David menarik Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.
Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?
Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.
Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.
Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.
TUK!
Sesuatu menyentuh kepalanya.
TUK! TUK! TUK!
Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan kemoceng di kepalanya. Riana mengedip- ngedipkan matanya berulang kali sambil menatap David.
"Ini!" David menyodorkan kemoceng itu ke Riana.
"Buat?"
"Bersihin debu di kamar Rafa. Rafa gampang alergi debu," David melepaskan kemoceng itu. Riana yang paling tak sempat menangkap kemoceng itu dengan cepat hingga harus berlutut di lantai untuk mengambilnya.
David hanya menatap Riana sekilas. Laki-laki itu berbalik dan duduk di kursi kerjanya. Sementara Riana, masih termangu bingung sambil memegangi kemoceng.
"Duduk!" perintah David. Dengan susah payah, Riana segera berdiri. Walaupun kedua kakinya masih gemetar karena imajinasi dan ketakutannya yang terlalu membeludak di pikiran.
Sambil memandangi Riana yang kikuk di hadapannya, David mulai melontarkan kalimat. “Kita harus memperjelas pekerjaanmu di sini."
Riana hanya mengangguk lalu bertanya. “Seperti apa?"
"Ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi. Pertama, harus siap sedia bersama Rafa. Rafa adalah prioritasmu. Jika ada sedikit masalah dengan Rafa, kamu mati. Mengerti?"
"Iya,” jawab Riana.
"Kedua, dilarang memiliki pasangan."
"Oh…." Riana kembali mengangguk-anggukan kepala. Lagipula, dengan banyak utang seperti ini, dia tak mungkin berpacaran.
"Jangan coba-coba berpikir mendekati dokter di rumah sakit itu,” imbuh David dengan wajah serius.
"Iya," jawab Riana lebih santai.
David menatap aneh Riana. "Kamu bukannya suka sama dokter itu?" tanya David heran sekaligus penasaran.
"Apa aku harus jawab sekarang?"
"Aku harus tahu itu kan."
Riana tak paham dengan pikiran laki-laki yang ada di hadapannya itu. Apa sih mau orang ini? Batin Riana. Walaupun aku masih suka Jo, mana mungkin aku berpikir berpacaran dengannya. Masalah hutang ini saja sudah membuatku pusing! omel Riana dalam hati.
"Riana!" panggil David mengejutkannya.
"Oh, nggak. Aku nggak suka dia. Dia bukan tipeku," Riana terdiam sejenak. “Hmm, apa aku juga bisa mengajukan syarat?"
"Syarat? Apa?"
"Apa aku boleh pakai hape?" tanya Riana.
"Buat?"
"Komunikasi?" ujar Riana agak ragu.
"Nanti Joni yang akan urus."
"Terus apa aku bisa pakai rumahku lagi? Hmm, maksudku, apa boleh aku membelinya darimu? Itu rumah kesayangan ibuku. Kalau ibuku tahu rumahnya disita, aku takut penyakitnya akan umat. Lagipula, ibuku juga perlu rumah itu kalau kondisinya sudah stabil,” terang Riana. Dia tak mau kehilangan rumah yang penuh kenangan itu.
"Hmm," David menopang dagunya. “Rumah itu sudah tua sih. Pakai saja. Tapi ada ongkos sewanya."
"Haaah? Beneran?" bola mata Riana membulat lebar. Dia takjub mendengar jawaban David.
"Tapi kamu tetap tinggal di sini," tegas David.
"Iya. Itu gampang. Aku akan menjaga Rafa dengan baik. Kamu bisa mempercayaiku," sahut Riana penuh semangat.
"Bagus," David mengambil sebuah tas tenteng yang cukup besar. Disodorkannya tas itu pada Riana.
"Apa ini?"
"Untukmu," ujar David.
Riana mengambil tas itu. Saat melongok, isinya obat salep pegal-pegal dan alat pijat punggung.
"Punggungmu pasti sakit kan? Tiap hari gendong Rafa." ujar David.
"Oh, iya. Terima kasih," tutur Riana. “Hmm, aku kembali dulu ya? Rafa mungkin sudah bangun."
Riana ingin segera keluar. Tak terlalu nyaman baginya berdua saja dengan David. Apalagi dia belum bisa menebak orang seperti apa David itu.
"Kamu nggak penasaran soal orang tua Rafa?" tanya David tiba-tiba.
"Hmm? Aku?"
