. Ternyata kamu benaran kurang makan, Ndra?" Bapak tertawa, tidak peduli dengan ibu yang mengomel dengan lirih di sebelahnya.

Aku rasa bukan tawa bapak yang membuat ibu sebegitu sebalnya. Keberadaanku di meja makannyalah, yang membuat wanita dengan rambut di ikat bak sanggul itu mengomel tidak jelas. Aku paham, tapi berusaha tidak peduli.

"Kalau misalnya minta Asya masak buat saya setiap hari, kira-kira Asya mau enggak, ya, Pak?" tanyaku, yang membuat dua orang di hadapan terdiam beberapa saat.

"Kamu kira Asya enggak ada pekerjaan lain, apa? Bisa-bisanya mau nyuruh anak ibu masak buat kamu setiap hari.” Ibu berkata dengan ketus, yang sebenarnya sudah aku prediksi sebelumnya.

"Nanti saya bayar, kok, Bu." Aku masih mencoba peruntungan.

"Kalau mau bayar, itu, di dekat kantor kepala desa ada warung nasi. Kamu beli aja di sana." Ibu mengerak-gerakan tangannya dengan kesal, membuatku merasa tidak enak, tapi juga tidak berniat menyerah.

"Saya kan enggak terbiasa makan masakan pemilik warung nasi itu, Bu. Nanti kalau saya sakit perut gimana?" ujarku tidak mau kalah.

"Sudah, Bu." Bapak tiba-tiba menghentikan ibu yang hendak menyanggahku lagi. "Kita kan juga tahu kalau dari dulu Andra ini pemilih soal makanan. Dari pada ribut, mending nanti Ibu bilang aja sama Asya buat nambah porsi waktu masak. Beres kan, masalahnya? Kalau Andra mau bayar, lumayan, bisa buat tambahan uang sayur."

Ucapan bapak membuatku bersorak dalam hati. Betapa menyenangkan ada bapak yang selalu mendukungku.

"Bapak ini kenapa, sih? Bapak mau Asya rujuk sama dia lagi?" Telunjuk ibu mengacung ke wajahku. Kekesalan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya yang mulai ditumbuhi keriput.

"Loh, kita lagi ngomongin soal makanan, kok jadi belok ke rujuk, sih? Enggak nyambung Ibu ini," balas bapak dengan santainya.

"Bapak jangan pura-pura enggak tahu, ya. Laki-laki ini minta Asya masak buat dia setiap hari itu pasti ada maunya. Ibu yakin, itu cuma alasan dia biar bisa dekat sama anak kita terus," omel ibu lagi dengan nada kesal.

Kejengkelan ibu diam-diam kutanggapi dengan senyum tertahan.

Iya, Bu, tebakanmu benar sekali. Aku memang ingin selalu dekat dengan anakmu, bahkan lebih dari itu, aku ingin membawanya ke KUA untuk kali yang kedua.

Perdebatan ibu dan bapak di seberang meja terlihat semakin panas. Ralat, maksudku hanya ibu yang semakin memanas, sementara bapak justru membalas kekesalan istrinya dengan tenang bahkan sesekali ucapannya diselipi guyonan.

Entah kapan terakhir kali aku merasakan suasana hangat seperti ini. Bapak yang kalem dan bijaksana selalu membuatku mengagumi sosok beliau. Sementara ibu, meskipun cerewet dan suka berkata tanpa memikirkan perasaan pendengarnya, aku tahu wanita itu sebenarnya amat sangat perhatian. Di dalam keluarga ini, aku merasa begitu lengkap. Maka dari itu, berat sekali rasanya ketika mendapati kenyataan bahwa aku bukan lagi bagian dari keluarga ini.

"Manusia kaya Andra itu enggak boleh di kasih hati. Bisa-bisa nanti dia minta lebih."

Belum selesai juga ternyata ibunya Asya mengeluarkan unek-unek.

Dengan tetap menyuapkan nasi ke dalam mulut, aku berusaha menahan tawa atas ucapan ibu yang mengatakan bahwa aku tak bisa dikasih hati. Aku rasa ucapan mantan mertuaku itu memang benar.

Asya, apa kamu tidak mendengar suara keras ibumu? Haruskan kubuat suasana semakin panas, sehingga kamu mau keluar kamar untuk menengok apa yang terjadi di sini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status