Grace berjalan menuju mobilnya yang berada di depan lobi hendak ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanan menuju keluarga Malay, Agatha menghubungi Grace yang sedang mengemudi. Melalui telepon yang terhubung dengan mobil, Grace menerima panggilan itu. "Hallo, Tha." "Grace, kita mau adain pesta. Kau pasti ikutan, kan?" tanya Agatha pada ujung panggilan. "Dalam rangka apa? Tidak biasanya kalian adakan party tanpa ada hari spesial." "Yaelah, sudah biasa dari dulu kali Grace, kita selalu party. Kau saja yang seperti baru datang dari planet Mars," sahut Agatha terbahak. "Bisa saja kau!" seru Grace ikut tertawa. "Gimana, kau ikut, kan? Nanti aku infoin Celin." Agatha menunggu jawaban. Grace berpikir sejenak kemudian mengangguk. Tidak ada salahnya ia ikut bergabung. "Oke, aku ikut." "Yes, deal!" sorak gadis itu bersamaan dengan Grace mengakhiri panggilan. Se
Di negara lain, ruang kamar inap rumah sakit terbesar di kota Jerman. Seorang wanita baru saja menekan tombol darurat setelah melihat keadaan Leon yang mengalami kesulitan pernafasan. Ia menekan tombol itu karena merasa takut terjadi sesuatu pada anak tersebut. Selain Brian dokter spesialis yang menangani Leon, Stella adalah wanita yang dipercaya Grace untuk menjaga Leon selama dirinya tidak ada di negara tersebut. Maka dari itu, Stella sangat khawatir dengan keadaan anak laki-laki yang sudah dianggapnya seperti keponakannya. "Apa yang terjadi, Stella?" tanya Brian tergopoh membuka pintu lebar masuk ke ruang rawat. Brian dibantu dua orang perawat langsung memeriksa keadaan Leon, anak tersebut mengalami Hipoksia Anemia, kondisi yang terjadi karena kurangnya oksigen dalam sel dan jaringan tubuh, sehingga mengganggu sistem pernapasan di saat tidur. Pria itu menarik masker oksigen kemudian memasangkannya de
Setelah mengungkap keberadaan Leon, Arthur kini juga mengetahui rahasia Grace. Dengan begitu, Grace merasa sedikit lega karena Grace yakin Arthur bisa dipercaya untuk menjaga rahasianya. Pria itu juga bersedia membantu jika Grace membutuhkan bantuan. Usai merapikan dan memoles wajahnya dengan make up tipis, Grace kini sedang perjalanan menuju ke rumah Max. Sepanjang perjalanan itu, Grace menghubungi sang suami. "Kemana sih dia?!" omel Grace dengan fokus mengemudi. Panggilan yang tidak terjawab itu membuat Grace merasa kesal, karena menduga Max sengaja melakukannya. "Awas saja jika dia benar mengabaikan teleponku!" Grace harus melewati jalan lururs yang berliku dengan pemandangan kanan kirinya pohon cemara. Lampu penerangan jalan pun tidak berfungsi dengan baik, sehingga Grace tidak melihat jika ada lubang di tengah jalan, lantas terjadi guncangan kecil yang mengakibatkan mobil itu sedikit oleng hingga turun ke bahu jalan.
