Beberapa hari kemudian
Tepat di hari ini acara pernikahan Melody dengan Justin akan dilaksanakan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga, tapi tidak bagi sang pengantin. Melody dan Justin terpaksa menikah karena kedua orang tua. Keadaan yang membuat Melody terpaksa menerima perjodohan itu sekalipun Justin telah memiliki seorang kekasih. Melody merasa telah menjadi perempuan yang paling jahat karena merebut kekasih perempuan lain. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakitnya seperti apa jika ia berada di posisi Marcella. Bohong, jika Melody baik-baik saja. Ia merasa sangat bersalah karena telah merebut Justin dari Marcella. “Maafin aku! Aku tidak bermaksud merebut Justin darimu.” batinnya berucap Make up Melody sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Ia terlihat semakin cantik dengan make up tipis di wajahnya. Namun sayang, yang seharusnya menjadi hari bahagia justru menjadi hari duka bagi Melody. Melody duduk di depan cermin dengan tatapan kosong. Air matanya tidak berhenti membasahi kedua pipinya. Melody sendirian di ruang make up karena ia yang meminta untuk ditinggalkan. Ia ingin menenangkan diri sejenak sebelum acara Ijab Qobul dilaksanakan. “Hikss,,” isak tangis Melody “Apa aku akan bahagia dengan pernikahan ini? Atau justru tersiksa nantinya?” batinnya berucap Ancaman Justin terus berputar di kepalanya. Ia tidak takut dengan ancaman itu, tapi ia lebih takut pada kedua orang tuanya jika mereka mengetahuinya. “Ma, Pa, Melody ikhlas menjalani pernikahan ini, meskipun hidup Melody akan tersiksa nantinya.” “Melody akan melakukan apapun itu agar bisa melihat kalian tersenyum setiap harinya.” Ceklek “Sayang!” panggil Gita sembari membuka pintu Melody tidak menyadari kedatangan Ibunya karena sibuk melamun. Tatapannya masih terlihat kosong. Melihat putrinya menangis membuat dada Gita terasa sesak. Beliau tahu putrinya terpaksa menerima perjodohan itu. Gita mendekat ke arah Melody lalu berlutut karena rasa bersalahnya. Beliau merasa gagal menjadi Ibu yang baik bagi putrinya. Gita menggenggam tangan putrinya membuat Melody langsung tersadar dari lamunannya. Melody terkejut melihat Ibunya duduk di bawah. “Astaga, Mama kenapa duduk di bawah? Ayo bangun, Ma!” Gita menggelengkan kepalanya pelan. Beliau merasa bersalah pada putrinya. Tetes demi tetes air mata mengalir di kedua pipinya, hal itu membuat Melody sakit melihatnya. “Mama kenapa menangis?” “Bangun, Ma!” Melody mencoba membantu Ibunya untuk bediri, namun Gita terus menolak. “Hikss,, Mama minta maaf, nak! Mama…” “Sstt.. Mama kenapa minta maaf?! Mama tidak ada salah apapun ke Melody!” Melody ikut berlutut menyamakan tubuhnya dengan sang Ibu. Ia paling tidak bisa melihat orang tuanya bersedih, apalagi menangis karenanya. Melody mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ibunya dengan lembut. “Mama kenapa nangis, hm? Ini kan hari bahagia Melody.” “Mama tahu kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini!” Melody tersenyum tipis mendengarnya. “Melody masih belajar untuk menerima pernikahan ini, Ma. Mama tidak perlu khawatir, apalagi bersedih karena ini.” “Tapi, nak…” “Melody mohon, jangan bersedih!” Melody tersenyum manis meyakinkan Ibunya jika ia baik-baik saja. Ia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di hadapan kedua orang tuanya. Melody ingin selalu menunjukkan kebahagiaan di depan orang yang ia sayangi. “Senyum, Ma!” “Hari ini hari pernikahan Melody, jadi Mama harus tersenyum!” Gita tersenyum tipis mendengar perkataan putrinya. Dibalik senyuman itu beliau memendam kesedihan sekaligus rasa bersalah yang begitu besar pada putrinya. “Nah, kalau gini kan terlihat semakin cantik!” Tess.. tess Gita dan Melody mengalihkan pandangannya ke arah layar televisi yang langsung terhubung di ruang tamu sehingga mereka bisa melihat acara Ijab Qobul yang dilaksanakan