Pintu yang terbuka menampilkan sosok Aera yang terkejut sekaligus bingung melihat Bintang dan Agatha keluar dari ruangan yang sepi. Bintang menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai berbicara kepada Aera.
"Mas Bintang, ini.." Aera terlihat bingung, menatap ke arah Agatha dan Bintang. "Aera, aku bisa jelaskan semuanya." Bintang segera melepaskan tangan Agatha dari genggamannya. Bintang merasakan keringat dingin di punggungnya. Dia menatap Agatha sejenak, berharap dia akan mengambil alih situasi. Agatha tahu, ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Aera. "Ada apa, Aera?" tanya Agatha dengan suara tenang. "Aku mendengar ada percakapan serius di dalam. Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Aera, matanya menatap tajam ke arah Bintang. "Ah, itu... hanya urusan pekerjaan," kata Bintang mencoba tersenyum. "Tidak ada yang penting." "Urusan pekerjaan?" Aera mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Kenapa harus dibicarakan dengan pintu tertutup seperti itu?" "Aku hanya ingin memastikan, tidak ada yang mengganggu les pribadiku. Pak Bintang merasa tidak enak denganmu, jadi dia mengajakku untuk les di rumah. Apa kau sudah puas?" kata Agatha. Aera memandang Bintang dengan mata yang menyelidik. Bintang merasa semakin terpojok, tetapi dia berusaha untuk terlihat tenang. Agatha tiba-tiba saja meraih minuman yang berada di tangan Aera dan keluar dari ruangan itu. "Aku tidak akan les hari ini," ucap Agatha sembari menyeruput minuman itu dan pergi membawanya. "Hai, kau.. Mas, itu minuman untukmu." Aera merajuk kesal. "Sudah, biarkan saja. Apa kelasmu sudah selesai?" tanya Bintang, mencoba mengalihkan topik. "Mr. Juno tidak masuk hari ini, jadi kelasnya di liburkan. Mas ingin berjalan-jalan?" kata Aera, dengan penuh semangat. Bintang merasa kelegaan mendengar bahwa kelas Aera sudah selesai. Dia tahu dia harus menyelesaikan masalah ini dengan baik. "Tentu, Aera. Mengapa kita tidak berjalan-jalan sebentar?" jawab Bintang sambil mencoba tersenyum. Mereka berdua keluar dari ruangan menuju ke luar. Bintang berusaha memikirkan cara terbaik untuk menjelaskan situasi kepada Aera tanpa menimbulkan kebingungan atau kekhawatiran lebih lanjut. Sementara itu, Agatha berjalan di depan, merenungkan keputusannya untuk tidak mengungkapkan kebenaran kepada Aera. Dia merasa bersalah, tetapi dia yakin bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Agatha melamun dan hampir saja tertabrak oleh seorang pria yang sedang berjalan terburu-buru di koridor. Dia dengan cepat menghindarinya, seraya menyentuh pundak pria itu dengan lembut. "Maaf, Anda hampir menabrak saya," ucap Agatha, menahan napasnya. Pria itu menoleh cepat ke arahnya dengan ekspresi terkejut sebelum tersenyum ramah. "Oh maaf, apa Anda baik-baik saja?" Agatha mengangguk cepat. "Ya, terima kasih. Kamu harus lebih berhati-hati." Mereka berdua melanjutkan perjalanan masing-masing. Tak lama kemudian, pria itu tiba-tiba saja menoleh kembali ke arah Agatha. Matanya menyipit sedikit, lalu wajahnya bersinar cerah. "Agatha? Apakah itu benar?" ucap pria itu, ekspresinya berubah menjadi antusias. Pria itu melihat sekeliling dengan cepat, mencari-cari keberadaan Agatha. Namun, Agatha sudah menghilang begitu saja, meninggalkannya dalam kebingungan. Dia menghela nafas dalam-dalam, merenungkan kebetulan bertemu dengan Agatha tanpa bisa memperoleh kesempatan untuk berbicara dengannya. Dengan hati yang sedikit kecewa, dia melanjutkan perjalanannya dengan langkah yang lebih cepat, berharap bisa bertemu dengan Agatha di lain waktu. *** Bintang mengikuti Aera dengan langkah yang berat, masih terpikir dengan kejadian di ruangan tadi. Meskipun merasa tegang dan tidak nyaman, dia berusaha menyembunyikan perasaannya di depan