Tidak ada jawaban dari Max, ia hanya mengucapkan satu kata yang membuat Grace sangat kesal. "Ayo, pulang!" Grace bersedekap dada. "Jika kau datang hanya untuk membuatku marah, lebih baik tidak usah datang, Max! Lebih baik aku seperti gelandangan di tepi jalan! Kenapa kau melarang Steve mengantarku?! Wanita itu masih mengomel dan berteriak di bahu jalan, hingga ia menjadi bahan tontonan para pengguna jalan lainnya. "Jika kau tidak punya malu, silahkan lakukan saja seperti itu terus. Tapi, aku tidak suka pria itu berada di dekatmu!" "Kenapa?!" jerit Grace semakin murka. "Kenapa kau melarangku sedangkan kau tidak ingin menyentuhku!" Ocehan Grace hampir membuat Max malu, ia mengusap wajahnya kasar. Suara Grace sangat lantang, hingga membuat para pejalan kaki tersenyum mendengarnya. "Kau?! tunjuk Max kemudian menurunkan tangannya, lalu mengga
Ada debaran jantung yang semakin berdetak cepat. Tangan Max refleks meraih pinggang Grace semakin mendekatkan dengan tubuhnya, sontak membuat satu tangan Grace terlepas dari kalungan pundak pria itu. Renda putih yang terdapat pada baju tidur nan tipis itu juga mulai luruh dari pundak Grace, menampakkan sebagian dada wanita itu terlihat samar-samar. Max mengamati itu semua. Rasanya ia ingin melepaskan baju tipis Grace sekarang, menuruti apa yang instingnya katakan. Satu tangannya mengikuti nalurinya, meraih belakang tengkuk Grace, menatapnya lekat. Tanpa adanya suara, hanya dengan sentuhan keduanya saling memberi isyarat. "Ah..." Satu leguhan panjang baru saja keluar dari bibir tipis Grace saat tangan Max yang berada di pinggangnya, mulai menyentuh bagian belakang bongkahan kenyal milik wanita itu. Keduanya masih menyelami pikiran masing-masing. Max merasakan sesuatu yang berbeda. Sekian tahun tidak mel
Firasatnya mengatakan ada yang salah saat mendengar dua orang pria menyebut nama Grace, Brian langsung berjalan cepat menuju ke kamar Leon dirawat. Dengan napas terengah, Brian membuka pintu kamar inap VVIP. Saat itu juga Brian terperanjat melihat kamar Leon kosong, ia hanya menemukan ruang hampa, tidak melihat anak itu di ranjang. "Kemana dia?" Brian masuk lebih dalam dan mencari ke setiap ruangan. Ia hanya melihat dua ponsel di atas meja samping brankar. Kamar inap VVIP tersebut memiliki ukuran yang lebih luas dengan fasilitas lebih lengkap, Grace tentu akan memberikan yang terbaik demi kesembuhan sang anak. Wanita itu tidak ingin Leon merasa seperti di rumah sakit, sehingga bangsal itu di lengkapi dengan peralatan yang persis kamar anak pada umumnya, ada buku-buku bacaan dan mainan. Hanya saja di samping tempat tidurnya, terdapat alat kedokteran yang tidak bisa jauh dari ranjang anak itu. "Argh... dimana kamu, Leon...!" Br
Grace terpaku sejenak, hingga membuat Arthur yang melihatnya pun ingin tahu siapa yang menelpon sepupunya. Pria itu mengeratkan pendengaran. "Mengapa Leon tidak ada, Brian?!" teriak Grace hingga menarik perhatian Arthur. "Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan anakku, kau harus cepat menemukannya! Di mana dia ...?!" Air mata Grace tak terbendung lagi. Napasnya pun terengah, seakan menahan gejolak amarah yang ingin meledak. Grace bahkan tidak bisa berpikir dengan waras sekarang. Mendengar Leon hilang, Arthur juga langsung terbelalak. Bagaimana mungkin mereka tidak melihat Leon? Ia merasa harus tahu keadaan sebenarnya. Pria itu kemudian menunggu kepastian hingga Grace selesai berbicara. "Oke, oke, saya akan mencarinya lagi, saya kabari jika menemukannya." Brian merasa bersalah, meskipun itu bukan kesalahannya. Tetapi, terbesit rasa dia tidak bisa mengemban tugas yang diberikan Grace. Se
Di taman Rumah Sakit Chartie, Stella sedang mendorong kursi roda Leon. Sebab, Leon mengeluh merasa jenuh jika berada di kamar terus, hingga Stella membawanya berjalan-jalan. Tetapi ini salah, seharusnya Leon tidak boleh keluar terlalu jauh dari kamarnya. "Leon senang?" tanya Stella, ia berjongkok di depan anak itu. Anak laki-laki tampan itu tersenyum bahagia. "Ya, Aunty, Leon senang bisa menghirup udara bebas. Terimakasih ya, Aunty sudah membawa Leon keluar," balas Leon dengan tatapan teduh. "Leon tau, Leon seharusnya tidak boleh keluar, tapi kalau di kamar terus Leon juga bosan ..." Stella menatap iba, rasanya wanita itu ingin menitikkan air mata. Tetapi, ia berusaha menahannya. "Tidak apa, Leon. Kita sebentar saja di sini, setelah itu kita kembali ke kamar lagi." Stella berusaha membuat Leon tidak merasa bersalah, kemudian menunjuk pada satu bangku di bawah pohon rindang, "Kita duduk di sana, yuk." Leon me