"Ma-maaf," Riana langsung menarik diri menjauh dari David. Rasanya sangat malu dan canggung. Sorot matanya tak berani menatap langsung lensa mata David yang tajam."Sudahlah. Ayo balik," David menutup payung. Tangannya langsung meraih tangan Riana dan mengajaknya menyeberang jalan. Riana berlari kecil-kecil mengikuti gerak langkah kaki David yang lebar. Napasnya ngos-ngosan setelah tiba di depan pintu rumah.David membuka kembali payung yang ditutup lalu ditaruh dekat teras rumah agar mengering. Pria itu mengibaskan kemejanya yang basah. Tak berapa lama kemudian, beralih mengacak-acak rambutnya."David, mandilah. Akan kurebuskan air," tawar Riana."Aku nggak ada baju ganti.""Nanti kucarikan baju ayahku," teriak Riana sambil berlari masuk ke dalam kamar. Dia mencari handuk untuk David di lemari. Di saat itulah, dia menemukan setelan baju rumahan pria di kamarnya."David bisa pakai ini," Riana tersenyum tipis lalu membawanya keluar.Dengan langkah riang, Riana menghampiri David di ruan
"Ca...ha...ya...." pinta Riana dengan suara parau karena sesak napas."Bentar. Aku Carikan hapeku dulu," David langsung berdiri. Dia ingat meletakkan hapenya di meja ruang tamu.Langkahnya cepat melesat ke ruang tamu. Meski harus beberapa kali menabrak kursi atau tembok, akhirnya David bisa menemukan hapenya dan menyalakan senter. Setelah mendapatkan penerangan, napas Riana mulai membaik.David mengusap-usap dan memijit tengkuk Riana. Dapat dirasakannya seluruh tubuh Riana mendingin dan tegang. David ingin sekali memeluk Riana tapi tak berani melakukannya karena takut akan membuat Riana syok dan menangis lagi.Sementara itu, Riana masih berkutat dengan ketakutannya. Ya, sejak kecil dia takut kegelapan yang pekat. Sampai dewasa pun, dia selalu menyalakan lampu tidur sebelum terlelap. Momen mati lampu mendadak seperti ini adalah momen yang paling dibenci Riana."Mau kubelikan inhaler? Aku bisa cari apotek 24 jam sekitar sini.""Ja-jangan…. Kumohon…. Di sini saja …." pinta Riana sambil m
"Maksud Om, mamamu tidur di kamar samping kamar Om. Om nginep di rumah nenekmu," kesadaran David sudah terkumpul seutuhnya. Hampir saja dirinya memicu perang dunia dengan Rafa karena salah ucap. Salah ucap? Sebenarnya bukan. Dirinya memang semalaman tidur seranjang dengan Riana. Tapi kan …."Kok nginep? Nenek kan masih di rumah sakit? Rafa kok nggak diajak? Rafa mau ketemu Mama, Om,” komplain Rafa tak terima.Aduh, bocah ini bawel sekali! omel David dalam hati."Kamu mandi aja sana. Bentar lagi Om pulang," David mematikan ponselnya. Langsung dia tekan mode pesawat agar ponakannya tak lagi meneleponnya lagi."Oh, sudah bangun?" Riana melongok ke dalam kamar. David hanya mengangguk."Ayo makan. Aku udah masak bubur ayam buat sarapan," ajak Riana.David turun dari ranjang. Dilihatnya cuaca di luar sambil menguap. Langit masih mendung. Membuatnya tak bisa menerka jam berapa sekarang.Dia memutuskan membersihkan diri dulu sebelum menyusul sarapan. Di depan meja ruang tengah sudah ada dua m
"Om ngapain, Mama? Kenapa Mama matanya bengkak! Om!" Rafa tak henti-hentinya mengejar David. Bocah itu meminta pertanggungjawaban David atas diri Riana yang tampak murung dan bersedih hati setelah menginjakkan kaki masuk ke dalam rumah."Om mau mandi, Rafa. Kamu istirahat sana!" David mendorong Rafa keluar dari dalam kamarnya. Namun, bocah itu tetap tak mengalah. Berusaha mendorong balik masuk ke dalam ruangan.David terpaksa mengangkat keponakannya dan membopongnya masuk ke kamar Riana. "Udah sana sama Mamamu! Jangan berisik!" David mengunci pintu dari luar."Om! Buka pintunya, Om! Om!" Rafa menarik-narik gagang pintu.Riana memegang tangan Rafa dari belakang. “Tanganmu nanti sakit, Sayang,” ujar Riana mengingatkan.Bocah itu berhenti menarik-narik gagang pintu. Riana mencoba tersenyum meski hatinya masih tak nyaman. "Rafa, mau bobok sama Mama? Badan Mama lagi nggak enak,” ajak Riana lembut."Mata Mama bengkak gara-gara sakit?" tanya Rafa memastikan. Riana menganggukkan kepala."Past
"Bu, misal weekend ini saya ajak Riana kencan, boleh tidak?" tanya Jo sambil mengecek tensi darah ibu Riana."Nggak boleh!" sahut Riana secepat kilat."Riana…!" sebuah tepukan mampir di bahu Riana. Riana cemberut karena ibunya lebih membela Jo ketimbang dirinya."Mama udah pergi piknik sama aku, Dok. Nggak boleh pergi kemana-mana," celetuk Rafa. Aaah, cuma Rafa memang pelindung sejatiku, batin Riana trenyuh.Jo menatap manis Rafa sambil bertanya. “Piknik kemana?""Ke Farm House. Dua hari!" Rafa mengacungkan dua jarinya."Nginep di mana?""Hotel Grand Pa--" Riana langsung menutup rapat-rapat mulut Rafa. Kedua tangan Rafa memukul-mukul tangan Riana."Bu, Riana pulang duluan," buru-buru Riana membawa kabur Rafa keluar kamar.Ibu Riana menggelengkan kepala. “Maaf ya, Dok. Agak susah anaknya.""Nggak kok, Bu. Saya kan yang suka. Wajar kalau saya yang harus banyak usaha," jawab Jo sambil melanjutkan pemeriksaan harian.Sementara itu, Riana baru melepaskan Rafa setelah mereka berada di depan
"Dia mungkin suka kamu, Ri?" tebak Sena sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam kolam jacuzzi. Wajah Sena begitu sumringah menikmati hangatnya air sambil berendam di malam hari ini.Riana membiarkan Sena mengoceh menjelaskan spekulasinya tentang perasaan David ke dirinya. Sementara itu, dirinya fokus memainkan gelembung sabun di dalam bak. Lagipula, Riana sudah sadar dengan jelas bahwa David hanya membutuhkannya sebagai pengasuh Rafa saja."Kamu sendiri kapan wawancaranya? Nggak mungkin kan weekend gini kamu mau liburan ke tempat rame macam Lembang?" Riana mengalihkan topik pembicaraan."Biasa. Wawancara profil. Kan lagi ada proyek promosi wisata Bandung ke Asia Tenggara. Yang jadi modelnya itu Risa Fujiwara. Selebgram cantik itu lho. Dulu katanya member idol grup Jepang yang laris manis. Banyak banget kan fansnya,” terang Sena."Hoooooo," Riana menganggukkan kepala. Sena langsung mengambil ponselnya lalu menunjukkan beberapa foto calon kliennya itu."Lihat nih. Cantik banget kan ya?
"Jo! Lepas, Jo!" Riana masih berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Jo. Parahnya, kini Jo menggenggam kedua tangannya dan mengunci kedua kakinya rapat-rapat."Turuti tiga permintaanku, Riana. Baru kulepas.""Jangan licik, Jo!""Aku memang selalu licik kok," senyuman manis di wajah Jo membuat Riana merinding."Iya. Iya. Buruan lepas!" teriak Riana pasrah. Jo langsung melepaskan kedua tangan Riana dan membantunya kembali duduk. Riana menatap tajam Jo sambil mengambil kembali kompresan es-nya yang jatuh ke lantai."Sialan kamu!" rutuk Riana penuh amarah."Nggak masalah. Yang penting kamu harus kabulin tiga permintaanku," Jo tersenyum penuh kemenangan."Kamu kira aku jin Aladin?! Harus kabulin permintaanmu?""Bukan. Kamu Putri Jasmine. Cantik tapi galak," Jo mengerlingkan pandangan pada Riana. Membuat wajahnya bersemu merah."Terserah!" Riana memalingkan wajah ke arah lain. “Mau minta apa emangnya?""Nikah sama aku. Jadi istriku. Jadi ibu buat anak-anakku," Jo langsung menyebutkan
"David! Aku bisa jelasin," bisik Riana."Diam! Aku lagi kerja!" balas David sambil membawa Riana masuk ke dalam lift. Ya, kini mereka berdua sudah berada dalam liff dan hanya ada mereka saja di sana. Risa dan Jo belum menyusul masuk. Masih mengobrol. Entah apa yang diobrolkan."David, bawa aku ke kamar saja," rengek Riana."Nggak bisa. Klienku mau kamu makan dengannya.""Ini pemaksaan! Aku udah makan siang tadi.""Sama pacarmu ya? Makan apa aja? Dia makan kamu juga?" sindir David."David!" Riana tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. David benar-benar menganggapnya wanita murahan."Turunin aku!" Riana memutuskan meronta. Tak tahan dengan semua drama yang terjadi padanya. Namun, David malah semakin kencang memeluknya."Heh! Sekali lagi kamu banyak tingkah, aku bakal jatuhin kamu ke bawah tangga," ancam David."Kamu….""Diam!" David terus mengeratkan gendongannya. Riana tahu David tipe orang yang tak akan main-main dengan ucapannya. Karenanya, Riana berakhir menutup mulut.Ria
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula