Bintang menatap pria di hadapannya, pemilik wajah tampan dan pesona luar biasa itu adalah Niko, kakak Aera. Ia memiliki tinggi sekitar 183 cm dengan postur tubuh yang tegap dan proporsional. Matanya besar dan berbinar, memberikan kesan lembut namun tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya tegas, menambah kesan menawan dalam penampilannya.
Meskipun sama-sama seorang pria, tapi Bintang mengakui bahwa kakak Aera ini memiliki penampilan yang sempurna. Namun, ini adalah pertemuan pertama di antara mereka, membuat suasana terasa canggung dan berdebar. "Siapa kamu?" tanya Nika, menatap Bintang tajam. "Dia calon suamiku," jawab Aera. "Tidak, ini salah paham." Bintang menyangkal, berusaha melepaskan pelukan Aera dari tubuhnya. "Sudahlah, Mas, tidak perlu ditutupi lagi. Jika perlu, aku akan mengenalkanmu pada dunia," kata Aera. "Kalau kamu bukan kekasih Aera, kenapa bisa ada di kamarnya? Apa yang kalian berdua lakukan dengan rambut basah seperti itu?" Niko menatap mereka berdua semakin curiga. "Benar, aku sudah sering membawanya ke rumah secara diam-diam." Aera terus menjawab, tak memberikan ruang pada Bintang untuk bicara. "Aku sungguh minta maaf atas kekacauan ini. Tapi tidak ada yang terjadi di antara kami," ucap Bintang, berusaha menjelaskan dengan tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Niko menatap Bintang dengan tajam, mencoba memilah antara kata-kata dan ekspresi wajah Bintang yang berusaha meyakinkan. "Apa kamu yakin tidak ada yang terjadi? Aku tidak akan membiarkan adikku terluka. Kau tidak sedang mempermainkannya kan?" tanya Niko dengan nada tegas, memberikan kesempatan pada Bintang untuk membuktikan bahwa dia tidak punya niat buruk. Bintang menelan ludah, merasa tertekan oleh situasi yang rumit ini. Dia tidak bisa menjelaskan dalam kekacauan ini, bahwa hatinya sudah terjebak dalam perasaan yang rumit untuk Aera. Tetapi dia juga tidak mungkin mengatakan di hadapan Aera, bahwa mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. "Mas, sudahlah, jangan buat Mas Bintang merasa tidak nyaman. Mana pesananku?" Aera mencari sesuatu di tangan kakaknya. "Aku, aku lupa membelinya," jawab Niko. "Menyebalkan," gerutu Aera. "Aku harus segera pergi," kata Bintang. "Mas, aku akan mengantarmu." Aera meraih tangan Bintang dan membawanya pergi. Mereka berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Niko yang masih berdiri di tempat dengan bingung. Di luar rumah, Bintang menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati dan pikirannya. "Aera, apa yang kau lakukan? Kenapa kau bersikap seperti itu?" tanya Bintang, mencoba menahan rasa kesalnya. "Aku hanya ingin melindungimu," jawab Aera dengan lembut. "Mas Niko memang sedikit keras kepala, tapi dia akan mengerti suatu saat nanti." "Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan pada kakakmu? Sudah kubilang, berhenti mengambil keputusan secara sepihak dan bicara omong kosong soal suami istri, pernikahan dan lainnya." Bintang menatap Aera, berusaha membuatnya mengerti dengan tegas. "Mas, kau banyak berubah sekarang. Kau membuatku semakin gila!" teriak Aera dengan kesal. "Aku akan pulang, kita bicarakan ini nanti." Bintang melangkah pergi. "Tidak! Kau sudah janji akan mengajakku berjalan-jalan." Aera menahan langkah Bintang dan kembali memeluknya dengan erat. "Aera, sudah kubilang aku perlu pergi. Tolong, lepaskan!" ucap Bintang, mencoba memperjelas maksudnya. Bintang menatap Aera dengan tatapan keputusasaan. Namun, Aera tetap keras kepala dan memaksa Bintang untuk tetap tinggal. Tubuh Bintang menegang, ketidaknyamanan semakin terasa dalam dirinya. "Lepas," ucap Bintang dengan pelan, namun penuh penekanan. "Tidak!" "Aera!" seru Bintang, sambil mendorong tubuh Aera dengan kuat. Plak! Tanpa sadar tangan Aera meluncur dan sebuah tamparan terlepas dari jari-jarinya, mendarat dengan keras di pipi Bintang. Kedua mata mereka terbelalak, terkejut oleh tindakan yang terjadi begitu cepat. "Maafkan aku," bisik Aera dengan suara yang hampir tidak terdengar. Aera menatap Bintang dengan air mata yang menetes ke pipinya. Rasa bersalah mulai menyelimuti dirinya. Dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti Bintang, tapi ketegangan dan kecemasan membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Baginya, Bintang yang saat ini berada di hadapannya sudah bukan lagi Bintang yang dulu dia kenal. Dia meninggalkan Bintang, dan masuk ke dalam rumah dengan penuh kekecewaan. Bintang berdiri di tempatnya dengan perasaan hampa. Ia tahu ada banyak hal yang perlu diselesaikan antara dirinya dan Aera, namun situasi ini hanya membuat semuanya semakin rumit. Dengan berat hati, ia melangkah pergi, meninggalkan rumah Aera dengan pikiran yang berkecamuk di benaknya. "Ah, sial!" teriak Bintang sambil membanting pintu kamarnya. "Banting saja, Mas, tidak apa-apa." Agatha menatapnya. Dia menoleh dan terkejut melihat Agatha sedang berada di kamarnya. Melihat Bintang yang pulang dengan keadaan emosional yang kurang stabil, sepertinya membuat Agatha terkejut juga. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan mengerti perasaan Bintang. "Aku tidak tahu, Mas punya masalah apa. Tetapi, kalau Mas butuh teman cerita, bilang saja." Agatha turun dari tempat tidur. Bintang kembali tersadar bahwa sekarang dia sudah menikah, dan Agatha adalah istrinya. Dia tidak lagi memiliki privasi, karena kamar ini sudah menjadi milik mereka berdua. "Aku akan memberikan waktu sendiri untuk Mas," kata Agatha. Bintang meraih tangan Agatha dan memeluknya. Hangat, tenang dan nyaman. Pelukan itu membuat Bintang melupakan masalahnya dalam sejenak. "Kamu enggak lagi capek kan hari ini?" tanya Bintang. "Enggak," jawab Agatha. "Aku membutuhkanmu," kata Bintang. Bintang menanggalkan semua pakaiannya dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dengan keadaan terlentang, dia hanya bisa memejamkan matanya dan menunggu Agatha bertindak untuknya. Agatha mengangguk mengerti, dia segera naik ke atas tempat tidur dan memberikan apa yang Bintang inginkan. "Bagaimana?" tanya Agatha, menatap Bintang. "Pijatanmu memang selalu membuatku tenang," ucap Bintang, membuka sedikit matanya dan tersenyum. "Sudah kubilang kan, aku bisa jadi apa pun yang Mas inginkan." Agatha merasa bangga pada dirinya. "Tolong, lebih cepat lagi sedikit," pinta Bintang. "Jangan terburu-buru, Mas. Aku cukup bertenaga hari ini, nikmati saja sampai selesai." Setelah merasa puas, Bintang membuka matanya dan mengubah posisi. Ia duduk membelakangi Agatha dengan posisi tegak. Agatha segera beralih memijat kepala dan pundaknya. "Sedikit tambahan tidak apa kan?" tanya Bintang, tersenyum nakal. "Ah, menyebalkan sekali. Aku tidak suka bagian ini," kata Agatha, mendorong bahu Bintang pelan. "Tambahan pahalanya besar, loh!" kata Bintang. "Yang tadi kan sudah cukup," kata Agatha. "Semoga istriku masuk surga," ucap Bintang, mencoba menggoda Agatha yang merajuk. "Aamiin," Sementara itu, di dalam rumah Aera, Aera duduk di ruang tamu dengan air mata yang masih mengalir. Dia merasa bersalah atas tindakannya yang tak terkendali tadi. Ia tahu bahwa ia telah melukai perasaan Bintang, dan hal itu membuat hatinya hancur. Niko yang melihat adiknya menangis, mendekat dan duduk di sampingnya. "Aera, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu begitu emosional?" Aera mengusap air matanya dan menghela napas. "Aku hanya tidak ingin kehilangan Bintang, Mas. Aku takut dia akan menjauh dariku." Niko merangkul adiknya, mencoba memberikan dukungan. "Kamu harus lebih tenang, Aera. Bintang juga butuh waktu untuk berpikir. Kalau kamu terlalu memaksakan diri, itu hanya akan membuatnya semakin menjauh." "Aku tahu, Mas. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Aku sangat mencintainya," kata Aera dengan suara yang lirih. "Kamu harus belajar untuk memberi ruang, baik untuk dirimu sendiri maupun untuk Bintang. Kalau kamu terus mendesak seperti ini, semuanya akan menjadi lebih rumit," nasihat Niko dengan lembut. Setelah percakapan itu, Aera merasa sedikit lebih tenang, meski beban pikiran yang ia simpan masih tetap ada. Tetapi, bagaimana ia bisa jujur pada Bintang, bahwa dia mendengar pembicaraannya dengan Agatha?Selepas menerima pijatan dari Agatha, Bintang terlelap dalam tidurnya dan menyadari hari sudah mulai petang. Dia meraba-raba tempat tidurnya, mencari keberadaan Agatha. Namun, istrinya tidak ada di sampingnya.Dengan mata yang masih sedikit berat, Bintang turun dari atas tempat tidur. Dia menutup jendela kamarnya dan menemukan sebuah kertas tertempel di sana. Bintang meraih kertas itu dan tersipu."Apa suamiku sudah bangun? Lihatlah, wajah tampanmu sangat menyilaukan," tulis Agatha.Bintang meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Saat dia hendak menggosok gigi, dia menemukan kembali kertas yang menempel di cermin."Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Mas. Semoga bisa membantu menenangkan pikiran, Mas."Bintang kembali tersenyum dan menyimpan kertas itu. Ia segera masuk dan merendam tubuhnya di dalam bathub. Setelah otot-ototnya mulai meregang, Bintang segera keluar. Dia memilih baju yang akan dikenakan.Saat Bintang membuka pintu lemarinya, sudah tergantung sebuah setel
Bintang menghela napas panjang, menatap cemas ke arah pintu restoran yang baru saja dilewati Moona dan Aera. Keheningan di meja makan terasa mencekam, setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berhenti.Mama Bintang, yang duduk di seberang Bintang, meremas tangan suaminya dengan khawatir. "Bintang, ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu?" tanyanya lembut namun penuh tekanan.Agatha yang duduk di samping Bintang merasakan getaran ketegangan dari suaminya. Ia menggenggam tangan Bintang lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata. Bintang menghela napas sekali lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat."Itu Aera, teman Bintang," jawab Bintang akhirnya, berusaha meredam kecemasan keluarganya."Teman lama yang datang dengan cara seperti itu? Ada yang lebih dari sekedar teman lama, bukan?" tanya Papa Bintang dengan nada curiga.Bintang menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada keluarganya. "Dulu kami dekat, sangat dekat. Tapi sekarang,
Suara lonceng pernikahan bergema di udara, mengiringi langkah Bintang dan Agatha yang baru saja mengucapkan janji suci. Pernikahan mereka berlangsung sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, termasuk Aera. Bintang memandang Agatha dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan perasaan tertekannya."Agatha, aku tidak percaya kita akhirnya menikah," kata Bintang, mencoba terdengar tulus."Aku juga, Bintang. Ini adalah awal dari segalanya," jawab Agatha dengan penuh kebahagiaan.Namun, di balik senyumnya, Bintang merasa terjebak. Pernikahan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Malam itu, Bintang merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua tekanan. Setelah melakukan malam pertamanya dengan Agatha, Bintang pergi ke bar hotel. Dia memesan minuman, berharap bisa menenangkan pikirannya.Malam semakin larut, namun Bintang masih belum meninggalkan bar. Bintang merasa tekanan pernikahannya untuk sesaat terlupakan, namun bayangan tentang Aera masih ter
Setelah kejadian di restoran itu, Bintang merasa terpukul dan hancur. Tamparan Aera bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga membekas dalam hatinya, membuatnya sadar betapa dalam ia telah melukai seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya.Selama beberapa hari berikutnya, Bintang merasakan kehampaan yang mendalam. Ia mencoba menghubungi Aera, mengirim pesan-pesan panjang penuh penyesalan dan permintaan maaf, namun tak satu pun dari pesannya mendapat balasan. Setiap panggilan teleponnya diabaikan, dan setiap kali ia mencoba menemui Aera, ia selalu dihindari.Bintang mulai merenung dan menyesali semua tindakannya. Ia sadar bahwa keputusannya yang salah telah menghancurkan hubungan mereka, Bintang tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Malam itu, Bintang bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Agatha."Agatha, ada yang harus kita bicarakan," kata Bintang dengan suara berat.Agatha yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku, segera menutup bukuny
Bintang berdiri di depan pintu dengan napas tersengal-sengal, wajahnya penuh tekad meski hatinya masih merasa bersalah. Ia menatap keluarga Aera dengan penuh penyesalan.Pak Jerry berbalik menghadap Bintang dengan mata yang berkobar-kobar. "Apa kau pikir ini lelucon? Kau datang ke rumahku setelah menghancurkan hidup anakku dan mengharapkan kami akan menerimamu begitu saja? Jangan mimpi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Bintang menelan ludah dan mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Saya tahu saya telah melakukan kesalahan besar, tapi saya tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Saya akan menikahi Aera secepatnya."Aera yang duduk di meja makan mulai menangis lagi, merasa lega sekaligus tertekan dengan situasi yang terjadi. Bu Liana memeluk Aera, mencoba menenangkannya.Pak Jerry mendekati Bintang dengan wajah yang penuh kemarahan. "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau akan menikahi Aera? Kau sudah memiliki istri! Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Matahari sore masih enggan beranjak dari langit ketika telepon rumah Pak Johan dan Bu Gita (kedua orang tua Bintang) berdering nyaring, memecah kesunyian yang nyaman. Bu Gita, yang sedang merapikan meja makan, segera menghampiri telepon yang terletak di sudut ruang tamu."Halo, selamat sore," sapanya lembut."Sore, Bu Gita. Ini saya, Shinta, ibu Agatha," suara di ujung telepon terdengar tegang."Oh, Bu Shinta, apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?" Bu Gita merasa ada sesuatu yang serius dari nada suara Bu Shinta."Saya perlu berbicara dengan Anda dan Pak Johan, mengenai sesuatu yang sangat penting. Bisakah Anda berdua datang ke rumah kami malam ini?" permintaan itu terdengar mendesak.Bu Gita sedikit terkejut, tapi ia mencoba tetap tenang. "Tentu, Bu Shinta. Kami akan ke sana segera. Apakah ada sesuatu yang terjadi?""Lebih baik kita bicarakan langsung saja, Bu Gita. Terima kasih, kami tunggu kedatangannya," jawab Bu Shinta sebelum menutup telepon.Bu Gita meletakkan gagang tele
Malam itu berakhir dengan ketegangan dan ketidakpastian. Semua pihak masih bergulat dengan emosi mereka masing-masing. Bu Gita dan Pak Johan pulang dengan hati yang hancur, merasa terkhianati oleh tindakan Bintang. Bintang sendiri kembali ke rumah dengan beban yang semakin berat di pundaknya, menyadari konsekuensi dari tindakannya.Pertemuan antara keluarga Bintang dan keluarga Aera diatur dengan cepat. Mereka memilih tempat netral, sebuah restoran yang tenang dan elegan, untuk membahas masa depan kedua keluarga. Saat itu, suasana tegang terasa di antara semua yang hadir.Pak Johan dan Bu Gita tiba lebih dulu. Mereka duduk di sebuah meja panjang, menunggu kedatangan keluarga Aera. Tidak lama kemudian, Aera datang bersama orang tuanya, Pak Jerry dan Bu Liana. Mereka disambut dengan senyum kaku, meski suasana hati masing-masing berat dan penuh kekhawatiran.Pak Johan membuka percakapan dengan nada formal, "Terima kasih sudah datang. Kita berada di sini untuk membicarakan masa depan a
Ketika Agatha mendengar bahwa Niko adalah kakak Aera, perasaannya menjadi campur aduk, seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Pikirannya berputar-putar, mencari penjelasan tentang bagaimana Niko, pria yang selama ini penuh perhatian padanya, ternyata memiliki hubungan darah dengan Aera. Wanita yang kini jadi penghalang kebahagiaannya."Apakah itu benar, Niko?" tanya Agatha dengan suara yang gemetar, mencoba mencari kejelasan dari pria yang berdiri di depannya.Niko mengangguk dengan tenang, masih tersenyum misterius. "Ya, itu benar. Aku adalah kakak Aera."Agatha merasa semakin terkejut dengan pengakuan Niko. Dia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi, dan dia merasa semakin terjebak dalam labirin perasaannya sendiri. Kepercayaan yang telah ia bangun terhadap Niko mulai goyah.Agatha yang merasa semakin tidak nyaman dengan situasi yang semakin memanas, mencoba untuk menenangkan dirinya. Setiap detik yang berlalu membuatnya ingin menghilang dari tempat itu, jauh dar