"Tidak bisa, kamu tetap saja di atas sini. Ini lebih aman untuk kamu," ujar Hakya kepada sang istri.Hakya tidak ingin membahayakan Kanaya, mereka harus segera memiliki anak. Dan itu artinya Kanaya harus tenang dan bahagia."Iya, tapi kenapa? Bukankah di kaki bukit juga aman?" tanya Kanaya yang tidak sabar ingin tahu alasan yang diberikan oleh Hakya.Hakya menghela nafas berat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Kanaya."Di kaki bukit semuanya laki-laki. Yang aku latih adalah para pemuda, tidak ada satupun wanita. Bagaimana kamu bisa tenang hidup di antara ratusan para pemuda itu?" tanya Hakya kepada Kanaya."Tempat mandi itu bercampur di sebuah sungai, bagaimana kamu bisa hidup seperti itu?" tanya Hakya lagi.Kanaya menggeleng saat mendengar apa yang disampaikan oleh Hakya. Tidak terbayangkan kalau dia hidup di tengah-tengah para lelaki itu. Walaupun mereka semua adalah murid Hakya, namun tidak ada yang menjamin kalau mereka semua baik."Makanya aku bilang tempat untuk kamu itu a
“Menurut kamu?” tanya Kanaya sambil tersenyum. “Artinya ini benar?” tanya Hakya tidak percaya dan mencoba mengambil cangkir kecil, dan menenggak air itu. Hakya sangat terkejut karena ternyata air itu begitu manis dan terasa sangat segar di tenggorokan. “Air ini enak sekali,” ujar Hakya sambil menatap Kanaya yang masih dengan senyum manisnya. Membuat Hakya semakin penasaran. Kanaya kemudian duduk di hadapan Hakya sambil menuangkan air dari teko itu mengisi kembali cangkir yang berada di hadapan Hakya. “Ini adalah air ramuan yang kamu buat, setelah lima hari kepergian kamu aku membuka seluruh kendi itu, dan ternyata semuanya berhasil. Setiap hari aku meminum ramuan ini sambil menunggu kamu datang dan pulang.” “Ini adalah teko terakhir dari sepuluh kendi yang kamu buatkan. Beruntungnya kamu masih bisa mencicipinya,” ujar Kanaya sembari menikmati minuman itu sambi menatap langit yang masih gelap. Hakya benar-benar tidak percaya kalau ternyata ramuan tersebut berhasil, dia bahkan ham
“Jangan dipikirkan. Selagi kamu disini, kamu akan aman,” jawab Hakya sembari membelai rambut Kanaya.“Aku masih diharapkan menjadi pengantin pangeran ilmu hitam? Apakah mereka tidak bisa mengganti dengan orang lain?” tanya Kanaya lagi.“Setiap orang yang membuat perjanjian dengan ilmu hitam itu, akan mendapatkan perjanjian yang berbeda-beda. Jika tidak mampu memenuhi perjanjian itu, maka pada saat waktunya tiba nanti yang bertanggung jawab adalah yang membuat janji. Dialah yang akan menggantikan itu,” jelas Hakya lagi.“Itu artinya, kalau mereka tidak dapat menemukan aku disini, dan batas waktu itu akan datang, maka ibu yang menjadi pengantinnya?” tanya Kanaya penasaran, karena tidak mungkin seorang pangeran menikahi ayahnya.Hakya menggeleng.“Bukan itu, mereka tidak menerima pengantin pengganti. Maka pembuat janji akan dibunuh dan dijadikan arang pembakaran api abadi di depan kerajaan ilmu hitam,” jawab Hakya.Kanaya tampak menutup mulutnya mendengar hal itu, dia tidak bisa membayan
“Terima kasih, sayang,” bisik Hakya di telinga Kanaya yang sedang terlelap disampingnya.Malam dengan angin yang semilir, diterangi oleh sinaran bulan purnama, keduanya telah melewati malam yang syahdu dengan penuh harap dewa akan mengabulkan keinginan mereka untuk segera memiliki seorang anak. Mereka merindukan kondisi bumi yang tenang dan damai untuk menjadi tempat tinggal.Tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebat.“Terima kasih, dewa. Engkau sudah menurunkan hujan ke bumi, biarkan penduduk bumi merasakan kesenangan dengan air rahmat yang engkau berikan ini,” ujar Hakya yang segera keluar kamar melihat hujan yang turun sangat lebat itu, tanpa diiringi petir dan badai.“Ini benar-benar hujan yang syahdu,” gumam Hakya sembari mengulurkan tangannya dan menampung air hujan dengan tangannya dan kemudian meminumnya.“Rahmat engkau yang begitu menyejukkan.”Hakya kembali ke kamar mereka, dan kembali merebahkan tubuhnya di samping Kanaya, mereka menghabiskan malam yang dingin berpelukan h
