Share

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI Bab 3

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI

Bab 3

Setelah sadar dari koma, ternyata kondisiku tak serta merta langsung pulih. Aku harus menjalani banyak perawatan agar bisa dinyatakan benar-benar sembuh.

Ini sangat berbanding terbalik dengan sinetron yang sering Asya tonton di televisi. Mereka yang baru sadar dari koma bahkan bisa langsung berlari dari rumah sakit untuk membatalkan pernikahan kedua suaminya. Benar-benar pembodohan publik. Kalau sudah keluar dari rumah sakit, aku pasti akan melarang Asya menonton sinetron yang banyak diisi kebohongan itu.

Aku juga harus melakukan fisioterapi demi bisa mengembalikan kemampuan gerakku sekaligus menghindari risiko cacat fisik akibat cedera sewaktu kecelakaan. Benar, setelah sembuh dari koma, aku jadi kesulitan berjalan dan menggerakkan anggota tubuh lainnya. Dokter bilang, karena terlalu lama berbaring saat koma, otot-ototku menjadi kaku sehingga harus diregangkan melalui fisioterapi ini.

Cukup melelahkan menjalani itu semua. Namun, aku berusaha tidak mengeluh. Keinginanku untuk sembuh begitu besar. Aku bahkan sudah membayangkan apa saja yang akan kulakukan selepas keluar dari rumah sakit nanti.

Hingga satu bulan berlalu, dokter mengizinkanku pulang, dengan catatan aku harus rajin kontrol ke rumah sakit sebelum dinyatakan benar-benar sembuh.

"Kamu yakin mau tinggal di sini, Ndra? Apa enggak lebih baik kamu tinggal di rumah Kakak dulu? Kakak khawatir kalau ninggalin kamu sendirian di apartemen," ujar Kak Ranti begitu kami tiba di apartemen yang selama ini aku tinggali.

Aku tersenyum menanggapi kekhawatiran kakak perempuanku itu.

Setelah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan keluar dari rumah sakit, aku memang meminta Kak Ranti untuk mengantarku ke apartemen. Aku juga berencana untuk tinggal di sini, karena memang di tempat inilah seharusnya aku berada.

"Kak Ranti enggak usah khawatir. Aku pasti baik-baik aja di sini," kataku, berusaha menenangkan perempuan yang paling aku sayangi selain Asya itu.

"Tapi kamu itu baru sembuh, Ndra," ujar Kak Ranti lagi, tampak masih belum rela membiarkanku tinggal sendirian di sini.

"Kakak cukup percaya aja sama aku," kataku, dengan wajah meyakinkan.

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Kak Ranti bisa menerima keputusanku untuk tinggal sendiri di apartemen. Kak Ranti baru meninggalkan apartemen setelah ia menyimpan stok makanan yang tadi dibawanya ke dalam kulkas dan tak lupa wanita itu juga meninggalkan nasihat agar aku tidak terlalu banyak melakukan aktivitas atau terlalu banyak berpikir terlebih dulu.

Sekarang aku benar-benar sendirian di apartemen, dan rasa sepi yang tiba-tiba datang benar-benar membuatku tak nyaman.

Beginikah yang aku rasakan selama satu tahun belakangan?

Aku bahkan masih mengingat Asya dan semua aktivitas wanita itu di apartemen ini. Dia yang tengah memasak di dapur, dia yang menyapu seluruh sudut apartemen ini, dan yang paling membekas adalah senyumnya yang malu-malu saat kugoda.

'Mas Andra.'

Bahkan suara manjanya masih jelas terdengar ketika aku memejamkan mata. Asya, Mas benar-benar rindu.

***

Hari kedua di apartemen, aku cukup bisa mengendalikan diri untuk tidak terlalu mengingat Asya. Dengan dibantu Kak Ranti yang kebetulan berkunjung, aku membersihkan setiap sudut apartemen yang tatanannya sangat kacau.

Hari-hari selanjutnya, aku mulai melihat bayangan Asya di mana-mana. Dalam penglihatanku, wanita itu seolah tersenyum manis dan melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Namun saat aku berjalan ke arahnya, Asya justru menghilang. Di sini aku langsung mengambil kesimpulan jika aku sudah mulai tidak waras.

Akhirnya seminggu setelah keluar dari rumah sakit, aku memutuskan memesan mobil travel untuk pergi ke tempat kelahiran Asya.

Desa Limbangan. Desa yang terletak di Kabupaten Banjarnegara itu terlihat sangat berbeda dengan yang terakhir kali kuingat.

Aku sampai di desa tempat tinggal Asya pukul tujuh malam. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bertamu ke rumah mantan istri. Namun, mau bagaimana lagi? Rinduku sudah tidak dapat tertolong lagi.

Sesaat setelah turun dari mobil travel, aku bergegas mengetuk pintu rumah orang tua Asya dengan keras, bak rentenir yang hendak menagih hutang.

"Permisi!" Aku mengucapkan salam setengah berteriak.

Namun, hingga tangan sakit dan mulutku pegal, pintu berbahan kayu itu tak juga terbuka.

"Orangnya belum pulang, Mas." Tetangga Asya tiba-tiba keluar dari rumah sebelah. Mungkin dia terganggu dengan ketukan tanganku yang kelewat keras.

"Ke mana memangnya mereka, Bu?" tanyaku dengan sopan.

"Asya kayanya lembur di pabrik lagi. Kalau orang tuanya biasanya masih di masjid jam segini," jawab wanita paruh baya itu.

Jadi sekarang Asya kerja di pabrik? Heran saja, jika memang ingin bekerja, kenapa harus di pabrik? Bukannya dia seorang sarjana pendidikan dan sudah punya pengalaman mengajar di salah satu sekolah dasar di Jakarta? Harusnya dia bisa menjadi guru lagi.

"Oh, begitu ya, Bu?"

"Iya, Mas. Mampir sini dulu, sambil nunggu mereka pulang," tawar perempuan itu.

Ini yang paling aku suka dari orang-orang di desa Asya. Mereka ramah, bahkan pada orang yang tidak dikenal sekalipun. Berbanding terbalik dengan masyarakat ibu kota yang apatis.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya nunggu di sini aja." Aku menolak tawaran wanita itu dengan halus.

Ibu itu pun berlalu. Tinggallah aku sendiri duduk pada undakan tangga di depan rumah Asya. Sengaja kupilih mendudukkan diri di sini dari pada di kursi rotan yang ada di teras. Karena dari undakan tangga ini aku akan lebih cepat melihat apabila Asya pulang.

Di sini hening, aku bahkan bisa mendengar suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Berbeda sekali dengan keadaan kota yang tetap ramai meski tengah malam sekalipun.

Dengan pandangan terarah pada tanah di bawah kaki, aku memikirkan apa yang nanti akan kuucapkan pertama kali pada Asya dan orang tuanya. Apa aku langsung saja mengutarakan niatku untuk rujuk, atau harus basa-basi dulu?

Beberapa saat terlewat, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku mengalihkan pandangan pada suara itu dan mendapati wanita yang sekilas terlihat familiar, tapi dengan penampilan yang jauh berbeda.

"Asya?" Aku memanggil dengan ragu. Wanita itu berjalan dengan kepala menunduk.

Yang dipanggil mendongakkan kepala. Raut terkejut langsung terbentuk di wajah wanita itu begitu pandangannya sampai di wajahku.

Aku sempat mengira salah orang karena penampilan Asya yang begitu berbeda. Dia yang bisanya tampil dengan kaos dan jeans panjang ketika keluar rumah, malam ini tampak berbeda dengan gamis dan jilbab lebar di tubuhnya.

Kami sama-sama terpaku di tempat ketika mata saling menatap. Entah bagaimana, aku merasa terlempar ke dimensi lain yang di dalamnya hanya ada kami berdua. Semua seperti bergerak lambat dan pandanganku tak bisa beranjak dari wajah wanita di depanku itu.

Asya, sepertinya Masmu ini sudah terkontaminasi adegan sinetron yang sering kamu tonton.

***

Setelah kecanggungan yang terjadi tadi, akhirnya Asya mempersilahkanku duduk di kursi teras. Dia bilang ibu dan bapak belum pulang, jadi tidak enak kalau membawa laki-laki masuk ke dalam rumah. Takut menjadi omongan tetangga, katanya.

Aku tidak salah dengar, 'kan? Dia bilang tidak enak membawaku masuk ke dalam rumah? Apa Asya lupa kalau aku bukan hanya pernah masuk ke rumahnya, tapi juga pernah menyambangi kamarnya? Bahkan lebih dari itu, aku juga telah melewati beratus-ratus malam tidur di bawah satu selimut dengannya.

"Ini kopinya, Mas. Di minum dulu! Maaf, hanya ada ini." Asya datang dengan secangkir kopi setelah beberapa menit meninggalkanku sendirian di teras.

Kenapa hanya ada satu cangkir? Apa Asya tidak berniat mengobrol lama denganku?

"Terima kasih," ucapku, yang hanya dibalas anggukan oleh Asya. Tanganku lalu meraih cangkir dan meminum kopi yang wanita itu suguhkan.

Manis, seperti yang membuat.

"Kalau boleh tahu, ada urusan apa Mas Andra datang ke sini?" Asya bertanya saat aku baru saja meletakan kembali cangkir ke atas meja.

"Sepertinya kamu malas sekali bertemu denganku, ya, Sya? Tidak ada basa-basi sama sekali.” Aku tersenyum masam ke arahnya.

"Eh? Bukan begitu, Mas." Asya terlihat salah tingkah. Mungkin dia merasa tak enak hati karena aku berpikir seperti itu. "Aku hanya merasa heran saja. Selama setahun ini Mas Andra tidak ada kabar, lalu tiba-tiba sekarang sudah ada di sini. Ada apa?" tanya Asya lagi.

"Aku baru aja kecelakaan, Sya," ucapku, menjawab pertanyaannya.

"Inna illahi wa inna ilahi rajiun," ucap Asya, tampak terkejut.

Sepertinya bukan hanya penampilannya yang berubah, cara bicara wanita di depanku ini juga sudah sangat berbeda dengan dulu. Dia terlihat seperti perempuan pondokan yang sering kulihat di televisi.

"Kalau memang baru kecelakaan, kenapa Mas Andra malah jauh-jauh ke sini? Harusnya istirahat di rumah aja, Mas," kata Asya.

Aku diam-diam tersenyum tipis mendengar dia yang masih perhatian.

"Aku hilang ingatan, Sya," kataku lirih. "Jadi, gimana bisa istirahat dengan tenang di rumah, kalau perempuan yang masih kuingat sebagai istri, tiba-tiba aja enggak ada di sampingku."

Asya terpaku dengan pandangan yang tidak dapat kuartikan. Ia seolah tak mampu berkata-kata setelah mendengar pengakuanku.

"Asya, tolong jawab aku, apa benar kita udah bercerai?" tanyaku.

Asya terlihat terkejut. Namun, hanya sekilas aku melihat ekspresi itu, karena dia dengan cepat memalingkan wajah.

"Asya!" panggilku karena dia tak juga memberi jawaban.

"Loh, Andra!" Suara itu mengalihkan pandanganku dari Asya.

Aku menoleh ke arah undakan tangga dan menemukan orang tua Asya di sana. Apa pembicaraanku dengan Asya tadi terlalu serius, sehingga kami tidak menyadari kehadiran mereka?

Aku dan Asya berdiri, hendak menyalami ibu dan bapak.

"Sudah lama datangnya, Ndra?" Bapak bertanya ketika tengah aku salami. Seperti biasa, beliau selalu ramah padaku.

"Baru saja, Pak," jawabku.

Aku juga meraih tangan ibu. Namun, respons wanita paruh baya yang masih menggunakan mukena itu di luar dugaan. Beliau menolak sentuhanku dan memilih menyembunyikan tangannya di belakang tubuh.

"Ayo masuk, Nduk." Ibu menarik tangan anak perempuannya dan membawanya masuk ke dalam rumah. "Kalau mau ngobrol jangan lama-lama, Pak. Ingat, anak perempuan kita sekarang janda. Bisa jadi gunjingan tetangga kalau ada laki-laki main di sini malam-malam," ucapnya ketus sebelum hilang di balik pintu.

Aku begitu terkejut melihat kejadian itu sampai-sampai badanku membeku di tempat.

"Andra, ayo duduk!"

Tepukan bapak di bahu seketika mengembalikan kesadaranku. Dengan langkah lemas, aku mengikuti bapak duduk di kursi teras yang tadi sempat aku duduki.

"Maafkan sikap ibu tadi ya, Ndra. Semenjak kamu dan Asya pisah, ibu memang jadi seperti itu. Sepertinya ibu lebih patah hati dari pada Asya atas perceraian kalian." Bapak terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Iya, Pak." Aku hanya bisa mengangguk dan menjawab dengan lesu.

Padahal dulu ibu begitu menyayangiku sebagai menantu. Ketika seminggu tinggal di sini selepas menikahi Asya, ibu begitu bangga memperkenalkan diriku pada warga kampung. Sudah baik, sopan, rajin lagi, begitu kata ibu dulu ketika membanggakanku.

Bahkan, setelah aku memboyong Asya ke Jakarta, perhatian ibu lebih banyak untukku dibanding anak perempuannya sendiri. Beliau lebih sering menelepon ke nomorku, menanyakan kabarku, bertanya apa Asya bisa melayaniku dengan baik atau tidak, sampai-sampai putrinya sendiri cemburu karena ibu terlihat lebih sayang padaku.

