"Masuk," kata Bintang setelah menggunakan kembali kemejanya.
Bintang meraih minuman di atas meja dan meminumnya sampai habis, ia terlihat berkeringat dan gugup. Aera juga merasakan hal yang sama. Jantungnya sejak tadi tak mau berhenti berdebar karena hampir kehilangan kesuciannya. Mereka kembali menoleh ke arah pintu, tampaklah seorang gadis dengan penampilan yang memukau, memiliki kecantikan yang klasik dan elegan. Rambut hitamnya yang panjang mengalir lembut seperti sutra, membingkai wajahnya yang sempurna. Matanya yang besar dan kulitnya yang putih, menunjukkan kelembutan namun juga ketegasan. Bintang memperhatikannya tanpa berkedip, membuat Aera terbakar api cemburu. Aera segera berdiri, dan menghampiri gadis itu yang masih berdiri di luar. "Siapa kamu?" tanya Aera. "Perkenalkan, saya Agatha. Apa benar ini rumah Mas Bintang?" tanya gadis itu. "Apa katamu? Mas Bintang? Bisakah kamu memanggil dia lebih sopan, Pak Bintang!" kata Aera dengan keras. "Baiklah, Pak Bintang, bisa kita mulai lesnya?" ucap Agatha sambil berjalan mendekati Bintang. Bintang masih terdiam mengaguminya, penampilan Agatha benar-benar sempurna. Agatha yang terlihat anggun dan berkelas, memang selalu berhasil menjadi pusat perhatian di setiap ruangan yang ia masuki. "Hm, bisa kita mulai kelasnya? Saya tidak punya banyak waktu," kata Agatha, menatap jam di tangannya. "Ayo, mari kita mulai. Aera, duduklah." Bintang segera merapikan tempat duduk dan menyingkirkan semua makanan yang ada di atas meja agar dia bisa lebih leluasa untuk mengajar. "Oke, sekarang kalian isi semua soal ini dulu," kata Bintang, membagikan selembar kertas kepada Agatha dan Aera. "Mas? Masa baru mulai kelas sudah di kasih soal, belajar juga belum!" protes Aera. "Kalian isi soal itu supaya saya tahu kemampuan kalian sudah sampai mana, baru kita bahas bersama. Mengerti?" Bintang kembali menatap Agatha yang tampak tidak keberatan sama sekali. Aera tahu, kekasihnya itu memang tampan, tapi sayangnya menyebalkan. Aera merobek kertas soal itu dan berdiri menatap Bintang. Dia berpindah tempat duduk ke sampingnya. "Aku tidak ingin belajar. Lagi pula aku sudah pintar," kata Aera. "Kalau begitu, saya tambah dua lembar, total tiga lembar. Kerjakan dalam waktu satu jam, selamat mengerjakan." Bintang memberikan Aera tugas lagi. "Mas?" Aera tampak mengeluh. Aera hendak merobek kembali kertas itu, tapi Bintang menahan tangannya. Aera akhirnya pasrah dan duduk kembali di samping Agatha, mengerjakan soal itu dengan terpaksa. Bintang tidak membantunya sama sekali. "Tenang saja, aku sangat paham tentang soal ini. Kamu harus banyak belajar agar sedikit pintar, ya." Agatha menepuk bahu Aera, dan menyerahkan tugasnya yang sudah selesai kepada Bintang. "Maksudmu, aku kurang pintar?" Aera menatap Agatha dengan tajam. "Tidak, kamu harus bisa lulus tahun ini kan? Atau kamu ingin aku lulus lebih dulu darimu?" tanya Agatha, dengan sinis. "Wah, kamu cukup berbakat, Agatha. Saya rasa kamu tidak memerlukan les tambahan, apa kamu akan melanjutkan?" tanya Bintang pada Agatha. Agatha tersenyum tipis, matanya melirik sekilas ke arah Aera yang tampak semakin gelisah. "Terima kasih, Pak Bintang. Saya hanya ingin memastikan, saya siap untuk ujian nanti." Aera mendengus kesal, tapi tetap berusaha fokus pada soal di depannya. Setelah pelajaran selesai, Agatha mengemas barang-barangnya dengan anggun dan berpamitan pada Bintang. "Terima kasih, Pak Bintang. Kita akan sering bertemu mulai sekarang," katanya dengan senyum manis. "Terima kasih kembali, Agatha. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya," jawab Bintang. Setelah Agatha pergi, Aera menatap Bintang dengan tatapan tajam. "Apa maksud Mas dengan pujian itu? Kenapa Mas begitu terpesona dengan dia?" Bintang menghela nafas panjang. "Aku hanya memberinya apresiasi yang pantas. Aera, kamu tahu betapa aku mencintaimu. Tidak ada yang bisa menggantikanmu." "Aku akan mencoba mempercayaimu. Tapi tolong, jangan biarkan dia terlalu dekat denganmu." Aera menatap Bintang dengan penuh keraguan. Bintang tersenyum dan memeluk Aera erat. "Aku berjanji, sayang. Aku hanya mencintaimu." Namun, sebelum Aera bisa membalas pelukan itu, dia merasakan sesuatu yang hangat mengalir di hidungnya. Ketika dia menyentuh hidungnya dan melihat tangannya, dia terkejut mendapati darah di sana. "Aera, kamu mimisan!" seru Bintang panik, segera meraih tisu dan menekan hidung Aera. Aera terdiam, merasa sedikit pusing, tapi kemudian dia tersenyum kecil. "Tenang saja, Mas. Ini hanya mimisan biasa," katanya, mencoba meredakan kekhawatiran Bintang. "Aku cuma butuh air minum." Bintang tetap khawatir, tapi dia menurut dan segera mengambilkan segelas air. "Tapi, Aera, ini bisa jadi tanda sesuatu yang lebih serius. Kita harus ke rumah sakit." Aera menggeleng sambil meminum air yang diberikan Bintang. "Tidak perlu, Mas. Aku sering mimisan kalau terlalu lelah atau stres. Ini bukan hal besar." "Tapi kamu terlihat sangat pucat, Aera," kata Bintang, suaranya penuh kekhawatiran. "Aku tidak bisa tenang kalau belum memastikan kamu baik-baik saja." Aera menyeka sisa darah dari hidungnya dan mencoba tersenyum. "Aku benar-benar baik-baik saja." Aera menatap Bintang dengan tulus, pria di hadapannya selalu menunjukkan jika dia adalah pacar yang baik, Aera sangat bangga memilikinya. Tetapi, rasa bangganya itu membuatnya semakin takut kehilangan. "Mas, di rumahmu tidak ada siapa-siapa kan?" tanya Aera. "Tidak, memang kenapa?" jawabnya. "Aku boleh lihat kamar, Mas?" tanya Aera. Aera tersenyum, meraih tangan Bintang dan bergelayut manja di pundaknya. Hari ini Aera ingin sekali menghabiskan waktu bersama Bintang seolah akan berpisah. Bintang yang menerima perlakuan itu, seperti mengerti maksud dari pertanyaan Aera. Bintang mengangguk dan mengajak Aera naik ke lantai dua. Sesampai di sana, Bintang membuka pintu dan mempersilahkan Aera untuk masuk. Meskipun seorang pria yang sibuk di luar, kamar Bintang terlihat bersih dan rapi. Tidak ada kotoran atau debu sama sekali. Tiba-tiba saja, Bintang melepas kemejanya dan memeluk Aera dari belakang. Ini pertama kalinya Aera datang ke rumahnya, dan langsung menerobos masuk ke dalam kamar yang merupakan privasi bagi Bintang. "Mau lanjut yang tadi?" tanya Bintang, yang tampak nakal sekarang. "Mau, sayang." Aera memutar tubuhnya, dan menarik tubuh Bintang ke atas tempat tidur. “Mas sudah pulang?" seru seseorang dari luar, sebelum akhirnya pintu terbuka. Bintang dengan cepat turun dari atas tubuh Aera dan menutup tubuh mereka dengan selimut. "Iya, sejak kapan kamu di rumah?" jawab Bintang sembari meletakkan jari telunjuknya di bibir Aera, menandakan agar dia tidak boleh mengeluarkan suara. "Baru kok, Mas kenapa sih pakai selimut siang-siang?" tanya Moona yang hampir saja menarik selimut kakaknya. "Moon," dengan cepat Bintang menahannya. "Ini Mas lagi istirahat, baru pulang dari kampus. Mas mau mandi, enggak pakai baju. Kamu mau liat?" kata Bintang, membuka sebagian tubuhnya. "Ih, malas!" Moona segera pergi meninggalkan Bintang sambil bergidik ngeri. "Lain kali kalau mau masuk kamar orang itu, ketuk pintu dulu!" seru Bintang, memperhatikan adiknya pergi. Bintang segera membuka selimutnya dengan nafas terengah-engah. Dia turun dari atas tempat tidur untuk mengunci pintu dan kembali kepada Aera. Cup.. cup.. Bintang mencium kedua pipi Aera, dan memeluknya yang masih berbaring di atas tempat tidur. "Haruskah kita melanjutkan?" tanya Aera menggoda. "Tentu saja," ucap Bintang, lebih bersemangat dari sebelumnya. Aera bangun dan menarik celana jeans Bintang, kali ini dia berhasil menanggalkannya perlahan. Dia membaringkan tubuhnya menghadap Bintang, pasrah dengan apa yang akan dilakukan pria itu. Bintang menarik nafasnya, sepertinya ia ragu. Namun, area sensitifnya itu sudah terbangun. Meskipun masih tersembunyi, Aera bisa melihat dan merasakan keinginan Bintang. Tetapi, keduanya masih menutupnya dengan rapat. Bintang mencium bibir Aera dengan lembut, mencoba menenangkan ketegangan di antara mereka. Perlahan, ciuman itu menjadi semakin dalam, menghapus keraguan yang mungkin masih ada di antara mereka. Tangan Bintang mulai menjelajahi tubuh Aera, membangkitkan sensasi yang tak terlupakan bagi dirinya. "Mas, kamu tidak akan meninggalkanku kan?" tanya Aera, sebelum mereka melangkah lebih jauh. "Tentu saja tidak, aku mencintaimu, Aera." Bintang menanggalkan celana Aera lebih dulu, dan di lanjutkan dengan melepas pakaiannya. Embusan nafas Aera yang tak beraturan, membuatnya semakin berani. Dia mulai memainkan tangannya di sekitar area sensitif Aera. Mereka terjebak dalam momen yang semakin panas, saat ini hanya ada ruang untuk kesenangan dan kenikmatan bersama. Namun, sebelum permainan mencapai puncaknya, ponsel Aera tiba-tiba saja berdering, menunjukkan nama ayahnya di layar. "Gawat, ayahku menelpon!" seru Aera dengan panik, dia segera bangun dan mengangkat panggilan dari ayahnya. "AERA, PULANG KE RUMAH SEKARANG!" ucap Ayah Aera yang terdengar sangat marah. "Tapi, Pa—" "TIDAK ADA TAPI, TAPI. PULANG ATAU TIDAK USAH PULANG SEKALIAN! SEKALI SAJA KAU TIDAK PULANG KE RUMAH, JANGAN ANGGAP PAPA SEBAGAI ORANGTUAMU LAGI.." ancam ayahnya dengan nada yang lebih keras. "Ah, tidak, Papa. Aku akan segera pulang. Aku ingin tetap menjadi putrimu!" Aera segera memungut semua pakaiannya yang ada di lantai dan memakainya dengan cepat. Dia meminta maaf pada Bintang karena tidak bisa melanjutkan. Orang tuanya tiba-tiba saja pulang dari luar kota, dia pasti akan di hukum jika membantah. "Mas Bintang, maafkan aku." Aera memeluk Bintang dengan erat. "Tidak masalah, pulanglah dan kabari aku jika terjadi sesuatu." Bintang mencium bibir Aera sebelum dia pergi. Aera segera keluar dari kamar Bintang dengan hati-hati agar tidak terlihat oleh adiknya, Moona. Sesampai di taksi, dia menerima pesan masuk dari Bintang. "CD-mu ketinggalan!" Aera tersenyum dan menepuk keningnya, kejadian tadi terasa lucu baginya. Meskipun tidak bisa melakukannya hari ini, tapi Aera tidak akan menyerah. Aera masih penasaran dan ingin merasakannya sekali seumur hidupnya. Apa yang istimewa dari sebuah pernikahan, jika orang lain bisa mendapatkannya sebelum menikah?Setelah selesai mandi, Bintang bersiap untuk turun ke bawah. Dia membuka jendela dan melihat mobil orang tuannya sudah terparkir rapi di garasi. Kedatangan Moona sebelumnya tidak membuatnya curiga, tapi kali ini dia merasakan ada sesuatu yang tak biasa.Bintang keluar dari kamarnya dan melihat ke ruang tamu. Dia berdiri di depan tangga, langkahnya terhenti saat melihat Agatha berada di antara kedua orang tuanya. Dia menarik nafasnya dan menghempaskannya perlahan. Jantungnya kembali berdebar."Mas, kenapa berdiri di sini?" seseorang menepuk bahunya.Bintang berteriak kaget, mengambil alih perhatian mereka yang sedang bicara di bawah. Dia menatap orang yang baru saja menyentuhnya dengan jengkel, dia adalah Moona. Adiknya itu selalu muncul secara tiba-tiba. Semua mata kini menatap ke arah mereka berdua yang masih berdiri di atas tangga. Kedua orang tuanya sedang duduk di sofa bersama sepasang orang tua yang baru saja Bintang lihat wajahnya. Bintang tidak mengenal siapa mereka.Bintan
Bintang merasa pikirannya kacau beberapa hari ini, terombang-ambing antara perasaannya pada Aera dan tekanan dari keluarganya untuk menikahi Agatha. Setiap kali mencoba mencari cara untuk mengatasi semua itu, ia tak menemukan jalan keluar. Hatinya selalu kembali pada Aera, wanita yang telah mendampingi dan mencintainya dengan tulus.Suatu malam, ketika pikiran Bintang semakin tak menentu, dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia berpikir untuk menemui Aera dan mengatakan semuanya dengan jujur. Namun, saat tangannya meraih ponsel untuk menghubungi Aera, pikiran itu menguap. Ia tahu, kejujuran hanya akan menyakitinya."Kenapa tidak jadi?" suara lembut di belakang memecah keheningan, membuat Bintang terkejut."Kamu, kenapa ada di sini?" tanya Bintang dengan nada tajam, tetapi kelelahan terlihat jelas di wajahnya.Agatha tampak tenang, bahkan tersenyum kepada Bintang. "Memangnya kenapa? Aku kan calon istri, Mas.""Calon istri?" Bintang kali ini menatapnya dengan serius, berjalan me
Setelah melalui berbagai macam rangkaian acara pernikahan, Agatha dan Bintang segera pergi menuju hotel yang sudah di siapkan oleh keluarganya untuk beristirahat. —Malam pertama? Apakah Bintang benar-benar akan melewatinya dengan Agatha? Apa mungkin perempuan seperti Agatha akan menyerahkan kesuciannya pada Bintang?— Pikiran-pikiran itu terus mengganggu Bintang sepanjang acara sampai tiba di hotel. Setelah selesai membersihkan diri, Agatha segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan membelakangi Bintang yang sedang membaca buku. Bintang sudah mandi lebih dulu saat Agatha menghapus riasannya. Mereka tahu apa yang akan terjadi malam ini, tapi keduanya terlihat gugup. Tiba-tiba saja, Agatha merasakan kehangatan di tubuhnya. Bintang meletakkan buku yang ada di tangannya dan memeluk Agatha dari belakang. "Sudah siap?" bisiknya di telinga Agatha. Agatha pura-pura tertidur dan tak menjawab pertanyaan dari Bintang, jantungnya berdebar lebih cepat. Dia tidak pernah merasakan get
Pintu yang terbuka menampilkan sosok Aera yang terkejut sekaligus bingung melihat Bintang dan Agatha keluar dari ruangan yang sepi. Bintang menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai berbicara kepada Aera. "Mas Bintang, ini.." Aera terlihat bingung, menatap ke arah Agatha dan Bintang. "Aera, aku bisa jelaskan semuanya." Bintang segera melepaskan tangan Agatha dari genggamannya. Bintang merasakan keringat dingin di punggungnya. Dia menatap Agatha sejenak, berharap dia akan mengambil alih situasi. Agatha tahu, ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Aera. "Ada apa, Aera?" tanya Agatha dengan suara tenang. "Aku mendengar ada percakapan serius di dalam. Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Aera, matanya menatap tajam ke arah Bintang. "Ah, itu... hanya urusan pekerjaan," kata Bintang mencoba tersenyum. "Tidak ada yang penting." "Urusan pekerjaan?" Aera mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Kenapa harus dibicarakan dengan pi
Bintang menatap pria di hadapannya, pemilik wajah tampan dan pesona luar biasa itu adalah Niko, kakak Aera. Ia memiliki tinggi sekitar 183 cm dengan postur tubuh yang tegap dan proporsional. Matanya besar dan berbinar, memberikan kesan lembut namun tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya tegas, menambah kesan menawan dalam penampilannya.Meskipun sama-sama seorang pria, tapi Bintang mengakui bahwa kakak Aera ini memiliki penampilan yang sempurna. Namun, ini adalah pertemuan pertama di antara mereka, membuat suasana terasa canggung dan berdebar."Siapa kamu?" tanya Nika, menatap Bintang tajam."Dia calon suamiku," jawab Aera."Tidak, ini salah paham." Bintang menyangkal, berusaha melepaskan pelukan Aera dari tubuhnya."Sudahlah, Mas, tidak perlu ditutupi lagi. Jika perlu, aku akan mengenalkanmu pada dunia," kata Aera."Kalau kamu bukan kekasih Aera, kenapa bisa ada di kamarnya? Apa yang kalian berdua lakukan dengan rambut basah seperti itu?" Niko menatap mereka berdua semakin curiga."Be
Selepas menerima pijatan dari Agatha, Bintang terlelap dalam tidurnya dan menyadari hari sudah mulai petang. Dia meraba-raba tempat tidurnya, mencari keberadaan Agatha. Namun, istrinya tidak ada di sampingnya.Dengan mata yang masih sedikit berat, Bintang turun dari atas tempat tidur. Dia menutup jendela kamarnya dan menemukan sebuah kertas tertempel di sana. Bintang meraih kertas itu dan tersipu."Apa suamiku sudah bangun? Lihatlah, wajah tampanmu sangat menyilaukan," tulis Agatha.Bintang meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Saat dia hendak menggosok gigi, dia menemukan kembali kertas yang menempel di cermin."Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Mas. Semoga bisa membantu menenangkan pikiran, Mas."Bintang kembali tersenyum dan menyimpan kertas itu. Ia segera masuk dan merendam tubuhnya di dalam bathub. Setelah otot-ototnya mulai meregang, Bintang segera keluar. Dia memilih baju yang akan dikenakan.Saat Bintang membuka pintu lemarinya, sudah tergantung sebuah setel
Bintang menghela napas panjang, menatap cemas ke arah pintu restoran yang baru saja dilewati Moona dan Aera. Keheningan di meja makan terasa mencekam, setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berhenti.Mama Bintang, yang duduk di seberang Bintang, meremas tangan suaminya dengan khawatir. "Bintang, ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu?" tanyanya lembut namun penuh tekanan.Agatha yang duduk di samping Bintang merasakan getaran ketegangan dari suaminya. Ia menggenggam tangan Bintang lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata. Bintang menghela napas sekali lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat."Itu Aera, teman Bintang," jawab Bintang akhirnya, berusaha meredam kecemasan keluarganya."Teman lama yang datang dengan cara seperti itu? Ada yang lebih dari sekedar teman lama, bukan?" tanya Papa Bintang dengan nada curiga.Bintang menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada keluarganya. "Dulu kami dekat, sangat dekat. Tapi sekarang,
Suara lonceng pernikahan bergema di udara, mengiringi langkah Bintang dan Agatha yang baru saja mengucapkan janji suci. Pernikahan mereka berlangsung sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, termasuk Aera. Bintang memandang Agatha dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan perasaan tertekannya."Agatha, aku tidak percaya kita akhirnya menikah," kata Bintang, mencoba terdengar tulus."Aku juga, Bintang. Ini adalah awal dari segalanya," jawab Agatha dengan penuh kebahagiaan.Namun, di balik senyumnya, Bintang merasa terjebak. Pernikahan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Malam itu, Bintang merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua tekanan. Setelah melakukan malam pertamanya dengan Agatha, Bintang pergi ke bar hotel. Dia memesan minuman, berharap bisa menenangkan pikirannya.Malam semakin larut, namun Bintang masih belum meninggalkan bar. Bintang merasa tekanan pernikahannya untuk sesaat terlupakan, namun bayangan tentang Aera masih ter
"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks
Aera menutup pintu rumahnya dengan keras, membiarkan suara gemuruh menggema di seluruh rumah. Dia merasa seolah-olah dunia telah menamparnya keras-keras. Di ruang tamu, dia melempar tasnya ke sofa, lalu duduk dengan mata terpejam, mencoba meredakan badai emosi yang berputar di dalam dirinya.Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, kenangan-kenangan bersama Rocky mulai berkelebat di benaknya. Mereka dulunya adalah sahabat baik. Mereka berbagi segala hal—dari rahasia terdalam hingga mimpi-mimpi terbesar. Namun, segalanya berubah ketika Aera mengenal Bintang di kampusnya. Persahabatan mereka terasa semakin jauh seiring dengan berkembangnya perasaan Aera terhadap Bintang.Aera mengingat saat-saat bahagia di masa lalu ketika mereka pertama kali bertemu. Senyuman hangat Rocky, sentuhan lembutnya, dan canda tawa yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang jauh, hilang di balik awan kelabu masalah yang kini mereka hadapi.Dia mengingat saat mereka berjalan di taman, tangan mereka
Gio tahu bahwa ibunya tidak benar-benar fokus saat bermain dengannya. Meskipun dia masih kecil, dia bisa merasakan kesedihan yang terselubung di balik senyum ibunya. Dengan cepat, dia mencari cara untuk membuat Agatha tertawa."Mama, lihat ini!" serunya dengan antusias.Gio berlari ke kamarnya dan kembali dengan memakai topi besar dan kacamata hitam yang terlalu besar untuk wajahnya. Dia mulai berakting seperti detektif, berkeliling ruang main dengan gaya lucu sambil berbicara dengan suara dalam, "Hmm, sepertinya ada kasus besar di sini! Siapa yang mencuri senyuman Mama?"Agatha tidak bisa menahan tawa melihat aksi Gio yang menggemaskan. Gelak tawanya akhirnya pecah, membebaskan sebagian beban di hatinya.Dia meraih Gio dan memeluknya erat. "Kamu memang detektif yang hebat, Gio. Terima kasih sudah membuat Mama tertawa."Gio tersenyum lebar, senang melihat ibunya bahagia. "Apa pun buat Mama. Aku cinta Mama."Agatha mencium pipi Gio dan berkata dengan lembut, "Mama juga cinta kamu, saya
Niko dan Rocky kembali ke Indonesia dengan perasaan kecewa dan tangan kosong. Setelah berminggu-minggu mencari di Amerika, mereka tidak berhasil menemukan jejak Pak Jinwoo. Setibanya di rumah, wajah mereka tampak lelah dan penuh kekhawatiran.Di ruang tamu rumah besar Agatha, Bintang, Agatha, dan Detektif Arif sudah menunggu mereka. Melihat wajah Niko dan Rocky, mereka tahu bahwa misi itu tidak berhasil."Bintang, Agatha, kami sudah mencari di berbagai tempat di Amerika, termasuk Kanada dan Paris. Tapi Pak Jinwoo sepertinya menggunakan identitas palsu dan berhasil mengelabui kami," kata Niko, menundukkan kepalanya.Rocky menghela napas panjang. "Kami tidak menemukan apa-apa, hanya jejak yang hilang."Agatha yang duduk di sebelah Bintang mencoba tetap tenang. "Yang penting kalian sudah berusaha keras. Kita harus mencari cara lain untuk menemukannya."Bintang menggenggam tangan Agatha erat, memberikan kekuatan pada istrinya. "Kita akan terus mencari, tidak akan berhenti sampai kita mene