"Iya. Bukannya wajar kalau kamu ingin tahu soal orang tua Rafa?"
"Nggak kok," jawab Riana secepat kilat. Sedari awal Riana memang sudah memutuskan untuk tidak menanyakan terkait orang tua Rafa. Lagipula ini hanya pekerjaan tak terduga. Dia tak tertarik mencampurkan perasaan personalnya dengan pekerjaan aneh ini.
Lagipula, Rafa bukan anak yang harus dicurigai. Anak itu polos. Kalaupun memang ada yang menjahatinya, tentu akan ada Joni atau Jono yang akan melindunginya. David pun juga pasti akan turun tangan. Pekerjaan ini tak lebih dari pekerjaan mengasuh anak seperti pada umumnya.
"Benar tak mau tahu?" tanya David sekali lagi.
"Benar! Aku serius! Kamu bisa percaya padaku. Aku orang yang bisa diandalkan sebagai pekerja profesional."
"Baiklah, baiklah. Keluar sana," David sudah tampak jengah mendengar ucapan Riana.
"Iya," Riana berbalik dengan wajah riang. Saat sudah berada di luar ruang ruang kerja David, dia menghembuskan napas lega.
"Fiyuuuh!" Riana mengelus-elus dadanya. Menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang.
"Kukira aku bakal mati. Untunglah cuma ngajak aja," Riana melanjutkan langkahnya kembali ke kamar Rafa.
*****************
Sena menatap bingung Jo yang sudah ada di lobi kantornya. Laki-laki itu masih seperti biasa. Tampak tenang tapi sedikit arogan. Tipe laki-laki yang sebenarnya selalu Sena curigai. Akan tetapi, sahabatnya, Riana, sangat cinta mati dengan laki-laki itu. Membuatnya mau tak mau tetap merestui hubungan mereka walaupun dalam hati merasa Riana pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik.
"Sena," Jo melambaikan tangan memanggilnya.
Jo hanya akan melambaikan tangan pada Sena jika dia punya masalah dengan Riana. Jika hubungan mereka baik-baik saja, laki-laki itu bahkan tak mau menyapanya.
Sena mendekati Jo dengan wajah datar. Kedua tangannya bersedekap di dada. Menatap Jo malas.
"Apa di sini ada kafetaria? Kita ngobrol di sana sebentar," ajak Jo.
"Okey," Sena menyetujui ajakan Jo. Dia melangkah mendahului Jo menuju kafetaria kantornya. Sambil menunggu pesan capuccino dan jus apel, mereka duduk di kursi dekat jendela kaca.
"Kamu sengaja balik ke sini ya? Biar bisa ganggu Riana lagi?" tuduh Sena sebelum Jo sempat memulai pembicaraan. “Bukannya kamu di Jakarta? Lanjutin usaha rumah sakit orang tuamu?"
"Sena, aku tak mau membahas itu. Aku hanya ingin fokus membahas Riana. Apa Riana sudah menikah?"
"Kamu ngomong apa sih? Memangnya kenapa kalau Riana udah nikah? Kamu nggak suka lihat Riana udah muvon dari kamu?"
"Berarti bener? Dia udah nikah?" Jo mengejar jawaban yang dia inginkan.
Sena terdiam. Mencoba berpikir. Kalau dia mengatakan Riana belum menikah, Sena khawatir Jo ada intensi mengajak Riana balikan. Padahal, setahu Sena, Jo sudah dijodohkan dan menikah dengan anak kolega orang tuanya di Jakarta. Akan jadi buruk jika Riana, sahabatnya yang polos itu, menerima lagi perasaan Jo dan nanti dilabeli sebagai pelakor. Sudah cukup sekali dirinya melihat Riana menangis berbulan-bulan seperti orang gila saat pertunangan Riana dengan Jo gagal.
"Iya. Dia udah nikah," jawab Sena tegas.
"Tapi kamu tadi bilang kalau dia belum menikah?"
" Aku salah denger tadi. Sinyal di gedung ini jelek. Kalau nggak telepon kabel, susah tembusnya. Sering putus-putus,” terang Sena.
"Sama siapa nikahnya? Suaminya kerja di mana? Riana udah punya anak?" Jo semakin penasaran tentang kehidupan Riana.
"Apa sih Jo? Ngebet banget pengen tau soal Riana? Emangnya kenapa? Kamu mau nikahin Riana?"
"Iya. Aku mau balikan lagi sama dia," jawab Jo tegas.
"GILA!" kata itu langsung mencelos di bibir Sena. Bagaimana mungkin laki-laki begitu yakin berkata seperti itu. Bahkan, nggak mengedipkan matanya sedikit pun. Gila! Jonathan sudah gila!
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana."Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?""Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana."Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah
Riana bisa merasakan hatinya berdesir tak karuan saat pandangannya bertemu dengan mata David. Sepasang bola mata gelap itu sesaat membuat Riana terhanyut. Segera Riana mengedipkan matanya."Hmm, makasih," Riana ikut mengusap bawah bibirnya dengan telapak tangan agar tak kelihatan grogi. Buru-buru dia kabur dari pandangan David menuju antrian.Gila! batin Riana. Rasanya kedua pipinya memanas untuk beberapa saat. Tenang Riana. Kamu cuma kaget aja."Teh, maju, Teh," pembeli lain yang ada di belakang Riana membuyarkan usaha Riana menenangkan diri."Oh, iya. Maaf," Riana buru-buru bergerak maju. Detak jantungnya yang tak beraturan membuatnya susah berkonsentrasi.Untungnya, Riana tak melakukan kesalahan fatal seperti menumpahkan mangkok ramen atau menabrak pembeli lain. Riana bersyukur dirinya masih aman sampai kembali ke tempat duduk dengan ramen pesanannya.Saat akan mengambilkan mangkok ramen untuk Rafa, tangannya bersentuhan David yang ternyata berniatan sama dengannya. Sentuhan berbed
Riana melemparkan pandangan ke David. Memohon bantuan pada laki-laki itu. Namun, David malah melihat ke arah lain. Seolah tak mau ikut campur dengan hal itu."Ya, Ma? Ya?" Rafa menarik-narik tangan Riana.Riana tertawa canggung lalu berkata. “Eh, mau lihat air terjun nggak? Di sini ada air terjun bagus lho? Kita bisa foto-foto bareng. Rafa belum pernah foto bareng Mama kan?""Mau! Mau! Ayo!"Fiuuh! Riana lega bisa mengelabui Rafa. Tanpa banyak bicara, Riana langsung mengajak Rafa naik lift menuju lantai Sky Level tempat air terjun buatan itu berada.PVJ Mall memang memiliki desain yang unik. Tak hanya bisa berbelanja dan wisata kuliner. Pengunjung juga bisa jalan-jalan menikmati keindahan alam buatan yang sudah tampak dari desain interior dan eksterior mall yang dipenuhi bebungaan. Belum lagi ada lantai Sky Level yang menyediakan fasilitas tambahan untuk foto dengan spot air terjun buatan dan taman bunga yang indah."HUWAAAAA!" Rafa langsung berlari bergaya di depan air terjun buatan
Tawa Riana bersama Rafa terhenti seketika saat memasuki kamar ibunya. Di dalam sana, tak hanya ada ibunya saja. Tampak dua sosok yang tidak ingin ditemuinya untuk saat ini. Jo dan Sena. Kedua orang itu tampak sedang mengobrol dengan ibunya."Riana!" teriak Sena dan Jo berbarengan. Jantung Riana berdegup kencang lagi. Kedua orang itu langsung menghampiri Riana."Hmm, kita ngobrol di luar aja? Gimana?" usul Riana secepat kilat. Tak ingin membuat keributan di dalam kamar."Oke," ujar Sena sambil melirik Rafa."Bu, aku titip Rafa ya," pesan Riana sebelum keluar kamar. Ibu Riana mengangguk dan memanggil Rafa agar mendekat. Sangat beruntung bagi Riana karena Rafa tipe anak yang penurut. Bocah itu langsung naik ke ranjang dan bermain dengan ibu Riana."Kita bisa ke kafetaria rumah sakit," usul Jo sesaat setelah Riana menutup pintu ruang rawat ibunya dari luar. Riana hanya mengangguk mengiyakan.Jo berjalan di sisi Riana menuju kafetaria. Sena yang memang tak suka Jo, dengan sengaja menabrak
Riana memejamkan mata kuat-kuat. Dapat dirasakannya telapak tangan David memegang erat belakang lehernya. Belum lagi bibirnya yang tinggal berjarak beberapa inchi dari bibir David.Tanpa sadar, Riana mencengkeram erat tangan David. Membuat tawa David terlontar keluar. Perlahan Riana membuka matanya. Tampak David masih tertawa. Wajah Riana memerah seperti tomat."Gila kamu!" ceplos Riana sambil melepaskan diri dari David.Jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Ingin rasanya dia mencabut jantungnya sekarang juga dan melemparnya. Bisa-bisanya jantungnya berdetak karena prank tak jelas dari David.Segera Riana berdiri. Tangan David kembali memegang tangan Riana. Membuat gadis itu tak bisa pergi."Ngobrol dulu," ujar David."Jangan dekat-dekat lagi tapi!" pesan Riana. David mengangguk."Mantanmu masih suka kamu?" tanya David seperti orang menginterogasi."Darimana kamu tahu dia mantanku?""Menurutmu?" David mengerling Riana dengan ekor matanya yang tajam. Riana sadar siapa pria di hadap
Jantung Riana tak bisa berhenti berdegup. Dirinya tak menyangka David akan menyelinap masuk ke kamarnya tengah malam seperti ini!Awalnya Riana sudah mulai mengantuk. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Walaupun memaksa untuk memikirkan soal penculikan Mama Rafa, dia pun tak punya petunjuk apa-apa."Mendingan aku tidur aja. Besok pagi kan masih bisa tanya David," gumam Riana sambil meletakkan hapenya di meja. Dimatikannya lampu kamar agar tidurnya jauh lebih nyenyak.Sudah beberapa kali Riana menguap. Beberapa kali juga dia berguling ke kiri dan ke kanan. Anehnya, matanya belum bisa diajak terpejam. Padahal, otaknya sudah menginginkan untuk diajak tidur.Ceklek. Ceklek.Riana terkejut. Seseorang membuka pintu kamarnya yang sudah dikunci. Perlahan Riana mengintip sekilas dari balik selimutnya. Tampak bayangan laki-laki berjalan mendekatinya dan terduduk di sisinya.Sesaat jemari laki-laki itu menyingkap sedikit selimut yang menutupi wajah Riana. Sekuat mungkin Rian
"Tapi aku nggak punya saudara! Aku anak tunggal di rumah!" jelas Riana menggebu.David hanya mengangkat pundaknya."Yang jelas kalian mirip,” ujar David."Lalu di mana Mama Rafa sekarang? Masih hidup kan?" Riana masih ingat perkataan Rafa yang menceritakan bahwa Mama dan Papanya baru pergi lama dan tak pulang-pulang."Aku masih mencari mereka,” ucap David."Mencari? Mereka diculik?""Aku masih mencari dan tugasmu menggantikan sementara peran Mama Rafa dengan baik. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan,” terang David.Itulah pesan David yang terngiang-ngiang di pikiran Riana. Bahkan, saat rapat orang tua murid yang membahas tentang kenakalan geng Noval ke Rafa pun, Riana jadi tak fokus."Pokoknya saya minta ibu-ibu sekalian jaga anak masing-masing. Jangan sampai saya dengar mereka ngejek anak saya lagi," pungkas Riana menyudahi perdebatan dalam rapat agar cepat selesai.Untungnya tak ada ibu-ibu yang membuat ulah. Beban Riana jadi sedikit lebih berkurang. Usai rapat, Riana langsung menga
"Ini buat kamu," Jo memberikan kotak bekal berisi udang saus tiram dan brokoli rebus kesukaan Riana. Ini sudah ketiga kalinya Jo memberikannya saat Riana menjenguk ibunya.Dulu Riana sangat suka menerima kotak bekal semacam itu dari Jo. Setiap kali Jo memberikannya, hati Riana berbunga-bunga. Apalagi jika Jo menyuapinya di saat dia masih mengerjakan laporan kampus."Dimakan atuh Ri," tutur ibu Riana menyemangati.Jo tersenyum malu. Hatinya cukup puas karena ibu Riana juga sepertinya mendukung dirinya. Sebaliknya, Riana yang kesal dengan kelakuan Jo."Ibu aja yang makan. Sama Rafa," Riana melirik Jo tajam," Ikut aku keluar!""Okey," Jo menundukkan kepala sebagai salam undur diri. Dia melangkah cepat mengikuti Riana."Riana, mau ke mana?" tanya Jo sambil berusaha menyamakan langkah dengan Riana. Gadis itu hanya diam saja. Tetap melangkah hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.Kepala Riana celingukan. Melihat apakah ada orang lain di sekitar mereka. Saat yakin
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula