Bintang merasa pikirannya kacau beberapa hari ini, terombang-ambing antara perasaannya pada Aera dan tekanan dari keluarganya untuk menikahi Agatha. Setiap kali mencoba mencari cara untuk mengatasi semua itu, ia tak menemukan jalan keluar. Hatinya selalu kembali pada Aera, wanita yang telah mendampingi dan mencintainya dengan tulus.
Suatu malam, ketika pikiran Bintang semakin tak menentu, dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia berpikir untuk menemui Aera dan mengatakan semuanya dengan jujur. Namun, saat tangannya meraih ponsel untuk menghubungi Aera, pikiran itu menguap. Ia tahu, kejujuran hanya akan menyakitinya. "Kenapa tidak jadi?" suara lembut di belakang memecah keheningan, membuat Bintang terkejut. "Kamu, kenapa ada di sini?" tanya Bintang dengan nada tajam, tetapi kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Agatha tampak tenang, bahkan tersenyum kepada Bintang. "Memangnya kenapa? Aku kan calon istri, Mas." "Calon istri?" Bintang kali ini menatapnya dengan serius, berjalan mendekat dengan tatapan yang tidak bisa di tebak. Agatha berjalan mundur beberapa langkah, tetapi Bintang semakin mendekatinya. Kini, Agatha terpojok di dinding, tak mampu bergerak. "Berhenti!" ujar Agatha sambil memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. "Jika melihatmu terus bersikap seperti ini, aku bisa kehilangan kendali diri. Tolong, jaga batasanmu, Agatha," kata Bintang, memberi peringatan. Agatha terdiam sejenak, membiarkan napas paniknya kembali normal. Setelah itu, tanpa ragu dia menatap Bintang. "Mama dan Papa ingin kita pergi bersama untuk makan malam nanti. Mas tidak pernah membaca pesan dariku, jadi aku datang kemari untuk memberi tahu. Tetapi, jika tidak mau, aku bisa pergi sendiri. Aku akan menunggu di depan resto," kata Agatha, melangkah pergi. Bintang meraih tangan Agatha. "Tunggu, kita perlu bicara." Bintang meminta Agatha untuk duduk sebentar di sofa. Meskipun tidak suka, dia menyiapkan minuman untuknya. Mereka berdua duduk berhadapan, ada kecanggungan yang terlihat jelas. "Sebelumnya, aku ingin minta maaf kalau aku sedikit kasar. Tolong dimaklumi, karena kita baru saja bertemu, dan tiba-tiba ada perjodohan yang sudah di atur. Aku terus bertanya-tanya, kenapa ini bisa terjadi di saat aku sudah memiliki kekasih," jelas Bintang dengan jujur. "Awalnya aku tidak begitu serius menanggapi perjodohan ini, dan keputusan kembali lagi ke tangan Mas Bintang. Hari itu aku ingin memastikan siapa calon suamiku, dan aku melihat Mas Bintang untuk pertama kalinya di kampus. Aku ingin memastikan perasaanku dan bertemu denganmu lagi. Ternyata, aku memang benar-benar menyukaimu," ucap Agatha, sambil menatap Bintang. Bintang terdiam, tak mampu segera menanggapi perasaan Agatha terlalu cepat. Baginya, mencintai bukanlah sebuah kesalahan yang ditentang. Tetapi hatinya masih terikat pada Aera. "Terus terang, aku tidak pernah jatuh cinta pada perempuan lain sebelum mengenal Aera. Meski banyak yang mengagumiku, tapi pandanganku hanya tertuju pada Aera. Dia berbeda. Dia gadis yang polos, dan aku selalu melihat ketulusan dari matanya." Bintang menunduk, mencoba mengingat kenangan indah bersama Aera. Agatha mengangguk, menyadari ketegangan dalam suasana hati Bintang. Namun, perasaannya juga sudah terlalu dalam. "Bagaimana jika aku juga tulus?" ucap Agatha, menatap Bintang dengan tatapan penuh harap. Bintang mengangkat kepalanya dan balas menatap Agatha, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Agatha begitu teduh. Tanpa peringatan, ia meraih dagu Agatha dan mencium bibirnya dengan lembut. Agatha sempat terdiam, namun akhirnya membalas ciuman tersebut. Mereka terhanyut dalam cinta yang tersembunyi. Bintang merasakan jantungnya berdebar untuk Agatha, seperti sebuah bunga yang baru saja mekar kembali. Agatha tiba-tiba saja melepaskan ciumannya, "aku tidak akan memaksa, jika Mas belum yakin untuk menikah." "Agatha, ayo kita menikah!" seru Bintang. Entah mengapa keputusan itu bisa muncul dengan cepat, tapi Bintang mulai yakin bahwa dia akan hidup bahagia bersama Agatha. Meskipun itu berarti, dia harus melepaskan Aera. Agatha tersenyum, "aku berjanji akan melakukan yang terbaik, Mas." Bintang merasa dirinya terlihat jahat karena sudah mengkhianati Aera. Tetapi sepertinya, dia juga sudah jatuh hati pada Agatha sejak pandangan pertama. Senyuman Agatha yang candu, dan suara lembutnya selalu terbayang-bayang di pikirannya. Agatha juga tahu, bahwa jalan yang sebenarnya ia pilih salah. Dia tidak ingin memisahkan cinta Bintang dan Aera, tapi perasaannya sudah tumbuh semakin dalam. Malam itu, Agatha dan Bintang menghabiskan malam bersama dengan keluarganya dalam sebuah acara makan malam dan pertemuan bisnis orang tuanya. Keesokan paginya, Agatha terbangun dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif dan keluar dari kamarnya untuk mengambil minum. Namun, begitu ia membuka pinta kamar, ia terkejut karena melihat begitu banyak orang di ruang tamu. Agatha menghentikan salah seorang pembantu yang berjalan di sampingnya dan berbisik, "apa yang terjadi?" Pembantu itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Nona Agatha, sepertinya ini kejutan untukmu dari Tuan Bintang. Keluarga besar dari kedua belah pihak datang untuk merayakan pertunangan kalian." Agatha terkejut mendengar penjelasan itu, dan meminta pembantunya untuk segera pergi. "Kenapa mereka tidak memberi tahuku?" gumamnya dengan khawatir. Agatha merasa cemas, dia menutupi wajahnya dan ingin kembali ke kamar. Namun, suara panggilan dari ayahnya membuat langkahnya terhenti. Agatha menoleh, melihat Bintang yang berjalan ke arahnya. Dia terlihat gagah dan tampan dengan setelan jas yang digunakannya. Bintang mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sakunya. "Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku ingin kau tahu betapa seriusnya aku tentang hubungan kita. Agatha, will you marry me?" tanyanya dengan lembut. Agatha terkejut, mati-matian mencoba menahan napasnya saat Bintang membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat cincin berlian yang indah. Meskipun Bintang melamarnya di saat yang tidak tepat, Agatha merasa sangat terharu oleh tindakkannya yang terlihat tulus. Agatha terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Kemudian dia mengangguk dengan tegas, pertanda dia setuju untuk menikah. Bintang tersenyum lebar, lalu dengan lembut memasangkan cincin itu di jari manis Agatha. Di tengah kebahagiaan itu, ponsel Bintang tiba-tiba saja berdering. "Aku harus segera pergi," kata Bintang tampak cemas. "Tentu, Mas, pergilah. Aku mengerti," jawab Agatha dengan suara serak, mencoba menyembunyikan kekecewaannya di balik senyum yang di paksakan. Bintang memberikan ciuman singkat di kening Agatha sebelum bergegas meninggalkan rumah, ia juga berpamitan pada anggota keluarga yang lain. Agatha tahu, pekerjaan hanya di jadikan sebuah alasan. Dia melihat jelas nama yang muncul di layar ponsel Bintang, yaitu Aera. Sementara itu, Bintang sudah tiba di lokasi yang