Bintang menghela napas panjang, menatap cemas ke arah pintu restoran yang baru saja dilewati Moona dan Aera. Keheningan di meja makan terasa mencekam, setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berhenti.Mama Bintang, yang duduk di seberang Bintang, meremas tangan suaminya dengan khawatir. "Bintang, ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu?" tanyanya lembut namun penuh tekanan.Agatha yang duduk di samping Bintang merasakan getaran ketegangan dari suaminya. Ia menggenggam tangan Bintang lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata. Bintang menghela napas sekali lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat."Itu Aera, teman Bintang," jawab Bintang akhirnya, berusaha meredam kecemasan keluarganya."Teman lama yang datang dengan cara seperti itu? Ada yang lebih dari sekedar teman lama, bukan?" tanya Papa Bintang dengan nada curiga.Bintang menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada keluarganya. "Dulu kami dekat, sangat dekat. Tapi sekarang,
Suara lonceng pernikahan bergema di udara, mengiringi langkah Bintang dan Agatha yang baru saja mengucapkan janji suci. Pernikahan mereka berlangsung sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, termasuk Aera. Bintang memandang Agatha dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan perasaan tertekannya."Agatha, aku tidak percaya kita akhirnya menikah," kata Bintang, mencoba terdengar tulus."Aku juga, Bintang. Ini adalah awal dari segalanya," jawab Agatha dengan penuh kebahagiaan.Namun, di balik senyumnya, Bintang merasa terjebak. Pernikahan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Malam itu, Bintang merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua tekanan. Setelah melakukan malam pertamanya dengan Agatha, Bintang pergi ke bar hotel. Dia memesan minuman, berharap bisa menenangkan pikirannya.Malam semakin larut, namun Bintang masih belum meninggalkan bar. Bintang merasa tekanan pernikahannya untuk sesaat terlupakan, namun bayangan tentang Aera masih ter
Setelah kejadian di restoran itu, Bintang merasa terpukul dan hancur. Tamparan Aera bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga membekas dalam hatinya, membuatnya sadar betapa dalam ia telah melukai seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya.Selama beberapa hari berikutnya, Bintang merasakan kehampaan yang mendalam. Ia mencoba menghubungi Aera, mengirim pesan-pesan panjang penuh penyesalan dan permintaan maaf, namun tak satu pun dari pesannya mendapat balasan. Setiap panggilan teleponnya diabaikan, dan setiap kali ia mencoba menemui Aera, ia selalu dihindari.Bintang mulai merenung dan menyesali semua tindakannya. Ia sadar bahwa keputusannya yang salah telah menghancurkan hubungan mereka, Bintang tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Malam itu, Bintang bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Agatha."Agatha, ada yang harus kita bicarakan," kata Bintang dengan suara berat.Agatha yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku, segera menutup bukuny
Bintang berdiri di depan pintu dengan napas tersengal-sengal, wajahnya penuh tekad meski hatinya masih merasa bersalah. Ia menatap keluarga Aera dengan penuh penyesalan.Pak Jerry berbalik menghadap Bintang dengan mata yang berkobar-kobar. "Apa kau pikir ini lelucon? Kau datang ke rumahku setelah menghancurkan hidup anakku dan mengharapkan kami akan menerimamu begitu saja? Jangan mimpi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Bintang menelan ludah dan mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Saya tahu saya telah melakukan kesalahan besar, tapi saya tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Saya akan menikahi Aera secepatnya."Aera yang duduk di meja makan mulai menangis lagi, merasa lega sekaligus tertekan dengan situasi yang terjadi. Bu Liana memeluk Aera, mencoba menenangkannya.Pak Jerry mendekati Bintang dengan wajah yang penuh kemarahan. "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau akan menikahi Aera? Kau sudah memiliki istri! Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Matahari sore masih enggan beranjak dari langit ketika telepon rumah Pak Johan dan Bu Gita (kedua orang tua Bintang) berdering nyaring, memecah kesunyian yang nyaman. Bu Gita, yang sedang merapikan meja makan, segera menghampiri telepon yang terletak di sudut ruang tamu."Halo, selamat sore," sapanya lembut."Sore, Bu Gita. Ini saya, Shinta, ibu Agatha," suara di ujung telepon terdengar tegang."Oh, Bu Shinta, apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?" Bu Gita merasa ada sesuatu yang serius dari nada suara Bu Shinta."Saya perlu berbicara dengan Anda dan Pak Johan, mengenai sesuatu yang sangat penting. Bisakah Anda berdua datang ke rumah kami malam ini?" permintaan itu terdengar mendesak.Bu Gita sedikit terkejut, tapi ia mencoba tetap tenang. "Tentu, Bu Shinta. Kami akan ke sana segera. Apakah ada sesuatu yang terjadi?""Lebih baik kita bicarakan langsung saja, Bu Gita. Terima kasih, kami tunggu kedatangannya," jawab Bu Shinta sebelum menutup telepon.Bu Gita meletakkan gagang tele
Malam itu berakhir dengan ketegangan dan ketidakpastian. Semua pihak masih bergulat dengan emosi mereka masing-masing. Bu Gita dan Pak Johan pulang dengan hati yang hancur, merasa terkhianati oleh tindakan Bintang. Bintang sendiri kembali ke rumah dengan beban yang semakin berat di pundaknya, menyadari konsekuensi dari tindakannya.Pertemuan antara keluarga Bintang dan keluarga Aera diatur dengan cepat. Mereka memilih tempat netral, sebuah restoran yang tenang dan elegan, untuk membahas masa depan kedua keluarga. Saat itu, suasana tegang terasa di antara semua yang hadir.Pak Johan dan Bu Gita tiba lebih dulu. Mereka duduk di sebuah meja panjang, menunggu kedatangan keluarga Aera. Tidak lama kemudian, Aera datang bersama orang tuanya, Pak Jerry dan Bu Liana. Mereka disambut dengan senyum kaku, meski suasana hati masing-masing berat dan penuh kekhawatiran.Pak Johan membuka percakapan dengan nada formal, "Terima kasih sudah datang. Kita berada di sini untuk membicarakan masa depan a
Ketika Agatha mendengar bahwa Niko adalah kakak Aera, perasaannya menjadi campur aduk, seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Pikirannya berputar-putar, mencari penjelasan tentang bagaimana Niko, pria yang selama ini penuh perhatian padanya, ternyata memiliki hubungan darah dengan Aera. Wanita yang kini jadi penghalang kebahagiaannya."Apakah itu benar, Niko?" tanya Agatha dengan suara yang gemetar, mencoba mencari kejelasan dari pria yang berdiri di depannya.Niko mengangguk dengan tenang, masih tersenyum misterius. "Ya, itu benar. Aku adalah kakak Aera."Agatha merasa semakin terkejut dengan pengakuan Niko. Dia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi, dan dia merasa semakin terjebak dalam labirin perasaannya sendiri. Kepercayaan yang telah ia bangun terhadap Niko mulai goyah.Agatha yang merasa semakin tidak nyaman dengan situasi yang semakin memanas, mencoba untuk menenangkan dirinya. Setiap detik yang berlalu membuatnya ingin menghilang dari tempat itu, jauh dar
