Sayup-sayup terdengar suara tangisan. Sesekali suara itu tertahan. Seolah takut ada yang mendengarnya.
"Hmm? Siapa yang nangis?" Riana membuka mata. Tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama tak sadarkan diri.
Kepala Riana menoleh ke kiri dan ke kanan. Sambil berpikir, Riana mencoba mengenali tempat baru yang dihuninya ini.
Ah, iya. Semalam ada penagih hutang ke rumah.…. Dan aku diculik sekarang.
Riana menundukkan kepala lemah. Menyadari nasib buruknya akan bertambah buruk lagi setelah ini.
Suara tangisan yang membangunkannya tadi terdengar lagi. Asalnya dari balik jendela. Kali ini semakin kencang. Membuatnya jadi penasaran.
"Siapa?" panggil Riana. Tak ada cara apapun yang bisa dilakukan Riana selain bertanya. Kedua tangan dan kakinya terikat. Hanya lakban di mulutnya yang dilepas.
Suara Isak tangis itu berhenti sesaat. Membuat hati Riana jadi gusar.
"Tadi itu manusia kan ya?" gumam Riana sambil celingukan. Tempat dia berada cukup luas. Sayangnya diisi oleh kardus dan peralatan rumah yang sudah tak terpakai. Ada beberapa kayu bangunan, besi, dan pipa.
"Kayaknya aku ditaruh di gudang. Tapi masa' iya tadi suara hantu gudang?" Riana menggelengkan kepala," Nggak! Mikir yang bener Riana!"
"Halo?" Riana kembali memberanikan diri menyapa si pemilik suara tangisan tadi," Kamu ada di luar ya? Bisa dengar aku kan?"
Riana menunggu beberapa saat. Muncul sembulan sebuah kepala mungil dari balik jendela.
Ah! Beneran manusia!
"Adik kecil! Lihat ke sini!" panggil Riana setengah berteriak. Sekuat tenaga Riana berusaha mengesot mendekati jendela.
Anak kecil itu langsung meloncat masuk ke dalam, jendela gudang yang sudah hilang kacanya. Riana terkaget melihat aksi anak itu.
"Kamu nggak apa-apa?" Riana menatap khawatir bocah laki-laki yang berguling di lantai itu.
Anak itu tak menjawab. Langsung berdiri dan menghampiri Riana. Tangan mungilnya membantu membuka ikatan di tangan dan kaki Riana.
Riana masih menatap bingung anak itu. Mata Riana fokus pada fisik bocah yang seusia anak sekolah dasar itu. Tak lupa Riana mengecek apakah kaki bocah itu mengambang atau tidak.
"Kamu bukan hantu kan?" celetuk Riana tanpa pikir panjang. Anak itu hanya menggelengkan kepala.
"Kamu yang menangis tadi?" Riana melanjutkan pertanyaannya. Anak itu tampak ragu menjawab.
"Nggak masalah kok. Nangis itu wajar. Semua orang bisa sedih dan bisa nangis," Riana tersenyum pada anak itu. Dengan lembut Riana mengusap-usap rambutnya.
"Terima kasih ya? Sudah membantuku," ujar Riana. Anak itu mengangguk senang.
Pandangan Riana beralih pada jendela tanpa kaca itu. Dengan melompati jendela itu, tentu dia punya kesempatan untuk kabur. Tanpa Riana sadari, kakinya sudah bergerak otomatis membawa dirinya ke dekat jendela.
Riana merasa cukup beruntung karena badannya mungil. Dia jadi punya kesempatan lebih besar untuk melewati jendela yang tak terlalu besar itu. Dengan segera Riana langsung melangkahkan kaki kanannya naik ke jendela.
"Ng…," bocah laki-laki itu menarik celana Riana. Mengingatkan Riana bahwa eksistensi dirinya juga ada.
"Aku harus pulang, Dik. Ibuku menungguku," jelas Riana sambil menurunkan kakinya kembali. Anak itu menatap Riana dengan tatapan memelas.
"Hmm, aku senang dan berterima kasih karena kamu sudah menolongku. Tapi, aku harus pulang."
Riana mencoba memberikan penjelasan pada anak itu. Namun, tangis anak itu malah muncul.
"Eh, eh, jangan nangis," refleks Riana memeluk anak itu," Jangan nangis ya? Kakak belum pergi kok. Cup…cup … cup.…"
Penuh kelembutan Riana mengusap-usap punggung anak itu. Berusaha agar tangisnya mereda.
"Kamu mau ikut kakak?" tanya Riana. Bocah itu mengangguk dengan cepat.
"Tapi rumahmu di sini kan?" lanjut Riana. Ya, jika bocah itu tidak hantu, harusnya bocah itu tinggal di rumah itu. Meskipun Riana juga tak terlalu yakin dengan dugaannya.
Anehnya bocah itu menggelengkan kepala kuat-kuat. Seolah-olah berusaha meyakinkan Riana.
"Yakin? Nggak di sini?" Riana masih merasa curiga. Anak itu mengangguk penuh keyakinan.
Kalau bukan, apa anak ini juga diculik? Karena orang tuanya berhutang? Tadi kan anak ini nangis? Mungkin kabur? Tapi bingung jalan pulang? Kalau benar iya, kasihan sekali dia.
Riana menatap sedih bocah laki-laki dalam pelukannya itu. Dasar preman jahat!
"Ya udah. Kamu ikut Kakak aja ya? Mau kan?" tawar Riana yang langsung dibalas dengan anggukan kepala riang. Riana tersenyum lega melihat bocah itu tampak bahagia.
Secepatnya Riana membantu bocah itu keluar duluan melewati jendela. Setelah itu, barulah dirinya yang naik melompat keluar jendela gedung.
Yup! Berhasil! teriak hati Riana senang bisa melepaskan diri dari gudang mengerikan tadi.
"Ayok kita pulang," Riana menggandeng erat anak itu. Diajaknya bocah itu berjalan mengendap-endap keluar dari area itu.
Sambil bersembunyi, Riana memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Sepi. Tak ada penampakan orang sama sekali.
Apa para preman itu sedang keluar ya? Hmm, wajar sih. Ini kan udah siangan. Mereka pasti keliling cari setoran, pikir Riana.
Riana mencari-cari pagar utama untuk keluar. Pandangannya akhirnya bisa menemukan apa yang dicari. Namun, sulit baginya bisa keluar dari pagar utama itu karena ada empat penjaga di sana.
"Aaargh, ini susah," batin Riana kesal.
"Ng….Ng.….," bocah itu menarik-narik tangan Riana. Saat sudah mendapatkan perhatian Riana, bocah itu langsung menunjuk ke arah lain.
"Kemana? Kamu tahu pintu luar lainnya?" tanya Riana. Anak itu mengangguk mengiyakan.
"Oke, aku ikuti kamu."
Riana memberanikan diri mengikuti anak itu. Lagipula terlalu riskan juga baginya kabur lewat pintu depan. Rumah lintah darat seperti ini pasti diawasi ketat. Akan lebih baik jika dirinya lewat jalan lain.
Bocah itu membawa Riana menyusuri jalan di belakang gudang. Sebuah jalan setapak rapi yang melewati semak-semak cukup tinggi. Setidaknya cukup tinggi untuk menutupi tubuh mereka berdua.
Butuh waktu setidaknya 15 menit bagi mereka menemukan pintu keluar. Riana pun tak menyangka bocah itu akan tahu jalan belakang seperti ini. Mungkin anak itu sudah sering mencoba kabur. Jadi cukup paham lingkungan rumah ini.
Bocah itu menarik gerendelan rantai besi yang melingkari pagar besi itu. Riana mencoba membantunya.
KLANG! Suara besi terdengar nyaring.
"Ah! Itu ada suara! Ayo cepat ke sana!" sebuah teriakan terdengar jelas.
Riana langsung menggendong bocah itu dan mengajaknya berlari bersembunyi di belakang pohon mangga. Di menit selanjutnya tampak beberapa pria datang. Salah satunya adalah pria yang memimpin penculikan dirinya.
CEGUK!
"HUK!" Riana menutupi bibirnya. Karena terlalu kaget dirinya jadi cegukan dengan keras.
"Siapa itu?" sebuah suara terdengar jelas bagaikan petir menyambar di siang hari.
Ah! Sial! Kenapa juga aku harus cegukan keras, ratap Riana dalam hati.
Tap… tap… tap….
Riana mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan erat Riana memeluk bocah laki-laki itu. Tolong, jangan sampai ketahuan, doa Riana dalam hati.
"Meow.…," seekor kucing putih melompat dari sisi Riana."Oh, kucing ternyata, Bos," teriak salah seorang dari mereka.Haaah, Riana menghembuskan napas lega. Tak menyangka keberuntungan naik dengan baik hari ini.Gerombolan preman penagih hutang itu mulai berjalan menjauh. Saat sudah yakin situasi benar-benar aman, Riana langsung melepaskan pelukan eratnya dari bocah laki-laki di pangkuannya itu."Kita sudah aman. Ayok! Waktunya kabur," Riana dengan riang menggandeng anak itu. Tentunya dengan sangat bahagia, anak itu mengikuti langkah Riana.BRUK!Riana menubruk sesuatu beberapa saat setelah keluar dari persembunyiannya."Ugh! Sakit!" Riana memegangi hidungnya yang terasa perih akibat tabrakan tadi."Sudah kuduga ada kucing lain di sini," sebuah suara familiar yang terdengar membuat Riana merinding seketika.Tampak pria penculik dirinya beserta dua orang anak buahnya berdiri di hadapan Riana. Pandangan tajamnya semakin tampak jelas dibanding kemarin malam saat pertama kali mereka berte
"Ma, makan ini," Rafa menyuapkan roti isinya ke mulut Riana."Ma!" Riana tergelagap dari lamunannya."Oh, iya, Rafa. Ada apa?""Makan ini," Rafa masih setia menyuapkan roti isinya ke mulut Riana."Haem," Riana memasang wajah bahagia sambil mengunyah roti pemberian Rafa."Enak, Ma?""Iya. Enak. Mama suka," Riana terus memasang wajah senyum. Padahal hatinya sedang gundah gulana.Sudah hampir dua minggu dirinya tak menemui ibunya di rumah sakit. Padahal, tiap sore atau malam, dia pasti mengunjungi ibunya. Riana ingin sekali bisa keluar dari rumah ini. Lari keluar dan menuju rumah sakit menemui ibunya.Ibu, maafin Riana….Rafa yang sedari tadi menangkap raut sendu Riana jadi ikut sedih. Akan tetapi, bocah itu tak tahu apa yang terjadi pada Riana."Mama kenapa sedih?" akhirnya Rafa melontarkan rasa penasarannya.Riana hanya menoleh. Sesaat dirinya bingung kenapa Rafa bisa bertanya seperti itu padanya."Mama dari tadi cuma hembusin napas doang. Makanan di piring nggak dimakan sama sekali. M
"Riana?" panggil Ibu Riana."Ah, Ibu…." Riana secara otomatis berlari menghampiri ibunya. Walaupun sekarang pikirannya acak adul tak karuan. Dia harus tetap bisa tersenyum. Jangan sampai ibu khawatir, tekad Riana.Sebuah pelukan hangat Riana dapatkan dari ibunya. Sangat hangat. Membuat air mata Riana meleleh perlahan."Aduh, kenapa kamu nangis? Ibu kan sehat!""Hmmm, nggak Bu. Mata Riana cuma kena debu," Riana mengusap air matanya."Anak kecil ini siapa?" ibu Riana menatap Rafa yang bersembunyi di belakang rok tutu hitam panjang Riana."Namanya Rafa, Bu. Ayo Rafa kenalan sama Nenek," Riana mendorong pelan Rafa agar mendekat ke ibunya."Halo Rafa," sapa ibu Riana ramah."Halo Nek. Aku Rafa. Salam kenal," Rafa meraih tangan ibu Riana dan menciumnya. Membuat ibu Riana tergelak dalam tawa."Nenek mamanya Mama?" tanya Rafa membuat ibu Riana mengerutkan dahi."Mama? Maksudmu Riana?" ibu Riana menunjuk Riana. Rafa mengangguk kuat.Riana menggelengkan kepala dan berbisik pelan," Anak bos."Ib
