"Jika sampai akhir bulan ini kamu belum bisa setor tulisan untuk project game kami, dengan terpaksa kami akan menghentikan kontrak kerja," begitulah peringatan ultimatum dari atasannya saat rapat tim internal di kantor sore hari sebelum Riana pulang ke rumah.
Sebuah peringatan yang membuat hatinya goyah dan terluka. Sejauh ini, semenjak lulus kuliah, satu-satunya ladang penghasilannya adalah dari tulisan. Semua tulisannya selalu menjadi satu-satunya mata pencahariannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan ibunya di rumah sakit.
"Kalau aku dipecat, aku cuma bisa dapat penghasilan dari editing dan web novel. Aaah, pusing!" Riana membentur-benturkan kepalanya ke meja saat dia memutuskan tetap mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah hingga larut malam.
Riana memandangi laptopnya lagi. Hari ini dia harus menyelesaikan deadline tulisannya. Berulang kali dia menghembuskan napas panjang.
"Nggak ada yang bener," keluh Riana gundah. Pikirannya sangat frustasi memikirkan SP dari leader timnya di kantor tadi.
Krek!
"Hmm?" gadis berambut panjang bergelombang itu berhenti membenturkan kepala. Terdengar suara beberapa orang laki-laki di dalam rumahnya.
"Perasaan tadi udah kukunci semua pintunya," gumamnya," Apa maling?"
Bulu kuduk belakang leher Riana berdiri. Hawa merinding dan takut mulai menyerangnya. Jika benar itu maling, dirinya dalam bahaya. Hanya ada dia saja di rumah tua peninggalan keluarga ibunya itu.
Dia segera mengambil raket nyamuk. Dipegangnya erat-erat raket nyamuk itu sambil keluar kamar. Dia berharap apa yang didengarnya hanyalah imajinasinya belaka.
Pelan… pelan… dan perlahan dia berjalan menyusuri lorong rumah menuju ruang tamu. Semua lampu ruangan masih mati. Sama seperti sebelumnya. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain selain dirinya.
"Huft… kayaknya cuma pikiranku aja," Riana menceklekan saklar lampu agar lampu ruang tamu menyala.
Sesaat setelah lampu menyala, seseorang memegang pundak Riana. Membuat Riana tercekat kaget dan mengayunkan raket nyamuk yang sudah ditekan tombol on-nya ke arah belakang. Teriakan Riana berpadu dengan suara teriakan kesakitan orang di belakangnya. Ditambah suara petir sebagai backsound peristiwa.
Pandangan Riana menangkap tiga orang pria berada di belakangnya. Salah satunya sedang kesakitan karena raket nyamuknya.
"Kau…!" pandangan tajam dengan aura membunuh dilayangkan tepat pada Riana. Menghujam tajam membuat Riana sangat ketakutan.
"Ma-maaf…. Aku…. Aku….," belum sempat Riana menyelesaikan perkataannya, laki-laki itu sudah menghampiri Riana dan menjambak rambut panjangnya. Membuat Riana semakin ketakutan dan juga kesakitan.
"Maafkan aku…," pinta Riana di tengah rasa kesakitannya. Matanya sudah berkaca-kaca menahan rasa takut.
"Maaf katamu?" laki-laki itu masih memandangi Riana dengan tatapan tajam. Beberapa saat kemudian, tatapan itu berubah menjadi tatapan penuh kekagetan.
"Kamu…?" Laki-laki itu menatap Riana seolah pernah mengenal dirinya.
Riana ikut menatap wajah laki-laki muda itu. Wajahnya memang terlihat galak. Ditambah dengan tatapannya yang tajam seperti sebilah pedang samurai. Hanya saja hal itu tak mengingatkan apapun pada diri Riana tentang seseorang yang dikenalnya.
Laki-laki itu menghempaskan Riana hingga jatuh ke lantai. Senyum seringai terpampang jelas di wajahnya. Dia duduk di kursi ruang tamu diikuti dua orang lainnya yang menurut dugaan Riana adakah anak buahnya.
"Kamu anaknya Dibyo bukan?" tanya laki-laki berwajah tampan itu. Riana masih ketakutan sehingga tak bisa bersuara. Dia hanya bisa menganggukkan kepala menjawab pertanyaan itu.
