"Ca...ha...ya...." pinta Riana dengan suara parau karena sesak napas."Bentar. Aku Carikan hapeku dulu," David langsung berdiri. Dia ingat meletakkan hapenya di meja ruang tamu.Langkahnya cepat melesat ke ruang tamu. Meski harus beberapa kali menabrak kursi atau tembok, akhirnya David bisa menemukan hapenya dan menyalakan senter. Setelah mendapatkan penerangan, napas Riana mulai membaik.David mengusap-usap dan memijit tengkuk Riana. Dapat dirasakannya seluruh tubuh Riana mendingin dan tegang. David ingin sekali memeluk Riana tapi tak berani melakukannya karena takut akan membuat Riana syok dan menangis lagi.Sementara itu, Riana masih berkutat dengan ketakutannya. Ya, sejak kecil dia takut kegelapan yang pekat. Sampai dewasa pun, dia selalu menyalakan lampu tidur sebelum terlelap. Momen mati lampu mendadak seperti ini adalah momen yang paling dibenci Riana."Mau kubelikan inhaler? Aku bisa cari apotek 24 jam sekitar sini.""Ja-jangan…. Kumohon…. Di sini saja …." pinta Riana sambil m
"Maksud Om, mamamu tidur di kamar samping kamar Om. Om nginep di rumah nenekmu," kesadaran David sudah terkumpul seutuhnya. Hampir saja dirinya memicu perang dunia dengan Rafa karena salah ucap. Salah ucap? Sebenarnya bukan. Dirinya memang semalaman tidur seranjang dengan Riana. Tapi kan …."Kok nginep? Nenek kan masih di rumah sakit? Rafa kok nggak diajak? Rafa mau ketemu Mama, Om,” komplain Rafa tak terima.Aduh, bocah ini bawel sekali! omel David dalam hati."Kamu mandi aja sana. Bentar lagi Om pulang," David mematikan ponselnya. Langsung dia tekan mode pesawat agar ponakannya tak lagi meneleponnya lagi."Oh, sudah bangun?" Riana melongok ke dalam kamar. David hanya mengangguk."Ayo makan. Aku udah masak bubur ayam buat sarapan," ajak Riana.David turun dari ranjang. Dilihatnya cuaca di luar sambil menguap. Langit masih mendung. Membuatnya tak bisa menerka jam berapa sekarang.Dia memutuskan membersihkan diri dulu sebelum menyusul sarapan. Di depan meja ruang tengah sudah ada dua m
"Om ngapain, Mama? Kenapa Mama matanya bengkak! Om!" Rafa tak henti-hentinya mengejar David. Bocah itu meminta pertanggungjawaban David atas diri Riana yang tampak murung dan bersedih hati setelah menginjakkan kaki masuk ke dalam rumah."Om mau mandi, Rafa. Kamu istirahat sana!" David mendorong Rafa keluar dari dalam kamarnya. Namun, bocah itu tetap tak mengalah. Berusaha mendorong balik masuk ke dalam ruangan.David terpaksa mengangkat keponakannya dan membopongnya masuk ke kamar Riana. "Udah sana sama Mamamu! Jangan berisik!" David mengunci pintu dari luar."Om! Buka pintunya, Om! Om!" Rafa menarik-narik gagang pintu.Riana memegang tangan Rafa dari belakang. “Tanganmu nanti sakit, Sayang,” ujar Riana mengingatkan.Bocah itu berhenti menarik-narik gagang pintu. Riana mencoba tersenyum meski hatinya masih tak nyaman. "Rafa, mau bobok sama Mama? Badan Mama lagi nggak enak,” ajak Riana lembut."Mata Mama bengkak gara-gara sakit?" tanya Rafa memastikan. Riana menganggukkan kepala."Past
"Bu, misal weekend ini saya ajak Riana kencan, boleh tidak?" tanya Jo sambil mengecek tensi darah ibu Riana."Nggak boleh!" sahut Riana secepat kilat."Riana…!" sebuah tepukan mampir di bahu Riana. Riana cemberut karena ibunya lebih membela Jo ketimbang dirinya."Mama udah pergi piknik sama aku, Dok. Nggak boleh pergi kemana-mana," celetuk Rafa. Aaah, cuma Rafa memang pelindung sejatiku, batin Riana trenyuh.Jo menatap manis Rafa sambil bertanya. “Piknik kemana?""Ke Farm House. Dua hari!" Rafa mengacungkan dua jarinya."Nginep di mana?""Hotel Grand Pa--" Riana langsung menutup rapat-rapat mulut Rafa. Kedua tangan Rafa memukul-mukul tangan Riana."Bu, Riana pulang duluan," buru-buru Riana membawa kabur Rafa keluar kamar.Ibu Riana menggelengkan kepala. “Maaf ya, Dok. Agak susah anaknya.""Nggak kok, Bu. Saya kan yang suka. Wajar kalau saya yang harus banyak usaha," jawab Jo sambil melanjutkan pemeriksaan harian.Sementara itu, Riana baru melepaskan Rafa setelah mereka berada di depan
"Dia mungkin suka kamu, Ri?" tebak Sena sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam kolam jacuzzi. Wajah Sena begitu sumringah menikmati hangatnya air sambil berendam di malam hari ini.Riana membiarkan Sena mengoceh menjelaskan spekulasinya tentang perasaan David ke dirinya. Sementara itu, dirinya fokus memainkan gelembung sabun di dalam bak. Lagipula, Riana sudah sadar dengan jelas bahwa David hanya membutuhkannya sebagai pengasuh Rafa saja."Kamu sendiri kapan wawancaranya? Nggak mungkin kan weekend gini kamu mau liburan ke tempat rame macam Lembang?" Riana mengalihkan topik pembicaraan."Biasa. Wawancara profil. Kan lagi ada proyek promosi wisata Bandung ke Asia Tenggara. Yang jadi modelnya itu Risa Fujiwara. Selebgram cantik itu lho. Dulu katanya member idol grup Jepang yang laris manis. Banyak banget kan fansnya,” terang Sena."Hoooooo," Riana menganggukkan kepala. Sena langsung mengambil ponselnya lalu menunjukkan beberapa foto calon kliennya itu."Lihat nih. Cantik banget kan ya?
"Jo! Lepas, Jo!" Riana masih berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Jo. Parahnya, kini Jo menggenggam kedua tangannya dan mengunci kedua kakinya rapat-rapat."Turuti tiga permintaanku, Riana. Baru kulepas.""Jangan licik, Jo!""Aku memang selalu licik kok," senyuman manis di wajah Jo membuat Riana merinding."Iya. Iya. Buruan lepas!" teriak Riana pasrah. Jo langsung melepaskan kedua tangan Riana dan membantunya kembali duduk. Riana menatap tajam Jo sambil mengambil kembali kompresan es-nya yang jatuh ke lantai."Sialan kamu!" rutuk Riana penuh amarah."Nggak masalah. Yang penting kamu harus kabulin tiga permintaanku," Jo tersenyum penuh kemenangan."Kamu kira aku jin Aladin?! Harus kabulin permintaanmu?""Bukan. Kamu Putri Jasmine. Cantik tapi galak," Jo mengerlingkan pandangan pada Riana. Membuat wajahnya bersemu merah."Terserah!" Riana memalingkan wajah ke arah lain. “Mau minta apa emangnya?""Nikah sama aku. Jadi istriku. Jadi ibu buat anak-anakku," Jo langsung menyebutkan
"David! Aku bisa jelasin," bisik Riana."Diam! Aku lagi kerja!" balas David sambil membawa Riana masuk ke dalam lift. Ya, kini mereka berdua sudah berada dalam liff dan hanya ada mereka saja di sana. Risa dan Jo belum menyusul masuk. Masih mengobrol. Entah apa yang diobrolkan."David, bawa aku ke kamar saja," rengek Riana."Nggak bisa. Klienku mau kamu makan dengannya.""Ini pemaksaan! Aku udah makan siang tadi.""Sama pacarmu ya? Makan apa aja? Dia makan kamu juga?" sindir David."David!" Riana tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. David benar-benar menganggapnya wanita murahan."Turunin aku!" Riana memutuskan meronta. Tak tahan dengan semua drama yang terjadi padanya. Namun, David malah semakin kencang memeluknya."Heh! Sekali lagi kamu banyak tingkah, aku bakal jatuhin kamu ke bawah tangga," ancam David."Kamu….""Diam!" David terus mengeratkan gendongannya. Riana tahu David tipe orang yang tak akan main-main dengan ucapannya. Karenanya, Riana berakhir menutup mulut.Ria
David bergegas lari ke kamar Riana menginap. Dia menelepon Mbok Shinta. Minta agar dibukakan pintu."Mbok, Riana di kamar?" tanya David cemas. Kepalanya melongok mengintip isi dalam kamar. Di atas dua kasur king size, hanya ada Rafa yang berselimut tebal. Tak ada sosok Riana di sana."Barusan keluar. Mau nemuin temennya. Neng Sena. Bentar lagi--"Belum selesai Mbok Shinta menyelesaikan ucapannya, David langsung melesat pergi. Mbok Shinta hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.David berjalan menyusuri lantai bawah hotel. Pandangannya menyebar. Menelisik ke tiap sudut ruang.Hati David sangat tidak tenang. Apalagi setelah percakapan empat matanya dengan Risa usai sesi wawancara dengan Sena."Aku mau langsung to the point aja. Riana pacar kamu itu gadis yang diincar Jo tadi ya?" Risa menatap manis David."Kurasa ini tak ada hubungannya dengan pekerjaanku," David berusaha mengelak."Oooh, baiklah. Kalau memang dia pacarmu, aku cuma mau kamu menjaganya dengan baik. Kamu tahu kan? Jo itu m