Tidak ada jawaban dari Max, ia hanya mengucapkan satu kata yang membuat Grace sangat kesal.
"Ayo, pulang!" Grace bersedekap dada. "Jika kau datang hanya untuk membuatku marah, lebih baik tidak usah datang, Max! Lebih baik aku seperti gelandangan di tepi jalan! Kenapa kau melarang Steve mengantarku?! Wanita itu masih mengomel dan berteriak di bahu jalan, hingga ia menjadi bahan tontonan para pengguna jalan lainnya. "Jika kau tidak punya malu, silahkan lakukan saja seperti itu terus. Tapi, aku tidak suka pria itu berada di dekatmu!" "Kenapa?!" jerit Grace semakin murka. "Kenapa kau melarangku sedangkan kau tidak ingin menyentuhku!" Ocehan Grace hampir membuat Max malu, ia mengusap wajahnya kasar. Suara Grace sangat lantang, hingga membuat para pejalan kaki tersenyum mendengarnya. "Kau?! tunjuk Max kemudian menurunkan tangannya, lalu menggaAda debaran jantung yang semakin berdetak cepat. Tangan Max refleks meraih pinggang Grace semakin mendekatkan dengan tubuhnya, sontak membuat satu tangan Grace terlepas dari kalungan pundak pria itu. Renda putih yang terdapat pada baju tidur nan tipis itu juga mulai luruh dari pundak Grace, menampakkan sebagian dada wanita itu terlihat samar-samar. Max mengamati itu semua. Rasanya ia ingin melepaskan baju tipis Grace sekarang, menuruti apa yang instingnya katakan. Satu tangannya mengikuti nalurinya, meraih belakang tengkuk Grace, menatapnya lekat. Tanpa adanya suara, hanya dengan sentuhan keduanya saling memberi isyarat. "Ah..." Satu leguhan panjang baru saja keluar dari bibir tipis Grace saat tangan Max yang berada di pinggangnya, mulai menyentuh bagian belakang bongkahan kenyal milik wanita itu. Keduanya masih menyelami pikiran masing-masing. Max merasakan sesuatu yang berbeda. Sekian tahun tidak mel
Firasatnya mengatakan ada yang salah saat mendengar dua orang pria menyebut nama Grace, Brian langsung berjalan cepat menuju ke kamar Leon dirawat. Dengan napas terengah, Brian membuka pintu kamar inap VVIP. Saat itu juga Brian terperanjat melihat kamar Leon kosong, ia hanya menemukan ruang hampa, tidak melihat anak itu di ranjang. "Kemana dia?" Brian masuk lebih dalam dan mencari ke setiap ruangan. Ia hanya melihat dua ponsel di atas meja samping brankar. Kamar inap VVIP tersebut memiliki ukuran yang lebih luas dengan fasilitas lebih lengkap, Grace tentu akan memberikan yang terbaik demi kesembuhan sang anak. Wanita itu tidak ingin Leon merasa seperti di rumah sakit, sehingga bangsal itu di lengkapi dengan peralatan yang persis kamar anak pada umumnya, ada buku-buku bacaan dan mainan. Hanya saja di samping tempat tidurnya, terdapat alat kedokteran yang tidak bisa jauh dari ranjang anak itu. "Argh... dimana kamu, Leon...!" Br
Grace terpaku sejenak, hingga membuat Arthur yang melihatnya pun ingin tahu siapa yang menelpon sepupunya. Pria itu mengeratkan pendengaran. "Mengapa Leon tidak ada, Brian?!" teriak Grace hingga menarik perhatian Arthur. "Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan anakku, kau harus cepat menemukannya! Di mana dia ...?!" Air mata Grace tak terbendung lagi. Napasnya pun terengah, seakan menahan gejolak amarah yang ingin meledak. Grace bahkan tidak bisa berpikir dengan waras sekarang. Mendengar Leon hilang, Arthur juga langsung terbelalak. Bagaimana mungkin mereka tidak melihat Leon? Ia merasa harus tahu keadaan sebenarnya. Pria itu kemudian menunggu kepastian hingga Grace selesai berbicara. "Oke, oke, saya akan mencarinya lagi, saya kabari jika menemukannya." Brian merasa bersalah, meskipun itu bukan kesalahannya. Tetapi, terbesit rasa dia tidak bisa mengemban tugas yang diberikan Grace. Se
Di taman Rumah Sakit Chartie, Stella sedang mendorong kursi roda Leon. Sebab, Leon mengeluh merasa jenuh jika berada di kamar terus, hingga Stella membawanya berjalan-jalan. Tetapi ini salah, seharusnya Leon tidak boleh keluar terlalu jauh dari kamarnya. "Leon senang?" tanya Stella, ia berjongkok di depan anak itu. Anak laki-laki tampan itu tersenyum bahagia. "Ya, Aunty, Leon senang bisa menghirup udara bebas. Terimakasih ya, Aunty sudah membawa Leon keluar," balas Leon dengan tatapan teduh. "Leon tau, Leon seharusnya tidak boleh keluar, tapi kalau di kamar terus Leon juga bosan ..." Stella menatap iba, rasanya wanita itu ingin menitikkan air mata. Tetapi, ia berusaha menahannya. "Tidak apa, Leon. Kita sebentar saja di sini, setelah itu kita kembali ke kamar lagi." Stella berusaha membuat Leon tidak merasa bersalah, kemudian menunjuk pada satu bangku di bawah pohon rindang, "Kita duduk di sana, yuk." Leon me
Kedua anak buah Jack, Alfonso dan Carlos sebelumnya mendapat dari informan, jika Grace sering bolak-balik menuju Rumah Sakit Chartie selama ia berada di Jerman. Namun, Alfonso dan Carlos tidak tahu jika Grace berada di rumah sakit itu karena Leon. "Kau yakin dengan info itu?" tanya Alfonso tampak ragu. "Jika kau salah orang, kita bisa dapat masalah besar! Lebih baik kau pastikan dulu sebelum kita bergerak!" Alfonso dan Carlos menyipitkan mata saat melihat seorang pria yang dicurigai sebagai suami Grace, yang sakit dan sedang dirawat di Rumah Sakit Chartie. Carlos dan Alfonso mendapatkan informasi, jika Grace menyembunyikan laki-laki lain di rumah sakit tersebut. Keduanya menduga jika Grace meninggalkan suaminya yang sedang dirawat, dan anak buah Jack sedang mencari bukti untuk menjatuhkan Grace di hadapan Max. "Tapi aku lihat dia sama seperti ciri-ciri yang dikatakan informan itu," kata Carlos meyakinkan.
Pikiran Grace masih berkecamuk karena keberadaan Leon yang masih belum diketahui, Arthur pun berusaha menenangkan wanita itu.Rasa penasaran dan curiga, siapa yang berusaha mencarinya di negara itu, terlebih mengetahui ia sering berada di rumah sakit tersebut. Padahal, tidak ada yang mengetahui tentang Grace yang selama ini tinggal di negara tersebut, bersama Leon yang sedang sakit di rumah sakit. Hanya Arthur yang tahu!Mengapa semua sangat tepat? "Kau tidak sedang menuduhku, kan?" tanya Arthur merasa jika ia sebagai tertuduh atas rahasia Grace dan Leon. "Jika aku berbuat jahat kepadamu, kenapa aku harus mencari sendiri keberadaan Leon, mengapa aku tidak mengatakannya pada Paman Victor? Bukankah itu lebih mudah bagiku? Lagipula apa untungnya aku mencari, jika kau sendiri sudah mengatakan padaku?"Benar, apa yang dikatakan Arthur! Untuk apa ia berusaha payah lakukan semua itu, jika Grace saja dengan mudah percaya padanya?"Kau kira
Grace tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Max. Wanita itu langsung mengambil alih kondisi sebelum Max benar-benar marah. Dengan tatapan sedikit kesal, Grace menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada Max, aku hanya lelah! Aku ingin cepat tidur," balas Grace enteng. Namun, Max masih tidak percaya. "Bohong! Aku tau kau berbohong!" gertaknya penuh selidik. "Katakan apa yang terjadi?" "Aku sudah berkata jujur! Jika kau tak percaya ya sudah, untuk apa aku paksa kau untuk percaya. Terlalu membuang tenaga!" "Kau marah karena aku meninggalkanmu malam itu?" tanya Max memicing. Sebab, hal itu yang sejak tadi mengganggunya. "Dan sekarang, kau mengabaikanku karena kau sudah mendapatkan lelaki baru?" Grace cepat tanggap dengan pernyataan Max. Situasi ini sangat menguntungkan Grace. "Ya, aku kesal dan marah denganmu! Jadi untuk apa aku mengharapkan pria yang tidak mau menyentuhku!" Max menunjuk
Max menggamati gerakan tangan Grace yang menghabiskan makanan di piringnya. Pria itu seperti tidak biasa dengan perlakuan Grace yang seperti ini. "Besok kita ke rumah papi," kata Max di sela-sela makan. Grace hanya mengangguk tanpa berkata. "Kau tidak bertanya kenapa?" Lagi, Max merasa ada yang berbeda dengan wanita itu. Grace bahkan sekarang jarang melihat dua bola mata Max. Padahal, biasanya Max bisa melihat getaran cinta dalam mata indah itu. "Tatap aku Grace!" Grace kemudian menengadah wajahnya yang tertunduk. Dua pasang bola mata saling bertatapan dalam. "Puas?!" balas Grace penuh penekanan. Setelah makan malam itu, Grace berpamitan dan kembali ke kamarnya. Sementara Max masih termenung di ruang bar. Pria itu mengambil satu botol minuman beralkohol dan menikmatinya sendiri, sambil mengingat kenangan-kenangan bersama wanita itu dulu. "Apa aku harus mela
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak
"Mommy!" panggil Leon, menghentikan gerakan Grace saat sedang melipat mantel bulu miliknya. Grace juga menoleh ke belakang, ke arah sang putra yang berbaring sambil memeluk sebuah boneka rusa, yang baru saja ia belikan beberapa saat yang lalu. Grace mendekat. Lalu, duduk di tepi brankar. "Yes, Honey. Ada apa?" Tangan kanannya terulur, mengusap lembut poni Leon. "Apa Mommy, mau pulang sekarang?" Mata Leon mengerjap lucu, membuat senyum lebar menghiasi wajah sang bunda. "Mommy mau ketemu sama Dokter Brian dulu, Sayang. Nanti Mommy pasti kembali. Lalu, sorenya Mommy akan pulang," ungkap Grace jujur. Lalu memberikan kecupan sayang di kening ang putra, yang segera memejamkan mata, menikmati kasih sayang tercurah dari ibunya. "Ok. Jangan lama-lama, ya!" pinta Leon, semakin mengeratkan pelukan pada bonekanya, yang baru saja ia nobatkan sebagai Tuan Fufu yang Lucu. "Iya. Jika sudah selesai, Mommy pasti akan kembali." Grace terenyuh melihat kedewasaan sang putra, di usianya yang terbila