Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
"Mas pacar!" seru seorang gadis dari tepi lapangan.Panggilan itu sudah tak asing lagi di telinga Bintang. Aera berlari dari kejauhan menuju ke arahnya, dengan penuh semangat gadis itu memberikannya sebotol air mineral dan mengelap keringat di wajahnya.Sudah hampir tiga tahun mereka berpacaran, Bintang tidak tahu kenapa dia bisa menerima cinta gadis manja ini. Setiap kali bersamanya, Bintang seperti sedang mengurus seorang bayi. Anehnya, sikap Aera yang menggemaskan dan kekanak-kanakan justru membuatnya semakin jatuh hati pada Aera.Sebenarnya, adiknya Moona tidak begitu menyukai Aera sebagai kekasihnya. Katanya, "ngapain pacaran sama bocil?". Tetapi Bintang tidak peduli, baginya Aera adalah gadis yang paling dia sayang."Mau makan apa, aku yang traktir hari ini," ucap Aera bersemangat."Tidak, biar aku saja. Aku punya banyak uang," kata Bintang."Benar, Mas kan sudah selayaknya memberiku nafkah," kata Aera menyindir."Seharusnya kamu juga memasak untukku setiap hari, dan mem
"Masuk," kata Bintang setelah menggunakan kembali kemejanya.Bintang meraih minuman di atas meja dan meminumnya sampai habis, ia terlihat berkeringat dan gugup. Aera juga merasakan hal yang sama. Jantungnya sejak tadi tak mau berhenti berdebar karena hampir kehilangan kesuciannya.Mereka kembali menoleh ke arah pintu, tampaklah seorang gadis dengan penampilan yang memukau, memiliki kecantikan yang klasik dan elegan. Rambut hitamnya yang panjang mengalir lembut seperti sutra, membingkai wajahnya yang sempurna. Matanya yang besar dan kulitnya yang putih, menunjukkan kelembutan namun juga ketegasan.Bintang memperhatikannya tanpa berkedip, membuat Aera terbakar api cemburu. Aera segera berdiri, dan menghampiri gadis itu yang masih berdiri di luar."Siapa kamu?" tanya Aera."Perkenalkan, saya Agatha. Apa benar ini rumah Mas Bintang?" tanya gadis itu."Apa katamu? Mas Bintang? Bisakah kamu memanggil dia lebih sopan, Pak Bintang!" kata Aera dengan keras."Baiklah, Pak Bintang, bisa k
Setelah selesai mandi, Bintang bersiap untuk turun ke bawah. Dia membuka jendela dan melihat mobil orang tuannya sudah terparkir rapi di garasi. Kedatangan Moona sebelumnya tidak membuatnya curiga, tapi kali ini dia merasakan ada sesuatu yang tak biasa.Bintang keluar dari kamarnya dan melihat ke ruang tamu. Dia berdiri di depan tangga, langkahnya terhenti saat melihat Agatha berada di antara kedua orang tuanya. Dia menarik nafasnya dan menghempaskannya perlahan. Jantungnya kembali berdebar."Mas, kenapa berdiri di sini?" seseorang menepuk bahunya.Bintang berteriak kaget, mengambil alih perhatian mereka yang sedang bicara di bawah. Dia menatap orang yang baru saja menyentuhnya dengan jengkel, dia adalah Moona. Adiknya itu selalu muncul secara tiba-tiba. Semua mata kini menatap ke arah mereka berdua yang masih berdiri di atas tangga. Kedua orang tuanya sedang duduk di sofa bersama sepasang orang tua yang baru saja Bintang lihat wajahnya. Bintang tidak mengenal siapa mereka.Bintan
Bintang merasa pikirannya kacau beberapa hari ini, terombang-ambing antara perasaannya pada Aera dan tekanan dari keluarganya untuk menikahi Agatha. Setiap kali mencoba mencari cara untuk mengatasi semua itu, ia tak menemukan jalan keluar. Hatinya selalu kembali pada Aera, wanita yang telah mendampingi dan mencintainya dengan tulus.Suatu malam, ketika pikiran Bintang semakin tak menentu, dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia berpikir untuk menemui Aera dan mengatakan semuanya dengan jujur. Namun, saat tangannya meraih ponsel untuk menghubungi Aera, pikiran itu menguap. Ia tahu, kejujuran hanya akan menyakitinya."Kenapa tidak jadi?" suara lembut di belakang memecah keheningan, membuat Bintang terkejut."Kamu, kenapa ada di sini?" tanya Bintang dengan nada tajam, tetapi kelelahan terlihat jelas di wajahnya.Agatha tampak tenang, bahkan tersenyum kepada Bintang. "Memangnya kenapa? Aku kan calon istri, Mas.""Calon istri?" Bintang kali ini menatapnya dengan serius, berjalan me
Setelah melalui berbagai macam rangkaian acara pernikahan, Agatha dan Bintang segera pergi menuju hotel yang sudah di siapkan oleh keluarganya untuk beristirahat. —Malam pertama? Apakah Bintang benar-benar akan melewatinya dengan Agatha? Apa mungkin perempuan seperti Agatha akan menyerahkan kesuciannya pada Bintang?— Pikiran-pikiran itu terus mengganggu Bintang sepanjang acara sampai tiba di hotel. Setelah selesai membersihkan diri, Agatha segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan membelakangi Bintang yang sedang membaca buku. Bintang sudah mandi lebih dulu saat Agatha menghapus riasannya. Mereka tahu apa yang akan terjadi malam ini, tapi keduanya terlihat gugup. Tiba-tiba saja, Agatha merasakan kehangatan di tubuhnya. Bintang meletakkan buku yang ada di tangannya dan memeluk Agatha dari belakang. "Sudah siap?" bisiknya di telinga Agatha. Agatha pura-pura tertidur dan tak menjawab pertanyaan dari Bintang, jantungnya berdebar lebih cepat. Dia tidak pernah merasakan get