"Masuk," perintah David.Riana masih berdiri mematung. Bingung. Seharusnya yang mengantarnya hari ini menjemput Rafa kan Joni? Kenapa yang muncul malah David?"Mana Joni?""Masuk sekarang atau kutarik paksa?" David menatap tajam Riana dalam mobil. Glek! Riana langsung membuka pintu penumpang dan duduk manis di sisi David.Mulut Riana terkunci rapat-rapat. Tak lagi ingin berkata aneh pada pria di sampingnya. Di situasi seperti ini, kata mutiara diam adalah emas adalah hal terbaik yang pernah Riana dapat seumur hidup.Sambil menyetir, David mulai memberondong Riana dengan beragam pertanyaan."Rafa menyusahkanmu waktu di rumah sakit?""Nggak. Dia anak manis. Ibuku suka Rafa.""Ibu sehat berarti?""Ya. Kondisinya tak seburuk biasanya.""Kamu suka dengan ruangannya?""Ruangan itu menguras dompetku," Riana menundukkan wajah sedih. “Apa kamu nggak bisa kembaliin ibuku ke ruang semula? Kami sudah terbiasa dengan pelayanan rakyat jelata. Kamu nggak perlu susah payah membantuku.""Sudah kubilan
Mata David tak henti-hentinya menatap Jo. Sementara itu, Jo masih dengan santainya memeriksa luka lebam di lengan Rafa yang sudah terbangun.Jo akhirnya berhasil memaksa Riana masuk ke ruangannya. Tentu dengan alasan memeriksa Rafa. Alasan yang Jo duga tak mungkin bisa ditolak Riana dan pasti akan diikuti oleh laki-laki berwajah dingin yang Jo duga adalah suami Riana."Anakmu berantem?" tanya Jo usai memeriksa Rafa."Iya. Ada anak yang ganggu dia," jawab Riana."Sering-sering dikompres aja. Dua tiga hari bakal hilang," Jo melirik David. Sebuah senyuman dilemparkannya pada David sebelum menyapa."Suaminya Riana ya?" tanya Jo."Iya,” jawab David tanpa ragu."Bukan!" jawab Riana dan Rafa serentak. Mentah-mentah menolak jawaban David. Membuat David melotot kesal."Ini Om-ku. Namanya Om David. Ini Mamaku. Mama udah lama pergi. Tapi kemarin dateng lagi. Pulang ke rumah," Rafa memeluk lengan Riana erat. Senyumannya begitu riang.Dahi Jo mengkerut. Apa maksud bocah kecil ini? "Ayo pulang. Om
David menarik Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.TUK!Sesuatu menyentuh kepalanya.TUK! TUK! TUK!Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapanny
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana."Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?""Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana."Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah
Riana bisa merasakan hatinya berdesir tak karuan saat pandangannya bertemu dengan mata David. Sepasang bola mata gelap itu sesaat membuat Riana terhanyut. Segera Riana mengedipkan matanya."Hmm, makasih," Riana ikut mengusap bawah bibirnya dengan telapak tangan agar tak kelihatan grogi. Buru-buru dia kabur dari pandangan David menuju antrian.Gila! batin Riana. Rasanya kedua pipinya memanas untuk beberapa saat. Tenang Riana. Kamu cuma kaget aja."Teh, maju, Teh," pembeli lain yang ada di belakang Riana membuyarkan usaha Riana menenangkan diri."Oh, iya. Maaf," Riana buru-buru bergerak maju. Detak jantungnya yang tak beraturan membuatnya susah berkonsentrasi.Untungnya, Riana tak melakukan kesalahan fatal seperti menumpahkan mangkok ramen atau menabrak pembeli lain. Riana bersyukur dirinya masih aman sampai kembali ke tempat duduk dengan ramen pesanannya.Saat akan mengambilkan mangkok ramen untuk Rafa, tangannya bersentuhan David yang ternyata berniatan sama dengannya. Sentuhan berbed
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula