“Itulah faktanya, Grace!” Memanfaatkan keterkejutan Grace, Max mendorong tubuh sang istri menjauh. “Cepat pergi dari sini!” tunjuknya pada pintu kamar. Beribu pertanyaan bersarang di dalam kepala Grace. Berbagai pertanyaan ingin dia ketahui jawabannya. Mengapa Max tiba-tiba mandul? Lalu, bagaimana nasib Leon, jika Max kini dinyatakan mandul? Namun, semua pertanyaan itu masih tertahan. Grace yang begitu shock memutuskan untuk mundur sejenak, dia tidak lagi memaksa Max untuk menyentuhnya. Wanita itu keluar tanpa kata dari kamar Max, menuju salah satu kamar tamu di rumah itu. Niat dia menenangkan pikiran pun berakhir gagal, sebab pikirannya yang buntu justru membuatnya sulit tidur. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala karena terus memikirkan kenyataan ini. "Argh ...!" Grace menarik kuat rambutnya karena merasa kesal. Dia bahkan tidak bisa berpikir saat ini. "Aku harus lakukan apa? Bagaimana dengan Leon?" Di dalam kamar luas dengan interior mewah, wanita itu mondar mandir
Setelah adu mulut dengan wanita gila yang datang tiba-tiba, kini Grace tengah melaju menuju rumah keluarga Malay, keluarganya. Begitu sampai di sana, Grace melepas kacamata, menyapa kedua orang tuanya seraya mendudukkan dirinya pada sofa. “Hai, Ma! Hai, Pa!” Kedua orang tuanya, Victor Addison Malay dan Evelyn Malay terkejut luar biasa. "Grace?!" Keluarga Malay termasuk keluarga konglomerat yang sebanding dengan Dicaprio. Tidak heran, meski Grace mengasingkan diri di luar negeri, dia tetap bisa bertahan hidup, dan bahkan mendirikan bisnisnya sendiri. “Kenapa kau kembali?!” Evelyn berdecak kesal mengingat kaburnya Grace saat itu membuat hubungan antara keluarga Malay dan Dicaprio menjadi tidak akur. "Seharusnya kau tidak perlu kembali, bukan?" Sementara Evelyn melontarkan kata-kata sarkas, Victor hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan membaca koran. Pria itu tidak lagi peduli dengan Grace. Grace tersenyum tipis menanggapinya. "Apa kalian tidak merindukanku? Sepertinya
"Bukan siapa-siapa, Ma." Grace menyembunyikan ponsel. "Ah, sudahlah, aku mau keluar dulu. Sepertinya sudah banyak perubahan dengan kota ini." Grace bangkit dari duduknya kemudian langsung membawa langkahnya keluar dari kamar, meninggalkan Evelyn dengan penuh rasa penasaran. "Hati-hati, Grace, hubungi mama jika kau perlu bantuan," seru Evelyn. Sementara Grace pergi dari kediaman Malay, di gedung bertingkat McKesson Group, Maxime baru saja tiba setelah dirinya dibuat pusing dengan dua wanita yang berdebat di rumahnya. Pria itu langsung duduk dibalik meja kerjanya dan mengurut pelipis. Ada yang tidak biasa pemandangan pagi ini, Christian, sang asisten pun bertanya. "Ada masalah, Tuan? Apa yang menyulitkan Anda?" "Tidak, Christ, bukan di sini," jawab Max dengan nada malas. "Lalu?" "Dua makhluk paling menyusahkan sedang cek-cok di rumah," ujar Max tampak lesu. Christ semakin tidak mengerti arah pembicaraan Max. Dia menduga ibu dan adik Max yang berkelahi. "Maksud Tuan ...
Mendengar namanya disebut, Grace seketika mendongak melihat siapa yang memanggilnya. Matanya terbelalak tidak percaya, jika dia akan secepat itu bertemu dengan sahabatnya. "Kau?" Grace melihat sekeliling Agatha, mencari orang lain. "Kau dengan siapa? Kenapa kau ada di sini?" Agatha justru terheran dengan pertanyaan Grace. "Nah, kau juga kenapa tiba-tiba muncul di sini? Bukannya kau menghilang selama ini? Aku saja bahkan tidak tau kau ada dimana? Aku jadi ragu dengan persahabatan kita?" cerocosnya. Grace berdecak, lalu terkekeh mendengar celotehan Agatha. "Jawaban macam apa ini? Pertanyaan dibalas pertanyaan?" Keduanya lantas terbahak bersama. "Kenapa kau ada di negara ini lagi? Aku kira kau sudah lupa ..." tawa Agatha. Grace masih terkikik hingga harus menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. "Aku tentu saja tidak melupakanmu!" "Benarkah? Aku ingin tau apa yang membuatmu kembali, Grace? Jangan katakan kau ingin kembali pada Max!" Tepat! Dugaan Agatha sangat tepat yang dia
"Maaf, Nyonya, Tuan Alexander sudah menunggu Tuan Max," ucap Christian saat melihat keduanya bertikai. Grace terbeliak meski dua tangannya masih dicekal Max. "Papi ada di sini?" "Ya, Nyonya, Tuan—" Christ menghentikan ucapan karena Max menoleh tajam ke arahnya. "Pergilah!" usir Max melepas cengkraman wanita itu. Grace mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri, kemudian berdiri tegap. "Tidak! Aku ikut bersama kalian! Ayo Christ, tunjukkan dimana kamar papi?" Wanita itu bukannya pergi, tapi justru bersikeras ingin melihat ayah mertuanya. Grace meyakini jika ayah mertuanya sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Ia melangkah lebih dulu, sementara Christ bertatapan dengan Max meminta jawaban. Max menghela nafas sembari menggeleng lirih, "Apa boleh buat ..." Kedua pria itu mengikuti langkah Grace yang berada di depan. Sesekali Grace menoleh ke belakang memastikan keduanya tidak mengelabuinya. "Ayo, cepatlah!" Grace berseru. Max merasa gemas dengan tingkah Grace seol
Max tidak mengangguk atau pun menggeleng, pria itu justru menarik tangan Grace melangkah keluar ruangan. Namun, sebelum sampai di pintu keluar, Grace mengibaskan tangan Max hingga terhempas. "Akh! Kau menyakitiku, Max!" Max tersentak kemudian berbalik, keduanya saling berhadapan. "Kalau kau tidak mau aku lebih menyakitimu, lebih baik segera pergi dan jauhi kehidupanku! Lakukan seperti saat kau meninggalkanku!" Tatapan pria itu begitu menusuk. Max maju beberapa langkah mengikis jarak keduanya. "Jangan berharap aku tunduk padamu, Grace! Sekalipun itu di depan mami dan papi!" desisnya penuh penekanan. Grace membenahi tatanan rambutnya, berdiri angkuh, lalu mengangkat dagunya. "Tidak. Sudah kukatakan, aku tidak akan pergi. Akan kubuat kau tergila-gila padaku!" Max semakin menatap bengis. Pria itu tidak ingin jatuh lagi di lubang yang sama. Dia tidak ingin terluka lagi, sama seperti Grace saat meninggalkannya. M
Kebingungan melanda Grace menjawab pertanyaan Leon. Mengapa wajahnya mirip dengan foto yang ada di dinding saat video call dengan sang ibu?Kepalang tanggung!Di tengah kebingungan Grace menjawab, di tempat Leon, Brian mengetuk pintu kamar anak itu. Seketika Leon menoleh, siapa yang masuk ke dalam kamarnya."Hai, Leon! Sedang apa?" Brian tersenyum, mengangkat tangannya, menyapa.Leon membalas dengan senyum lembut. "Leon sedang telepon mommy, Om," jawabnya.Grace yang ada di ujung panggilan pun ikut mendengarkan obrolan antara Brian dan sang anak. Dewi Fortuna masih membersamainya, keberuntungan bersama Grace, Leon melupakan pertanyaannya. "Siapa yang datang, Leon? Itu suara Om Brian, kan?" terka Grace, meskipun sebenarnya ia sudah tau pasti pemilik suara itu. "Benar, Mom, ini Om Brian." Leon merubah kamera ponselnya menghadap Brian. "Hai, Nyonya Grace. Apakah semua lancar?" tanya Brian klise.
Max sejenak ingin membangunkan Grace, namun ia melihat bagaimana paras cantik itu terlihat lelah, sepertinya Grace sudah tidur sangat lelap. "Apa perlu kubangunkan?" batin Max saling bertanya. "Tapi dia belum makan malam?"Batin Max beradu bimbang. Pria itu tidak tega membangunkan Grace, namun Max juga berpikir wanita itu juga belum makan malam. Hingga akhirnya Max putuskan membopong tubuh Grace dengan hati-hati. Jangan sampai wanita itu merasakan pergerakannya.Perlahan Max membuka pintu kamar Grace dan merebahkan wanita itu di atas ranjang, kemudian menyelimutinya. Sesaat terbesit rasa yang sulit ia ungkapkan. Rasa apa ini? Apakah ia masih mencintai wanita itu? "Tidak, aku tidak akan lemah." Max menyakinkan dirinya jika ia akan tetap teguh pendiriannya.Setelah itu Max segera keluar dari kamar Grace, saat melihat wanita yang pernah mengisi hatinya menggeliat kecil, merubah posisi tidur. Pria it
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak
"Mommy!" panggil Leon, menghentikan gerakan Grace saat sedang melipat mantel bulu miliknya. Grace juga menoleh ke belakang, ke arah sang putra yang berbaring sambil memeluk sebuah boneka rusa, yang baru saja ia belikan beberapa saat yang lalu. Grace mendekat. Lalu, duduk di tepi brankar. "Yes, Honey. Ada apa?" Tangan kanannya terulur, mengusap lembut poni Leon. "Apa Mommy, mau pulang sekarang?" Mata Leon mengerjap lucu, membuat senyum lebar menghiasi wajah sang bunda. "Mommy mau ketemu sama Dokter Brian dulu, Sayang. Nanti Mommy pasti kembali. Lalu, sorenya Mommy akan pulang," ungkap Grace jujur. Lalu memberikan kecupan sayang di kening ang putra, yang segera memejamkan mata, menikmati kasih sayang tercurah dari ibunya. "Ok. Jangan lama-lama, ya!" pinta Leon, semakin mengeratkan pelukan pada bonekanya, yang baru saja ia nobatkan sebagai Tuan Fufu yang Lucu. "Iya. Jika sudah selesai, Mommy pasti akan kembali." Grace terenyuh melihat kedewasaan sang putra, di usianya yang terbila