Aera kirimkan sebelumnya. Bintang segera turun dari dalam mobilnya dengan perasaan cemas, setelah mendengar kabar bahwa kekasihnya itu mengalami kecelakaan saat berkendara. "Mas Bintang!" panggil Aera dari ujung jalan. "Aera, kamu baik-baik saja? Ada yang terluka?" tanya Bintang, penuh kekhawatiran. Bintang berlari mendekati Aera dengan hati yang berdebar-debar. Dia merasa lega melihat Aera tampak tidak mengalami cedera serius. "Aku baik-baik saja, Mas. Hanya sedikit terkejut," jawab Aera sambil tersenyum lega melihat Bintang. Bintang meraih tangan Aera dengan penuh perhatian, memeriksanya dengan saksama untuk memastikan bahwa dia tidak terluka. Setelah yakin bahwa Aera baik-baik saja, rasa kekhawatiran Bintang mulai mereda. "Aku sungguh khawatir padamu, Aera. Kamu tahu betapa berharganya kamu bagiku?" ucap Bintang dengan suara lembut. Aera tersenyum, merasa hangat dengan perhatian Bintang. "Terima kasih, Mas. Kamu juga sangat berharga untukku," ucapnya sambil memeluk Bintang erat. Mereka berdua saling berpegangan tangan menuju mobil Bintang. Bintang membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Aera untuk masuk. Dia memastikan Aera merasa nyaman sebelum memulai perjalanan. Aera tersenyum, merasa lega karena Bintang selalu siap siaga untuknya. "Aera, bisakah kamu ceritakan padaku, kenapa kamu bisa mengalami kecelakaan?" tanya Bintang, sambil melajukan mobilnya dengan pelan. Aera menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ya, tentu, Mas. Saat dalam perjalanan, aku merasa pusing dan kembali mengalami mimisan. Aku tidak bisa mengendalikan mobilku dengan baik, dan sepeda motor tiba-tiba melintas di hadapanku dengan kecepatan tinggi." "Kenapa kamu tidak menepi dulu?" tanya Bintang. "Aku sedang berusaha menepi, tapi kejadian itu tidak bisa dihindari. Akhirnya aku menabrak trotoar cukup keras. Setelah itu aku keluar dari mobil dan melihat kerusakan yang cukup parah," jelas Aera. "Beruntung kamu baik-baik saja," kata Bintang. "Masalahnya, kedua orang tuaku pasti akan sangat marah." Aera tampak frustrasi. "Mas, kamu bisa membantuku bicara pada mereka kan?" pinta Aera, raut wajahnya tampak khawatir. Mereka berdua saling bertatapan sejenak, merasa lega bahwa mereka memiliki satu sama lain di saat-saat sulit seperti ini. Bintang mengangguk, menjanjikan akan selalu ada untuk mendukung dan melindungi Aera. Aera tersenyum, dan kekhawatiran di wajahnya seketika sirna. Seketika, Bintang tersadar. Pikirannya melayang pada janjinya dengan Agatha untuk menikah. Bintang memikirkan cara-cara untuk menghindari pertemuan dengan orang tua Aera, setidaknya untuk saat ini. Dia merasa situasi ini mungkin akan sulit bagi Aera, terutama mengingat kondisi fisiknya yang belum pulih sepenuhnya setelah kecelakaan tadi. "Bisakah aku membantumu bicara dengan kedua orang tuamu melalui telepon atau pesan teks?" tawar Bintang pada Aera dengan hati-hati, agar dia tidak curigai. Aera awalnya ragu, tetapi melihat kebaikan dan kepedulian yang di tunjukkan oleh Bintang padanya, dia akhirnya luluh. "Baiklah, Mas. Aku setuju dengan usulanmu." Bintang tersenyum lega, meski setelah itu dia tidak pernah menghubungi Aera lagi. Rasa bersalah terus menghantuinya, tetapi dia harus fokus pada pernikahannya dengan Agatha. Bintang meminta agar pernikahannya dengan Agatha di gelar secara rahasia di luar kota, dan Agatha memantapkan keputusan itu kepada orang tuanya. Setelah persiapan yang cukup panjang. Agatha kini berdiri di dekat jendela sambil menatap keluar. Matahari