Kebingungan melanda Grace menjawab pertanyaan Leon. Mengapa wajahnya mirip dengan foto yang ada di dinding saat video call dengan sang ibu?
Kepalang tanggung!Di tengah kebingungan Grace menjawab, di tempat Leon, Brian mengetuk pintu kamar anak itu. Seketika Leon menoleh, siapa yang masuk ke dalam kamarnya."Hai, Leon! Sedang apa?" Brian tersenyum, mengangkat tangannya, menyapa.Leon membalas dengan senyum lembut. "Leon sedang telepon mommy, Om," jawabnya.Grace yang ada di ujung panggilan pun ikut mendengarkan obrolan antara Brian dan sang anak. Dewi Fortuna masih membersamainya, keberuntungan bersama Grace, Leon melupakan pertanyaannya. "Siapa yang datang, Leon? Itu suara Om Brian, kan?" terka Grace, meskipun sebenarnya ia sudah tau pasti pemilik suara itu. "Benar, Mom, ini Om Brian." Leon merubah kamera ponselnya menghadap Brian."Hai, Nyonya Grace. Apakah semua lancar?" tanya Brian klise.<Max sejenak ingin membangunkan Grace, namun ia melihat bagaimana paras cantik itu terlihat lelah, sepertinya Grace sudah tidur sangat lelap. "Apa perlu kubangunkan?" batin Max saling bertanya. "Tapi dia belum makan malam?"Batin Max beradu bimbang. Pria itu tidak tega membangunkan Grace, namun Max juga berpikir wanita itu juga belum makan malam. Hingga akhirnya Max putuskan membopong tubuh Grace dengan hati-hati. Jangan sampai wanita itu merasakan pergerakannya.Perlahan Max membuka pintu kamar Grace dan merebahkan wanita itu di atas ranjang, kemudian menyelimutinya. Sesaat terbesit rasa yang sulit ia ungkapkan. Rasa apa ini? Apakah ia masih mencintai wanita itu? "Tidak, aku tidak akan lemah." Max menyakinkan dirinya jika ia akan tetap teguh pendiriannya.Setelah itu Max segera keluar dari kamar Grace, saat melihat wanita yang pernah mengisi hatinya menggeliat kecil, merubah posisi tidur. Pria it
Max melihat dua wanita masuk ke dalam ruangannya, yaitu Grace dan sekretarisnya.Freya terkesiap dengan tatapan nyalang Grace, terlebih Max. Pria itu tidak menduga jika istrinya akan datang ke kantor tiba-tiba. Grace selalu bertindak di luar dugaan!"Grace?!"Grace menatap murka pada Freya yang sedang duduk di atas meja, menghadap Max. Meeting apa yang mereka lakukan berduaan, hingga sekretaris Max bahkan berani menahannya masuk!"Apa yang kalian lakukan?!" bentak Grace dengan amarah, meletakkan kotak makan pada meja di dekatnya.Freya langsung berdiri di samping Max. Namun, bukan rasa takut atau merasa bersalah, melainkan membalasnya dengan tatapan sinis. Wanita itu justru lebih antusias membuat api cemburu tanpa berkomentar. Hanya dengan tindakannya tadi, sudah bisa membuat Grace menjadi binatang buas."Rapat?!" Grace berjalan cepat menghampiri keduanya. Seketika menarik, menyingkirkan Freya dari samping suaminya, lalu berkacak
Max menatap nanar pada kotak makan yang masih utuh di atas meja. Apa yang akan dilakukannya dengan makanan itu? Bukankah tadi dia yang melemparkan!"Biarkan saja!" ucap Max melarang Christ.Christ menggeleng bingung, tapi enggan mencampuri urusan sang CEO dengan kotak makan tersebut. Pria itu kemudian mengikuti petugas kebersihan keluar ruangan Max.Pria tampan itu termenung. Entah apa yang ia lakukan sekarang sangat bertolak belakang dengan isi hatinya. Terus mengamati makanan yang tampaknya lezat, Max meyakini makanan itu pasti sangat nikmat, terlebih tangan lembut Grace yang membuatkan untuknya."Kau selalu membuatku jatuh bangun, Grace ... Untuk apa kau membantuku bangun, jika nantinya kau akan menjatuhkanku lagi!"Sejak kepergian Grace, Max percaya jika wanita itu tidak sepenuhnya mencintainya. Maka itu, dari tindakan Grace sekarang, Max yakin semua tidak berdasarkan cinta.Tanpa ia sadari, jemarinya mengambil garpu dan meny
Setelah kejadian di kantor Max, Grace tidak akan menyerah hanya karena Max melemparkan kotak makan buatannya. Wanita itu sadar jika Max wajar melakukannya, karena pria itu pasti sangat kecewa saat dirinya ditinggalkan. Pagi ini Grace sudah berdandan cantik. Sebelum naik ke lantai atas, wanita itu melirik sekilas makanan di atas meja, piring dan gelas masih bersih. "Ternyata dia belum berangkat," lirih Grace terus meniti anak tangga. Tiba di depan pintu kamar Max, Grace menarik napas dalam menenangkan diri sebelum mengetuk pintu tersebut. Beberapa kali ketukan, ternyata tidak ada balasan apapun hingga membuat Grace masuk ke dalam kamar Max tanpa permisi. "Hm, sepi ...?" gumamnya terus melangkah, mengamati setiap sudut kamar Max. Wanita itu kemudian memindai walk in closed di ruang luas tersebut. Beberapa kemeja tergantung dengan rapi, begitu pula dengan setelan jas. Di meja tengah
Pria berwajah tampan sedang termanggu mengingat kejadian pagi ini. Reaksi Grace sangat di luar dugaan Max. Max mengira Grace akan marah secara brutal, jika Grace mendengar dirinya akan mendekati Freya. Semua salah! Grace sama sekali tidak bereaksi. "Bagaimana mungkin dia diam saja saat aku menggertaknya?!" Max merasa ada salah dengan Grace. "Apa aku kurang serius mengatakannya?" Max terus berpikir, bagaimana cara dia menyingkirkan Grace dari hidupnya. Sesungguhnya, itu hanyalah omong kosong Max untuk menakuti Grace, agar wanita itu menjauhinya. Namun, apa yang Max lihat? Mengapa wanita itu tidak bereaksi saat dia mengancamnya? Christ yang melihat Max termenung, merasa heran dengan sang CEO. "Ada masalah apa, Tuan? Nyonya berulah lagi?" tanyanya. "Tidak. Bukan dia," balas Max menyembunyikan kenyataan, ia segera m
Kecemburuan seketika merasuki diri Max. Akan tetapi, pria itu tetap mengingkari rasa yang entah sulit dia ungkapkan. Apakah benar Max cemburu dengan pria yang bersama Grace sekarang? Mata elang itu bak siap memangsa lawan. "Apa yang dia kerjakan di sini?" desisnya. Namun, masih bisa terdengar Christ. "Siapa, Tuan?" tanyanya kemudian mengikuti arah pandangan sang CEO. "Oh... setahu saya pria itu adalah pemilik Golden Brilliance, namanya Tuan Steve. Anda punya kepentingan dengannya?" Christ bahkan tidak paham mengenai pertanyaan Max. Max bukan membahas soal Steve. Tapi, tentang Grace yang berada di tempat yang sama dengan dirinya, terlebih bertemu pria lain. "Cari tahu tentang kerja sama Phoenix dengan Golden Brilliance!" titah Max akhirnya, kemudian membawa langkahnya meninggalkan tempat tersebut. Grace dan Steve setelah itu menghabiskan waktu dengan obrolan santai. Wanita itu kini fokus pada inti yang direncanakannya. Ia tidak ingin semua orang tahu rencananya di balik
"Pria siapa yang kau bicarakan? Kau melihatku, Max?" tanya Grace. Wanita itu berhati-hati mengolah kata-kata, jangan sampai justru dirinya yang terjebak dengan pertanyaan Max dan akhirnya terbongkar apa yang ia rencanakan. "Jangan coba bohong padaku, Grace! Atau ... aku akan lakukan sesuatu. Kau tahu bukan, aku bahkan bisa mendapatkan apa yang orang lain inginkan!" ancam Max. Grace sangat paham jika Max menginginkan sesuatu sangat mudah bagi pria itu. Semudah menjentikkan jarinya! "Dia hanya temanku," ungkap Grace. "Lagipula biasanya kau tidak pernah peduli padaku ...?" Kini Grace yang mencari kebenaran di wajah Max. Pria itu seketika mengalihkan pandangan ke arah lain. Grace menghela napas. "Ya sudah, kalau begitu aku ke kamar. Aku sangat lelah." Wanita itu meninggalkan Max dengan merentangkan dua tangan seraya menguap, seakan ia benar-ben
Grace berjalan menuju mobilnya yang berada di depan lobi hendak ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanan menuju keluarga Malay, Agatha menghubungi Grace yang sedang mengemudi. Melalui telepon yang terhubung dengan mobil, Grace menerima panggilan itu. "Hallo, Tha." "Grace, kita mau adain pesta. Kau pasti ikutan, kan?" tanya Agatha pada ujung panggilan. "Dalam rangka apa? Tidak biasanya kalian adakan party tanpa ada hari spesial." "Yaelah, sudah biasa dari dulu kali Grace, kita selalu party. Kau saja yang seperti baru datang dari planet Mars," sahut Agatha terbahak. "Bisa saja kau!" seru Grace ikut tertawa. "Gimana, kau ikut, kan? Nanti aku infoin Celin." Agatha menunggu jawaban. Grace berpikir sejenak kemudian mengangguk. Tidak ada salahnya ia ikut bergabung. "Oke, aku ikut." "Yes, deal!" sorak gadis itu bersamaan dengan Grace mengakhiri panggilan. Se
Bab250#Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan."Hm, benar ini tempatnya."Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ...Brak!Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami."Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju.Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jel
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s
Kenan berdiri di tengah kota. Kebingungan jelas tergambar di wajahnya. Ia melirik kiri-kanan, mencari-cari tanda yang bisa mengarahkannya pada basecamp Freya.Gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk suara kendaraan membuatnya merasa semakin terasing. Tidak ada petunjuk yang jelas, dan dia semakin merasa hilang."Bagaimana kalau aku meneleponnya?" ragu Kenan dalam kebimbangan.Setelah beberapa menit, Kenan mengeluarkan ponsel. Tatapannya tersentak saat melihat banyaknya panggilan tak terjawab dan deretan pesan dari sang istri."Maafkan, aku sayang ..." gumamannya terhenti dengan kedua bola mata berkaca-kaca, terharu, "Benarkah Chelsea hamil? Dia hamil ..."Rasanya Kenan benar-benar dilema. Di saat ia sudah menghancurkan semua, mahkluk kecil kini sedang bersemayam di rahim sang istri."Apa yang harus aku lakukan?" Kenan mengusap wajah kasar, "Argh!!"Namun, dengan cepat Kenan mengontrol emosinya. Ia harus secepatnya meny
Setelah berhasil membebaskan Anna, Kenan langsung menuju ke bandara dengan mengambil penerbangan tercepat. Semua benar-benar sudah ia persiapkan, pasport dan visa pun sudah dia kantongi di balik jaket."Maafkan aku, Chelsea," ucap Kenan lirih, "Tanpa pesan, tanpa panggilan, tanpa berkomunikasi. Lihatlah, sehening itu caraku mencintaimu sekarang ..."Dengan berat hati ia memandang sendu negara talia dengan lampu-lampu yang menghiasi setiap kota. Ada hati yang sudah ia lukai. Padahal, hati yang selalu membuat dunianya menjadi berisik.**Dengan gemetaran Grace berusaha memasukkan kunci yang justru membuat kunci itu terjatuh ke bawah kakinya."Ah, sial!"Wajah Leon pun tampak jelas ketakutan dan penuh ketegangan. "Ayo, Mom!"Grace mencoba meraih kunci dibawah kakinya, namun Jack terlebih dulu memecahkan kaca mobil dengan ujung senapan.PYAR!"Aaaww ...!" Grace menutup kedua telinga
Di negara Italia. Chelsea duduk termenung di sofa dalam kamarnya. Pagi ini, tubuhnya terasa lelah dan pusing, seolah-olah ada sesuatu yang salah. Rasanya seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Namun jauh di dalam hati, ada kecemasan yang lebih besar lagi. Kenan, suaminya, tidak pulang sejak kemarin. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi, pesan-pesan yang dikirimkan tak kunjung dibalas. Sejak tadi malam, Chelsea sudah berusaha mencari tahu di mana Kenan berada, tapi tetap tak ada kabar. Rasa cemasnya menjadi semakin memuncak."Memangnya di mana sih dia sekarang," gerutu Chelsea memandang layar ponselnya yang perlahan berubah gelap.Ia bangkit dan berjalan pelan menuju meja, mengambil segelas air. Keringat dingin mengucur di dahinya. Rasanya seperti ada yang aneh dengan tubuhnya, dan perasaan cemas tentang Kenan hanya memperburuk keadaan.Tanpa berpikir panjang, Chelsea memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ia ingin memastikan semuanya baik-ba
Melihat Stella datang dengan membawa kantong belanjaan, Grace keluar dari rumah, menghampiri sang perawat. "Apa semua sudah kamu beli, Stella?" tanya Grace. "Sudah semua, Nyonya. Perbekalan ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Hm, baguslah." Ketiga pasang mata tiga pria dalam mobil seketika berbinar senang, saat melihat Grace dengan mata kepala sendiri. "Itu dia!" tunjuk Nick dengan yakin. "Benar, tepat sekali!" "Keberuntungan kita, dia keluar dengan sendirinya ...!" seru Jack sudah tidak sabar. "Selesaikan dengan cepat, dan jangan meninggalkan jejak!" "Siap, Bos!" Nick, Willy dan Jack langsung merapatkan langkah menuju rumah itu. Baru saja Stella dan Grace masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian pintu rumah mereka terbuka dengan sangat keras. BRAK!! Suara dentuman pintu yang ditendang sangat keras membuat Grace dan Leon terkejut setengah mati. Jack, Nick, dan Willy sudah ada di depan pintu. "Hohoho ... Lihatlah siapa yang kita temui ...!" Jack menyeringai si
Di sana, ia menemukan Anna, terikat di kursi dengan air mata yang membasahi pipinya. Hati Kenan terasa sesak, melihat kondisi Anna yang tak berdaya.Kenan melangkah maju dengan cepat, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. “Anna…,” katanya pelan, meraih bahunya dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?”Anna menggeleng lemah.Pria itu berusaha membuka lakban dari bibir sang adik kemudian membuka ikatan tali pada tubuhnya. "Apa mereka menyakitimu?" Belum ada jawaban dari gadis yang masih terus terisak.Anna menatapnya dengan tatapan kosong, matanya merah dan bibirnya bergetar. “Kak …” bisiknya, terisak. “A-aku takut ...”"Tenanglah, semua baik-baik saja." Kenan memeluk Anna erat dan mengusap kepalanya.Menarik napas panjang, Kenan berusaha mengendalikan emosinya. "Anna, dengarkan aku!" Ia berusaha menyadarkan sang adik. "Aku akan membawamu keluar dari sini, tapi ada sesuatu yang lebih penting yang har