Bintang merasakan dampak besar dari insiden di acara pernikahannya hari itu, terutama dalam kariernya sebagai seorang dosen. Kabar tentang pertengkarannya dengan Niko dan juga perjodohannya dengan Agatha telah menyebar luas, dan reputasinya mulai dipertanyakan oleh kolega dan mahasiswa.Salah satu pagi, saat dia memasuki ruang kuliah, suasana terasa berbeda. Mahasiswa yang biasanya menghormatinya kini tampak berbisik-bisik di belakang punggungnya. Bintang berusaha tetap profesional dan memulai perkuliahan seperti biasa, tetapi rasa canggung dan tegang tidak bisa dia abaikan.Selepas kelas, salah satu koleganya, Profesor Juno, menghampirinya di ruang dosen. "Bintang, aku ingin bicara denganmu sebentar," katanya dengan nada serius. Bintang mengangguk dan mengikuti Profesor Juno ke ruangannya.Di dalam ruangan, Profesor Juno menatap Bintang dengan penuh keprihatinan. "Bintang, kau tahu bahwa kejadian beberapa hari lalu telah menjadi perbincangan banyak orang. Ini tidak hanya memengaru
"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks
Aera menutup pintu rumahnya dengan keras, membiarkan suara gemuruh menggema di seluruh rumah. Dia merasa seolah-olah dunia telah menamparnya keras-keras. Di ruang tamu, dia melempar tasnya ke sofa, lalu duduk dengan mata terpejam, mencoba meredakan badai emosi yang berputar di dalam dirinya.Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, kenangan-kenangan bersama Rocky mulai berkelebat di benaknya. Mereka dulunya adalah sahabat baik. Mereka berbagi segala hal—dari rahasia terdalam hingga mimpi-mimpi terbesar. Namun, segalanya berubah ketika Aera mengenal Bintang di kampusnya. Persahabatan mereka terasa semakin jauh seiring dengan berkembangnya perasaan Aera terhadap Bintang.Aera mengingat saat-saat bahagia di masa lalu ketika mereka pertama kali bertemu. Senyuman hangat Rocky, sentuhan lembutnya, dan canda tawa yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang jauh, hilang di balik awan kelabu masalah yang kini mereka hadapi.Dia mengingat saat mereka berjalan di taman, tangan mereka
Gio tahu bahwa ibunya tidak benar-benar fokus saat bermain dengannya. Meskipun dia masih kecil, dia bisa merasakan kesedihan yang terselubung di balik senyum ibunya. Dengan cepat, dia mencari cara untuk membuat Agatha tertawa."Mama, lihat ini!" serunya dengan antusias.Gio berlari ke kamarnya dan kembali dengan memakai topi besar dan kacamata hitam yang terlalu besar untuk wajahnya. Dia mulai berakting seperti detektif, berkeliling ruang main dengan gaya lucu sambil berbicara dengan suara dalam, "Hmm, sepertinya ada kasus besar di sini! Siapa yang mencuri senyuman Mama?"Agatha tidak bisa menahan tawa melihat aksi Gio yang menggemaskan. Gelak tawanya akhirnya pecah, membebaskan sebagian beban di hatinya.Dia meraih Gio dan memeluknya erat. "Kamu memang detektif yang hebat, Gio. Terima kasih sudah membuat Mama tertawa."Gio tersenyum lebar, senang melihat ibunya bahagia. "Apa pun buat Mama. Aku cinta Mama."Agatha mencium pipi Gio dan berkata dengan lembut, "Mama juga cinta kamu, saya
Niko dan Rocky kembali ke Indonesia dengan perasaan kecewa dan tangan kosong. Setelah berminggu-minggu mencari di Amerika, mereka tidak berhasil menemukan jejak Pak Jinwoo. Setibanya di rumah, wajah mereka tampak lelah dan penuh kekhawatiran.Di ruang tamu rumah besar Agatha, Bintang, Agatha, dan Detektif Arif sudah menunggu mereka. Melihat wajah Niko dan Rocky, mereka tahu bahwa misi itu tidak berhasil."Bintang, Agatha, kami sudah mencari di berbagai tempat di Amerika, termasuk Kanada dan Paris. Tapi Pak Jinwoo sepertinya menggunakan identitas palsu dan berhasil mengelabui kami," kata Niko, menundukkan kepalanya.Rocky menghela napas panjang. "Kami tidak menemukan apa-apa, hanya jejak yang hilang."Agatha yang duduk di sebelah Bintang mencoba tetap tenang. "Yang penting kalian sudah berusaha keras. Kita harus mencari cara lain untuk menemukannya."Bintang menggenggam tangan Agatha erat, memberikan kekuatan pada istrinya. "Kita akan terus mencari, tidak akan berhenti sampai kita mene