bersinar sangat cerah pagi, padahal hari-hari sebelumnya tampak mendung. Suasana hari itu terasa begitu hangat, begitu juga hati Agatha. Besok pagi, setelah membuka mata statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Dengan hati yang berat, Agatha merenung tentang keputusan yang dibuatnya. Apakah dia benar-benar bahagia dengan pilihan ini? Atau ada sesuatu yang mengganjal di hatinya?Setelah melalui berbagai macam rangkaian acara pernikahan, Agatha dan Bintang segera pergi menuju hotel yang sudah di siapkan oleh keluarganya untuk beristirahat. —Malam pertama? Apakah Bintang benar-benar akan melewatinya dengan Agatha? Apa mungkin perempuan seperti Agatha akan menyerahkan kesuciannya pada Bintang?— Pikiran-pikiran itu terus mengganggu Bintang sepanjang acara sampai tiba di hotel. Setelah selesai membersihkan diri, Agatha segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan membelakangi Bintang yang sedang membaca buku. Bintang sudah mandi lebih dulu saat Agatha menghapus riasannya. Mereka tahu apa yang akan terjadi malam ini, tapi keduanya terlihat gugup. Tiba-tiba saja, Agatha merasakan kehangatan di tubuhnya. Bintang meletakkan buku yang ada di tangannya dan memeluk Agatha dari belakang. "Sudah siap?" bisiknya di telinga Agatha. Agatha pura-pura tertidur dan tak menjawab pertanyaan dari Bintang, jantungnya berdebar lebih cepat. Dia tidak pernah merasakan get
Pintu yang terbuka menampilkan sosok Aera yang terkejut sekaligus bingung melihat Bintang dan Agatha keluar dari ruangan yang sepi. Bintang menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai berbicara kepada Aera. "Mas Bintang, ini.." Aera terlihat bingung, menatap ke arah Agatha dan Bintang. "Aera, aku bisa jelaskan semuanya." Bintang segera melepaskan tangan Agatha dari genggamannya. Bintang merasakan keringat dingin di punggungnya. Dia menatap Agatha sejenak, berharap dia akan mengambil alih situasi. Agatha tahu, ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Aera. "Ada apa, Aera?" tanya Agatha dengan suara tenang. "Aku mendengar ada percakapan serius di dalam. Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Aera, matanya menatap tajam ke arah Bintang. "Ah, itu... hanya urusan pekerjaan," kata Bintang mencoba tersenyum. "Tidak ada yang penting." "Urusan pekerjaan?" Aera mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Kenapa harus dibicarakan dengan pi
Bintang menatap pria di hadapannya, pemilik wajah tampan dan pesona luar biasa itu adalah Niko, kakak Aera. Ia memiliki tinggi sekitar 183 cm dengan postur tubuh yang tegap dan proporsional. Matanya besar dan berbinar, memberikan kesan lembut namun tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya tegas, menambah kesan menawan dalam penampilannya.Meskipun sama-sama seorang pria, tapi Bintang mengakui bahwa kakak Aera ini memiliki penampilan yang sempurna. Namun, ini adalah pertemuan pertama di antara mereka, membuat suasana terasa canggung dan berdebar."Siapa kamu?" tanya Nika, menatap Bintang tajam."Dia calon suamiku," jawab Aera."Tidak, ini salah paham." Bintang menyangkal, berusaha melepaskan pelukan Aera dari tubuhnya."Sudahlah, Mas, tidak perlu ditutupi lagi. Jika perlu, aku akan mengenalkanmu pada dunia," kata Aera."Kalau kamu bukan kekasih Aera, kenapa bisa ada di kamarnya? Apa yang kalian berdua lakukan dengan rambut basah seperti itu?" Niko menatap mereka berdua semakin curiga."Be
Selepas menerima pijatan dari Agatha, Bintang terlelap dalam tidurnya dan menyadari hari sudah mulai petang. Dia meraba-raba tempat tidurnya, mencari keberadaan Agatha. Namun, istrinya tidak ada di sampingnya.Dengan mata yang masih sedikit berat, Bintang turun dari atas tempat tidur. Dia menutup jendela kamarnya dan menemukan sebuah kertas tertempel di sana. Bintang meraih kertas itu dan tersipu."Apa suamiku sudah bangun? Lihatlah, wajah tampanmu sangat menyilaukan," tulis Agatha.Bintang meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Saat dia hendak menggosok gigi, dia menemukan kembali kertas yang menempel di cermin."Aku sudah menyiapkan air hangat untuk Mas. Semoga bisa membantu menenangkan pikiran, Mas."Bintang kembali tersenyum dan menyimpan kertas itu. Ia segera masuk dan merendam tubuhnya di dalam bathub. Setelah otot-ototnya mulai meregang, Bintang segera keluar. Dia memilih baju yang akan dikenakan.Saat Bintang membuka pintu lemarinya, sudah tergantung sebuah setel
Bintang menghela napas panjang, menatap cemas ke arah pintu restoran yang baru saja dilewati Moona dan Aera. Keheningan di meja makan terasa mencekam, setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berhenti.Mama Bintang, yang duduk di seberang Bintang, meremas tangan suaminya dengan khawatir. "Bintang, ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu?" tanyanya lembut namun penuh tekanan.Agatha yang duduk di samping Bintang merasakan getaran ketegangan dari suaminya. Ia menggenggam tangan Bintang lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata. Bintang menghela napas sekali lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat."Itu Aera, teman Bintang," jawab Bintang akhirnya, berusaha meredam kecemasan keluarganya."Teman lama yang datang dengan cara seperti itu? Ada yang lebih dari sekedar teman lama, bukan?" tanya Papa Bintang dengan nada curiga.Bintang menundukkan kepalanya, menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk jujur kepada keluarganya. "Dulu kami dekat, sangat dekat. Tapi sekarang,
Suara lonceng pernikahan bergema di udara, mengiringi langkah Bintang dan Agatha yang baru saja mengucapkan janji suci. Pernikahan mereka berlangsung sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, termasuk Aera. Bintang memandang Agatha dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan perasaan tertekannya."Agatha, aku tidak percaya kita akhirnya menikah," kata Bintang, mencoba terdengar tulus."Aku juga, Bintang. Ini adalah awal dari segalanya," jawab Agatha dengan penuh kebahagiaan.Namun, di balik senyumnya, Bintang merasa terjebak. Pernikahan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Malam itu, Bintang merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua tekanan. Setelah melakukan malam pertamanya dengan Agatha, Bintang pergi ke bar hotel. Dia memesan minuman, berharap bisa menenangkan pikirannya.Malam semakin larut, namun Bintang masih belum meninggalkan bar. Bintang merasa tekanan pernikahannya untuk sesaat terlupakan, namun bayangan tentang Aera masih ter
Setelah kejadian di restoran itu, Bintang merasa terpukul dan hancur. Tamparan Aera bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga membekas dalam hatinya, membuatnya sadar betapa dalam ia telah melukai seseorang yang begitu berharga dalam hidupnya.Selama beberapa hari berikutnya, Bintang merasakan kehampaan yang mendalam. Ia mencoba menghubungi Aera, mengirim pesan-pesan panjang penuh penyesalan dan permintaan maaf, namun tak satu pun dari pesannya mendapat balasan. Setiap panggilan teleponnya diabaikan, dan setiap kali ia mencoba menemui Aera, ia selalu dihindari.Bintang mulai merenung dan menyesali semua tindakannya. Ia sadar bahwa keputusannya yang salah telah menghancurkan hubungan mereka, Bintang tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Malam itu, Bintang bertekad untuk mengatakan semuanya kepada Agatha."Agatha, ada yang harus kita bicarakan," kata Bintang dengan suara berat.Agatha yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku, segera menutup bukuny
