Tawa Riana bersama Rafa terhenti seketika saat memasuki kamar ibunya. Di dalam sana, tak hanya ada ibunya saja. Tampak dua sosok yang tidak ingin ditemuinya untuk saat ini. Jo dan Sena. Kedua orang itu tampak sedang mengobrol dengan ibunya.
"Riana!" teriak Sena dan Jo berbarengan. Jantung Riana berdegup kencang lagi. Kedua orang itu langsung menghampiri Riana.
"Hmm, kita ngobrol di luar aja? Gimana?" usul Riana secepat kilat. Tak ingin membuat keributan di dalam kamar.
"Oke," ujar Sena sambil melirik Rafa.
"Bu, aku titip Rafa ya," pesan Riana sebelum keluar kamar. Ibu Riana mengangguk dan memanggil Rafa agar mendekat. Sangat beruntung bagi Riana karena Rafa tipe anak yang penurut. Bocah itu langsung naik ke ranjang dan bermain dengan ibu Riana.
"Kita bisa ke kafetaria rumah sakit," usul Jo sesaat setelah Riana menutup pintu ruang rawat ibunya dari luar. Riana hanya mengangguk mengiyakan.
Jo berjalan di sisi Riana menuju kafetaria. Sena yang memang tak suka Jo, dengan sengaja menabrak Jo agar menyingkir dari sisi Riana. Jo mendesah kesal dan beralih berjalan di sisi Riana yang lain.
Di kafetaria, Jo memilihkan tempat duduk di pojokan. Tentu agar mereka bisa mengobrol dengan puas tanpa mengundang banyak tanya dari orang sekitar.
"Siapa yang mau tanya duluan?" Riana membuka sesi diskusi. Riana tahu pasti akan tiba hari seperti ini. Mau tak mau dia harus bisa menjelaskan semuanya pada mereka, terutama Sena.
"Aku!" Jo dan Sena berbarengan mengangkat tangan kanan.
Riana memandangi kedua perempuan dan laki-laki dewasa yang kekanakan itu. Sesaat pandangan Riana tertuju pada Jo. Entah kenapa Riana berpikir tak seharusnya dia masih menyukai laki-laki kekanakan itu.
"Kamu dulu deh, Jo," Riana menunjuk Jo. “Mau tanya apalagi?"
"Kamu belum nikah, kan? Kata ibumu, anak itu, anak bosmu?" Jo langsung menyasar pada intinya.
"Lalu? Apa masalahnya denganmu?" Riana balik bertanya.
"Karena aku masih suka denganmu, Riana! Aku sengaja balik ke Bandung buat balikan sama kamu," tegas Jo secara gamblang.
"Gila Lo!" Sena menoyor kepala Jo. “Inget istri lo, Jo!"
Riana masih terdiam. Memperhatikan Jo dan Sena yang saling berdebat kusir. Balikan katanya? Walau aku masih suka denganmu, aku bakal mikir ulang buat balikan sama kamu Jo, batin Riana. Pikirannya teringat kembali akan buruknya perlakuan ibu Jo pada dirinya di masa lalu.
"Maaf, Jo. Aku udah punya," tutur Riana membuat Jo dan Sena terdiam.
"Kapan kamu punya pacar?" lagi-lagi Jo dan Sena melontarkan pertanyaan bersamaan.
"Laki-laki yang kemarin? Om anak kecil itu?" Jo menambah pertanyaan.
"Iya. Aku pacar Riana," jawab David mendahului Riana.
"Wooooh!" Sena melotot melihat David yang sudah ada di belakang Riana. “Beneran itu pacarmu Ri?"
Riana sendiri tak menyangka. David akan ada di belakangnya dan berkata seperti itu. Sementara itu, David dengan santainya mengecup pipi Riana lalu duduk di sampingnya. Tangan kanannya menggenggam erat jemari tangan kiri Riana di atas meja. Menunjukkan bahwa dirinya memang pacar Riana.
Pipi Riana terasa memanas. Apalagi setelah David mendaratkan kecupan singkat di pipinya. Belum lagi genggaman hangat tangan David yang begitu erat melingkari jemarinya. Riana berharap jantungnya tak meledak saat ini.
Jo menatap sengit David. Jika dicocokkan dengan ucapan Rafa, tentu memang benar. David bukanlah suami Riana tapi dekat dengan keponakannya. Bahkan, sudah dipanggil 'mama'. Artinya, hubungan yang memungkinkan adalah antara Riana pacar David atau tunangannya.
Dada Jo membuncah dipenuhi emosi. Dia tak menyangka Riana sudah memiliki pacar. Padahal, dia sudah susah payah mencari jalan agar bisa kembali lagi ke Bandung dan bekerja di rumah sakit tempat ibu Riana dirawat lewat koneksinya. Sial! maki Jo dalam hati.
"Ganteng ya pacarmu, Ri," puji Sena sekaligus memanasi Jo. Sena suka jika bisa membuat hati Jo sakit. Setidaknya dia ingin membalas sakit hati Riana atas kepayahan Jo yang tak bisa membela Riana di depan keluarga besar Jo.
"Iya. Makasih," jawab Riana canggung.
"Berarti ini alasanmu nggak tinggal di rumah Gerlong? Kamu tinggal bareng pacarmu sekarang?" celetuk Sena santai.
"Iya. Riana tinggal serumah denganku sekarang. Keponakanku sangat menyukai dia dan tak mau berpisah. Jadi, aku memintanya tinggal denganku," jelas David begitu lancar. Sudah sangat mirip penulis skenario film romantis di televisi.
"AH! Ponakanmu itu si bocah lucu yang tadi digandeng Riana pasti!" tebak Sena penuh keyakinan.
"Iya," David memunculkan senyum manisnya. Sena tak menyangka sahabatnya bisa mendapatkan laki-laki setampan itu. Bahkan, senyumannya sangat manis dan mampu melelehkan hati. Kerja bagus Riana! puji Sena penuh kebanggaan di dalam hati.
"Tapi kata ibu Riana, Rafa anak bos Riana. Kamu kerja di mana memangnya?" mulut Sena yang terbiasa mewawancarai orang tak bisa berhenti nyerocos mengeluarkan pertanyaan.
"Ini," David mengeluarkan kartu namanya. Satu diserahkan pada Sena. Satunya lagi pada Jo.
Sena membaca kartu nama David. Perusahaan Kanuragan Bakti. Itu adalah salah satu perusahaan penyewaan bodyguard yang terkenal di Bandung. Tak hanya Bandung. Di beberapa kota besar di Indonesia, perusahaan ini sangat terkenal. Mulai dari artis, pejabat, hingga tokoh nasional, sering menyewa bodyguard dari perusahaan ini. Bahkan, sudah ada beberapa cabangnya di Asia Tenggara dan Asia Timur.
"Head Office Perusahaan Kanuragan Bakti cabang Bandung ya? Wah, berarti yang ngatur cabang Bandung kamu dong ya?" Sena tak mengerti bagaimana caranya sahabatnya itu bisa menemukan durian runtuh seperti ini. Bahkan, selama melalang buana di dunia jurnalistik, Sena pun tak pernah bisa tembus ke kalangan elit tertutup industri bodyguard semacam ini.
Riana sendiri juga takjub. Tak menyangka pria di sampingnya ini bekerja sebagai petinggi di perusahaan bodyguard itu. Riana kira laki-laki itu hanyalah gengster yang suka ambil bunga banyak dari para penghutang di klub malam. Setidaknya itu yang ada di otak Riana. Ternyata lebih dari itu. Pria di sampingnya ternyata sebuah berlian murni. Riana semakin merasa seperti lumpur bau yang merusak keindahan berlian di sampingnya itu.
Sena masih melontarkan beberapa pertanyaan. Entah itu pertanyaan umum atau pertanyaan personal untuk urusan kerja. Riana juga tahu pasti Sena tak ingin melepaskan kesempatan ini untuk membuat janji wawancara demi keperluan pekerjaan.
"Oiya, Ri, ini hapemu," Sena memberikan android lawas Riana. “Kemarin ada di kasurmu. Kayaknya kamu lupa kunci rumah deh. Rumahmu berantakan banget. Mungkin ada yang masuk. Tapi kayaknya nggak ada yang hilang."
"Thanks, Sen," Riana senang bisa memegang hapenya lagi.
"Nanti kita calling-calling lagi ya," Sena menatap jam tangannya. “Bentar lagi aku ada rapat. Aku duluan."
Sena berdiri. Sementara Jo masih diam mematung. "Heh! Ayo balik kerja! Udah ditunggu pasien tuh!"
Sena menarik jas putih Jo. Tangan Jo menampik tangan Sena.
Perlahan laki-laki itu berdiri dari kursinya. "Duluan Riana," pamit Jo sebelum pergi meninggalkan Riana dan David.
"Haaaah," Riana lega urusannya kali ini selesai dengan lancar. Ya, walaupun ada beberapa kebohongan yang harus dibenahi.
Perlahan Riana menarik tangannya dari genggaman tangan David. Namun, David masih erat menggenggam seolah-olah tak ingin melepaskan.
"David, lepasin," pinta Riana.
"Nggak mau," David tetap memegang tangan Riana. Tangan kiri David bertopang di meja sambil menyangga kepala. Matanya menatap lekat Riana yang kebingungan.
"Kenapa?" tanya Riana bingung.
"Soalnya mantan pacarmu masih ngintip di dekat pintu kafetaria."
"Hah?" mata Riana langsung bergerak mengarah ke pintu kafetaria. Sesuai perkataan David memang ada Jo yang masih memperhatikan mereka di sana.
"Dia masih nggak percaya kita pacaran,” tutur David.
"Tapi kan emang nggak pacaran?" balas Riana.
"Kamu mau ngomong gitu ke mantanmu?"
Riana terdiam. Tentu saja jauh lebih baik pura-pura punya pacar daripada Jo mengejar dirinya. Apalagi Jo kan sudah menikah! Bisa mati dia dikira pelakor!
"Nggak!" jawab Riana tegas.
David tersenyum. Badannya kembali tegak.
"Kalau gitu, ikutin caraku," tangan kiri David merengkuh Riana dalam pelukannya. Perlahan dia mendekatkan wajah Riana ke wajahnya. Tangan David semakin kencang menekan kepala Riana hingga semakin dekat dan dekat. Sampai Riana mampu merasakan hembusan napas David di bibirnya. Refleks Riana menutup kedua matanya. Pasrah akan apa yang terjadi pada dirinya.
Riana memejamkan mata kuat-kuat. Dapat dirasakannya telapak tangan David memegang erat belakang lehernya. Belum lagi bibirnya yang tinggal berjarak beberapa inchi dari bibir David.Tanpa sadar, Riana mencengkeram erat tangan David. Membuat tawa David terlontar keluar. Perlahan Riana membuka matanya. Tampak David masih tertawa. Wajah Riana memerah seperti tomat."Gila kamu!" ceplos Riana sambil melepaskan diri dari David.Jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Ingin rasanya dia mencabut jantungnya sekarang juga dan melemparnya. Bisa-bisanya jantungnya berdetak karena prank tak jelas dari David.Segera Riana berdiri. Tangan David kembali memegang tangan Riana. Membuat gadis itu tak bisa pergi."Ngobrol dulu," ujar David."Jangan dekat-dekat lagi tapi!" pesan Riana. David mengangguk."Mantanmu masih suka kamu?" tanya David seperti orang menginterogasi."Darimana kamu tahu dia mantanku?""Menurutmu?" David mengerling Riana dengan ekor matanya yang tajam. Riana sadar siapa pria di hadap
Jantung Riana tak bisa berhenti berdegup. Dirinya tak menyangka David akan menyelinap masuk ke kamarnya tengah malam seperti ini!Awalnya Riana sudah mulai mengantuk. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Walaupun memaksa untuk memikirkan soal penculikan Mama Rafa, dia pun tak punya petunjuk apa-apa."Mendingan aku tidur aja. Besok pagi kan masih bisa tanya David," gumam Riana sambil meletakkan hapenya di meja. Dimatikannya lampu kamar agar tidurnya jauh lebih nyenyak.Sudah beberapa kali Riana menguap. Beberapa kali juga dia berguling ke kiri dan ke kanan. Anehnya, matanya belum bisa diajak terpejam. Padahal, otaknya sudah menginginkan untuk diajak tidur.Ceklek. Ceklek.Riana terkejut. Seseorang membuka pintu kamarnya yang sudah dikunci. Perlahan Riana mengintip sekilas dari balik selimutnya. Tampak bayangan laki-laki berjalan mendekatinya dan terduduk di sisinya.Sesaat jemari laki-laki itu menyingkap sedikit selimut yang menutupi wajah Riana. Sekuat mungkin Rian
"Tapi aku nggak punya saudara! Aku anak tunggal di rumah!" jelas Riana menggebu.David hanya mengangkat pundaknya."Yang jelas kalian mirip,” ujar David."Lalu di mana Mama Rafa sekarang? Masih hidup kan?" Riana masih ingat perkataan Rafa yang menceritakan bahwa Mama dan Papanya baru pergi lama dan tak pulang-pulang."Aku masih mencari mereka,” ucap David."Mencari? Mereka diculik?""Aku masih mencari dan tugasmu menggantikan sementara peran Mama Rafa dengan baik. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan,” terang David.Itulah pesan David yang terngiang-ngiang di pikiran Riana. Bahkan, saat rapat orang tua murid yang membahas tentang kenakalan geng Noval ke Rafa pun, Riana jadi tak fokus."Pokoknya saya minta ibu-ibu sekalian jaga anak masing-masing. Jangan sampai saya dengar mereka ngejek anak saya lagi," pungkas Riana menyudahi perdebatan dalam rapat agar cepat selesai.Untungnya tak ada ibu-ibu yang membuat ulah. Beban Riana jadi sedikit lebih berkurang. Usai rapat, Riana langsung menga
"Ini buat kamu," Jo memberikan kotak bekal berisi udang saus tiram dan brokoli rebus kesukaan Riana. Ini sudah ketiga kalinya Jo memberikannya saat Riana menjenguk ibunya.Dulu Riana sangat suka menerima kotak bekal semacam itu dari Jo. Setiap kali Jo memberikannya, hati Riana berbunga-bunga. Apalagi jika Jo menyuapinya di saat dia masih mengerjakan laporan kampus."Dimakan atuh Ri," tutur ibu Riana menyemangati.Jo tersenyum malu. Hatinya cukup puas karena ibu Riana juga sepertinya mendukung dirinya. Sebaliknya, Riana yang kesal dengan kelakuan Jo."Ibu aja yang makan. Sama Rafa," Riana melirik Jo tajam," Ikut aku keluar!""Okey," Jo menundukkan kepala sebagai salam undur diri. Dia melangkah cepat mengikuti Riana."Riana, mau ke mana?" tanya Jo sambil berusaha menyamakan langkah dengan Riana. Gadis itu hanya diam saja. Tetap melangkah hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.Kepala Riana celingukan. Melihat apakah ada orang lain di sekitar mereka. Saat yakin
"Hngg....," Riana menggeliat. Rasanya tadi di kamar Rafa tidak ada AC menyala. Tapi sekarang tubuhnya jadi menggigil kedinginan.Tak ayal, Riana pun terbangun. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Riana menatap ruang sekitarnya.Kok kayak di mobil? Kedua bola mata Riana langsung melek seketika. Saat menoleh ke kanan, tampak David sedang fokus menyetir."David?!" desis Riana tertahan."Sudah bangun?""Mau kemana kita?""Tempat hukumanmu.""Hukuman?" Riana lagi-lagi tak paham dengan ucapan David ini," Aku salah apa?""Pikir saja dulu," lanjut David tanpa menoleh sedikit pun pada Riana.Wajah Riana langsung merengut penuh khawatir. Bagaimana mungkin Davis memperlakukannya seperti ini? Padahal dia yakin tak melakukan kesalahan apapun saat mengasuh Rafa.Gimana nih? Apa dia mau pukul aku? Atau langsung jual aku ke klub malam? Riana menggigit-gigit ibu jarinya cemas.Mobil David akhirnya terparkir. Anehnya, terparkir di halaman rumah Riana."Turun!" perintah David arogan.Riana langsung turun
"Ma-maaf," Riana langsung menarik diri menjauh dari David. Rasanya sangat malu dan canggung. Sorot matanya tak berani menatap langsung lensa mata David yang tajam."Sudahlah. Ayo balik," David menutup payung. Tangannya langsung meraih tangan Riana dan mengajaknya menyeberang jalan. Riana berlari kecil-kecil mengikuti gerak langkah kaki David yang lebar. Napasnya ngos-ngosan setelah tiba di depan pintu rumah.David membuka kembali payung yang ditutup lalu ditaruh dekat teras rumah agar mengering. Pria itu mengibaskan kemejanya yang basah. Tak berapa lama kemudian, beralih mengacak-acak rambutnya."David, mandilah. Akan kurebuskan air," tawar Riana."Aku nggak ada baju ganti.""Nanti kucarikan baju ayahku," teriak Riana sambil berlari masuk ke dalam kamar. Dia mencari handuk untuk David di lemari. Di saat itulah, dia menemukan setelan baju rumahan pria di kamarnya."David bisa pakai ini," Riana tersenyum tipis lalu membawanya keluar.Dengan langkah riang, Riana menghampiri David di ruan
"Ca...ha...ya...." pinta Riana dengan suara parau karena sesak napas."Bentar. Aku Carikan hapeku dulu," David langsung berdiri. Dia ingat meletakkan hapenya di meja ruang tamu.Langkahnya cepat melesat ke ruang tamu. Meski harus beberapa kali menabrak kursi atau tembok, akhirnya David bisa menemukan hapenya dan menyalakan senter. Setelah mendapatkan penerangan, napas Riana mulai membaik.David mengusap-usap dan memijit tengkuk Riana. Dapat dirasakannya seluruh tubuh Riana mendingin dan tegang. David ingin sekali memeluk Riana tapi tak berani melakukannya karena takut akan membuat Riana syok dan menangis lagi.Sementara itu, Riana masih berkutat dengan ketakutannya. Ya, sejak kecil dia takut kegelapan yang pekat. Sampai dewasa pun, dia selalu menyalakan lampu tidur sebelum terlelap. Momen mati lampu mendadak seperti ini adalah momen yang paling dibenci Riana."Mau kubelikan inhaler? Aku bisa cari apotek 24 jam sekitar sini.""Ja-jangan…. Kumohon…. Di sini saja …." pinta Riana sambil m
"Maksud Om, mamamu tidur di kamar samping kamar Om. Om nginep di rumah nenekmu," kesadaran David sudah terkumpul seutuhnya. Hampir saja dirinya memicu perang dunia dengan Rafa karena salah ucap. Salah ucap? Sebenarnya bukan. Dirinya memang semalaman tidur seranjang dengan Riana. Tapi kan …."Kok nginep? Nenek kan masih di rumah sakit? Rafa kok nggak diajak? Rafa mau ketemu Mama, Om,” komplain Rafa tak terima.Aduh, bocah ini bawel sekali! omel David dalam hati."Kamu mandi aja sana. Bentar lagi Om pulang," David mematikan ponselnya. Langsung dia tekan mode pesawat agar ponakannya tak lagi meneleponnya lagi."Oh, sudah bangun?" Riana melongok ke dalam kamar. David hanya mengangguk."Ayo makan. Aku udah masak bubur ayam buat sarapan," ajak Riana.David turun dari ranjang. Dilihatnya cuaca di luar sambil menguap. Langit masih mendung. Membuatnya tak bisa menerka jam berapa sekarang.Dia memutuskan membersihkan diri dulu sebelum menyusul sarapan. Di depan meja ruang tengah sudah ada dua m
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula