Share

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI
MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI
Penulis: Sarji

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI BAB 1

MENGEJAR CINTA SANG MANTAN ISTRI

Bab 1

"Mas Andra."

Aku yang tengah memasukkan baju ke dalam tas punggung menoleh, begitu Asya yang duduk di bibir ranjang memanggil namaku dengan lirih.

Dahiku mengernyit ketika melihat wanita yang tengah hamil besar itu tertunduk lesu. Tanpa pikir panjang, aku segera menghampiri Asya.

"Ada apa, Sayang?" tanyaku setelah duduk di sisi Asya. Namun, wanita yang berstatus sebagai istriku itu hanya bungkam, membuatku semakin bingung saja.

"Kenapa, Sayang?" tanyaku lagi dengan lembut.

"Kalau aku enggak mengizinkan Mas Andra pergi, apa Mas Andra mau membatalkan touring besok?" Asya terlihat ragu-ragu dengan ucapannya. Dia bahkan menunduk untuk menghindari tatapanku.

Aku jelas heran dengan ucapan istriku. Besok memang aku akan pergi touring bersama komunitas motorku selama tiga hari. Ini adalah agenda tahunan yang diselenggarakan oleh komunitas, dan Asya tahu itu. Biasanya dia juga tidak pernah melarang, bahkan tidak jarang dia akan ikut kalau memang ingin. Kenapa sekarang dia bilang tidak mengizinkanku ikut serta?

"Kenapa? Bukannya kamu udah setuju dari jauh-jauh hari? Lagi pula, aku udah bilang sama yang lain kalau aku bisa ikut. Enggak enak kalau dibatalkan begitu aja."

"Aku punya firasat enggak enak, Mas," ucap Asya. "Aku sering mimpi buruk akhir-akhir ini. Aku takut hal buruk menimpa Mas Andra."

"Sayang!" Aku menggenggam tangan Asya, mencoba meminta kepercayaan darinya. "Kamu enggak perlu khawatir. Mimpi, seburuk apa pun itu, akan tetap ada di alam bawah sadar kita dan enggak akan pernah jadi kenyataan. Kalau kamu selalu mendoakan Masmu ini, pasti enggak akan ada hal buruk yang terjadi. Percaya sama aku."

Asya diam, ia justru memalingkan wajah hingga pandanganku tak dapat menangkap ekspresinya.

"Sayang, aku cuma pergi tiga hari. Ayolah, Sayang. Kalau kamu kaya gini, gimana aku bisa tenang pergi besok?" Aku berujar memelas.

Tak disangka, ucapanku justru dibalas Asya dengan tangisan pilu.

Aku begitu kaget dengan respons istriku. Dia kenapa sebenarnya? Apa karena sedang hamil, makanya sikapnya jadi aneh begini?

Segera kurengkuh tubuhnya dalam pelukan. Aku tahu istriku sedang kalut. Mungkin dia memang sangat mengkhawatirkanku.

"Aku takut kehilangan kamu, Mas," lirih Asya di sela isaknya.

Ucapan Asya mengundang senyum pada bibirku. Bukan senang karena melihat Asya menangis, tentu saja. Aku memang selalu senang ketika Asya mengungkapkan perasaan cinta dan takut kehilangan atas diriku tanpa sungkan. Itu membuktikan wanita itu sangat mencintaku, bukan? Aku merasa menjadi laki-laki paling hebat di dunia karena bisa mendapatkan cinta dari Asya.

Aku mengurai pelukan kami dan kutatap mata Asya dengan lembut.

"Kamu enggak akan pernah kehilangan suamimu ini dan kamu harus percaya itu," ucapku dengan bibir melengkung ke atas.

Air mata di pipi wanita itu kuseka dengan ujung ibu jari. Kasihan sekali istriku, dia sampai menangis seperti ini karena mengkhawatirkanku.

Asya hanya menunduk tanpa berkata apa pun.

Aku menghela napas karena gagal meyakinkan istriku sendiri. Namun, aku belum menyerah. Aku menyingkap baju yang menutup perut Asya dan mengusap kulit pembungkus dua buah hati kami itu dengan lembut.

"Jagoan-Jagoan Ayah, tolong bilang sama bunda, kalau Ayah cuma pergi sebentar. Tiga hari lagi Ayah udah pulang dan bunda kalian bisa melepas rindu sama Ayah," ucapku, seolah tengah bicara pada janin di dalam rahim Asya.

Pandangan Asya mengikuti belaian tanganku di perutnya, tetapi tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Aku berucap lagi, "Ayah titip bunda, ya, Jagoan. Ayah cintaaa sekali dengan kalian."

Asya menggenggam tanganku yang masih berada di perutnya.

Selarik senyum kuberikan pada wanita yang paling aku cintai ini.

"Mas Andra," panggil Asya lirih.

"Iya, Sayang," jawabku dengan tersenyum manis.

"Ngantuk."

Aku terkekeh mendengar ucapannya. Aku kira dia masih akan membahas tentang touring besok.

"Ya sudah, ayo tidur," ajakku. Aku juga membantu Asya untuk berbaring di ranjang kami.

Sejak kehamilan Asya memasuki usia lima bulan, istriku itu memang menjadi sulit bergerak. Tubuh mungilnya seperti tidak mampu menampung buah cinta kami yang ternyata kembar.

"Sayang," kupanggil namanya, ketika Asya memunggungiku. Astaga! Ternyata belum selesai juga masalah yang tadi.

Karena tidak mendapat jawaban, aku memilih memeluk erat wanita itu dari belakang. Biar saja Asya tidak nyaman, salah sendiri membelakangiku.

"Mas, gerah," keluh Asya yang aku balas dengan dekapan yang semakin erat.

"Hadap sini dulu. Enggak enak tatap-tatapan sama punggung," ucapku.

Tak lama, Asya menurut. Dia telah sempurna berhadapan denganku.

Aku tersenyum lebar ke arahnya. "Ini baru benar," ucapku.

"Sayang!" panggilku seraya mengusap perut Asya.

"Apa, Mas?"

"Kamu ingat enggak apa yang udah kita lalui sebelum mereka hadir?" tanyaku dengan pandangan mengarah ke bagian perut Asya yang menonjol. Mereka yang aku maksud tentu saja calon anak-anak kami.

"Lalui? Maksudnya, Mas?" tanya Asya tak mengerti.

"Dulu, waktu kita masih tinggal di kontrakan Kak Ranti, tetangga selalu menggunjing kamu, karena kamu belum juga hamil padahal usia pernikahan kita udah masuk tahun ketiga," ucapku, mengingatkan.

"Setiap malam kamu selalu nangis karena merasa menjadi perempuan enggak berguna. Kamu juga berkali-kali memohon agar aku enggak ninggalin kamu, persis seperti malam ini. Kamu bilang, kamu takut kehilangan aku." Aku menatap netra Asya yang kini sudah seperti awan mendung. Aku tahu, itu adalah kenangan buruk yang tidak pantas diingat.

"Tapi lihat sekarang! Aku masih di sini, masih jadi suami kamu. Aku bahkan membelikan kamu apartemen ini biar enggak ada lagi mulut-mulut usil yang bikin kamu sakit hati. Padahal dulu kamu juga tahu keuangan kita belum sebaik sekarang. Itu adalah bukti cinta aku buat kamu. Aku akan selalu menjaga kamu dan enggak akan pernah ninggalin kamu dalam keadaan apa pun," ujarku lagi.

Asya mulai terisak lagi. Aku hanya mampu menghapus air mata wanita yang paling kucintai ini. Memang, semenjak hamil, Asya jadi secengeng ini. Produksi air matanya menjadi meningkat saat marah, sedih, ataupun terharu.

"Aku janji, apa pun keadaannya, kamu enggak akan pernah kehilangan suamimu ini. Aku akan tetap cinta sama kamu sampai kapan pun. Kamu percaya, 'kan, Sayang?"

Asya mengangguk dengan air mata yang berlinang.

"Aku enggak akan mampu ninggalin kamu, Sayang. Apalagi sekarang ada dua jagoan kita, semakin enggak sanggup aku pergi dari kamu. Bahkan aku juga yakin, maut pun enggak akan mampu misahin kita."

Tangis Asya semakin keras mendengar ucapanku. Malam ini, akhirnya kami tidur dengan perasaan lega karena masalah tentang kepergianku besok akhirnya selesai.

***

Esoknya, aku berangkat untuk touring.

Wajah sendu Asya yang mengantar kepergianku hingga depan pintu apartemen masih jelas terbayang. Namun, aku berusaha tak terlalu memikirkannya. Lagi pula aku hanya akan pergi tiga hari.

"Udah kaya cewek aja lo, Ndra. Lama banget datengnya. Dandan dulu pasti."

Aku mendengus mendengar kata sambutan dari Roby, teman sekomunitas sekaligus teman satu kantor yang sebenarnya paling akrab denganku.

Roby yang membonceng kekasihnya yang bernama Yola itu sudah menungguku bersama teman-teman lain di alun-alun kota, tempat yang disepakati menjadi titik awal perjalanan kami.

"Sorry, tadi istri gue agak rewel. Lagi hamil besar soalnya," ucapku pada rekan-rekan yang lain.

"Ya elah, kelonin dulu harusnya biar enggak rewel, Ndra," celetuk Roby lagi.

"Udah, mending kita berangkat sekarang. Keburu siang." Bang Tigor, anggota paling tua sekaligus ketua komunitas kami memberi instruksi.

Aku bersama tiga puluh satu motor lainnya akhirnya berangkat dengan diiringi awan hitam yang menggelayut di langit. Kami melaju dengan tertib, berusaha semaksimal mungkin agar pengguna jalan lain tidak terganggu dengan kegiatan kami.

Hingga lima jam kemudian, kami tiba di perkampungan padat penduduk dengan jalanan yang sempit. Bang Tigor memberi instruksi untuk menepi. Karena memang selain badan yang lelah, hujan juga mulai mengguyur, membuat jalanan licin dan itu bisa membahayakan kami.

Satu persatu anggota mulai menepi dengan teratur. Tidak ada yang menyangka, jika dari arah berlawanan, sebuah sepeda motor melaju dengan kencang. Decit rem dari sepeda motor itu terdengar jelas, membuat gigi ngilu. Bencana tak terduga pun terjadi.

Jalanan yang licin membuat sepeda motor itu kehilangan keseimbangan hingga akhirnya tergelincir hingga menabrak motorku. Kecelakaan tak dapat terhindarkan. Kedua motor kami akhirnya terseret beberapa meter, hingga akhirnya terlempar ke parit yang ada di tepi jalan.

Aku masih bisa merasakan kesakitan di sekujur tubuh yang beradu dengan aspal. Juga, rasa remuk di kaki karena tertimpa sepeda motor sendiri.

Tiba-tiba Asya dan wajah sendunya tadi pagi membayang di pelupuk mataku.

'Aku takut kehilangan kamu, Mas.'

Harusnya aku mendengarkan ucapan Asya tadi malam. Harusnya aku percaya firasat istriku dan membatalkan pergi untuk touring bersama teman-teman komunitas.

Seketika rasa bersalah menghantam dadaku. Mungkin ini akan menjadi akhir hidupku. Aku mungkin tidak bisa menepati janji untuk kembali pada istri dan calon anak-anakku.

"Asya, maaf," ujarku lirih, sebelum kegelapan mulai mengambil alih pandanganku.

Hal terakhir yang aku ingat hanya bayangan buram dari teman-temanku yang mendekat bersama suara panik mereka yang terdengar seperti dengungan lebah.

***

"Andra! Andra!"

Aku mengerjapkan mata dengan berat ketika suara itu menembus gendang telinga.

Penglihatanku tak jelas, tetapi aku hafal betul suara itu. Itu Kak Ranti, kakak perempuan, sekaligus satu-satunya keluarga kandung yang kumiliki.

"Andra, kamu bisa lihat kami?" Bayangan telapak tangan yang tidak terlalu jelas melambai di depan wajahku, berbarengan dengan suara Kak Lian, suami dari Kak Ranti.

Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa penglihatanku buram, tetapi tenggorokanku sakit sekali. Tak ada satu pun kata yang mampu aku keluarkan.

"Pa, cepat panggil dokter! Andra udah sadar!" Kak Ranti memerintah suaminya, dan tak lama, suara entakkan kaki terdengar menjauh.

Lambat laun, mataku mulai menyesuaikan cahaya yang masuk. Silau, hingga aku menyipitkan mata. Saat penglihatanku kembali normal, aku bisa melihat Kak Ranti di sisi tempatku tidur. Warna putih yang mendominasi ruangan yang kutempati serta bau obat yang menusuk hidung sudah menjelaskan bahwa aku tengah berada di rumah sakit.

"Ya ampun, Andra, akhirnya kamu sadar juga. Kakak takut kalau kamu ninggalin Kakak juga kayak mama sama papa." Kak Ranti menangis. Air matanya berjatuhan di telapak tanggaku yang ia genggam.

Sungguh, aku ingin memberikan kata penenang pada kakak perempuanku itu. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku tidak melihat sosok istriku di sini.

"As-sya," ucapku dengan menahan sakit di tenggorokan.

Asya harusnya ada di sini dan melihatku sudah sadar. Dia pasti sangat mengkhawatirkan keadaanku.

Kak Ranti mendongak, menatap wajahku.

"Kamu bilang apa, Ndra?" tanyanya.

Mungkin ia kurang mendengar karena ucapanku tersendat-sendat.

"Is-triku, Kak. As-Sya mana?" ulangku.

Kulihat wajah Kak Ranti seperti terkejut. Kenapa? Apa ada yang salah? Tidak salah kalau aku mencari istriku sendiri, bukan? Dia pasti senang kalau tahu aku sudah bangun.

Mulut Kak Ranti terbuka, seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, sebelum itu terjadi, pintu kamar rawatku sudah lebih dahulu terbuka dari luar. Kak Lian masuk bersama laki-laki paruh baya yang mengenakan jas dokter.

"Dokter!" Kak Ranti berlari kecil, menghampiri laki-laki yang memakai jas putih itu. "Tolong periksa adik saya, Dok," pintanya panik. Terlalu berlebihan menurutku, karena aku merasa sudah baik-baik saja.

"Tenang dulu, Bu. Saya akan memeriksa pasien," balas dokter itu kalem.

Dokter mendekat dan mulai menjalankan tugasnya untuk memeriksa keadaanku.

"Tolong periksa kepalanya juga, Dok. Sepertinya ada yang salah," ucapan tiba-tiba Kak Ranti mengundang tatapan ketiga lelaki di ruangan ini, termasuk aku. "Tadi dia menanyakan istri yang sudah setahun ini bercerai dengannya."

Ucapan Kak Ranti seperti melucuti nyawaku. Cerai? Aku dan Asya sudah bercerai satu tahun yang lalu? Apa yang sudah terjadi? Berapa lama aku tidak sadarkan diri hingga Asya pergi dariku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status