Bintang berdiri di depan pintu dengan napas tersengal-sengal, wajahnya penuh tekad meski hatinya masih merasa bersalah. Ia menatap keluarga Aera dengan penuh penyesalan.Pak Jerry berbalik menghadap Bintang dengan mata yang berkobar-kobar. "Apa kau pikir ini lelucon? Kau datang ke rumahku setelah menghancurkan hidup anakku dan mengharapkan kami akan menerimamu begitu saja? Jangan mimpi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Bintang menelan ludah dan mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Saya tahu saya telah melakukan kesalahan besar, tapi saya tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Saya akan menikahi Aera secepatnya."Aera yang duduk di meja makan mulai menangis lagi, merasa lega sekaligus tertekan dengan situasi yang terjadi. Bu Liana memeluk Aera, mencoba menenangkannya.Pak Jerry mendekati Bintang dengan wajah yang penuh kemarahan. "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau akan menikahi Aera? Kau sudah memiliki istri! Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Mas, kamu serius?" tanya Aera gemetar.Sejenak, waktu terasa berhenti. Suara detak jarum jam di ruangan terasa semakin jelas di telinganya, seolah menegaskan betapa tidak terhindarkannya kenyataan yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa terus seperti ini, Aera," kata Bintang dengan suara pelan tapi tegas. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tegar. "Maafkan aku, tapi ini satu-satunya jalan. Semua yang terjadi di antara kita... sudah terlalu jauh. Aku harus melakukan ini demi Agatha dan diriku sendiri."Aera meremas surat itu di tangannya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Mas, aku... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tapi, tolong... tolong jangan lakukan ini. Jangan tinggalkan aku," suaranya bergetar, penuh dengan rasa putus asa.Bintang menunduk, menghela napas panjang. "Aera, aku sudah memikirkan ini lama. Aku tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan luka. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri... dan aku
Aera tak mampu berkata-kata, dadanya terasa sesak melihat putrinya berdiri di depan pintu. Semua rencana, kebohongan, dan manipulasi yang ia lakukan selama ini tiba-tiba terasa sia-sia saat ia menatap wajah lugu Airin. Mata anak kecil itu mencari-cari jawaban di wajah ibunya, tak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi.“Aera, kau harus memutuskan sekarang,” suara Niko terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh penekanan. “Apakah kau akan terus menyangkal dan membiarkan anakmu terjebak dalam kekacauan ini, ataukah kau akan mengakui semuanya dan memberi dia kesempatan untuk hidup tanpa beban dosa-dosamu?”Aera menundukkan kepala, rasa bersalah dan penyesalan mulai menguasainya. Airin adalah segalanya bagi Aera. Selama ini, dia berusaha keras untuk membenarkan tindakannya demi kelangsungan hidup mereka berdua. Namun, melihat putrinya di sini, di tempat di mana Aera seharusnya melindungi dan bukan sebaliknya, membuat dinding pertahanannya perlahan runtuh.Airin melangkah maju, mendekati
Saat Aera menyusun barang-barangnya dengan panik, pikirannya melayang pada setiap langkah yang telah dia ambil selama ini. Dia teringat akan semua rencana jahatnya, dan bagaimana dia telah dengan licik mengatur semua orang untuk kepentingannya sendiri. Terlalu banyak yang dipertaruhkan dan terlalu banyak yang bisa hilang.Namun, pelariannya tidak semudah yang dia bayangkan. Saat dia keluar dari apartemennya, dia melihat beberapa mobil polisi berpatroli di sekitar area tersebut, tanda bahwa pihak berwenang mulai melakukan pencarian intensif. Dengan cepat, dia merubah arah dan menyusuri gang-gang sempit, mencoba menghindari perhatian. Di tengah kekacauan, Bintang dan Agatha, yang baru saja selesai menonton siaran pers, merasa terombang-ambing oleh berita tersebut. Keduanya duduk dalam keheningan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.“Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa
Setelah penangkapan Pak Jinwoo, sesi interogasi diatur untuk mendapatkan pengakuan resmi darinya. Niko dan tim penyidik melakukan interogasi yang intensif untuk mengungkap seluruh keterlibatan Pak Jinwoo dalam berbagai kejahatan. Dalam keadaan tertekan dan merasa tidak ada lagi jalan keluar, Pak Jinwoo akhirnya mengakui semua kesalahannya.Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan secara langsung, Pak Jinwoo memberikan pengakuannya di depan publik. Dengan ekspresi penuh penyesalan, dia mengungkapkan rincian dari semua rencananya.“Saya mengakui semua kesalahan saya,” kata Pak Jinwoo dengan suara gemetar. “Aera adalah otak di balik semua ini. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bersama Agatha dan berusaha menghancurkan kehidupan mereka.”Pak Jinwoo melanjutkan, “Saya juga yang menjebak Pak Johan, ayah Bintang. Semua tuduhan penggelapan yang dikenakan padanya adalah rencana saya untuk menutupi jejak-jejak saya dan mengalihkan perhatian dari aktivitas ilegal saya.”Pengakua
Di sebuah sudut kota yang sepi, mobil yang mencurigakan di rekaman CCTV ditemukan oleh tim investigasi. Detektif Arif berhasil melacak nomor plat mobil tersebut dan menemukan bahwa itu adalah kendaraan yang pernah dipakai oleh seseorang dengan hubungan langsung dengan Bu Shinta. Arif dan Niko segera menindaklanjuti petunjuk ini dengan memeriksa alamat yang terdaftar. Ketika mereka sampai di rumah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi taman, mereka melihat tanda-tanda kehidupan. Tanpa membuang waktu, mereka memasuki rumah tersebut dengan hati-hati."Ini rumah yang sama," kata Niko, memeriksa sekeliling dengan seksama. "Kita harus sangat hati-hati."Di dalam rumah, Gio terlihat bermain dengan mainan di ruang tamu. Bu Shinta, meski terlihat cemas, mencoba tetap tenang di samping cucunya. Ketika mendengar suara pintu terbuka, wajah Bu Shinta memucat dan dia tahu bahwa waktu untuk melarikan diri semakin singkat."Jangan takut, Gio," kata Bu Shinta dengan lembut, sambil mengajak Gio ber
Saat sore hari yang tenang, Gio dan Airin bermain di halaman depan rumah Agatha. Tawa mereka menggema di udara, sementara sinar matahari sore memberikan cahaya hangat. Agatha berada di dapur, dengan hati-hati menyiapkan susu untuk anak-anaknya. Sesekali, ia melirik keluar jendela, memastikan mereka masih bermain dengan aman.Di halaman, pengasuh yang biasanya mengawasi Gio dan Airin pergi ke kamar mandi sebentar. Agatha merasa tenang karena yakin bahwa anak-anaknya berada di tempat yang aman. Namun, ketika ia keluar dari dapur dengan dua botol susu hangat di tangannya, ia merasakan ada yang tidak beres.Agatha melihat Airin berdiri sendirian di dekat gerbang dengan wajah bingung. Hatinya berdegup kencang saat ia bergegas mendekati putrinya. "Airin, ada apa? Di mana Gio?"Airin menatap Agatha dengan mata penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. "Gio dibawa pergi seseorang, Tante."Jantung Agatha seakan berhenti mendengar jawaban itu. Cangkir susu di tangannya hampir terjatuh. "Apa maks