"Ayahmu punya hutang ratusan juta padaku. Sekarang sudah jatuh temponya. Aku mau menagih," jelas laki-laki itu.
Kedua mata Riana membelalak lebar. Tak percaya dengan yang didengarnya barusan.
"Aku akan mengambil rumah dan tanah ini sebagai jaminan. Meski tempat ini tetap tidak bisa menutup hutangnya," laki-laki itu berdiri lalu mendekati Riana lagi," Tapi aku bisa menjualmu."
Rasa takut Riana semakin memuncak. Jual katanya? Riana tak bisa membayangkan dirinya dijual karena hutang ayahnya.
"Tapi… tapi aku udah nggak tinggal lama dengan ayahku!" tolak Riana. Sejak, lulus kuliah, ayahnya pergi menghilang entah kemana. Tak ada yang tahu rimbanya. Karenanya dia harus hidup mandiri untuk menghidupi dirinya dan ibunya yang sakit-sakitan.
"Siapa yang peduli. Itu urusanmu. Urusanku hanya menagih hutang ayahmu," laki-laki itu merenggut kedua pipi Riana dengan kasar," Dengar baik-baik, aku hanya ingin semua hutang ayahmu lunas. Selain itu, aku tidak mau tahu."
Riana mencoba berpikir cepat. Dia tak ingin dijual oleh laki-laki itu. Otaknya tak bisa membayangkan reaksi ibunya jika tahu dirinya menjadi seorang wanita penghibur.
"Iya! Iya! Akan kubayar! Tapi jangan jual aku! Aku mohon!" teriak Riana. Kedua matanya terpejam menahan rasa takut dan putus asa.
"Hmm… kau bisa apa?"
"Hah?" Riana tak mengerti maksud laki-laki itu.
"Kau bisa apa untuk membayar sisa hutang ayahmu?"
Riana terdiam. Satu-satunya keahliannya hanyalah menulis. Tak ada yang lain. Hanya menulis dan mengerjakan pekerjaan rumah.
"Aku… aku nggak punya banyak keahlian. Aku hanya seorang penulis. Gajiku nggak banyak. Tapi aku bisa bersih-bersih rumah," tutur Riana," Apa aku bisa jadi pembantumu saja? Aku akan membersihkan seluruh rumahmu tiap harinya secara gratis sambil tetap bekerja sebagai penulis. Bagaimana?"
Riana sudah tak tahu lagi harus bernegosiasi seperti apa. Hanya itu saja yang terlintas di otaknya. Dirinya tak sekompeten itu untuk membayar banyak hutang. Yang tersisa hanyalah semangatnya untuk tetap bertahan hidup dengan cara yang layak. Yang penting jangan sampai aku dijadikan wanita malam! tekad Riana.
"Hah? Pembantu katamu?" laki-laki itu mengulangi lagi ucapan Riana.
Gadis berkacamata itu menganggukkan kepala sekuat tenaga. Berharap laki-laki itu mempercayainya.
"Aku akan menjadi pembantumu sampai hutangnya lunas. Kamu bisa pegang ucapanku! Aku nggak bakal bohong! Nggak bakal lapor polisi juga," Riana masih berusaha meyakinkan laki-laki itu.
"Hmm," laki-laki itu memandangi wajah Riana lagi. Pandangan yang dalam seperti sebelumnya.
"Aku mohon! Jangan jual aku! Ibuku dirawat di rumah sakit. Aku harus menjenguknya tiap hari," Riana menangis putus asa.
Laki-laki itu melepaskan tangannya dari wajah Riana lalu berkata," Bawa dia ke mobil."
Kedua pria berotot dan berbadan besar mengangguk patuh. Mereka mendekati Riana. Bersiap menjalankan perintah laki-laki itu.
Riana ingin lari tapi kakinya terlalu lemas. Dia merangkak menjauh. Tangannya melemparkan barang-barang yang ada dalam jangkauannya ke arah dua pria besar besar itu.
Meski begitu, sekuat apapun Riana berusaha, kedua pria itu tetap berhasil menangkapnya. Riana masih meronta dan memukul sekuat tenaga agar bisa terlepas. Namun, kedua pria itu berhasil menekuk dirinya. Mereka mengikat tangan dan kaki Riana. Tak lupa memplester mulut Riana agar tak lagi mengeluarkan suara berisik.
Setelahnya, salah satu di antara dua pria itu membopong Riana masuk ke dalam mobil hitam yang sudah terparkir rapi di halaman rumahnya. Dengan kencang, Riana dilemparkan ke kursi penumpang. Tubuh Riana rasanya remuk. Dalam hitungan menit, tubuhnya terhempas berulang kali dan kesakitan. Dia masih berusaha menggeliat agar bisa kabur. Namun, semuanya sia-sia. Yang ada hanyalah tubuhnya yang kelelahan dan akhirnya tak sadarkan diri sesaat setelah mesin mobil dihidupkan.
Sayup-sayup terdengar suara tangisan. Sesekali suara itu tertahan. Seolah takut ada yang mendengarnya."Hmm? Siapa yang nangis?" Riana membuka mata. Tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama tak sadarkan diri.Kepala Riana menoleh ke kiri dan ke kanan. Sambil berpikir, Riana mencoba mengenali tempat baru yang dihuninya ini.Ah, iya. Semalam ada penagih hutang ke rumah.…. Dan aku diculik sekarang.Riana menundukkan kepala lemah. Menyadari nasib buruknya akan bertambah buruk lagi setelah ini.Suara tangisan yang membangunkannya tadi terdengar lagi. Asalnya dari balik jendela. Kali ini semakin kencang. Membuatnya jadi penasaran."Siapa?" panggil Riana. Tak ada cara apapun yang bisa dilakukan Riana selain bertanya. Kedua tangan dan kakinya terikat. Hanya lakban di mulutnya yang dilepas.Suara Isak tangis itu berhenti sesaat. Membuat hati Riana jadi gusar."Tadi itu manusia kan ya?" gumam Riana sambil celingukan. Tempat dia berada cukup luas. Sayangnya diisi oleh kardus dan peralatan rumah y
"Meow.…," seekor kucing putih melompat dari sisi Riana."Oh, kucing ternyata, Bos," teriak salah seorang dari mereka.Haaah, Riana menghembuskan napas lega. Tak menyangka keberuntungan naik dengan baik hari ini.Gerombolan preman penagih hutang itu mulai berjalan menjauh. Saat sudah yakin situasi benar-benar aman, Riana langsung melepaskan pelukan eratnya dari bocah laki-laki di pangkuannya itu."Kita sudah aman. Ayok! Waktunya kabur," Riana dengan riang menggandeng anak itu. Tentunya dengan sangat bahagia, anak itu mengikuti langkah Riana.BRUK!Riana menubruk sesuatu beberapa saat setelah keluar dari persembunyiannya."Ugh! Sakit!" Riana memegangi hidungnya yang terasa perih akibat tabrakan tadi."Sudah kuduga ada kucing lain di sini," sebuah suara familiar yang terdengar membuat Riana merinding seketika.Tampak pria penculik dirinya beserta dua orang anak buahnya berdiri di hadapan Riana. Pandangan tajamnya semakin tampak jelas dibanding kemarin malam saat pertama kali mereka berte
"Ma, makan ini," Rafa menyuapkan roti isinya ke mulut Riana."Ma!" Riana tergelagap dari lamunannya."Oh, iya, Rafa. Ada apa?""Makan ini," Rafa masih setia menyuapkan roti isinya ke mulut Riana."Haem," Riana memasang wajah bahagia sambil mengunyah roti pemberian Rafa."Enak, Ma?""Iya. Enak. Mama suka," Riana terus memasang wajah senyum. Padahal hatinya sedang gundah gulana.Sudah hampir dua minggu dirinya tak menemui ibunya di rumah sakit. Padahal, tiap sore atau malam, dia pasti mengunjungi ibunya. Riana ingin sekali bisa keluar dari rumah ini. Lari keluar dan menuju rumah sakit menemui ibunya.Ibu, maafin Riana….Rafa yang sedari tadi menangkap raut sendu Riana jadi ikut sedih. Akan tetapi, bocah itu tak tahu apa yang terjadi pada Riana."Mama kenapa sedih?" akhirnya Rafa melontarkan rasa penasarannya.Riana hanya menoleh. Sesaat dirinya bingung kenapa Rafa bisa bertanya seperti itu padanya."Mama dari tadi cuma hembusin napas doang. Makanan di piring nggak dimakan sama sekali. M