“Kamu akan kembali kesana secepat ini?” tanya Kanaya kepada Hakya dengan mata yang menatap tajam.Terlihat raut wajah kecewa di wajah Kanaya ketika melihat Hakya, karena dia masih ingin bersama sang suami. Dan bahkan mereka hanya menghabiskan satu malam bersama, Hakya sudah memilih untuk kembali ke kaki bukit dan meninggalkannya seorang diri diatas.“Kamu tidak merindukan aku?” tanya Kanaya lagi dengan suara yang serak menahan tangis.Pertanyaan Kanaya menghentikan tangan Hakya yang sedang menyendokkan sayur ke dalam piringnya. “Aku sangat merindukan kamu. Tapi, untuk saat ini aku harus menahan diriku. Aku harus berkorban sedikit saja, dan mengesampingkan semuanya demi tujuan yang sedang direncanakan ini, kalau tidak seperti ini semua rencana kita berantakan. Yang menderita bukan hanya kita, namun semua manusia,” jawab Hakya kemudian.“Waktu semakin habis, dan jika nanti kamu berhasil hamil dan keadaan bumi tidak lagi tandus dan kering. Apa yang bisa kita lakukan kalau kekuasaan ilmu
“Aku rasa tidak ada lagi yang harus aku bicarakan,” jawab Kanaya pelan sambil menunduk.Kanaya merasa dia sudah mengeluarkan semua uneg-uneg yang dia tahan. Karena dia sudah merasa tidak nyaman untuk tinggal sendirian di atas bukit itu.“Sekarang giliran aku yang akan berbicara, boleh?” tanya Hakya meminta pendapat sang istri.Kanaya hanya mengangguk mendengar apa yang Hakya sampaikan, karena dia juga ingin mendengar pembelaan seperti apa yang akan Hakya sampaikan. Apakah Hakya akan terus mencari alasan yang tidak jelas untuk menahannya diatas bukit itu.Hakya menghela nafas berat sebelum melanjutkan apa yang akan dia katakan.“Kamu pernah ikut aku menghadapi para iblis, kan? Saat kita kabur dari rumah, ketika tahu niat ayah dan ibu untuk menyerahkan kamu kepada pangeran ilmu hitam?” tanya Hakya lagi.Lagi-lagi Kanaya hanya bisa menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Hakya. Kalau mengingat kejadian saat itu juga seluruh bulu kuduk Kanaya berdiri, wajah iblis-i
“Kenapa? Mari kita bersiap,” jawab Hakya sambil menatap Kanaya dengan tersenyum.Senyuman Hakya itu semakin membuat Kanaya merasa tidak nyaman, karena dia tahu kalau Hakya sedang merasa kecewa kepadanya karena terus merengek meminta ikut turun ke bawah.Kanaya menggeleng, membuat Hakya mengernyitkan keningnya karena keheranan. Kanaya yang sejak tadi menggebu-gebu dengan semua protesnya agar bisa ikut turun ke bawah, tiba-tiba saat ini seolah tidak mau ikut turun.“Ada apa, Kanaya?” tanya Hakya dan mendekat ke arah sang istri. Hakya kemudian meraih tangan Kanaya dengan lembut, dan tidak menunjukkan kalau sedang marah atau sedang merasa kesal dengan Kanaya.Hakya tidak ingin merusak suasana kebersamaan mereka, Hakya tahu kalau dia marah, maka hati Kanaya akan semakin sakit dan Kanaya akan semakin kecewa dengan Hakya.“Aku tidak marah. Kalau memang kamu ingin ikut turun ke bawah ya tidak masalah. Aku akan berusaha untuk menjaga kamu. Benar yang kamu katakan, aku memiliki murid yang banya
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya gak jadi turun, aku masih betah kok disini,” jawab Kanaya pelan membuat Hakya semakin heran. Karena tadinya Kanaya begitu menggebu-gebu mau turn, dan sekarang tiba-tiba menghentikan semuanya.“Kamu aneh, saat aku ajak bersiap-siap malah tidak mau. Apakah aku membuat kamu marah?” tanya Hakya yang berusaha memahami situasinya.“Tidak! Hanya aku saja yang mau tinggal disini. Ada beberapa hal yang akan aku lakuin disini sendiri,” jawab Kanaya lagi.Hakya semakin bingung dengan apa yang dilakukan oleh Kanaya ini, entah apa yang merasukinya sehingga dia tiba-tiba mengurungkan niatnya. Hakya kembali duduk di dekat Kanaya, dan memegang tangan Kanaya mencari tahu apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Kanaya itu. Hakya takut kalau itu semua karena dia yang tidak peka, sehingga sulit untuk mengerti Kanaya.“Aku tahu kamu marah dan kecewa sama aku yang sudah mau turun dalam waktu yang cepat. Kalau kamu mau aku bisa tinggal beberapa hari lagi sebelum kita turun.