Max menatap nanar pada kotak makan yang masih utuh di atas meja. Apa yang akan dilakukannya dengan makanan itu? Bukankah tadi dia yang melemparkan!
"Biarkan saja!" ucap Max melarang Christ.Christ menggeleng bingung, tapi enggan mencampuri urusan sang CEO dengan kotak makan tersebut. Pria itu kemudian mengikuti petugas kebersihan keluar ruangan Max.Pria tampan itu termenung. Entah apa yang ia lakukan sekarang sangat bertolak belakang dengan isi hatinya. Terus mengamati makanan yang tampaknya lezat, Max meyakini makanan itu pasti sangat nikmat, terlebih tangan lembut Grace yang membuatkan untuknya."Kau selalu membuatku jatuh bangun, Grace ... Untuk apa kau membantuku bangun, jika nantinya kau akan menjatuhkanku lagi!"Sejak kepergian Grace, Max percaya jika wanita itu tidak sepenuhnya mencintainya. Maka itu, dari tindakan Grace sekarang, Max yakin semua tidak berdasarkan cinta.Tanpa ia sadari, jemarinya mengambil garpu dan menySetelah kejadian di kantor Max, Grace tidak akan menyerah hanya karena Max melemparkan kotak makan buatannya. Wanita itu sadar jika Max wajar melakukannya, karena pria itu pasti sangat kecewa saat dirinya ditinggalkan. Pagi ini Grace sudah berdandan cantik. Sebelum naik ke lantai atas, wanita itu melirik sekilas makanan di atas meja, piring dan gelas masih bersih. "Ternyata dia belum berangkat," lirih Grace terus meniti anak tangga. Tiba di depan pintu kamar Max, Grace menarik napas dalam menenangkan diri sebelum mengetuk pintu tersebut. Beberapa kali ketukan, ternyata tidak ada balasan apapun hingga membuat Grace masuk ke dalam kamar Max tanpa permisi. "Hm, sepi ...?" gumamnya terus melangkah, mengamati setiap sudut kamar Max. Wanita itu kemudian memindai walk in closed di ruang luas tersebut. Beberapa kemeja tergantung dengan rapi, begitu pula dengan setelan jas. Di meja tengah
Pria berwajah tampan sedang termanggu mengingat kejadian pagi ini. Reaksi Grace sangat di luar dugaan Max. Max mengira Grace akan marah secara brutal, jika Grace mendengar dirinya akan mendekati Freya. Semua salah! Grace sama sekali tidak bereaksi. "Bagaimana mungkin dia diam saja saat aku menggertaknya?!" Max merasa ada salah dengan Grace. "Apa aku kurang serius mengatakannya?" Max terus berpikir, bagaimana cara dia menyingkirkan Grace dari hidupnya. Sesungguhnya, itu hanyalah omong kosong Max untuk menakuti Grace, agar wanita itu menjauhinya. Namun, apa yang Max lihat? Mengapa wanita itu tidak bereaksi saat dia mengancamnya? Christ yang melihat Max termenung, merasa heran dengan sang CEO. "Ada masalah apa, Tuan? Nyonya berulah lagi?" tanyanya. "Tidak. Bukan dia," balas Max menyembunyikan kenyataan, ia segera m
Kecemburuan seketika merasuki diri Max. Akan tetapi, pria itu tetap mengingkari rasa yang entah sulit dia ungkapkan. Apakah benar Max cemburu dengan pria yang bersama Grace sekarang? Mata elang itu bak siap memangsa lawan. "Apa yang dia kerjakan di sini?" desisnya. Namun, masih bisa terdengar Christ. "Siapa, Tuan?" tanyanya kemudian mengikuti arah pandangan sang CEO. "Oh... setahu saya pria itu adalah pemilik Golden Brilliance, namanya Tuan Steve. Anda punya kepentingan dengannya?" Christ bahkan tidak paham mengenai pertanyaan Max. Max bukan membahas soal Steve. Tapi, tentang Grace yang berada di tempat yang sama dengan dirinya, terlebih bertemu pria lain. "Cari tahu tentang kerja sama Phoenix dengan Golden Brilliance!" titah Max akhirnya, kemudian membawa langkahnya meninggalkan tempat tersebut. Grace dan Steve setelah itu menghabiskan waktu dengan obrolan santai. Wanita itu kini fokus pada inti yang direncanakannya. Ia tidak ingin semua orang tahu rencananya di balik
"Pria siapa yang kau bicarakan? Kau melihatku, Max?" tanya Grace. Wanita itu berhati-hati mengolah kata-kata, jangan sampai justru dirinya yang terjebak dengan pertanyaan Max dan akhirnya terbongkar apa yang ia rencanakan. "Jangan coba bohong padaku, Grace! Atau ... aku akan lakukan sesuatu. Kau tahu bukan, aku bahkan bisa mendapatkan apa yang orang lain inginkan!" ancam Max. Grace sangat paham jika Max menginginkan sesuatu sangat mudah bagi pria itu. Semudah menjentikkan jarinya! "Dia hanya temanku," ungkap Grace. "Lagipula biasanya kau tidak pernah peduli padaku ...?" Kini Grace yang mencari kebenaran di wajah Max. Pria itu seketika mengalihkan pandangan ke arah lain. Grace menghela napas. "Ya sudah, kalau begitu aku ke kamar. Aku sangat lelah." Wanita itu meninggalkan Max dengan merentangkan dua tangan seraya menguap, seakan ia benar-ben
Grace berjalan menuju mobilnya yang berada di depan lobi hendak ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanan menuju keluarga Malay, Agatha menghubungi Grace yang sedang mengemudi. Melalui telepon yang terhubung dengan mobil, Grace menerima panggilan itu. "Hallo, Tha." "Grace, kita mau adain pesta. Kau pasti ikutan, kan?" tanya Agatha pada ujung panggilan. "Dalam rangka apa? Tidak biasanya kalian adakan party tanpa ada hari spesial." "Yaelah, sudah biasa dari dulu kali Grace, kita selalu party. Kau saja yang seperti baru datang dari planet Mars," sahut Agatha terbahak. "Bisa saja kau!" seru Grace ikut tertawa. "Gimana, kau ikut, kan? Nanti aku infoin Celin." Agatha menunggu jawaban. Grace berpikir sejenak kemudian mengangguk. Tidak ada salahnya ia ikut bergabung. "Oke, aku ikut." "Yes, deal!" sorak gadis itu bersamaan dengan Grace mengakhiri panggilan. Se
Di negara lain, ruang kamar inap rumah sakit terbesar di kota Jerman. Seorang wanita baru saja menekan tombol darurat setelah melihat keadaan Leon yang mengalami kesulitan pernafasan. Ia menekan tombol itu karena merasa takut terjadi sesuatu pada anak tersebut. Selain Brian dokter spesialis yang menangani Leon, Stella adalah wanita yang dipercaya Grace untuk menjaga Leon selama dirinya tidak ada di negara tersebut. Maka dari itu, Stella sangat khawatir dengan keadaan anak laki-laki yang sudah dianggapnya seperti keponakannya. "Apa yang terjadi, Stella?" tanya Brian tergopoh membuka pintu lebar masuk ke ruang rawat. Brian dibantu dua orang perawat langsung memeriksa keadaan Leon, anak tersebut mengalami Hipoksia Anemia, kondisi yang terjadi karena kurangnya oksigen dalam sel dan jaringan tubuh, sehingga mengganggu sistem pernapasan di saat tidur. Pria itu menarik masker oksigen kemudian memasangkannya de
Setelah mengungkap keberadaan Leon, Arthur kini juga mengetahui rahasia Grace. Dengan begitu, Grace merasa sedikit lega karena Grace yakin Arthur bisa dipercaya untuk menjaga rahasianya. Pria itu juga bersedia membantu jika Grace membutuhkan bantuan. Usai merapikan dan memoles wajahnya dengan make up tipis, Grace kini sedang perjalanan menuju ke rumah Max. Sepanjang perjalanan itu, Grace menghubungi sang suami. "Kemana sih dia?!" omel Grace dengan fokus mengemudi. Panggilan yang tidak terjawab itu membuat Grace merasa kesal, karena menduga Max sengaja melakukannya. "Awas saja jika dia benar mengabaikan teleponku!" Grace harus melewati jalan lururs yang berliku dengan pemandangan kanan kirinya pohon cemara. Lampu penerangan jalan pun tidak berfungsi dengan baik, sehingga Grace tidak melihat jika ada lubang di tengah jalan, lantas terjadi guncangan kecil yang mengakibatkan mobil itu sedikit oleng hingga turun ke bahu jalan.
Tidak ada jawaban dari Max, ia hanya mengucapkan satu kata yang membuat Grace sangat kesal. "Ayo, pulang!" Grace bersedekap dada. "Jika kau datang hanya untuk membuatku marah, lebih baik tidak usah datang, Max! Lebih baik aku seperti gelandangan di tepi jalan! Kenapa kau melarang Steve mengantarku?! Wanita itu masih mengomel dan berteriak di bahu jalan, hingga ia menjadi bahan tontonan para pengguna jalan lainnya. "Jika kau tidak punya malu, silahkan lakukan saja seperti itu terus. Tapi, aku tidak suka pria itu berada di dekatmu!" "Kenapa?!" jerit Grace semakin murka. "Kenapa kau melarangku sedangkan kau tidak ingin menyentuhku!" Ocehan Grace hampir membuat Max malu, ia mengusap wajahnya kasar. Suara Grace sangat lantang, hingga membuat para pejalan kaki tersenyum mendengarnya. "Kau?! tunjuk Max kemudian menurunkan tangannya, lalu mengga