"Riana?" panggil Ibu Riana."Ah, Ibu…." Riana secara otomatis berlari menghampiri ibunya. Walaupun sekarang pikirannya acak adul tak karuan. Dia harus tetap bisa tersenyum. Jangan sampai ibu khawatir, tekad Riana.Sebuah pelukan hangat Riana dapatkan dari ibunya. Sangat hangat. Membuat air mata Riana meleleh perlahan."Aduh, kenapa kamu nangis? Ibu kan sehat!""Hmmm, nggak Bu. Mata Riana cuma kena debu," Riana mengusap air matanya."Anak kecil ini siapa?" ibu Riana menatap Rafa yang bersembunyi di belakang rok tutu hitam panjang Riana."Namanya Rafa, Bu. Ayo Rafa kenalan sama Nenek," Riana mendorong pelan Rafa agar mendekat ke ibunya."Halo Rafa," sapa ibu Riana ramah."Halo Nek. Aku Rafa. Salam kenal," Rafa meraih tangan ibu Riana dan menciumnya. Membuat ibu Riana tergelak dalam tawa."Nenek mamanya Mama?" tanya Rafa membuat ibu Riana mengerutkan dahi."Mama? Maksudmu Riana?" ibu Riana menunjuk Riana. Rafa mengangguk kuat.Riana menggelengkan kepala dan berbisik pelan," Anak bos."Ib
"Masuk," perintah David.Riana masih berdiri mematung. Bingung. Seharusnya yang mengantarnya hari ini menjemput Rafa kan Joni? Kenapa yang muncul malah David?"Mana Joni?""Masuk sekarang atau kutarik paksa?" David menatap tajam Riana dalam mobil. Glek! Riana langsung membuka pintu penumpang dan duduk manis di sisi David.Mulut Riana terkunci rapat-rapat. Tak lagi ingin berkata aneh pada pria di sampingnya. Di situasi seperti ini, kata mutiara diam adalah emas adalah hal terbaik yang pernah Riana dapat seumur hidup.Sambil menyetir, David mulai memberondong Riana dengan beragam pertanyaan."Rafa menyusahkanmu waktu di rumah sakit?""Nggak. Dia anak manis. Ibuku suka Rafa.""Ibu sehat berarti?""Ya. Kondisinya tak seburuk biasanya.""Kamu suka dengan ruangannya?""Ruangan itu menguras dompetku," Riana menundukkan wajah sedih. “Apa kamu nggak bisa kembaliin ibuku ke ruang semula? Kami sudah terbiasa dengan pelayanan rakyat jelata. Kamu nggak perlu susah payah membantuku.""Sudah kubilan
Mata David tak henti-hentinya menatap Jo. Sementara itu, Jo masih dengan santainya memeriksa luka lebam di lengan Rafa yang sudah terbangun.Jo akhirnya berhasil memaksa Riana masuk ke ruangannya. Tentu dengan alasan memeriksa Rafa. Alasan yang Jo duga tak mungkin bisa ditolak Riana dan pasti akan diikuti oleh laki-laki berwajah dingin yang Jo duga adalah suami Riana."Anakmu berantem?" tanya Jo usai memeriksa Rafa."Iya. Ada anak yang ganggu dia," jawab Riana."Sering-sering dikompres aja. Dua tiga hari bakal hilang," Jo melirik David. Sebuah senyuman dilemparkannya pada David sebelum menyapa."Suaminya Riana ya?" tanya Jo."Iya,” jawab David tanpa ragu."Bukan!" jawab Riana dan Rafa serentak. Mentah-mentah menolak jawaban David. Membuat David melotot kesal."Ini Om-ku. Namanya Om David. Ini Mamaku. Mama udah lama pergi. Tapi kemarin dateng lagi. Pulang ke rumah," Rafa memeluk lengan Riana erat. Senyumannya begitu riang.Dahi Jo mengkerut. Apa maksud bocah kecil ini? "Ayo pulang. Om
David menarik Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.TUK!Sesuatu menyentuh kepalanya.TUK! TUK! TUK!Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapanny
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana."Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?""Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana."Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula