Setelah melalui berbagai macam rangkaian acara pernikahan, Agatha dan Bintang segera pergi menuju hotel yang sudah di siapkan oleh keluarganya untuk beristirahat. —Malam pertama? Apakah Bintang benar-benar akan melewatinya dengan Agatha? Apa mungkin perempuan seperti Agatha akan menyerahkan kesuciannya pada Bintang?— Pikiran-pikiran itu terus mengganggu Bintang sepanjang acara sampai tiba di hotel.
Setelah selesai membersihkan diri, Agatha segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan membelakangi Bintang yang sedang membaca buku. Bintang sudah mandi lebih dulu saat Agatha menghapus riasannya. Mereka tahu apa yang akan terjadi malam ini, tapi keduanya terlihat gugup. Tiba-tiba saja, Agatha merasakan kehangatan di tubuhnya. Bintang meletakkan buku yang ada di tangannya dan memeluk Agatha dari belakang. "Sudah siap?" bisiknya di telinga Agatha. Agatha pura-pura tertidur dan tak menjawab pertanyaan dari Bintang, jantungnya berdebar lebih cepat. Dia tidak pernah merasakan getaran seperti itu sebelumnya, bahkan saat pertama kali jatuh cinta kepada Bintang. Mungkinkah karena status mereka sekarang sudah berubah, dan tidak ada lagi batas di antara mereka? Bintang melepaskan pelukannya dari tubuh Agatha, dia mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. Kemudian, Agatha membuka matanya perlahan karena tidak lagi merasakan keberadaannya Bintang di sampingnya. Dia melihat Bintang tertidur di sofa. "Mas, kenapa tidur di situ?" tanya Agatha bingung. "Tidak apa-apa, aku tidur di sini saja," jawab Bintang tanpa membuka mata. "Kenapa? Mas tidak suka ya tidur sama aku, atau Mas punya pikiran jelek dan merasa aku tidak pantas untuk tidur dengan Mas?" ucap Agatha, tidak menyadari apa yang baru saja dikatakannya, karena tiba-tiba merasa cemburu pada Aera. "St, kok kamu bicara seperti itu?" Bintang beranjak dari sofa dan berjalan mendekatinya. "Terus kenapa?" tanya Agatha, mulai gugup. Bintang meraih tangan Agatha dan meletakkannya di dada bidangnya itu, Agatha merasakan detak jantung Bintang yang berdebar. "Kamu tidak tahu kan, seberapa gugup aku malam ini?" tanya Bintang, menatap Agatha dengan lembut. "Aku juga sama, Mas." Agatha menunduk, mereka berdua duduk berdampingan di samping tempat tidur. "Aku tidak pernah tidur dengan perempuan," ucap Bintang dengan jujur. "Ha, benarkah? Aku yakin, Mas pasti pernah melakukannya, setidaknya dengan pacar Mas. Aku melihatnya saat itu," kata Agatha, mengingat pertemuan pertamanya dengan Aera di rumah Bintang. Bintang menatap Agatha dan mencium bibirnya secara mendadak, ia memeluk Agatha dengan erat. Agatha merasakan kehangatan dan kelembutan, membuatnya merasa sedikit tenang. "Ada banyak kesempatan, tetapi aku tidak pernah berani untuk menyentuhnya. Bagiku dia begitu berharga, untuk aku yang tidak pernah memberikannya kepastian tentang hubungan kami berdua. Agatha, apa kamu benar-benar mencintaiku?" tanya Bintang, melepas pelukannya dan menatap Agatha. "Ya, aku mencintaimu, Mas Bintang." Bintang kembali mencium bibir Agatha, kali ini suasana semakin panas. Dia mendorong tubuh Agatha ke atas tempat tidur dan menimpanya. Saat kedua mata mereka bertemu, mereka mulai merasakan cinta yang sesungguhnya. Setiap sentuhan yang Bintang berikan membuat Agatha semakin tak berdaya. Bahkan, saat Bintang menanggalkan semua pakaiannya, dia hanya terdiam pasrah. Saat Bintang mulai turun mencium bagian lehernya, Agatha menghela nafas geli. Namun, helaan nafas Agatha membuat Bintang semakin membuas. Dia mulai menelusuri bagian sensitif lainnya. Dia merasa jiwanya semakin membara ketika melihat lekuk tubuh Agatha yang begitu sempurna. "Ah, Mas," Tubuh Agatha bergetar, ketika milik Bintang mulai memasuki benteng pertahanannya. Dengan lembut, Bintang kembali mencium bibir Agatha. Mereka merasakan sensasi yang tidak biasa, apalagi setelah Bintang berhasil memecah kesucian Agatha. Bintang menghapus air mata Agatha yang jatuh ke pipinya, Bintang tahu ini tidak mudah. Agatha beberapa kali mendorong tubuh Bintang perlahan, namun berusaha kembali untuk membuka kedua kakinya dengan lebih percaya diri. "Lakukan pelan-pelan," bisik Agatha di telinga Bintang dengan suara lirih. "Maafkah aku, Agatha. Aku akan lebih lembut," kata Bintang. Agatha tidak tahu harus menggambarkannya dengan perasaan apa, rasanya sakit, tapi tidak sesakit yang di bayangkan. Agatha sudah berusaha untuk tidak bersuara, tetapi teriakkan itu akhirnya keluar juga dari mulutnya. Bintang merasakan suatu kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuhnya dan melupakan Aera beberapa saat dari pikirannya. Apalagi setelah berhasil mencapai puncaknya, Bintang seolah lupa diri. Sensasi itu sudah tidak bisa di kendalikan lagi oleh akal normalnya. Ketika sensasi itu kian menguat, tubuh Agatha semakin bergetar di tempat tidur, tangannya mencengkeram kedua bahu Bintang kuat-kuat, meronta di bawah tekanan tubuh kekar suaminya. Beberapa saat kemudian, mereka merasakan sesuatu keluar secara bersamaan dari miliknya. "Agatha, terima kasih." Bintang mengecup kening Agatha, dan membaringkan tubuhnya yang kelelahan di sampingnya. "Itu sudah kewajibanku," jawab Agatha, mencoba meluruskan kakinya yang masih bergetar. "Agatha, kalau kamu hamil bagaimana?" tanya Bintang, mulai memikirkan akibat dari perbuatannya. "Memangnya kenapa? Aku kan punya suami," ucap Agatha. "Kamu tidak akan menyesalinya kan?" tanya Bintang. "Selama kamu bersamaku, aku tidak akan menyesali apa pun." Mereka berdua kembali berciuman dan tertidur karena kelelahan malam itu. Semuanya benar-benar terasa seperti mimpi bagi Bintang, sekarang dia sudah menjadi seorang suami, lantas bagaimana dengan Aera? Bagaimana kabarnya? *** "Mas pacar.." Suara panggilan itu, akhirnya terdengar lagi di telinga Bintang setelah beberapa hari belakangan ini menghilang. Aera melambaikan tangannya dan berlari ke arah Bintang yang baru saja turun dari mobil. Aera memeluknya dengan erat, sambil menghujaninya dengan pertanyaan yang begitu banyak. "Mas, kamu ke mana saja? Kenapa tidak bisa di hubungi? Aku sampai datang ke rumahmu, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Ya! Ke mana Mas pergi beberapa minggu ini?" tanya Aera, dengan banyak pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Aera masih tak mau melepaskan pelukannya. Bintang dapat merasakan kekhawatiran dalam diri Aera, namun dia tidak bisa menjelaskan apa-apa. "Aera, ayo kita masuk dulu!" Bintang menarik tangan Aera, karena mereka menjadi pusat perhatian. "Mas, kamu tampan sekali hari ini." Aera mencium pipi Bintang. Seperti biasa, dia tidak peduli dengan sekitar. "Aera, jangan lakukan itu," wajah Bintang memerah. "Kenapa? Aku ingin memberi tahu pada dunia bahwa Mas Bintang adalah milikku, Aera!" ucap Aera sambil menatap Bintang tulus. "Aera, ini masih pagi, berhentilah menggodaku!" seru Bintang, tersipu malu. Mereka berdua masuk ke dalam kelas dan kembali berpisah karena Aera punya kelas tambahan. Aera tersenyum dan melambaikan tangannya pada Bintang, begitu pun sebaliknya. Namun, Bintang masih memikirkan bagaimana caranya supaya dia bisa berpisah dengan Aera tanpa harus menyakitinya. Saat Bintang merapikan mejanya, tiba-tiba saja Agatha masuk ke dalam kelasnya. Agatha menunggu semua orang untuk bubar, sehingga hanya meninggalkan dia dan Bintang di dalam ruangan itu. Setelah memastikan semua orang keluar, Agatha mengunci pintu. "Ada apa, Agatha?" tanya Bintang, menatap perempuan di hadapannya dengan bingung. "Aku ingin bicara berdua dengan, Mas," jawab Agatha, berjalan mendekati Bintang. "Tapi ini kampus, apa kita tidak bisa bicara di rumah?" Bintang menatap keluar, khawatir akan ada yang melihat. "Apa yang kamu cemaskan, Aera?" Agatha menarik kursi dan duduk menghadap Bintang yang masih berdiri. Bintang terlihat gugup, sementara Agatha tampak tenang. Hubungan Aera dan Bintang yang belum selesai, membuat situasi menjadi rumit di antara mereka. "Agatha, kami belum putus. Semua orang di kampus ini tahu bahwa kami menjalin hubungan," kata Bintang. "Aku tidak pernah mengatakan, bahwa aku meminta kalian untuk putus secepatnya. Mas masih bisa berhubungan dengannya, jika itu membuat Mas bahagia." Agatha menatap Bintang dengan tulus. "Apa maksudmu? Kamu tidak marah?" "Bukankah kamu menikah denganku hanya karena terpaksa? Aku bisa melihat dengan jelas, ada cinta yang begitu besar di antara kalian berdua. Sulit kan, mencintai orang baru sepertiku?" Agatha menghela nafas berat, berusaha menyembunyikan sesak di dadanya. Bintang merasa terpojok dengan pertanyaan Agatha. Namun, Bintang merasa lega karena Agatha tidak mendesaknya untuk segera mengungkapkan kebenaran kepada Aera. "Aku rasa, ini hanya tentang waktu." Bintang meraih tangan Agatha. "Habiskan semua waktu yang kamu punya bersamanya, karena setelah lulus kuliah mama dan papa ingin kita berdua pindah. Aku berharap, saat itu kamu bisa mengubur semua kenangan bersamanya dan mencintaiku tanpa keterpaksaan." Agatha menundukkan kepalanya, menahan air matanya yang hampir menetes. Bintang meraih tangan Agatha dan menatapnya dengan sedikit kesal. Dia tidak mengerti bagaimana Agatha bisa menerima semua ini, dan kenapa Agatha tidak menunjukkan rasa cemburu atau marah. "Agatha, setiap hari kamu selalu mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Mana mungkin kamu tidak merasa cemburu, melihat suamimu bersama orang lain?" tanya Bintang, sedikit menekankan ucapannya. "Bukan soal cinta tidak cinta, Mas. Tetapi, aku tidak mau jadi penghalang kebahagiaanmu hanya karena status kita suami istri sekarang. Kamu berhak melakukan apa yang kamu suka," kata Agatha, suaranya bergetar. Bintang berpikir keras, sebelum membalas ucapan Agatha. Dia tidak menyangka, kalimat itu akan keluar dari seorang perempuan yang begitu dia percaya. "Kenapa baru sekarang kamu berpikir seperti itu? Kenapa tidak sejak awal, kamu membuka mulut dan batalkan perjodohan kita!" Mata Bintang menatap ke arah Agatha yang masih menunduk, menuntut jawaban yang memuaskan. Agatha masih terdiam, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang terus berkecamuk. "Mas, aku tidak bisa hamil," ucap Agatha, memberanikan diri untuk menatap Bintang. Ketika air mata mulai menetes, membasahi pipi Agatha, Bintang mulai mengerti arah pembicaraannya. Bintang meraih Agatha ke dalam pelukannya, dia memberikan ciuman yang hangat dan lembut. Bintang tahu ini bukan saat yang tepat, namun dia berusaha menenangkan hati istrinya. "Kita pulang saja, ya!" Bintang menggenggam tangan Agatha, dan berjalan ke arah pintu. Ketika pintu terbuka, Bintang dan Agatha terkejut melihat Aera berdiri di hadapan mereka. Hati Bintang berdegup kencang, khawatir bahwa Aera mendengar pembicaraan mereka. Apakah ini akan menjadi awal dari masalah yang lebih besar?Pintu yang terbuka menampilkan sosok Aera yang terkejut sekaligus bingung melihat Bintang dan Agatha keluar dari ruangan yang sepi. Bintang menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai berbicara kepada Aera. "Mas Bintang, ini.." Aera terlihat bingung, menatap ke arah Agatha dan Bintang. "Aera, aku bisa jelaskan semuanya." Bintang segera melepaskan tangan Agatha dari genggamannya. Bintang merasakan keringat dingin di punggungnya. Dia menatap Agatha sejenak, berharap dia akan mengambil alih situasi. Agatha tahu, ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Aera. "Ada apa, Aera?" tanya Agatha dengan suara tenang. "Aku mendengar ada percakapan serius di dalam. Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Aera, matanya menatap tajam ke arah Bintang. "Ah, itu... hanya urusan pekerjaan," kata Bintang mencoba tersenyum. "Tidak ada yang penting." "Urusan pekerjaan?" Aera mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Kenapa harus dibicarakan dengan pi
Bintang menatap pria di hadapannya, pemilik wajah tampan dan pesona luar biasa itu adalah Niko, kakak Aera. Ia memiliki tinggi sekitar 183 cm dengan postur tubuh yang tegap dan proporsional. Matanya besar dan berbinar, memberikan kesan lembut namun tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya tegas, menambah kesan menawan dalam penampilannya.Meskipun sama-sama seorang pria, tapi Bintang mengakui bahwa kakak Aera ini memiliki penampilan yang sempurna. Namun, ini adalah pertemuan pertama di antara mereka, membuat suasana terasa canggung dan berdebar."Siapa kamu?" tanya Nika, menatap Bintang tajam."Dia calon suamiku," jawab Aera."Tidak, ini salah paham." Bintang menyangkal, berusaha melepaskan pelukan Aera dari tubuhnya."Sudahlah, Mas, tidak perlu ditutupi lagi. Jika perlu, aku akan mengenalkanmu pada dunia," kata Aera."Kalau kamu bukan kekasih Aera, kenapa bisa ada di kamarnya? Apa yang kalian berdua lakukan dengan rambut basah seperti itu?" Niko menatap mereka berdua semakin curiga."Be
Selepas menerima pijatan dari Agatha, Bintang terlelap dalam tidurnya dan menyadari hari sudah mulai petang. Dia meraba-raba tempat tidurnya, mencari keberadaan Agatha. Namun, istrinya tidak ada di sampingnya.Dengan mata yang masih sedikit berat, Bintang turun dari atas tempat tidur. Dia menutup jendela kamarnya dan menemukan sebuah kertas tertempel di sana. Bintang meraih kertas itu dan tersipu."Apa suamiku sudah bangun? Lihatlah, wajah tampanmu sangat menyilaukan," tulis Agatha.Bintang meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Saat dia hendak menggosok gigi, dia menemukan kembali kertas yang menempel di cermin."Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Mas. Semoga bisa membantu menenangkan pikiran, Mas."Bintang kembali tersenyum dan menyimpan kertas itu. Ia segera masuk dan merendam tubuhnya di dalam bathub. Setelah otot-ototnya mulai meregang, Bintang segera keluar. Dia memilih baju yang akan dikenakan.Saat Bintang membuka pintu lemarinya, sudah tergantung sebuah setel
Bintang menghela napas panjang, menatap cemas ke arah pintu restoran yang baru saja dilewati Moona dan Aera. Keheningan di meja makan terasa mencekam, setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berhenti.Mama Bintang, yang duduk di seberang Bintang, meremas tangan suaminya dengan khawatir. "Bintang, ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu?" tanyanya lembut namun penuh tekanan.Agatha yang duduk di samping Bintang merasakan getaran ketegangan dari suaminya. Ia menggenggam tangan Bintang lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata. Bintang menghela napas sekali lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat."Itu Aera, teman Bintang," jawab Bintang akhirnya, berusaha meredam kecemasan keluarganya."Teman lama yang datang dengan cara seperti itu? Ada yang lebih dari sekedar teman lama, bukan?" tanya Papa Bintang dengan nada curiga.Bintang menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada keluarganya. "Dulu kami dekat, sangat dekat. Tapi sekarang,
Suara lonceng pernikahan bergema di udara, mengiringi langkah Bintang dan Agatha yang baru saja mengucapkan janji suci. Pernikahan mereka berlangsung sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, termasuk Aera. Bintang memandang Agatha dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan perasaan tertekannya."Agatha, aku tidak percaya kita akhirnya menikah," kata Bintang, mencoba terdengar tulus."Aku juga, Bintang. Ini adalah awal dari segalanya," jawab Agatha dengan penuh kebahagiaan.Namun, di balik senyumnya, Bintang merasa terjebak. Pernikahan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Malam itu, Bintang merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua tekanan. Setelah melakukan malam pertamanya dengan Agatha, Bintang pergi ke bar hotel. Dia memesan minuman, berharap bisa menenangkan pikirannya.Malam semakin larut, namun Bintang masih belum meninggalkan bar. Bintang merasa tekanan pernikahannya untuk sesaat terlupakan, namun bayangan tentang Aera masih ter
Setelah kejadian di restoran itu, Bintang merasa terpukul dan hancur. Tamparan Aera bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga membekas dalam hatinya, membuatnya sadar betapa dalam ia telah melukai seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya.Selama beberapa hari berikutnya, Bintang merasakan kehampaan yang mendalam. Ia mencoba menghubungi Aera, mengirim pesan-pesan panjang penuh penyesalan dan permintaan maaf, namun tak satu pun dari pesannya mendapat balasan. Setiap panggilan teleponnya diabaikan, dan setiap kali ia mencoba menemui Aera, ia selalu dihindari.Bintang mulai merenung dan menyesali semua tindakannya. Ia sadar bahwa keputusannya yang salah telah menghancurkan hubungan mereka, Bintang tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Malam itu, Bintang bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Agatha."Agatha, ada yang harus kita bicarakan," kata Bintang dengan suara berat.Agatha yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku, segera menutup bukuny
Bintang berdiri di depan pintu dengan napas tersengal-sengal, wajahnya penuh tekad meski hatinya masih merasa bersalah. Ia menatap keluarga Aera dengan penuh penyesalan.Pak Jerry berbalik menghadap Bintang dengan mata yang berkobar-kobar. "Apa kau pikir ini lelucon? Kau datang ke rumahku setelah menghancurkan hidup anakku dan mengharapkan kami akan menerimamu begitu saja? Jangan mimpi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Bintang menelan ludah dan mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Saya tahu saya telah melakukan kesalahan besar, tapi saya tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Saya akan menikahi Aera secepatnya."Aera yang duduk di meja makan mulai menangis lagi, merasa lega sekaligus tertekan dengan situasi yang terjadi. Bu Liana memeluk Aera, mencoba menenangkannya.Pak Jerry mendekati Bintang dengan wajah yang penuh kemarahan. "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau akan menikahi Aera? Kau sudah memiliki istri! Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Matahari sore masih enggan beranjak dari langit ketika telepon rumah Pak Johan dan Bu Gita (kedua orang tua Bintang) berdering nyaring, memecah kesunyian yang nyaman. Bu Gita, yang sedang merapikan meja makan, segera menghampiri telepon yang terletak di sudut ruang tamu."Halo, selamat sore," sapanya lembut."Sore, Bu Gita. Ini saya, Shinta, ibu Agatha," suara di ujung telepon terdengar tegang."Oh, Bu Shinta, apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?" Bu Gita merasa ada sesuatu yang serius dari nada suara Bu Shinta."Saya perlu berbicara dengan Anda dan Pak Johan, mengenai sesuatu yang sangat penting. Bisakah Anda berdua datang ke rumah kami malam ini?" permintaan itu terdengar mendesak.Bu Gita sedikit terkejut, tapi ia mencoba tetap tenang. "Tentu, Bu Shinta. Kami akan ke sana segera. Apakah ada sesuatu yang terjadi?""Lebih baik kita bicarakan langsung saja, Bu Gita. Terima kasih, kami tunggu kedatangannya," jawab Bu Shinta sebelum menutup telepon.Bu Gita meletakkan gagang tele
"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks
Aera menutup pintu rumahnya dengan keras, membiarkan suara gemuruh menggema di seluruh rumah. Dia merasa seolah-olah dunia telah menamparnya keras-keras. Di ruang tamu, dia melempar tasnya ke sofa, lalu duduk dengan mata terpejam, mencoba meredakan badai emosi yang berputar di dalam dirinya.Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, kenangan-kenangan bersama Rocky mulai berkelebat di benaknya. Mereka dulunya adalah sahabat baik. Mereka berbagi segala hal—dari rahasia terdalam hingga mimpi-mimpi terbesar. Namun, segalanya berubah ketika Aera mengenal Bintang di kampusnya. Persahabatan mereka terasa semakin jauh seiring dengan berkembangnya perasaan Aera terhadap Bintang.Aera mengingat saat-saat bahagia di masa lalu ketika mereka pertama kali bertemu. Senyuman hangat Rocky, sentuhan lembutnya, dan canda tawa yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang jauh, hilang di balik awan kelabu masalah yang kini mereka hadapi.Dia mengingat saat mereka berjalan di taman, tangan mereka
Gio tahu bahwa ibunya tidak benar-benar fokus saat bermain dengannya. Meskipun dia masih kecil, dia bisa merasakan kesedihan yang terselubung di balik senyum ibunya. Dengan cepat, dia mencari cara untuk membuat Agatha tertawa."Mama, lihat ini!" serunya dengan antusias.Gio berlari ke kamarnya dan kembali dengan memakai topi besar dan kacamata hitam yang terlalu besar untuk wajahnya. Dia mulai berakting seperti detektif, berkeliling ruang main dengan gaya lucu sambil berbicara dengan suara dalam, "Hmm, sepertinya ada kasus besar di sini! Siapa yang mencuri senyuman Mama?"Agatha tidak bisa menahan tawa melihat aksi Gio yang menggemaskan. Gelak tawanya akhirnya pecah, membebaskan sebagian beban di hatinya.Dia meraih Gio dan memeluknya erat. "Kamu memang detektif yang hebat, Gio. Terima kasih sudah membuat Mama tertawa."Gio tersenyum lebar, senang melihat ibunya bahagia. "Apa pun buat Mama. Aku cinta Mama."Agatha mencium pipi Gio dan berkata dengan lembut, "Mama juga cinta kamu, saya
Niko dan Rocky kembali ke Indonesia dengan perasaan kecewa dan tangan kosong. Setelah berminggu-minggu mencari di Amerika, mereka tidak berhasil menemukan jejak Pak Jinwoo. Setibanya di rumah, wajah mereka tampak lelah dan penuh kekhawatiran.Di ruang tamu rumah besar Agatha, Bintang, Agatha, dan Detektif Arif sudah menunggu mereka. Melihat wajah Niko dan Rocky, mereka tahu bahwa misi itu tidak berhasil."Bintang, Agatha, kami sudah mencari di berbagai tempat di Amerika, termasuk Kanada dan Paris. Tapi Pak Jinwoo sepertinya menggunakan identitas palsu dan berhasil mengelabui kami," kata Niko, menundukkan kepalanya.Rocky menghela napas panjang. "Kami tidak menemukan apa-apa, hanya jejak yang hilang."Agatha yang duduk di sebelah Bintang mencoba tetap tenang. "Yang penting kalian sudah berusaha keras. Kita harus mencari cara lain untuk menemukannya."Bintang menggenggam tangan Agatha erat, memberikan kekuatan pada istrinya. "Kita akan terus mencari, tidak akan berhenti sampai kita mene