di bawah. “Ma, sepertinya cara Ijab Qobul segera dilaksanakan.” kata Melody “Iya, sayang.” Melody membantu Ibunya berdiri lalu mereka duduk di sebuah kursi untuk menyaksikan acara Ijab Qobul yang akan segera dimulai. Dan tidak lama Rani masuk ke dalam kamar sembari tersenyum manis. Melody dan Gita menunjukkan senyuman manis ketika melihat Rani datang. Mereka tidak ingin Rani melihat kesedihannya. “MasyaAllah, cantik sekali calon menantu Mama!” Rani memuji kecantikan Melody dengan senyuman tulusnya. “Terima kasih, Ma!” Rani dan Gita duduk di sisi kanan dan kiri Melody sembari menggenggam tangan perempuan itu. Mereka akan menyaksikan sama-sama acara Ijab Qobul di bawah. Tangan kamu dingin sekali, nak!” kata Rani “Deg-deg’an, ya?!” Melody mengangguk pelan sebagai jawaban “Nggak papa, ada Mama Gita dan Mama Rani yang menemani kamu di sini!” Ruang tamu Ardana menjabat tangan Justin sembari menatapnya lekat. Hari ini beliau akan melepas putri satu-satunya pada seorang laki-laki yang beliau percayakan untuk menjadi suami Melody. Beliau harap Justin bisa mencintai putrinya dengan tulus meskipun mereka menikah karena sebuah perjodohan. "Saudara Justin Evando Abi putra bin Riza Abi putra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya Melody Deolinda Robetson dengan mas kawin berupa emas antam dan uang tunai sebesar dua milyar dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Melody Deloinda Robetson binti Ardana Robetson dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana para saksi? Sah?” “SAH!” “Alhamdulillah’irabbilalamin.” Dengan satu kali tarikan nafas Justin mengucap janji suci tersebut dengan lantang. Disaksikan para malaikat Allah dan pernikahan itu akan menjadi saksi kehidupan mereka setelahnya. Riza menepuk bahu putranya sembari tersenyum bangga. Akhirnya Justin dan Melody resmi menjadi pasangan suami-istri. “Selamat ya, boy! Papa bangga sama kamu.” bisiknya “Papa dan Mama bahagia melihat pernikahan kamu dengan Melody.” lanjutnya “Tapi tidak dengan Justin!” ucapnya dalam hati Justru setelah ini Justin akan menyiksa Melody karena dia telah gagal memenuhi permintaannya. Sesuai perkataannya waktu itu, jika mereka sampai menikah ia tidak akan membiarkan Melody hidup dengan tenang. *** “Kita turun, yuk!” kata Rani sembari tersenyum manis Melody mengangguk sebagai jawaban. Jantungnya berdebar kencang setelah menyaksikan acara Ijab Qobul di bawah berjalan dengan lancar. Dan setelah ini ia akan turun ke bawah menemui suaminya. Melody menuruni tangga dengan anggun, ditemani Ibu kandung dan Ibu mertuanya di sisi kanan dan kiri. Ia terlihat begitu cantik dan anggun dengan gaun yang melekat di tubuhnya. Seketika semua mata tertuju ke arahnya ketika mereka melihat Melody menuruni tangga dengan anggun. Melody menundukkan kepalanya malu, bahkan kedua pipinya terasa panas karena tatapan para tamu undangan. Mereka semua berdecak kagum menatap kecantikan Melody. “Waw.. perfect!” ucap salah satu tamu undangan “Cantik sekali!” Berbagai macam pujian terdengar di telinga Justin. Bahkan Justin mengakui jika Melody terlihat begitu cantik hari ini. Ia tidak munafik kali ini. Justin langsung menunduk setelah menyadari perbuatannya. Ia kembali mengingatkan dirinya jika Melody hanya membawa kehancuran bagi hubungannya dengan sang kekasih. Justin tidak akan membiarkan Melody bahagia hidup bersamanya. Melody berdiri tepat di hadapan Justin, laki-laki yang baru menikahinya beberapa menit lalu. Riza menepuk bahu putranya sembari tersenyum bahagia. “Sekarang Melody sudah Sah menjadi istri kamu.” “—“ Justin memilih diam dengan wajah datar. Pernikahan yang tidak pernah terbayangkan olehnya. “Cium punggung tangan suami kamu, nak!” Gita membisikkan hal tersebut pada putrinya. Melody menelan ludahnya kasar. Apa Justin tidak marah jika ia menyentuhnya? Mereka memang sudah Sah menjadi pasangan suami-istri, tapi hal itu tidak menjamin Justin rela tubuhnya disentuh olehnya. “Ayo, nggak papa, sayang!” kata Rani Rani mengerti apa yang dipikirkan menantunya itu. Beliau memegang tangan Melody dan Justin lalu mengarahkan tangan keduanya untuk berpegangan. Justin bisa merasakan telapak tangan Melody terasa begitu dingin. “Dicium, nggak papa!” Melody mengangguk pelan. Ia menggenggam tangan Justin dengan lembut lalu mencium punggung tangan suaminya, hal itu bentuk dari penghormatannya sebagai seorang istri. Jantung Melody berdetak cepat ketika punggung tangan Justin menempel di antara hidung dan bibirnya. Untuk pertama kalinya ia mencium punggung tangan seorang laki-laki selain Ayahnya. “Ada apa dengan jantungku?” batin Melody bertanya-tanya “Justin, sekarang cium kening istrimu!” Riza meminta putranya untuk mencium kening Melody sebagaimana pernikahan pada umumnya. “—“ “Justin!” tegur Riza karena tidak ada respon dari putranya “Kenapa harus…” “Lakukan perintah Papa, Justin! Jangan membuat Papa malu di depan para tamu undangan.” Riza tahu apa yang ingin putranya katakan, karena hal itu beliau langsung memotong perkataannya. “Shit!” umpat Justin dalam hati Dengan terpaksa Justin memenuhi permintaan orang tuanya. Perlahan, namun pasti tangannya terulur untuk menangkup wajah Melody. Dan… Cup Justin mencium kening Melody sekilas. Ia tidak akan melakukan hal itu jika tanpa paksaan dari orang tuanya. Di sisi lain, tanpa mereka sadari ada seorang perempuan yang tengah mengepalkan kedua tangannya. Tatapannya terlihat tajam tertuju ke arah pengantin perempuan. Perempuan itu adalah Marcella, kekasih dari Justin! Marcella dengan sengaja datang ke acara pernikahan kekasihnya karena ingin memberikan peringatan pada Melody. Ini semua bukan bentuk dari kekalahannya, melainkan awal dari kehancuran seorang Melody. “Gue nggak akan biarin lo hidup dengan tenang. Akan gue pastikan hidup lo akan terus menderita selama bersama Justin.” gumamnya sembari tersenyum smirk *** Setelah acara akad selesai waktunya para tamu undangan menikmati acara resepsi pernikahan Melody dengan Justin. Pengantin tersebut sudah berganti pakaian dan keduanya tengah duduk di kursi pelaminan. Tidak ada kebahagiaan di wajah keduanya, yang ada justru rasa takut dan gelisah yang dirasakan Melody. Wajah Justin terlihat dingin dan datar selama acara pernikahan. Tatapannya terlihat sinis, bahkan tidak ada senyuman tipis di bibirnya. “Kapan acara ini selesai? Gue sudah muak duduk di sini.” batin Justin berucap Sedangkan Melody memainkan jemarinya karena takut sekaligus gugup. Ia sama sekali tidak berani menatap ke arah Justin dan para tamu undangan. Tatapan penuh dendam terlihat begitu jelas di mata Justin, hal itu yang membuat Melody merasa takut. “Aku yakin ada hal-hal baik setelah ini.” batin Melody berucap Justin dan Melody berdiri ketika ada para tamu undangan yang ingin berjabat tangan dengan mereka. Dan betapa terkejutnya Melody ketika ia melihat keberadaan Marcella. Jantungnya seketika berdetak cepat, apalagi tatapan perempuan itu begitu tajam. “Marcella kenapa ada di sini? Apa Justin yang mengundangnya?” batin Melody berucap Marcella datang tanpa melakukan apapun. Kedatangannya terlihat hanya seperti memberi selamat, tapi ada niat lain di dalamnya. Marcella tersenyum kea rah pengantin tersebut, bahkan senyuman di bibirnya tidak terlihat jika penuh dendam di dalamnya. Ia pintar pintar untuk menyembunyikan sesuatu. “Hai, selamat ya!” ucap Marcella sembari menjabat tangan Justin, kekasihnya. “Terima kasih!” Marcella dan Justin seolah tidak saling mengenal karena hal itu sudah mereka bicarakan sebelumnya. Marcella beralih ke arah Melody. Senyumannya terlihat penuh dendam, namun hal itu hanya disadari oleh Melody. “Selamat, ya!” kata Marcella “Terima kasih!” Melody terlihat begitu gugup dan sedikit takut melihat mata