Namun sekarang, jangankan untuk memperhatikan, melihatku saja sepertinya ibu enggan. Ternyata benar, semakin besar rasa sayang seseorang, akan berbanding lurus dengan kekecewaan ketika kehilangan.

"Jadi, gimana kabarmu dan keluarga Ranti, Ndra? Lama sekali bapak enggak denger kabar kalian," ujar bapak, memulai obrolan.

"Kak Ranti dan keluarganya baik, Pak, tapi saya yang sedang enggak baik sekarang," jawabku apa adanya.

"Loh, kenapa? Kamu lagi sakit?" Bapak tampak cemas saat menanyakan hal itu.

"Saya baru aja kecelakaan, Pak. Karena kecelakaan itu juga, saya mengalami amnesia," jawabku.

"Amnesia? Maksudnya hilang ingatan kaya yang di televisi itu?" tanya bapak dengan dahi berkerut.

"Iya, Pak," jawabku lirih. "Padahal yang saya ingat, saya hanya pergi touring selama tiga hari dan mengalami kecelakaan di dalam perjalanan. Tapi waktu sadar, saya justru sudah kehilangan semuanya. Asya, pernikahan kami, bahkan anak kami pun udah enggak ada."

Dadaku terasa sesak ketika mengucapkan kata-kata itu. Keadaan ini begitu menyakitkan. Aku dipaksa untuk menerima kehilangan yang bahkan tidak kuingat apa sebabnya. Apa dulu aku mencoba mempertahankan, atau justru akulah yang menjadi penyebab kehancuran itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar menyiksaku.

"Bapak turut berduka atas musibah yang baru saja menimpamu, Ndra, tapi kamu dan Asya memang sudah bercerai dari satu tahun yang lalu." Bapak menatapku dengan iba.

"Kenapa kami bisa bercerai, Pak?" Aku bertanya, berharap bapak tahu sesuatu terkait perceraianku dan Asya.

"Bapak tidak tahu alasannya. Asya bilang, biar kamu dan dia saja yang tahu aib pernikahan kalian," ucap bapak yang tidak jauh berbeda dengan jawaban Kak Ranti.

Aku terdiam beberapa saat, lantas sebuah pertanyaan lain meluncur lagi dari mulutku, “Lalu bagaimana bisa calon anak kami meninggal, Pak?"

Jujur, ini adalah pertanyaan paling menyakitkan untukku. Bertahun-tahun menanti, tapi takdir begitu kejam merenggut calon anak-anak kami, bahkan sebelum aku tahu bagaimana rupa mereka.

Kulihat bapak menjatuhkan punggung ke sandaran kursi rotan yang beliau duduki. Aku paham, sebagai kakek, bapak tentu turut berduka dengan kematian yang dialami calon anak-anakku.

"Asya kecelakaan waktu itu," jawab bapak. "Padahal kalian bilang satu minggu lagi adalah hari perkiraan lahir anak itu. Tapi baru tiga hari, kamu menelepon kami dan mengatakan kalau Asya masuk rumah sakit." Bapak menghela napas, kemudian melanjutkan ucapannya, "Kami kira itu kabar bahagia. Bapak dan Ibu yang selama ini takut naik pesawat, bahkan sampai rela menempuh perjalanan dengan benda terbang itu. Tapi betapa kecewanya kami, saat sampai di Jakarta, justru kabar duka yang kami dapat. Asya kecelakaan ketika nekat mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di tengah hujan deras sehingga menyebabkan anak kalian meninggal dalam kandungan. "

Aku menahan napas mendengar cerita bapak. Benarkah begitu? Kenapa bisa Asya nekat begitu? Bukan hanya nekat mengendarai mobil di tengah hujan, tetapi seingatku Asya memang belum terlalu mahir mengendarai mobil.

Lalu sebuah kesimpulan tiba-tiba menghampiri kepalaku.

"Apa karena itu saya menceraikan Asya, Pak?" tanyaku. Bisa saja kan, aku yang terlanjur kecewa pada Asya, akhirnya menceraikan perempuan itu?

Bapak menggeleng dan aku hanya bisa menghela napas kecewa. Bapak tak bisa menjawab apa-apa, karena memang beliau tidak tahu apa yang menjadi penyebab utama aku dan Asya berpisah.

Kenapa semua tentang kejadian di masa laluku dan Asya begitu misterius? Sepertinya aku harus bertanya pada Asya langsung tentang masa lalu yang terlupa itu, karena aku sadar, bertanya pada orang lain hanya sia-sia saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status