Aera. Aera sesekali menoleh ke arah Bintang dengan senyuman lembut, namun Bintang merasa semakin terjebak dalam kebimbangan. Dia tahu harus mengatasi masalah ini secepat mungkin, tetapi juga tidak yakin bagaimana caranya. Ketika mereka tiba di rumah Aera, suasana hening terasa begitu kentara. Aera membuka pintu dengan hati-hati, mempersilahkan Bintang untuk masuk. "Silakan masuk, Mas Bintang," ucap Aera dengan lembut, tetapi ada kekhawatiran terselip di suaranya. Setiba di rumah Aera, Bintang merasa sedikit lega dengan suasana yang tenang dan nyaman di sekitarnya. Meskipun perasaan canggung masih ada, tetapi kehadiran Aera memberinya rasa nyaman. Mereka berdua berjalan ke dalam rumah, dan Aera dengan lembut mengajak Bintang ke kamar seperti yang biasa mereka lakukan saat berpacaran. Meskipun situasinya agak berbeda dari biasanya, tetapi Bintang berharap bahwa lingkungan yang akrab ini akan membantu mereka berbicara dengan lebih terbuka. "Mas, aku akan pergi mandi. Kamu bisa menunggu kan?" tanya Aera. "Ya, tentu saja." Bintang duduk di tepi tempat tidur. Pikiran buruk kembali menyelinap di pikiran Bintang ketika Aera mulai pergi ke kamar mandi. Dia selalu membayangkan bisa mandi bersama Aera untuk melihat tubuhnya, tetapi sekarang dia ingin cepat pulang ke rumah untuk bertemu istrinya, Agatha. Setiap sudut kamar yang sekarang ditempati Bintang, mengingatkannya pada saat-saat bahagia bersama Aera. Dia merasa terombang-ambing antara rasa kehilangan dan keinginan untuk melanjutkan hidup bersama Agatha. Meskipun Bintang mencoba mengarahkan pikirannya ke depan, tetapi kenangannya bersama Aera membuatnya semakin sulit untuk melupakan masa lalunya. Setiap hari yang Bintang habiskan bersama Aera, semua penuh warna. Bintang bahkan tidak pernah berpikir bahwa mereka berdua akan berpisah dengan cara seperti ini. "Aera, apa kau masih lama?" Bintang beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu kamar mandi. "Sebentar lagi, Mas!" teriak Aera dari dalam. Aera membuka pintu dan menarik tangan Bintang secara tiba-tiba. Dia meraih tubuh Bintang dan mendorongnya ke belakang pintu, mencium bibirnya dengan lembut, sambil melepaskan perlahan-lahan pakaian yang dikenakan Bintang. Aera menarik tubuh Bintang masuk semakin dalam, dan berhenti di bawah pancuran air yang menyala sehingga tubuh mereka berdua terguyur air yang mengalir dengan deras. "Sial, ini menyenangkan," pikir Bintang. Bintang meraih tubuh Aera, dan mencium bibirnya dengan penuh semangat. Bintang merasa sensasi air hangat mengalir di tubuhnya, menyatu dengan kelembutan sentuhan yang diberikan oleh Aera. Bintang merasakan kesenangan tersendiri dalam dirinya saat jari Aera bermain di sekitar tubuhnya. Namun, dengan cepat Bintang menghentikannya. Bintang tiba-tiba saja teringat dengan Agatha. Kenapa dia harus mencari kesenangan dari wanita lain, jika istrinya juga bisa memberikannya? "Aera..." bisik Bintang, suaranya penuh dengan keraguan dan keinginan yang tak terungkap kan. "Lakukanlah, Mas. Aku tidak akan menyesali apa pun denganmu," desis Aera lembut, membuat Bintang semakin terpancing untuk melakukan sesuatu yang lebih lagi. Mereka terperangkap dalam momen yang semakin panas, melupakan segala hal di luar sana. Bintang tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas godaan yang ditunjukkan oleh Aera. Dia merasakan sensasi ciuman Aera menggertakkan seluruh tubuhnya, menghidupkan gejolak yang terpendam. Dalam pelukan yang hangat, Bintang merasa seolah ketegangan dan kebimbangan dalam dirinya meleleh. Setelah melakukan hubungan terlarang itu, mereka terdiam sejenak, hanya suara air yang terdengar di sekitar mereka. "Aera, apa yang sudah kau lakukan? Kau berani sekali!" Bintang melepaskan tubuhnya dari pelukan Aera yang begitu erat. Wajah Bintang memancarkan kekesalan yang begitu jelas. Mereka berdua melakukan kan hubungan itu tanpa pengaman, dan Aera sengaja menahan Bintang untuk mencapai klimaksnya di dalam. "Mas, kenapa reaksimu berlebihan?" Aera menatap Bintang dengan wajah yang memerah, Bintang dapat melihat rasa takut sedang menguasai diri Aera. Aera memeluk tubuh Bintang dari belakang, menyandarkan kepalanya ke pundak Bintang. Dia menahan rasa sesak di dadanya, namun berusaha menyembunyikannya dari Bintang. "Aera!" seru Bintang, kembali terkejut dengan perlakuan Aera. "Mas, kamu akan bertanggung jawab kan? Kamu sekarang tidak punya alasan untuk tidak menikahiku," ucap Aera di telinga Bintang. Bintang terkejut dengan ucapan Aera, dia tidak bisa menerima keputusan Aera yang terburu-buru untuk menikah. Bintang juga tidak mau mengorbankan pendidikan Aera. Tetapi, hati Bintang mulai melemah. Dia merasa ada sesuatu yang menetes ke pundaknya. "Aku tidak bisa. Kamu harus tetap kuliah, kejar impianmu!" kata Bintang dengan tegas, melepas pelukan Aera dan menatap matanya yang basah. "Ada banyak orang yang menikah tapi tetap bisa kuliah. Aku janji, pernikahan kita tidak akan mempengaruhi pendidikanku." Aera menatap Bintang dengan penuh keyakinan. "Aera?" Bintang berusaha menenangkannya. "Menikahlah denganku, kau satu-satunya impianku, Mas!" Aera terus menatap Bintang semakin dalam. "Itu tidak mungkin!" seru Bintang lebih tegas, berusaha membuatnya mengerti. "Bagaimana jika aku hamil?" teriak Aera, tidak terima dengan penolakan Bintang. "Kenapa kau selalu bertindak sesuka hatimu tanpa memikirkan tanggapanku? Kalau tahu ini salah dan kau merasa takut, kenapa di lakukan!" balas Bintang, dengan suara lantang. "Semua salah, Mas!" Aera merasakan hatinya terluka, ini pertama kalinya Bintang berbicara keras padanya. Bintang tidak bisa menahannya pergi, ia tahu sikapnya membuat Aera kecewa. Dan setelah tahu kebenarannya, Aera pasti akan merasa semakin hancur dari ini. Aera meraih pakaiannya dan pergi keluar, meninggalkan Bintang yang masih berdiam diri di tempatnya dengan penuh penyesalan. Pikiran Bintang terus berubah-ubah, antara penyesalan karena berani jatuh cinta pada siswanya sendiri dan juga penyesalan karena menerima perjodohan dengan Agatha. "Ah, sial! Kenapa aku menikah dengan orang lain, padahal sudah jelas aku punya kekasih?" gumam Bintang, sambil mengacak-acak rambutnya dengan penuh emosi. Pikiran Bintang semakin berkecamuk, tidak tahu mana yang benar dan salah. Aera dan Agatha tidak punya sisi buruk, mereka mencintai Bintang dengan tulus, dan memperlakukannya dengan baik. Waktu yang Bintang habiskan bersama keduanya juga meninggalkan momen-momen indah. Baik istrinya atau kekasihnya, Bintang tidak ingin kehilangan keduanya. Bintang segera memakai kembali pakaiannya dan keluar dari kamar mandi, dia melihat Aera yang masih menangis di atas tempat tidurnya. Dia mendekati Aera dan meminta maaf. Sebelum mereka sempat bicara, ponsel Bintang berdering, nama Agatha muncul di layar. "Mas, tolong jangan di jawab!" seru Aera. Bintang terdiam, terjebak antara dua pilihan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dia menatap ponsel itu dengan penuh keraguan, lalu menghela nafas dalam-dalam. "Aku harus segera pergi," ucapnya dengan suara berat. Bintang segera keluar dari kamar Aera dengan tergesa-gesa. Namun, suatu ketika, ketukan dari luar kamar menghentikan langkah Bintang. Aera segera beranjak dari atas tempat tidurnya dan kembali menarik Bintang ke dalam pelukannya. "Aera, apa yang kau lakukan? Kau bilang di rumahmu tidak ada orang!" seru Bintang yang mulai panik. Ketika pintu perlahan mulai terbuka, mata mereka bertemu dengan tatapan terkejut dari seseorang yang tak terduga. Bintang mulai merasa cemas, tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan selanjutnya.Bintang menatap pria di hadapannya, pemilik wajah tampan dan pesona luar biasa itu adalah Niko, kakak Aera. Ia memiliki tinggi sekitar 183 cm dengan postur tubuh yang tegap dan proporsional. Matanya besar dan berbinar, memberikan kesan lembut namun tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya tegas, menambah kesan menawan dalam penampilannya.Meskipun sama-sama seorang pria, tapi Bintang mengakui bahwa kakak Aera ini memiliki penampilan yang sempurna. Namun, ini adalah pertemuan pertama di antara mereka, membuat suasana terasa canggung dan berdebar."Siapa kamu?" tanya Nika, menatap Bintang tajam."Dia calon suamiku," jawab Aera."Tidak, ini salah paham." Bintang menyangkal, berusaha melepaskan pelukan Aera dari tubuhnya."Sudahlah, Mas, tidak perlu ditutupi lagi. Jika perlu, aku akan mengenalkanmu pada dunia," kata Aera."Kalau kamu bukan kekasih Aera, kenapa bisa ada di kamarnya? Apa yang kalian berdua lakukan dengan rambut basah seperti itu?" Niko menatap mereka berdua semakin curiga."Be
Selepas menerima pijatan dari Agatha, Bintang terlelap dalam tidurnya dan menyadari hari sudah mulai petang. Dia meraba-raba tempat tidurnya, mencari keberadaan Agatha. Namun, istrinya tidak ada di sampingnya.Dengan mata yang masih sedikit berat, Bintang turun dari atas tempat tidur. Dia menutup jendela kamarnya dan menemukan sebuah kertas tertempel di sana. Bintang meraih kertas itu dan tersipu."Apa suamiku sudah bangun? Lihatlah, wajah tampanmu sangat menyilaukan," tulis Agatha.Bintang meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Saat dia hendak menggosok gigi, dia menemukan kembali kertas yang menempel di cermin."Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Mas. Semoga bisa membantu menenangkan pikiran, Mas."Bintang kembali tersenyum dan menyimpan kertas itu. Ia segera masuk dan merendam tubuhnya di dalam bathub. Setelah otot-ototnya mulai meregang, Bintang segera keluar. Dia memilih baju yang akan dikenakan.Saat Bintang membuka pintu lemarinya, sudah tergantung sebuah setel
Bintang menghela napas panjang, menatap cemas ke arah pintu restoran yang baru saja dilewati Moona dan Aera. Keheningan di meja makan terasa mencekam, setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berhenti.Mama Bintang, yang duduk di seberang Bintang, meremas tangan suaminya dengan khawatir. "Bintang, ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu?" tanyanya lembut namun penuh tekanan.Agatha yang duduk di samping Bintang merasakan getaran ketegangan dari suaminya. Ia menggenggam tangan Bintang lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata. Bintang menghela napas sekali lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat."Itu Aera, teman Bintang," jawab Bintang akhirnya, berusaha meredam kecemasan keluarganya."Teman lama yang datang dengan cara seperti itu? Ada yang lebih dari sekedar teman lama, bukan?" tanya Papa Bintang dengan nada curiga.Bintang menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada keluarganya. "Dulu kami dekat, sangat dekat. Tapi sekarang,
Suara lonceng pernikahan bergema di udara, mengiringi langkah Bintang dan Agatha yang baru saja mengucapkan janji suci. Pernikahan mereka berlangsung sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, termasuk Aera. Bintang memandang Agatha dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan perasaan tertekannya."Agatha, aku tidak percaya kita akhirnya menikah," kata Bintang, mencoba terdengar tulus."Aku juga, Bintang. Ini adalah awal dari segalanya," jawab Agatha dengan penuh kebahagiaan.Namun, di balik senyumnya, Bintang merasa terjebak. Pernikahan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Malam itu, Bintang merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua tekanan. Setelah melakukan malam pertamanya dengan Agatha, Bintang pergi ke bar hotel. Dia memesan minuman, berharap bisa menenangkan pikirannya.Malam semakin larut, namun Bintang masih belum meninggalkan bar. Bintang merasa tekanan pernikahannya untuk sesaat terlupakan, namun bayangan tentang Aera masih ter
Setelah kejadian di restoran itu, Bintang merasa terpukul dan hancur. Tamparan Aera bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga membekas dalam hatinya, membuatnya sadar betapa dalam ia telah melukai seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya.Selama beberapa hari berikutnya, Bintang merasakan kehampaan yang mendalam. Ia mencoba menghubungi Aera, mengirim pesan-pesan panjang penuh penyesalan dan permintaan maaf, namun tak satu pun dari pesannya mendapat balasan. Setiap panggilan teleponnya diabaikan, dan setiap kali ia mencoba menemui Aera, ia selalu dihindari.Bintang mulai merenung dan menyesali semua tindakannya. Ia sadar bahwa keputusannya yang salah telah menghancurkan hubungan mereka, Bintang tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Malam itu, Bintang bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Agatha."Agatha, ada yang harus kita bicarakan," kata Bintang dengan suara berat.Agatha yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku, segera menutup bukuny
Bintang berdiri di depan pintu dengan napas tersengal-sengal, wajahnya penuh tekad meski hatinya masih merasa bersalah. Ia menatap keluarga Aera dengan penuh penyesalan.Pak Jerry berbalik menghadap Bintang dengan mata yang berkobar-kobar. "Apa kau pikir ini lelucon? Kau datang ke rumahku setelah menghancurkan hidup anakku dan mengharapkan kami akan menerimamu begitu saja? Jangan mimpi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Bintang menelan ludah dan mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Saya tahu saya telah melakukan kesalahan besar, tapi saya tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Saya akan menikahi Aera secepatnya."Aera yang duduk di meja makan mulai menangis lagi, merasa lega sekaligus tertekan dengan situasi yang terjadi. Bu Liana memeluk Aera, mencoba menenangkannya.Pak Jerry mendekati Bintang dengan wajah yang penuh kemarahan. "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau akan menikahi Aera? Kau sudah memiliki istri! Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Matahari sore masih enggan beranjak dari langit ketika telepon rumah Pak Johan dan Bu Gita (kedua orang tua Bintang) berdering nyaring, memecah kesunyian yang nyaman. Bu Gita, yang sedang merapikan meja makan, segera menghampiri telepon yang terletak di sudut ruang tamu."Halo, selamat sore," sapanya lembut."Sore, Bu Gita. Ini saya, Shinta, ibu Agatha," suara di ujung telepon terdengar tegang."Oh, Bu Shinta, apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?" Bu Gita merasa ada sesuatu yang serius dari nada suara Bu Shinta."Saya perlu berbicara dengan Anda dan Pak Johan, mengenai sesuatu yang sangat penting. Bisakah Anda berdua datang ke rumah kami malam ini?" permintaan itu terdengar mendesak.Bu Gita sedikit terkejut, tapi ia mencoba tetap tenang. "Tentu, Bu Shinta. Kami akan ke sana segera. Apakah ada sesuatu yang terjadi?""Lebih baik kita bicarakan langsung saja, Bu Gita. Terima kasih, kami tunggu kedatangannya," jawab Bu Shinta sebelum menutup telepon.Bu Gita meletakkan gagang tele
Malam itu berakhir dengan ketegangan dan ketidakpastian. Semua pihak masih bergulat dengan emosi mereka masing-masing. Bu Gita dan Pak Johan pulang dengan hati yang hancur, merasa terkhianati oleh tindakan Bintang. Bintang sendiri kembali ke rumah dengan beban yang semakin berat di pundaknya, menyadari konsekuensi dari tindakannya.Pertemuan antara keluarga Bintang dan keluarga Aera diatur dengan cepat. Mereka memilih tempat netral, sebuah restoran yang tenang dan elegan, untuk membahas masa depan kedua keluarga. Saat itu, suasana tegang terasa di antara semua yang hadir.Pak Johan dan Bu Gita tiba lebih dulu. Mereka duduk di sebuah meja panjang, menunggu kedatangan keluarga Aera. Tidak lama kemudian, Aera datang bersama orang tuanya, Pak Jerry dan Bu Liana. Mereka disambut dengan senyum kaku, meski suasana hati masing-masing berat dan penuh kekhawatiran.Pak Johan membuka percakapan dengan nada formal, "Terima kasih sudah datang. Kita berada di sini untuk membicarakan masa depan a
"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks
Aera menutup pintu rumahnya dengan keras, membiarkan suara gemuruh menggema di seluruh rumah. Dia merasa seolah-olah dunia telah menamparnya keras-keras. Di ruang tamu, dia melempar tasnya ke sofa, lalu duduk dengan mata terpejam, mencoba meredakan badai emosi yang berputar di dalam dirinya.Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, kenangan-kenangan bersama Rocky mulai berkelebat di benaknya. Mereka dulunya adalah sahabat baik. Mereka berbagi segala hal—dari rahasia terdalam hingga mimpi-mimpi terbesar. Namun, segalanya berubah ketika Aera mengenal Bintang di kampusnya. Persahabatan mereka terasa semakin jauh seiring dengan berkembangnya perasaan Aera terhadap Bintang.Aera mengingat saat-saat bahagia di masa lalu ketika mereka pertama kali bertemu. Senyuman hangat Rocky, sentuhan lembutnya, dan canda tawa yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang jauh, hilang di balik awan kelabu masalah yang kini mereka hadapi.Dia mengingat saat mereka berjalan di taman, tangan mereka
Gio tahu bahwa ibunya tidak benar-benar fokus saat bermain dengannya. Meskipun dia masih kecil, dia bisa merasakan kesedihan yang terselubung di balik senyum ibunya. Dengan cepat, dia mencari cara untuk membuat Agatha tertawa."Mama, lihat ini!" serunya dengan antusias.Gio berlari ke kamarnya dan kembali dengan memakai topi besar dan kacamata hitam yang terlalu besar untuk wajahnya. Dia mulai berakting seperti detektif, berkeliling ruang main dengan gaya lucu sambil berbicara dengan suara dalam, "Hmm, sepertinya ada kasus besar di sini! Siapa yang mencuri senyuman Mama?"Agatha tidak bisa menahan tawa melihat aksi Gio yang menggemaskan. Gelak tawanya akhirnya pecah, membebaskan sebagian beban di hatinya.Dia meraih Gio dan memeluknya erat. "Kamu memang detektif yang hebat, Gio. Terima kasih sudah membuat Mama tertawa."Gio tersenyum lebar, senang melihat ibunya bahagia. "Apa pun buat Mama. Aku cinta Mama."Agatha mencium pipi Gio dan berkata dengan lembut, "Mama juga cinta kamu, saya
Niko dan Rocky kembali ke Indonesia dengan perasaan kecewa dan tangan kosong. Setelah berminggu-minggu mencari di Amerika, mereka tidak berhasil menemukan jejak Pak Jinwoo. Setibanya di rumah, wajah mereka tampak lelah dan penuh kekhawatiran.Di ruang tamu rumah besar Agatha, Bintang, Agatha, dan Detektif Arif sudah menunggu mereka. Melihat wajah Niko dan Rocky, mereka tahu bahwa misi itu tidak berhasil."Bintang, Agatha, kami sudah mencari di berbagai tempat di Amerika, termasuk Kanada dan Paris. Tapi Pak Jinwoo sepertinya menggunakan identitas palsu dan berhasil mengelabui kami," kata Niko, menundukkan kepalanya.Rocky menghela napas panjang. "Kami tidak menemukan apa-apa, hanya jejak yang hilang."Agatha yang duduk di sebelah Bintang mencoba tetap tenang. "Yang penting kalian sudah berusaha keras. Kita harus mencari cara lain untuk menemukannya."Bintang menggenggam tangan Agatha erat, memberikan kekuatan pada istrinya. "Kita akan terus mencari, tidak akan berhenti sampai kita mene