Aera menutup pintu rumahnya dengan keras, membiarkan suara gemuruh menggema di seluruh rumah. Dia merasa seolah-olah dunia telah menamparnya keras-keras. Di ruang tamu, dia melempar tasnya ke sofa, lalu duduk dengan mata terpejam, mencoba meredakan badai emosi yang berputar di dalam dirinya.Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, kenangan-kenangan bersama Rocky mulai berkelebat di benaknya. Mereka dulunya adalah sahabat baik. Mereka berbagi segala hal—dari rahasia terdalam hingga mimpi-mimpi terbesar. Namun, segalanya berubah ketika Aera mengenal Bintang di kampusnya. Persahabatan mereka terasa semakin jauh seiring dengan berkembangnya perasaan Aera terhadap Bintang.Aera mengingat saat-saat bahagia di masa lalu ketika mereka pertama kali bertemu. Senyuman hangat Rocky, sentuhan lembutnya, dan canda tawa yang mereka bagi. Semua itu terasa seperti mimpi yang jauh, hilang di balik awan kelabu masalah yang kini mereka hadapi.Dia mengingat saat mereka berjalan di taman, tangan mereka
Gio tahu bahwa ibunya tidak benar-benar fokus saat bermain dengannya. Meskipun dia masih kecil, dia bisa merasakan kesedihan yang terselubung di balik senyum ibunya. Dengan cepat, dia mencari cara untuk membuat Agatha tertawa."Mama, lihat ini!" serunya dengan antusias.Gio berlari ke kamarnya dan kembali dengan memakai topi besar dan kacamata hitam yang terlalu besar untuk wajahnya. Dia mulai berakting seperti detektif, berkeliling ruang main dengan gaya lucu sambil berbicara dengan suara dalam, "Hmm, sepertinya ada kasus besar di sini! Siapa yang mencuri senyuman Mama?"Agatha tidak bisa menahan tawa melihat aksi Gio yang menggemaskan. Gelak tawanya akhirnya pecah, membebaskan sebagian beban di hatinya.Dia meraih Gio dan memeluknya erat. "Kamu memang detektif yang hebat, Gio. Terima kasih sudah membuat Mama tertawa."Gio tersenyum lebar, senang melihat ibunya bahagia. "Apa pun buat Mama. Aku cinta Mama."Agatha mencium pipi Gio dan berkata dengan lembut, "Mama juga cinta kamu, saya
Niko dan Rocky kembali ke Indonesia dengan perasaan kecewa dan tangan kosong. Setelah berminggu-minggu mencari di Amerika, mereka tidak berhasil menemukan jejak Pak Jinwoo. Setibanya di rumah, wajah mereka tampak lelah dan penuh kekhawatiran.Di ruang tamu rumah besar Agatha, Bintang, Agatha, dan Detektif Arif sudah menunggu mereka. Melihat wajah Niko dan Rocky, mereka tahu bahwa misi itu tidak berhasil."Bintang, Agatha, kami sudah mencari di berbagai tempat di Amerika, termasuk Kanada dan Paris. Tapi Pak Jinwoo sepertinya menggunakan identitas palsu dan berhasil mengelabui kami," kata Niko, menundukkan kepalanya.Rocky menghela napas panjang. "Kami tidak menemukan apa-apa, hanya jejak yang hilang."Agatha yang duduk di sebelah Bintang mencoba tetap tenang. "Yang penting kalian sudah berusaha keras. Kita harus mencari cara lain untuk menemukannya."Bintang menggenggam tangan Agatha erat, memberikan kekuatan pada istrinya. "Kita akan terus mencari, tidak akan berhenti sampai kita mene