"Ma, makan ini," Rafa menyuapkan roti isinya ke mulut Riana.
"Ma!" Riana tergelagap dari lamunannya.
"Oh, iya, Rafa. Ada apa?"
"Makan ini," Rafa masih setia menyuapkan roti isinya ke mulut Riana.
"Haem," Riana memasang wajah bahagia sambil mengunyah roti pemberian Rafa.
"Enak, Ma?"
"Iya. Enak. Mama suka," Riana terus memasang wajah senyum. Padahal hatinya sedang gundah gulana.
Sudah hampir dua minggu dirinya tak menemui ibunya di rumah sakit. Padahal, tiap sore atau malam, dia pasti mengunjungi ibunya. Riana ingin sekali bisa keluar dari rumah ini. Lari keluar dan menuju rumah sakit menemui ibunya.
Ibu, maafin Riana….
Rafa yang sedari tadi menangkap raut sendu Riana jadi ikut sedih. Akan tetapi, bocah itu tak tahu apa yang terjadi pada Riana.
"Mama kenapa sedih?" akhirnya Rafa melontarkan rasa penasarannya.
Riana hanya menoleh. Sesaat dirinya bingung kenapa Rafa bisa bertanya seperti itu padanya.
"Mama dari tadi cuma hembusin napas doang. Makanan di piring nggak dimakan sama sekali. Mama kenapa? Mama masih sakit?" tanya Rafa penuh kekhawatiran.
Memang Riana sempat sakit beberapa hari karena stres. Ya, bagaimana mungkin seseorang masih bisa sehat setelah tahu bahwa dirinya terlilit hutang segitu besar. Terlebih lagi hutang itu bukanlah hutang yang diambil olehnya, melainkan oleh ayahnya yang entah tak jelas rimbanya sekarang.
"Ma-Mama sehat kok. Rafa mau Mama suapin?" Riana langsung mengambil sendoknya dan mulai menyuapi Rafa dengan sayuran yang ada di piring.
"Ng… Rafa nggak suka sayur bayam," tolak Rafa sambil menunduk.
"Kenapa nggak suka? Nanti Rafa gampang sakit lho. Terus nggak bisa kuat kayak Popeye," bujuk Riana. Ya, anak kecil memang rata-rata sangat pemilih soal makanan. Apalagi jika menyangkut soal sayuran.
"Siapa Popeye? Rafa nggak kenal," respon Rafa polos. " Lebih kuat mana sama Om David?"
Riana terdiam. Menyadari kesalahannya bahwa anak zaman sekarang tak mungkin tahu kartun Popeye yang dulu sangat populer di masa kecilnya.
"Lebih kuat, Om," sahut David usai menyelesaikan sarapannya. " Makan sayurmu. Nanti bisa mati kalau nggak makan sayur."
"Mati?"
"Iya. Kurang sayur bikin susah buang air besar. Nanti kamu mati kalau nggak bisa buang air besar," lanjut David santai.
Riana tahu penjelasan David itu benar. Namun, apa itu baik menjelaskan hal semacam itu pada anak kecil.
"Ma! Sini! Rafa mau makan sayurnya. Rafa nggak mau mati," rengek bocah itu secepat kilat. " Buruan Ma! Rafa nggak mau mati! Nanti Rafa nggak bisa sama Mama kalau Rafa mati!"
Ternyata berhasil. Rafa memakan dengan lahap sayur bayam yang disuapkan oleh Riana. Tak ada sisa satupun. Laki-laki ini cukup pandai mendidik anak kecil rupanya. Meski caranya memang aneh, batin Riana.
"Rafa udah kenyang," bocah itu tampak lega dan memegangi perutnya.
"Bagus. Sekarang mandi sama Mbok Shinta. Habis itu sekolah," perintah David yang langsung diiyakan oleh bocah cilik itu.
Riana pun ikut beranjak mengekori Rafa. Sudah jadi kesehariannya mengikuti kemanapun Rafa pergi.
"Tunggu! Kamu duduk dulu," David menghentikan langkah Riana.
"Hmm, iya?" Riana masih belum terbiasa dengan David. Pandangan Riana selalu tertunduk saat mengobrol dengan pria itu. Rasa takut Riana tak bisa dibendung.
"Masih sakit?" David melontarkan pertanyaan yang sama seperti Rafa.
"Ng-nggak. Aku sehat kok," jawab Riana tergagap. Suaranya masih bergetar karena takut.
"Jangan buat Rafa khawatir. Jika ada masalah, langsung bilang saja padaku."
Masalah? Tentu saja ada. Sedari awal mereka bertemu, semua ini sudah menjadi masalah bagi Riana. Namun, Riana akan mati jika mengatakan unek-uneknya secara gamblang.
Daripada mati sia-sia, bagaimana kalau mencoba peruntungan? pikir Riana.
Dengan tangan gemetar, Riana memberanikan diri bertanya," Hmm, apa... apa aku boleh ke rumah sakit? Ibuku dirawat di sana. Aku sudah lama nggak mengunjunginya. Aku takut ibuku khawatir."
"Hanya itu?"
Tanpa sadar Riana mendongakkan kepala hingga pandangannya bertemu dengan mata David yang tajam. Dia sangat kaget saat itu juga karena mata pria itu sangat tajam.
"Nanti Joni akan menemanimu. Kamu bisa ke sana usai Rafa pulang sekolah."
Riana tak menyangka akan mendapat izin semudah itu dari David. Jika tahu seperti ini, seharusnya sedari awal saja Riana memberanikan diri memohon pada pria bermata tajam itu.
"Te-terima kasih," sahut Riana lega dan bahagia.
"Jangan coba-coba kabur. Aku bisa membunuh ibumu kalau kamu kabur. Mengerti?" pesan David dengan nada mengancam.
"Iya. Aku nggak akan kabur. Kamu bisa percaya padaku," Riana menatap David dengan penuh kesungguhan.
"Ya. Pergi sana. Rafa sudah menunggu," David menyudahi percakapannya dengan Riana.
Tanpa banyak bicara, Riana langsung berjalan pergi keluar ruang makan. Diam-diam ekor mata David mengikuti gerak tubuh Riana hingga bayangannya tak lagi tertangkap lensa matanya.
"Dasar," gumam David perlahan.
Riana tak bisa menahan rasa bahagianya. Hari ini akhirnya dia bisa menemui ibunya di rumah sakit. Setelah semua hal buruk yang menimpa dirinya, setidaknya dia ingin melihat dan memeluk ibunya. Walaupun sangat tidak mungkin bagi dirinya untuk menceritakan semua kisah buruk yang sudah dialaminya. Riana tak ingin membuat ibunya khawatir. Apalagi ibunya menderita penyakit jantung. Akan lebih baik jika dirinya yang menanggung semua bara nestapa ini sendirian. Minimal fisiknya yang sehat bisa tetap bertahan.
"Mama cantik," puji Rafa sambil naik ke pangkuan Riana saat mereka berada dalam mobil. Padahal, hari ini dia berbusana seperti biasa. Tidak memakai make up juga.
"Mama cantik kalau senyum," lanjut Rafa membuat Riana gemas.
Sebenarnya Riana masih belum paham kenapa bocah di pangkuannya itu terus memanggilnya dengan sebutan 'mama'. Apalagi sejak awal bertemu Riana sudah salah menduga. Dari mengira bocah itu hantu sampai anak dari penghutang yang sedang diculik. Tak pernah dinyana kalau bocah itu malah keponakan David, si pria preman itu.
Tentang alasan dirinya dipanggil 'mama', Riana memutuskan menunggu penjelasan dari David saja. Dia tak mau ambil pusing soal itu. Lagipula pekerjaan aneh ini semata-mata untuk membayar hutang ayahnya yang brengsek itu. Haaaah, Riana ingin sekali memukul ayahnya dengan palu. Membiarkannya mati berdarah-darah. Setelah pergi meninggalkan dirinya dan ibunya, sekarang malah terlihat hutang yang nyaris membuat dirinya dijual jadi wanita penghibur. Untung saja ada malaikat kecil penolongnya.
Rafa….
Rafa berguling-guling tak jelas di pangkuan Riana. Sesekali mendusel ke dalam perutnya. Membuat Riana geli. Lucunya, Riana tersenyum sambil mengusap-usap rambut Rafa.
Riana memutuskan tutup mata terkait alasan dirinya dipanggil 'mama'. Bocah lucu ini pasti punya alasan kuat. Riana tak ingin membuat harapan Rafa kandas dengan menekan bahwa dia bukan mamanya. Riana hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan balas budi pada malaikat kecilnya itu.
"Kita sudah sampai," Joni memarkirkan mobil.
Riana segera menggandeng Rafa keluar mobil. Langkahnya semakin ringan saat berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Biasanya dia selalu sedih dan merasa berat hati jika harus melangkah ke rumah sakit sendirian. Akan tetapi, hari ini berbeda. Dia akan berjumpa dengan ibunya yang sudah lama tak dijenguk. Riana berharap ibunya akan baik-baik saja selama dirinya tak ada.
"Kamu mau ke mana? Arahnya ke sini" Joni menghentikan langkah Riana.
"Tapi kamar ibuku di sana," Riana menunjuk ke arah lain.
"Sudah ikuti aku saja," beritahu Joni setengah membentak.
Riana bingung. Namun, dia tak bisa juga melawan perintah Joni. Ah, ikuti saja sebentarlah, Riana sudah capek juga jika harus berdebat yang jelas bahwa dirinya akan kalah.
Joni membawa Riana memasuki ruangan pasien VIP. Mulut Riana melongo melihat ibunya ada di dalam ruangan itu.
Siapa yang sudah memindah ibunya di ruang itu? Biayanya pasti akan semakin membengkak! Riana ingin terjun dari jendela sekarang juga!
"Riana?" panggil Ibu Riana."Ah, Ibu…." Riana secara otomatis berlari menghampiri ibunya. Walaupun sekarang pikirannya acak adul tak karuan. Dia harus tetap bisa tersenyum. Jangan sampai ibu khawatir, tekad Riana.Sebuah pelukan hangat Riana dapatkan dari ibunya. Sangat hangat. Membuat air mata Riana meleleh perlahan."Aduh, kenapa kamu nangis? Ibu kan sehat!""Hmmm, nggak Bu. Mata Riana cuma kena debu," Riana mengusap air matanya."Anak kecil ini siapa?" ibu Riana menatap Rafa yang bersembunyi di belakang rok tutu hitam panjang Riana."Namanya Rafa, Bu. Ayo Rafa kenalan sama Nenek," Riana mendorong pelan Rafa agar mendekat ke ibunya."Halo Rafa," sapa ibu Riana ramah."Halo Nek. Aku Rafa. Salam kenal," Rafa meraih tangan ibu Riana dan menciumnya. Membuat ibu Riana tergelak dalam tawa."Nenek mamanya Mama?" tanya Rafa membuat ibu Riana mengerutkan dahi."Mama? Maksudmu Riana?" ibu Riana menunjuk Riana. Rafa mengangguk kuat.Riana menggelengkan kepala dan berbisik pelan," Anak bos."Ib
"Masuk," perintah David.Riana masih berdiri mematung. Bingung. Seharusnya yang mengantarnya hari ini menjemput Rafa kan Joni? Kenapa yang muncul malah David?"Mana Joni?""Masuk sekarang atau kutarik paksa?" David menatap tajam Riana dalam mobil. Glek! Riana langsung membuka pintu penumpang dan duduk manis di sisi David.Mulut Riana terkunci rapat-rapat. Tak lagi ingin berkata aneh pada pria di sampingnya. Di situasi seperti ini, kata mutiara diam adalah emas adalah hal terbaik yang pernah Riana dapat seumur hidup.Sambil menyetir, David mulai memberondong Riana dengan beragam pertanyaan."Rafa menyusahkanmu waktu di rumah sakit?""Nggak. Dia anak manis. Ibuku suka Rafa.""Ibu sehat berarti?""Ya. Kondisinya tak seburuk biasanya.""Kamu suka dengan ruangannya?""Ruangan itu menguras dompetku," Riana menundukkan wajah sedih. “Apa kamu nggak bisa kembaliin ibuku ke ruang semula? Kami sudah terbiasa dengan pelayanan rakyat jelata. Kamu nggak perlu susah payah membantuku.""Sudah kubilan
Mata David tak henti-hentinya menatap Jo. Sementara itu, Jo masih dengan santainya memeriksa luka lebam di lengan Rafa yang sudah terbangun.Jo akhirnya berhasil memaksa Riana masuk ke ruangannya. Tentu dengan alasan memeriksa Rafa. Alasan yang Jo duga tak mungkin bisa ditolak Riana dan pasti akan diikuti oleh laki-laki berwajah dingin yang Jo duga adalah suami Riana."Anakmu berantem?" tanya Jo usai memeriksa Rafa."Iya. Ada anak yang ganggu dia," jawab Riana."Sering-sering dikompres aja. Dua tiga hari bakal hilang," Jo melirik David. Sebuah senyuman dilemparkannya pada David sebelum menyapa."Suaminya Riana ya?" tanya Jo."Iya,” jawab David tanpa ragu."Bukan!" jawab Riana dan Rafa serentak. Mentah-mentah menolak jawaban David. Membuat David melotot kesal."Ini Om-ku. Namanya Om David. Ini Mamaku. Mama udah lama pergi. Tapi kemarin dateng lagi. Pulang ke rumah," Rafa memeluk lengan Riana erat. Senyumannya begitu riang.Dahi Jo mengkerut. Apa maksud bocah kecil ini? "Ayo pulang. Om
David menarik Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.TUK!Sesuatu menyentuh kepalanya.TUK! TUK! TUK!Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapanny
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana."Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?""Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana."Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah
Riana bisa merasakan hatinya berdesir tak karuan saat pandangannya bertemu dengan mata David. Sepasang bola mata gelap itu sesaat membuat Riana terhanyut. Segera Riana mengedipkan matanya."Hmm, makasih," Riana ikut mengusap bawah bibirnya dengan telapak tangan agar tak kelihatan grogi. Buru-buru dia kabur dari pandangan David menuju antrian.Gila! batin Riana. Rasanya kedua pipinya memanas untuk beberapa saat. Tenang Riana. Kamu cuma kaget aja."Teh, maju, Teh," pembeli lain yang ada di belakang Riana membuyarkan usaha Riana menenangkan diri."Oh, iya. Maaf," Riana buru-buru bergerak maju. Detak jantungnya yang tak beraturan membuatnya susah berkonsentrasi.Untungnya, Riana tak melakukan kesalahan fatal seperti menumpahkan mangkok ramen atau menabrak pembeli lain. Riana bersyukur dirinya masih aman sampai kembali ke tempat duduk dengan ramen pesanannya.Saat akan mengambilkan mangkok ramen untuk Rafa, tangannya bersentuhan David yang ternyata berniatan sama dengannya. Sentuhan berbed
Riana melemparkan pandangan ke David. Memohon bantuan pada laki-laki itu. Namun, David malah melihat ke arah lain. Seolah tak mau ikut campur dengan hal itu."Ya, Ma? Ya?" Rafa menarik-narik tangan Riana.Riana tertawa canggung lalu berkata. “Eh, mau lihat air terjun nggak? Di sini ada air terjun bagus lho? Kita bisa foto-foto bareng. Rafa belum pernah foto bareng Mama kan?""Mau! Mau! Ayo!"Fiuuh! Riana lega bisa mengelabui Rafa. Tanpa banyak bicara, Riana langsung mengajak Rafa naik lift menuju lantai Sky Level tempat air terjun buatan itu berada.PVJ Mall memang memiliki desain yang unik. Tak hanya bisa berbelanja dan wisata kuliner. Pengunjung juga bisa jalan-jalan menikmati keindahan alam buatan yang sudah tampak dari desain interior dan eksterior mall yang dipenuhi bebungaan. Belum lagi ada lantai Sky Level yang menyediakan fasilitas tambahan untuk foto dengan spot air terjun buatan dan taman bunga yang indah."HUWAAAAA!" Rafa langsung berlari bergaya di depan air terjun buatan
Tawa Riana bersama Rafa terhenti seketika saat memasuki kamar ibunya. Di dalam sana, tak hanya ada ibunya saja. Tampak dua sosok yang tidak ingin ditemuinya untuk saat ini. Jo dan Sena. Kedua orang itu tampak sedang mengobrol dengan ibunya."Riana!" teriak Sena dan Jo berbarengan. Jantung Riana berdegup kencang lagi. Kedua orang itu langsung menghampiri Riana."Hmm, kita ngobrol di luar aja? Gimana?" usul Riana secepat kilat. Tak ingin membuat keributan di dalam kamar."Oke," ujar Sena sambil melirik Rafa."Bu, aku titip Rafa ya," pesan Riana sebelum keluar kamar. Ibu Riana mengangguk dan memanggil Rafa agar mendekat. Sangat beruntung bagi Riana karena Rafa tipe anak yang penurut. Bocah itu langsung naik ke ranjang dan bermain dengan ibu Riana."Kita bisa ke kafetaria rumah sakit," usul Jo sesaat setelah Riana menutup pintu ruang rawat ibunya dari luar. Riana hanya mengangguk mengiyakan.Jo berjalan di sisi Riana menuju kafetaria. Sena yang memang tak suka Jo, dengan sengaja menabrak
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula