Share

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI BAB 2

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI

Bab 2

Setelah dilakukan CT-Scan dan beberapa tes lainnya, tubuh lemahku dikembalikan ke ruang rawat yang tadi aku tempati.

"Kak Ranti," panggilku pada perempuan yang tengah membalut tubuh ini dengan selimut. Ada Kak Lian juga yang sejak tadi tetap setia berada di sisi istrinya.

Seandainya Asya ada di sini, dia pasti akan setia mendampingiku juga.

"Kak," panggilku lagi, karena Kak Ranti tak menyahut.

"Jangan tanya apa pun dulu, Ndra. Lebih baik sekarang kamu istirahat." Kak Lian yang menjawab, seolah tahu apa yang ada di benakku.

"Aku cuma butuh Asya, Kak," ujarku yang hampir putus asa.

"Cukup, Andra!" Kak Ranti tiba-tiba saja membentak, membuatku terkejut sekaligus bingung.

Kenapa Kak Ranti harus semarah ini hanya karena aku menyebut nama Asya?

"Kalian itu udah cerai dari satu tahun yang lalu. Tolong jangan bicara aneh-aneh lagi, Andra," lanjut kakak perempuanku itu, sebelum tangisnya pecah.

Kak Lian segera merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan.

"Kakak tahu kalau kamu pasti bingung dengan keadaan ini. Tapi satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan sekarang cuma istirahat, Ndra. Besok pagi, kalau keadaan udah lebih baik, kamu bisa tanya apa aja untuk memuaskan rasa ingin tahumu," ucap Kak Lian, memberikan pengertian.

Jujur saja aku tidak setuju dengan kakak iparku itu. Namun, karena melihat tangis Kak Ranti yang semakin keras, aku akhirnya hanya bisa menurut.

"Kamu istirahat, Ndra. Ini udah malam, kami juga harus pulang. Kasihan Kaka kita tinggal terlalu lama," ujar Kak Lian lagi.

Aku akhirnya hanya mengangguk dan mengiyakan saja ucapan laki-laki itu.

"Besok pagi Kakak datang lagi," ucapan serak Kak Ranti menjadi suara terakhir yang kudengar di ruangan ini.

Kini, tinggal aku sendiri di ruangan ini. Sepi ini bener-benar membuatku nelangsa.

"Asya, Mas kangen."

Padamu, juga pada anak-anak kita.

***

"Andra! Bangun, Ndra!"

Guncangan pelan kuraskan pada bahu. Saat membuka mata, sosok Kak Ranti dan seorang suster yang tengah mengganti infus menjadi pemandangan pertama yang kulihat.

Padahal aku berharap sosok Asya yang menjadi pembuka pagiku seperti biasa. Namun, mau bagaimana lagi? Kenyataan memang seringnya tak sesuai harapan.

"Kakak seka badanmu dulu, ya, habis ini langsung makan biar bisa minum obat," ucap Kak Ranti. Dia memang selalu memperlakukanku bak anak kecil seperti ini.

Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk pasrah?

Dengan telaten Kak Ranti membersihkan badanku dengan kain basah yang ia celupkan pada baskom di atas nakas. Dia juga dibantu perawat mengganti bajuku yang memang sudah terasa lembap.

"Sekarang kamu makan, ya, Ndra." Kak Ranti menyodorkan sendok berisi makanan, yang dari bentuknya saja sudah terlihat tidak menggoda selera. Namun, aku akhirnya menerima suapan itu juga karena perut sudah meronta minta diisi.

Baru juga suapan pertama, rasa mual langsung menyerangku. "Enggak enak, Kak," keluhku.

"Telan, Ndra. Jangan dimuntahin!" perintah Kak Ranti ketika melihat aku hendak memuntahkan makanan yang berada di dalam mulut.

Entah apa kata yang pas untuk menjabarkan rasa dari makanan ini. Lidahku yang terbiasa makan masakan lezat Asya, tidak akan sanggup menelan makanan seperti ini, terlebih dengan kondisi lidahku yang terasa pahit karena sedang sakit.

"Kamu harus makan, Ndra. Biar bisa minum obat." Kak Ranti berujar lagi.

Benar juga, aku harus minum obat agar bisa segera sembuh. Setelah itu baru aku bisa menemui Asya.

Akhirnya dengan terpaksa kurelakan makanan dengan rasa tak karuan itu memasuki mulut dan juga perutku.

"Bu Ranti, setelah ini diminta Dokter Heru ke ruangannya." Suster yang telah selesai dengan tugasnya berucap pada Kak Ranti.

"Baik, Sus. Nanti kalau Andra sudah selesai sarapan, saya akan segera ke sana," balas Kak Ranti seraya tersenyum tipis.

"Kalau begitu saya permisi dulu," ujar si suster.

"Iya, Sus. Silakan," balas Kak Ranti.

Suster itu pun berlalu meninggalkan aku dan Kak Ranti di ruangan ini.

"Aku ikut, Kak," ucapku setelah pintu ruang rawat ini ditutup oleh suster dari luar.

Dahi Kak Ranti berkerut mendengar ucapanku.

"Ikut?" ulang perempuan itu. Mungkin ucapanku kurang bisa dicernanya.

"Iya, aku ikut ke ruangan dokter yang suster bilang tadi. Aku mau tahu kondisiku," balasku.

"Enggak perlu," tolak kakak perempuanku halus. "Biar Kakak aja yang ke sana. Nanti Kakak cerita sama kamu apa aja yang dokter bilang."

Aku menggeleng tak setuju. "Enggak, Kak. Aku mau ikut."

Kak Ranti menghela napas berat. Jelas saja, perempuan satu anak ini pasti tahu kalau adiknya memang keras kepala.

"Ya sudah kalau mau ikut," ujar Kak Ranti, mengalah juga pada akhirnya.

Akhirnya, setelah sarapan selesai serta beberapa butir obat berhasil kutelan, aku dan Kak Ranti datang ke ruangan dokter bernama Heru itu.

Di dalam ruangan yang tak terlalu luas, aku dan Kak Ranti duduk bersebelahan, sementara dokter paruh baya di depan kami melemparkan senyum ramah.

"Jadi Pak Andra, bagaimana kondisinya sekarang? Sudah merasa lebih baik?" Dokter itu memulai dengan basa-basi ramah.

Sayang sekali, kondisiku membuat diri ini tak ingin membalas keramahan dokter itu.

"Selain rasa penasaran, saya rasa tidak ada yang lebih gawat dari itu," jawabku ketus.

Kak Ranti menyikut tulang rusukku, hingga membuatku meringis karena sakit. Wanita itu memang selalu galak ketika aku bersikap tidak sopan atau berbuat kesalahan.

"Maafkan sikap adik saya yang kurang sopan, Dok," ucap Kak Ranti, merasa tak enak.

Namun, dokter paruh baya itu hanya tersenyum maklum. Mungkin sebelum aku, pasien lain juga biasa bersikap seperti ini.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya paham dengan apa yang Pak Andra rasakan," ujar Dokter Heru tetap dengan gaya ramahnya.

"Jadi bagaimana keadaan adik saya, Dok?" Kak Ranti membuka suara lagi.

"Sebelum saya menjelaskan hasil dari pemeriksaan kemarin, boleh saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu?" tanya dokter itu. "Hanya pertanyaan sederhana," lanjutnya.

"Silakan tanyakan saja, Dok," balas Kak Ranti.

Dokter Heru menganggukkan kepala, kemudian menunduk untuk melihat catatan yang berada di atas meja.

"Kemarin Bu Ranti bilang kalau Pak Andra menanyakan tentang mantan istrinya. Benar begitu, Pak Andra?" tanya Dokter Heru, menatap lurus ke arahku.

Napasku tercekat mendengar dokter itu menyebut kata mantan istri. Meski diucapkan dengan nada yang ramah dan halus, nyatanya hatiku tetap koyak mendengarnya.

"Ya, benar. Saya bahkan tidak ingat kalau kami sudah bercerai," jawabku dengan suara tercekat.

"Bu Ranti, kalau boleh tahu sudah berapa lama mereka bercerai?" Kali ini kakak perempuanku yang ditanyai dokter itu.

"Sekitar satu tahun yang lalu, Dok," jawab Kak Ranti.

Jujur saja, aku ingin bertanya alasan kenapa kami bisa bercerai. Namun, urung karena sadar ini bukan waktu yang tepat.

Dokter Heru mencatat jawab-jawaban kami, sebelum kembali mengalihkan pandangannya padaku. "Lalu Pak Andra, apa Anda tahu berapa lama Anda koma?" tanyanya lagi.

"Sekitar satu tahunan mungkin?" Aku mengangkat bahu. "Asya pasti terlalu bosan menungguku bangun hingga akhirnya dia memutuskan pergi."

"Andra!"

Aku menoleh pada Kak Ranti yang suaranya terdengar seperti teguran. Mata wanita itu berkaca-kaca, membuatku dilanda kebingungan karena sikapnya. Kak Ranti kenapa sebenarnya?

"Bagaimana kalau saya katakan bahwa Anda hanya koma selama tiga bulan?" kata dokter paruh baya itu.

Dengan cepat aku menoleh pada Dokter Heru.

Tiga bulan katanya? Lalu bagaimana bisa Asya pergi satu tahun yang lalu?

Kudengar Kak Ranti mulai terisak. Entah apa yang ditangisinya, aku tak paham. Ingin menenangkannya pun, aku sendiri sedang dilanda syok sekaligus kebingungan.

"Apa Pak Andra ingat dengan kecelakaan yang membuat Anda sampai berada di sini?" tanya dokter itu lagi, yang justru membuat kepalaku menjadi sakit.

Aku pun berusaha mencari ingatan tentang kecelakaan yang menimpaku seraya memijat pelipis karena sakit kepalaku kini mulai menjalar ke mana-mana.

"Yang saya ingat, saat itu saya bersama komunitas motor yang saya ikuti pergi untuk touring yang rencananya akan dilakukan selama tiga hari. Namun, saya kecelakaan di dalam perjalanan. Sebuah sepeda motor menabrak motor saya hingga kami sama-sama jatuh ke dalam parit di pinggir jalan," jawabku, yang memang hanya mengingat hal itu.

"Astaga, Andra! Itu kejadian dua tahun yang lalu. Kakimu patah saat itu. Kenapa kejadian itu yang kamu ingat?" Kak Ranti menangis histeris dengan mengguncang-guncang bahuku.

Aku semakin bingung mendengar ucapan Kak Ranti. Dua tahun lalu bagaimana? Aku koma selama dua tahun, lalu Asya pergi satu tahun yang lalu, begitu? Tapi kenapa Dokter Heru bilang aku hanya koma selama tiga bulan?

Astaga, kepalaku pusing sekali menghadapi kebingungan ini.

"Bu Ranti, tenang dulu, Bu." Dokter Heru mencoba menenangkan wanita di sebelahku.

Kak Ranti menurut. Dia duduk tenang di kursinya, meski isak tangisnya masih bisa kudengar.

"Jadi begini, Bu Ranti, Pak Andra, dengan berat hati saya harus menyampaikan kalau Pak Andra mengalami amnesia retrograde, atau yang masyarakat luas kenal dengan amnesia sebagian," kata dokter Heru dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa prihatin.

Penjelasan Dokter Heru membuatku mengerutkan kening. Amnesia? Mustahil. Aku bahkan ingin tertawa mengejek mendengar penjelasan dokter di depanku ini. Ini benar-benar seperti kejadian dalam sinetron yang sering Asya tonton.

"Benturan keras di kepala Pak Andra mengakibatkan cedera serius, sehingga mempengaruhi memori yang ada di dalam otak Pak Andra. Pada kondisi ini, biasanya pasien akan melupakan kejadian di masa lalu, dimulai dengan kehilangan ingatan yang baru terbentuk, kemungkinan juga bisa berlanjut dengan kehilangan ingatan yang lebih lama, seperti ingatan masa kecil." Dokter Heru menjelaskan dengan wajah serius.

Aku benar-benar tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Aku rasa dokter itu salah. Aku merasa baik-baik saja. Bagaimana mungkin aku dinyatakan amnesia?

Bahkan, saat dokter menunjukkan hasil CT-scan kepalaku, aku sudah tidak bisa fokus untuk menangkap penjelasan dokter itu selanjutnya.

Itu bohong, 'kan? Benar, itu pasti bohong.

Asya, kamu di mana? Tolong katakan padaku kalau dokter itu bohong.

***

Setelah keluar dari ruangan Dokter Heru, aku merasa seperti terperangkap dalam dimensi yang seharusnya aku tidak berada di tempat ini.

Sungguh, aku bingung dengan semua yang terjadi.

Beberapa hari yang lalu aku merasa semua masih baik-baik saja. Aku masih memiliki Asya dan tengah menanti kelahiran putra kembar kami. Namun, kenapa sekarang jadi seperti ini?

"Kak Ranti." Aku menyentuh tangan Kak Ranti yang tengah mendorong kursi rodaku.

Jangan salah sangka. Aku menggunakan kursi roda bukan karena catat, tetapi kondisi tubuhku yang belum bisa berfungsi dengan sempurnalah yang membuatku harus menggunakan benda ini.

"Iya, Ndra. Kenapa?" tanyanya lesu. Aku yakin, Kak Ranti juga pasti belum bisa percaya dengan penjelasan Dokter Heru tadi.

"Memangnya benar kalau aku dan Asya sudah bercerai?" tanyaku untuk yang ke sekian kalinya. Aku masih berharap jika jawaban Kak Ranti kali ini akan berbeda dari jawaban sebelumnya.

"Iya, Ndra. Sudah dari satu tahun yang lalu," jawab kakakku tampak sedih.

Aku tahu kalau Kak Ranti sangat menyayangi Asya seperti adik kandung sendiri. Jika memang kami bercerai, kakakku itu pasti juga merasakan kesedihannya.

"Kenapa, Kak?" tanyaku tercekat. "Kenapa kami bisa bercerai?"

"Kakak enggak tahu," jawab Kak Ranti. "Kakak bahkan enggak tahu kapan tepatnya kalian bercerai. Waktu itu Asya datang ke rumah sambil nangis. Asya cuma bilang kalau kalian udah cerai dan dia mau pulang kampung untuk waktu yang lama."

Aku memijit kening mendengar ucapan Kak Ranti. Kepalaku kembali merasakan sakit, yang kali ini bahkan lebih parah dari sebelumnya. Aku merasa seolah ada godam yang sedang menghantam kepalaku dengan kuat.

"Lalu anak kami, Kak, mereka dibawa Asya?" tanyaku lagi, berusaha tak menunjukkan rasa sakit yang sedang menghantam kepalaku kepada Kak Ranti.

"Anak kalian udah meninggal sebelum lahir, Ndra," jawab kakakku dengan suara pelan.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu peribahasa yang tepat untukku. Bukan hanya kehilangan Asya, ternyata aku juga kehilangan anak-anak yang bahkan tidak kuingat bagaimana rupanya. Aku benar-benar ingin menangis mendengar ucapan Kak Ranti. Bagaimana bisa mereka meninggal, bahkan sebelum lahir? Ini lelucon macam apa sebenarnya?

Rasa sakit di kepala semakin parah, hingga membuatku mencengkeram kuat kepala ini.

"Andra, kamu kenapa? Kepalamu sakit? Astaga, Kakak panggil dokter, ya?" Kak Ranti panik melihatku yang meringis kesakitan.

"Aku cuma pusing sedikit, Kak," jawabku, mencoba menenangkan wanita itu. "Ayo Kak, cepat bawa aku ke ruang rawat. Aku mau istirahat."

"Kamu di sini dulu, biar Kak Ranti panggilkan Dokter Heru."

Aku mencekal tangan Kak Ranti yang hendak beranjak.

"Ke kamar aja, Kak. Aku mau tidur," kataku, sedikit memaksa.

Meski berat, akhirnya Kak Ranti menurut. Dia dengan cepat mendorong kursi rodaku menuju kamar rawat yang aku tempati.

"Aku mau tidur dulu. Kalau Kak Ranti mau pulang juga enggak apa-apa," ucapku, ketika tubuhku telah terbaring di ranjang kamar rawat.

"Kakak di sini saja. Kakak khawatir sama kamu, Ndra," ujar Kak Ranti terlihat sangat cemas.

Aku tersenyum melihat kepanikan kakakku itu. "Ya sudah kalau tetap mau di sini. Tapi jangan protes kalau denger aku ngorok," candaku, berusaha mencairkan suasana.

Namun, wajah Kak Ranti masih saja terlihat cemas. Rasa khawatirnya tidak bisa hilang begitu saja.

Aku yang tak mau terlalu ambil pusing, akhirnya mulai memejamkan mata. Aku bahkan masih berharap jika ini semua hanya mimpi, dan kehidupan normal yang masih kuingat akan kembali ketika aku terbangun nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status