Akhirnya hari Itu Hakya langsung berangkat untuk naik ke atas bukit tunggal dan kebetulan memang saat ini sedang bulan purnama.Namun, ini adalah bulan purnama yang kesekian kalinya setelah Hakya turun dari atas bukit tersebut. Ada rasa rindu yang bergejolak di hati Hakya yang sudah lama tidak bertemu dengan istrinya, namun rasa bersalah juga begitu mendera hatinya di mana dia pernah menjanjikan akan pulang dalam beberapa hari kepada Kanaya. Namun, ternyata sudah sampai berbulan-bulan dia baru bisa pulang.Hakya sudah berada di depan gerbang padepokan, gerbang yang tertutup rapat tersebut tidak terdengar suara apapun di dalam gerbang itu. Ada rasa takut di hati Hakya kalau Kanaya terjadi apa-apa. Bahkan dia tidak mendengar suara satu binatang pun di dalam sana."Buka gerbangnya, Hakya datang!" ujar Hakya pelan dan seketika gerbang dari batu tersebut terbuka.Krrreeeek!Perlahan Hakya melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbang tersebut yang segera tertutup setelah Hakya masuk. Sepert
"Hai burung gagak, tolong bantu aku tunjukkan di mana keberadaan Kanaya," mohon Hakya kepada kedua burung gagak tersebut. Karena keduanya setelah mengangguk tiba-tiba mereka menggelengkan kepalanya.Hal itu membuat Hakya tampak hilang akal, dan frustasi.Melihat Hakya yang sudah memelas dan memohon, bahkan terlihat ingin menangis membuat kedua burung gagak tersebut tampak merasa kasihan. Sehingga kemudian keduanya hanya menganggukkan kepalanya lagi dan meminta Hakya untuk mengikuti mereka dari belakang.Gak! Gak! Gak!Sepanjang perjalanan kedua burung tersebut terbang dengan begitu pelan, namun dia terus berteriak dengan suaranya yang sangat keras memecah kesunyian di area padepokan."Apakah Kanaya baik-baik saja? Dan di mana dia saat ini? Kenapa dia tidak ada di padepokan? Bukankah seharusnya dia sudah kembali ke Padepokan karena hari sudah beranjak malam?" tanya Hakya kepada burung gagak.Gaaaaak!Hakya yang memiliki begitu banyak melontarkan pertanyaan tanpa jeda kepada kedua burun
Hakya begitu panik ketika melihat Kanaya hanya berbaring dan terdiam di pinggir sungai tersebut. Padahal hari sudah memasuki malam."Kanaya…. Apa yang terjadi?” tanya Hakya yang langsung memeluk Kanaya sambil menangis.Sementara itu Kanaya yang tiba-tiba mendapat pelukan seperti itu membuka matanya, dan mengucek matanya. Kanaya begitu terkejut ketika melihat Hakya yang malah menangis sambil memeluknya dengan sangat erat."Kamu sudah pulang?” tanya Kanaya seolah tidak percaya kalau yang berada di hadapannya saat ini adalah Hakya.Hakya terus menangis dan mengganggukan kepalanya."Kenapa kamu datang ke sini? Siapa yang memberitahu? Dan kenapa kamu menangis?" tanya Kanaya heran kepada sang suami"Kamu nggak apa-apa?" tanya Hakya memandang Kanaya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.Kanaya hanya menggelengkan kepalanya. “Aku hanya tertidur di sini, karena aku tahu ini adalah malam bulan purnama dan para bidadari akan datang ke sini. Jadi, aku memilih untuk tiduran di sini menunggu mer
"Tidak bisa, kamu tetap saja di atas sini. Ini lebih aman untuk kamu," ujar Hakya kepada sang istri.Hakya tidak ingin membahayakan Kanaya, mereka harus segera memiliki anak. Dan itu artinya Kanaya harus tenang dan bahagia."Iya, tapi kenapa? Bukankah di kaki bukit juga aman?" tanya Kanaya yang tidak sabar ingin tahu alasan yang diberikan oleh Hakya.Hakya menghela nafas berat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Kanaya."Di kaki bukit semuanya laki-laki. Yang aku latih adalah para pemuda, tidak ada satupun wanita. Bagaimana kamu bisa tenang hidup di antara ratusan para pemuda itu?" tanya Hakya kepada Kanaya."Tempat mandi itu bercampur di sebuah sungai, bagaimana kamu bisa hidup seperti itu?" tanya Hakya lagi.Kanaya menggeleng saat mendengar apa yang disampaikan oleh Hakya. Tidak terbayangkan kalau dia hidup di tengah-tengah para lelaki itu. Walaupun mereka semua adalah murid Hakya, namun tidak ada yang menjamin kalau mereka semua baik."Makanya aku bilang tempat untuk kamu itu a
“Menurut kamu?” tanya Kanaya sambil tersenyum. “Artinya ini benar?” tanya Hakya tidak percaya dan mencoba mengambil cangkir kecil, dan menenggak air itu. Hakya sangat terkejut karena ternyata air itu begitu manis dan terasa sangat segar di tenggorokan. “Air ini enak sekali,” ujar Hakya sambil menatap Kanaya yang masih dengan senyum manisnya. Membuat Hakya semakin penasaran. Kanaya kemudian duduk di hadapan Hakya sambil menuangkan air dari teko itu mengisi kembali cangkir yang berada di hadapan Hakya. “Ini adalah air ramuan yang kamu buat, setelah lima hari kepergian kamu aku membuka seluruh kendi itu, dan ternyata semuanya berhasil. Setiap hari aku meminum ramuan ini sambil menunggu kamu datang dan pulang.” “Ini adalah teko terakhir dari sepuluh kendi yang kamu buatkan. Beruntungnya kamu masih bisa mencicipinya,” ujar Kanaya sembari menikmati minuman itu sambi menatap langit yang masih gelap. Hakya benar-benar tidak percaya kalau ternyata ramuan tersebut berhasil, dia bahkan ham
“Jangan dipikirkan. Selagi kamu disini, kamu akan aman,” jawab Hakya sembari membelai rambut Kanaya.“Aku masih diharapkan menjadi pengantin pangeran ilmu hitam? Apakah mereka tidak bisa mengganti dengan orang lain?” tanya Kanaya lagi.“Setiap orang yang membuat perjanjian dengan ilmu hitam itu, akan mendapatkan perjanjian yang berbeda-beda. Jika tidak mampu memenuhi perjanjian itu, maka pada saat waktunya tiba nanti yang bertanggung jawab adalah yang membuat janji. Dialah yang akan menggantikan itu,” jelas Hakya lagi.“Itu artinya, kalau mereka tidak dapat menemukan aku disini, dan batas waktu itu akan datang, maka ibu yang menjadi pengantinnya?” tanya Kanaya penasaran, karena tidak mungkin seorang pangeran menikahi ayahnya.Hakya menggeleng.“Bukan itu, mereka tidak menerima pengantin pengganti. Maka pembuat janji akan dibunuh dan dijadikan arang pembakaran api abadi di depan kerajaan ilmu hitam,” jawab Hakya.Kanaya tampak menutup mulutnya mendengar hal itu, dia tidak bisa membayan
“Terima kasih, sayang,” bisik Hakya di telinga Kanaya yang sedang terlelap disampingnya.Malam dengan angin yang semilir, diterangi oleh sinaran bulan purnama, keduanya telah melewati malam yang syahdu dengan penuh harap dewa akan mengabulkan keinginan mereka untuk segera memiliki seorang anak. Mereka merindukan kondisi bumi yang tenang dan damai untuk menjadi tempat tinggal.Tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebat.“Terima kasih, dewa. Engkau sudah menurunkan hujan ke bumi, biarkan penduduk bumi merasakan kesenangan dengan air rahmat yang engkau berikan ini,” ujar Hakya yang segera keluar kamar melihat hujan yang turun sangat lebat itu, tanpa diiringi petir dan badai.“Ini benar-benar hujan yang syahdu,” gumam Hakya sembari mengulurkan tangannya dan menampung air hujan dengan tangannya dan kemudian meminumnya.“Rahmat engkau yang begitu menyejukkan.”Hakya kembali ke kamar mereka, dan kembali merebahkan tubuhnya di samping Kanaya, mereka menghabiskan malam yang dingin berpelukan h
“Kamu akan kembali kesana secepat ini?” tanya Kanaya kepada Hakya dengan mata yang menatap tajam.Terlihat raut wajah kecewa di wajah Kanaya ketika melihat Hakya, karena dia masih ingin bersama sang suami. Dan bahkan mereka hanya menghabiskan satu malam bersama, Hakya sudah memilih untuk kembali ke kaki bukit dan meninggalkannya seorang diri diatas.“Kamu tidak merindukan aku?” tanya Kanaya lagi dengan suara yang serak menahan tangis.Pertanyaan Kanaya menghentikan tangan Hakya yang sedang menyendokkan sayur ke dalam piringnya. “Aku sangat merindukan kamu. Tapi, untuk saat ini aku harus menahan diriku. Aku harus berkorban sedikit saja, dan mengesampingkan semuanya demi tujuan yang sedang direncanakan ini, kalau tidak seperti ini semua rencana kita berantakan. Yang menderita bukan hanya kita, namun semua manusia,” jawab Hakya kemudian.“Waktu semakin habis, dan jika nanti kamu berhasil hamil dan keadaan bumi tidak lagi tandus dan kering. Apa yang bisa kita lakukan kalau kekuasaan ilmu