Marcella. Ketika berjabat tangan dengan Melody, Marcella menarik tangan perempuan itu lalu mendekatkan wajahnya pada telinga Melody, ia membisikkan sesuatu padanya. “Jangan bermimpi untuk hidup bahagia setelah menikah dengan kekasihku. Justru setelah ini hidupmu akan hancur karena perbuatanmu sendiri.” bisik Marcella Dan setelah itu Marcella melangkah pergi meninggalkan Melody. Ia tersenyum puas melihat respon Melody yang terlihat bengong dan ketakutan. Marcella tidak akan membiarkan hidup Melody tenang setelah merebut kekasihnya. “Kali ini gue emang diam, tapi bukan berarti tidak melakukan apapun setelah ini.” “Diam bukan berarti mengalah, gue diam karena menunggu waktu yang tepat untuk menyiksa lo perempuan murahan.” gumam Marcella ~•~Terlihat keluarga harmonis sedang berkumpul di salah satu ruangan dengan aktivitas masing-masing. Riza dan Rani saling menatap, moment yang tepat untuk memberitahu Justin tentang pertemuannya dengan seseorang. “Justin!” panggil Riza “Hm,” Justin hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia pegang “Papa mau bicara!” “Bicara aja.” “Taruh ponsel kamu dan dengarkan Papa bicara sampai selesai!” Justin menghela nafas kasar. Ia menaruh ponselnya di atas meja lalu beralih menatap ke arah kedua orang tuanya. Justin menunggu apa yang ingin Ayahnya bicarakan. “Papa mau bicara soal apa?” “Nanti malam ikut Papa!” “Ke mana?” “Papa akan melakukan sebuah pertemuan dengan rekan kerja Papa, Papa harap kamu bisa ikut.” “Tumben ajak Justin?” “Di sana nanti akan ada obrolan penting dengan rekan kerja Papa. Bisa ikut?” Justin menganggukkan kepalanya. “Justin akan ikut.” Riza dan Rani tersenyum mendengar jawaban Justin. Tidak ada rasa curiga sedikitpun yang dir
Justin tidak bisa berbuat apa-apa karena Ayahnya telah mengancam akan mengambil semua asset yang beliau berikan padanya jika ia tidak mau menerima perjodohan itu. Justin tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. “Ekhm, boleh saya bicara berdua dengan Melody?” tanya Justin pada keluarganya Mereka semua tersenyum tanpa rasa curiga. Mereka berpikir Justin mengajak Melody bicara untuk saling mengenal lebih dalam, tapi bukan itu yang akan Justin lakukan. Justin akan meminta pada Melody untuk menolak perjodohan itu dan masalahnya akan selesai. “Silahkan!” kata Ardan Melody mengikuti langkah Justin dari belakang sembari menunduk. Jantungnya berdebar kencang, takut Justin akan melakukan sesuatu padanya. Justin menghentikan langkahnya sembari menatap ke arah depan. Tatapannya terlihat begitu dingin dan tajam. Justin telah memastikan tidak ada orang yang akan mendengar pembicaraan mereka. Melody tetap diam sembari menunduk. Ia berdiri tepat di belakang tubuh Justin menunggu
Keesokan harinya Pagi ini Melody akan menemui Justin di kantor laki-laki tersebut. Ia akan mengatakan padanya jika mereka tetap melanjutkan perjodohan itu. Kedua orang tua Melody membutuhkan bantuan darinya, dan karena hal itu ia akan tetap melanjutkan perjodohan tersebut sekalipun harus mendapat ancaman dari Justin. Melody mendatangi resepsionis terlebih dulu untuk meminta izin. Ia harap Justin berada di kantor karena mereka perlu bicara. “Pagi! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis tersebut “Em.. saya ingin bertemu Pak Justin, apa beliau ada di kantor saat ini?” “Ada. Apa sudah membuat janji?” “—“ Melody terdiam sejenak. Jika dirinya berkata belum resepsionis itu pasti tidak akan mengizinkannya bertemu dengan Justin, atau bisa saja Justin menolak bertemu dengannya. “Sudah!” “Apa ada bukti jika sudah membuat janji dengan Pak Justin?” Seketika Melody langsung teringat dengan kartu nama milik Justin yang diberikan oleh orang tuanya. Ia bisa menggunakan kartu nama itu seb
Beberapa hari kemudian Tepat di hari ini acara pernikahan Melody dengan Justin akan dilaksanakan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga, tapi tidak bagi sang pengantin. Melody dan Justin terpaksa menikah karena kedua orang tua. Keadaan yang membuat Melody terpaksa menerima perjodohan itu sekalipun Justin telah memiliki seorang kekasih. Melody merasa telah menjadi perempuan yang paling jahat karena merebut kekasih perempuan lain. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakitnya seperti apa jika ia berada di posisi Marcella. Bohong, jika Melody baik-baik saja. Ia merasa sangat bersalah karena telah merebut Justin dari Marcella. “Maafin aku! Aku tidak bermaksud merebut Justin darimu.” batinnya berucap Make up Melody sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Ia terlihat semakin cantik dengan make up tipis di wajahnya. Namun sayang, yang seharusnya menjadi hari bahagia justru menjadi hari duka bagi Melody. Melody duduk di depan cermin dengan tatapan kosong. Air matanya
Keesokan harinya Pagi ini Melody akan menemui Justin di kantor laki-laki tersebut. Ia akan mengatakan padanya jika mereka tetap melanjutkan perjodohan itu. Kedua orang tua Melody membutuhkan bantuan darinya, dan karena hal itu ia akan tetap melanjutkan perjodohan tersebut sekalipun harus mendapat ancaman dari Justin. Melody mendatangi resepsionis terlebih dulu untuk meminta izin. Ia harap Justin berada di kantor karena mereka perlu bicara. “Pagi! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis tersebut “Em.. saya ingin bertemu Pak Justin, apa beliau ada di kantor saat ini?” “Ada. Apa sudah membuat janji?” “—“ Melody terdiam sejenak. Jika dirinya berkata belum resepsionis itu pasti tidak akan mengizinkannya bertemu dengan Justin, atau bisa saja Justin menolak bertemu dengannya. “Sudah!” “Apa ada bukti jika sudah membuat janji dengan Pak Justin?” Seketika Melody langsung teringat dengan kartu nama milik Justin yang diberikan oleh orang tuanya. Ia bisa menggunakan kartu nama itu seb
Justin tidak bisa berbuat apa-apa karena Ayahnya telah mengancam akan mengambil semua asset yang beliau berikan padanya jika ia tidak mau menerima perjodohan itu. Justin tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. “Ekhm, boleh saya bicara berdua dengan Melody?” tanya Justin pada keluarganya Mereka semua tersenyum tanpa rasa curiga. Mereka berpikir Justin mengajak Melody bicara untuk saling mengenal lebih dalam, tapi bukan itu yang akan Justin lakukan. Justin akan meminta pada Melody untuk menolak perjodohan itu dan masalahnya akan selesai. “Silahkan!” kata Ardan Melody mengikuti langkah Justin dari belakang sembari menunduk. Jantungnya berdebar kencang, takut Justin akan melakukan sesuatu padanya. Justin menghentikan langkahnya sembari menatap ke arah depan. Tatapannya terlihat begitu dingin dan tajam. Justin telah memastikan tidak ada orang yang akan mendengar pembicaraan mereka. Melody tetap diam sembari menunduk. Ia berdiri tepat di belakang tubuh Justin menunggu
Terlihat keluarga harmonis sedang berkumpul di salah satu ruangan dengan aktivitas masing-masing. Riza dan Rani saling menatap, moment yang tepat untuk memberitahu Justin tentang pertemuannya dengan seseorang. “Justin!” panggil Riza “Hm,” Justin hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia pegang “Papa mau bicara!” “Bicara aja.” “Taruh ponsel kamu dan dengarkan Papa bicara sampai selesai!” Justin menghela nafas kasar. Ia menaruh ponselnya di atas meja lalu beralih menatap ke arah kedua orang tuanya. Justin menunggu apa yang ingin Ayahnya bicarakan. “Papa mau bicara soal apa?” “Nanti malam ikut Papa!” “Ke mana?” “Papa akan melakukan sebuah pertemuan dengan rekan kerja Papa, Papa harap kamu bisa ikut.” “Tumben ajak Justin?” “Di sana nanti akan ada obrolan penting dengan rekan kerja Papa. Bisa ikut?” Justin menganggukkan kepalanya. “Justin akan ikut.” Riza dan Rani tersenyum mendengar jawaban Justin. Tidak ada rasa curiga sedikitpun yang dir