Share

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI Bab 4

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI

Bab 4

Tiga hari berlalu setelah aku pergi ke rumah orang tua Asya, keadaan masih terasa sama. Rasa hampa kerap kali mengh∆ntam, bahkan aku masih berharap jika hari-hari yang kulalui tanpa Asya ini hanya mimpi semata.

Kuhirup napas dalam-dalam, meresapi aroma kopi yang menguar di seluruh sudut kafe ini.

Aroma ini selalu mengingatkanku pada Asya. Wanita itu adalah penggemar fanatik kopi. Apa pun tantang kopi selalu membuatnya tergil*-gil*. Bahkan, saking cintanya, wanita itu meminum kopi sudah seperti makan nasi saja, tiga kali sehari. Jenisnya, aromanya, hingga tempat asalnya, Asya tahu semua.

'Apa bedanya? Semua kopi ini menurutku sama saja rasanya.' Aku pernah mengatakan hal itu ketika dulu Asya membawa berbagai jenis kopi ke rumah kami. Entah apa saja namanya, aku juga tidak ingat, meski dia berkali-kali menjelaskan.

'Orang yang hanya bisa minum tanpa menikmati sensasinya memang tidak akan pernah tahu perbedaan kopi-kopi ini," balas Asya sewot, kala itu.

Sudah aku bilang kalau dia penggemar fanatik, 'kan? Maka dari itu, dia akan sewot setiap kali ada orang yang berkomentar miring tentang minuman kesukaannya tersebut.

Aku terkekeh sendiri mengingat momen itu. Lalu, tanpa permisi, perasaan sedih tiba-tiba menghantam d*da. Bukankah memang begitu? Momen indah hanya akan menyisakan rasa sakit ketika telah menjadi kenangan.

"Andra, kamu sudah keluar dari rumah sakit?"

Pandanganku seketika teralih ke samping kiri, pada orang yang menyapaku tanpa permisi.

Pak Brata. Atasanku di kantor.

Aku pun berdiri untuk menghormati laki-laki paruh baya yang telah berdiri di sisi mejaku.

"Pak Brata." Aku menyapa dengan sopan. "Duduk, Pak," tawarku, menunjuk pada kursi di dekat atasanku itu.

Sungguh, aku tidak menyangka bisa bertemu dengan laki-laki paruh baya ini di sini.

"Sejak kapan kamu keluar dari rumah sakit, Ndra?" Pak Brata bertanya setelah duduk di kursinya dan memesan kopi pada pelayan.

"Baru sepuluh hari, Pak," jawabku.

"Baru sepuluh hari dan kamu sudah kelayapan? Hebat sekali kamu, Andra!" Pak Brata terkekeh. Dia memang atasan yang ramah pada semua karyawannya.

Aku meringis mendengar—entah pujian atau sindiran—yang Pak Brata ucapkan. Seandainya laki-laki itu tahu, aku bahkan sudah kelayapan lebih jauh dari ini.

Kami mengobrol cukup lama tentang hal-hal apa saja yang dianggap menarik.

Hingga sampailah kami pada pembahasan tentang pekerjaan.

"Ya begitulah, Ndra. Kami sudah mencoba mencari penggantimu, tapi tidak ada yang ide-idenya sebaik kamu. Bahkan beberapa kali kita diprotes klien karena kualitas kerja kami tidak sebagus biasanya." Pak Brata bercerita keadaan kantor sepeninggalanku.

Aku hanya mengangguk tanpa memberi respons atas ucapan atasanku itu.

"Jadi, kapan kamu bisa masuk kantor lagi, Ndra?" tanya Pak Brata.

"Kalau itu saya belum tahu, Pak. Mungkin saya masih harus istirahat di rumah untuk pemulihan dulu," jawabku sesopan mungkin.

"Tidak masalah. Aku bisa mengosongkan kursimu hingga kamu kembali," ucap Pak Brata tanpa kuduga.

Aku hanya mengangguk dengan melempar senyum tipis sebagai tanggapan. Aku tak tahu kapan bisa kembali ke kantor lagi.

Obrolan kami pun terus berlanjut hingga cukup lama. Kami baru beranjak dari kafe tersebut setelah hari menjelang malam.

***

Malam ini aku berkunjung ke rumah Kak Ranti, dengan harapan, rasa sepi yang akhir-akhir ini menyiks* bisa sedikit terurai.

Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, jika rasa rindu bisa sedemikian menyiksa. Aku bahkan harus berkali-kali men*mpar pipi sendiri ketika melihat bayangan Asya yang tengah gentayangan di apartemen.

"Kamu lebih baik tinggal di sini aja, Ndra. Dari pada sendirian di apartemen. Siapa yang tahu kalau nanti ada apa-apa sama kamu?”

Aku tengah menemani keponakanku bermain mobil-mobilan di karpet ruang keluarga Kak Ranti ketika kakak perempuanku mengucapkan kalimat itu.

Aku mendongak pada perempuan yang tengah duduk di sofa ruang keluarga bersama suaminya, dan menemukan wajah serius itu menatapku.

Selarik senyum aku tunjukan pada kakak perempuanku tersebut. "Kak Ranti tenang aja. Sebentar lagi juga Asya bakal balik ke apartemen," kataku dengan yakin.

Kak Ranti melotot mendengar ucapanku. "Jangan ngaco kamu, Ndra. Kamu lupa lagi? Kalian itu udah pisah," ujar Kak Ranti sewot.

"Baru juga pisah di dunia, masih bisalah kalau disatuin lagi," balasku dengan santai.

Wajah Kak Ranti berubah sinis, kemudian ia menoleh pada suaminya. "Lihat, Pa! Adik iparmu udah mulai enggak waras."

Kak Lian yang diajak bicara justru tertawa kecil.

"Biar aja dia mengkhayal terus sampai jadi kenyataan, Ma," ucap laki-laki yang menjadi kakak iparku itu.

Kenapa memangnya? Tidak ada yang salah kalau aku mengharapkan Asya kembali, 'kan? Sebenarnya ini bukan hanya sekedar harapan semata, aku bahkan sudah menyusun rencana untuk membawa Asya ke pelukanku lagi.

"Oh ya, Kak. Malam ini aku nginap di sini, ya?" kataku ketika pembahasan yang tadi sudah lewat.

"Tumben. Biasanya juga disuruh tidur sini kamu enggak mau," ucap Kak Ranti dengan sinis.

"Aku lagi kangen banget sama Asya, Kak. Kalau tidur di apartemen takut kebayang dia, terus jadi mimpi yang enggak-enggak," jawabku.

PLAK!

"Aw!" pekikku kesakitan. "Apa-apaan sih, Kak?" protesku dengan mengusap kepala yang baru saja terkena pukul*n Kak Ranti.

"Kamu itu kalau ngomong dijaga, Andra! Jangan aneh-aneh! Tuh lihat, ada Kaka di sebelahmu." Kak Ranti berkata dengan sebal.

Aku melirik Kaka yang tengah asyik dengan mainanya. "Memangnya Kaka tahu Om Andra ngomong apa?" tanyaku pada bocah yang baru berusia empat tahun itu.

Keponakanku yang sebenarnya bernama Raka itu menoleh dan mengerjapkan mata beningnya dengan lucu.

"Om Andra mau mimpi Tante Asya?" Jawaban lucu Kaka membuatku tertawa kecil.

"Pinter keponakan Om ini. Tos dulu, dong!” Aku menyodorkan lima jari, yang langsung disambut tepukan keras dari tangan kecil Kaka.

"Lihat, 'kan? Kaka aja tahu kalau aku enggak aneh-aneh. Harusnya Kak Ranti yang jaga sikap. Jangan sering main tangan, nanti ditiru sama Kaka," balasku yang membuat Kak Ranti diam dengan mulut berkedut menahan kesal.

"Tau ah." Kakak perempuanku itu beringsut ke arah suaminya. Biasa, itu sikap ketika dia kalah berdebat denganku.

Kekehan geli Kak Lian yang selalu mengiringi perdebatan konyol kami pun mulai terdengar.

Seandainya ada Asya di sini, pasti suasananya akan lebih menyenangkan lagi.

Ck, Asya lagi. Bisa-bisa aku sungguh bermimpi yang tidak-tidak tentang perempuan itu nanti malam.

***

Pagi ini, suasana di meja makan rumah Kak Ranti terasa lebih ramai dan hangat. Anak tunggal kakak perempuankulah yang menciptakan suasana itu.

Kaka—yang dalam ingatanku belum lancar bicara, bahkan belum bisa mengeja namaku dengan benar—kini sudah pintar bercerita dan merangkai kata. Seperti pagi ini, keponakanku yang lucu itu tengah bercerita tentang teman-temannya di TK.

"Kaka seneng banget punya temen banyak di sekolah. Jadi ramai kalau main. Makanya, Om Andra ikut ke sekolah, nanti Kaka kenalin sama teman-teman Kaka," celoteh anak itu dengan riang.

Pagi ini kami hanya sarapan bertiga. Aku, Kak Ranti, dan Kaka, sementara Kak Lian sudah berangkat ke kantor sejak tadi, tanpa sarapan terlebih dulu. Kata Kak Lian, dia ada meeting pagi dan takut terlambat jika harus sarapan terlebih dulu.

"Ya udah, kalau gitu nanti Om aja yang ngantar Kaka sekolah," ucapku, menanggapi cerita Kaka tadi.

"Bener, Om?" Kaka bertanya antusias, yang aku jawab dengan anggukan kecil. "Pakai mobil, 'kan?" tanya anak itu lagi.

"Boleh, kalau Kaka mau pakai mobil," balasku.

"Hore! Nanti Kaka kenalin Om Andra sama temen-temen, ya." Kaka berjingkrang kesenangan, sampai Kak Ranti harus menengurnya.

Aku mengangguk dengan senyum lebar. Senang sekali rasanya bisa melihat kebahagiaan Kaka.

Aku mengacak rambut ponakanku. "Ya udah, habisin dulu makanannya. Nanti Om antar Kaka ke sekolah."

Kaka menuruti ucapanku dengan antusias.

"Oh ya, Ndra. Soal yang tadi malam, yang kamu bilang mau bawa Asya kembali, itu serius?" Kak Ranti yang sejak tadi lebih banyak diam, tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu.

"Serius, Kak. Buat apa main-main," jawabku mantap.

"Memangnya dia mau?" tanya kakakku lagi.

"Enggak tahu, makanya mau aku cari tahu," ujarku.

"Cari tahu gimana?" Satu pertanyaan meluncur lagi dari mulut perempuan di hadapanku.

"Aku mau ngelamar Asya sama bapak lagi," jawabku. "Gimana? Kak Ranti setuju apa enggak?"

"Kalau Kakak sih, setuju aja. Seneng malah. Tapi kayanya enggak bakal mudah perjuanganmu, Ndra," ujar Kak Ranti tampak serius saat menatapku.

Keningku berkerut mendengar ucapan perempuan itu. "Kenapa memangnya?" tanyaku heran.

"Ya gitu, perempuan kalau udah disakiti pasti susah ngobatinnya. Ibarat kaca, kalau udah pecah, mau dilem pakai perekat yang paling bagus sekalipun, pasti bekasnya akan tetap ada."

"Memangnya aku pernah nyakitin Asya?" tanyaku dengan heran.

"Mungkin," jawab Kak Ranti. "Waktu kalian cerai itu kan, Asya datang ke sini sambil nangis. Terus bilang kalau dia udah enggak kuat sama kelakuan kamu. Itu berarti kamu udah ngelakuin hal yang nyakitin dia, 'kan?"

"Masa sih, Kak?" tanyaku, antara percaya dan tidak percaya. Pasalnya, aku sangat mencintai Asya, jadi bagaimana bisa aku menyakiti perempuan itu? Jangankan menyakiti, melihatnya berpeluh karena memasak saja, aku tidak tega.

Kak Ranti hanya mengangkat bahu.

"Kaka udah selesai makannya, Om. Jadi kan, Om Andra ngantar Kaka ke sekolah?" Suara Kaka tiba-tiba memecahkan lamunanku.

Aku tersenyum ke arah anak itu. "Jadi dong. Ayo berangkat sekarang," ucapku. "Salim dulu sama Mama."

Urusan Asya, biar aku pikir lagi nanti. Sekarang aku harus mengantar keponakanku yang lucu ini ke sekolahnya dulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status