Terlihat keluarga harmonis sedang berkumpul di salah satu ruangan dengan aktivitas masing-masing. Riza dan Rani saling menatap, moment yang tepat untuk memberitahu Justin tentang pertemuannya dengan seseorang.
“Justin!” panggil Riza “Hm,” Justin hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia pegang “Papa mau bicara!” “Bicara aja.” “Taruh ponsel kamu dan dengarkan Papa bicara sampai selesai!” Justin menghela nafas kasar. Ia menaruh ponselnya di atas meja lalu beralih menatap ke arah kedua orang tuanya. Justin menunggu apa yang ingin Ayahnya bicarakan. “Papa mau bicara soal apa?” “Nanti malam ikut Papa!” “Ke mana?” “Papa akan melakukan sebuah pertemuan dengan rekan kerja Papa, Papa harap kamu bisa ikut.” “Tumben ajak Justin?” “Di sana nanti akan ada obrolan penting dengan rekan kerja Papa. Bisa ikut?” Justin menganggukkan kepalanya. “Justin akan ikut.” Riza dan Rani tersenyum mendengar jawaban Justin. Tidak ada rasa curiga sedikitpun yang dirasakan Justin, ia menganggap orang tuanya hanya melakukan pertemuan biasa tentang pekerjaan. Malam harinya Di sisi lain, terlihat seorang perempuan cantik duduk di depan cermin yang berada di dalam kamarnya. Perempuan itu adalah Melody Delinda Robetson! Wajah Melody terlihat murung karena hari ini kedua orang tuanya akan melakukan pertemuan dengan keluarga laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Melody terlihat cantik dan anggun, gaun yang ia kenakan sangat cocok di tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan indah menambah kesan cantik baginya. “Huhh,,” helaan nafas kasar keluar dari hidungnya Ceklek Melody mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka, dan terlihatlah Gita berdiri di ambang pintu. “Mama!” lirihnya “Mama boleh masuk, nak?” Melody mengangguk sembari tersenyum. “Masuk saja, Ma!” Gita menghampiri putrinya sembari tersenyum manis. Beliau berdecak kagum melihat kecantikan putrinya. Beliau yakin putra dari rekan kerja suaminya pasti menyetujui perjodohan mereka. Bukan tanpa alasan Gita dan Ardana menjodohkan putri mereka pada laki-laki yang tidak dikenalnya. Gita mengelus kepala Melody dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukan. Beliau melihat kesedihan di mata putrinya, tapi di satu sisi beliau terpaksa melakukan hal ini. “Sayang, kamu sudah siap?” Melody mengangguk pelan “Yakin?” “Huhh.. yakin nggak yakin, Ma.” “Maaf, sayang!” Melody meraih kedua tangan Gita lalu mengelus punggung tangan Ibunya dengan lembut. Ia tidak suka melihat kesedihan orang tuanya. “Mama nggak perlu minta maaf! Em.. lebih baik kita berangkat sekarang!” “Papa sudah siap kan, Ma?” tanya Melody “Sudah.” Melody mengangguk. Ia menarik tangan Ibunya keluar dari kamar untuk segera menemui Ardana. Ia tidak suka melihat kesedihan kedua orang tuanya. Melody tersenyum manis melihat Ayahnya yang sudah siap, mereka tinggal berangkat untuk menemui Keluarga Abi putra. “Waw, cantik sekali putri Papa!” kata Ardan Melody terkekeh geli mendengar pujian Ayahnya. Apapun penampilannya Ardana selalu memujinya dengan kalimat yang membuatnya merasa bahagia. “Terima kasih, Pa.” “Sudah siap?” “Sudah, Pa.” “Oke, kita berangkat sekarang!” Gita dan Melody mengangguk sebagai jawaban. Ardana mengemudikan mobilnya menuju tempat tujuan. Selama di perjalanan wajah Melody terlihat sedih dan murung. Banyak yang ia pikirkan tentang perjodohannya kali ini. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat tujuan. Kurang lebih 30 menit dan akhirnya mereka sampai di café bunga, tempat di mana mereka melakukan pertemuan. Gita menoleh ke belakang menatap putrinya. “Sayang, turun yuk!” “Iya, Ma.” Gita menggenggam tangan Melody yang terasa begitu dingin. Ia tahu apa yang dirasakan putrinya saat ini. Mereka mamasuki café tersebut untuk menemui Keluarga Abi putra. Ardana merasa mereka sudah sampai lebih dulu. Dan seperti dugaannya, Keluarga Abi putra sudah menunggunya di café sejak beberapa menit yang lalu. “Selamat malam!” sapa Ardana “Malam!” Riza langsung berdiri untuk menyambut kedatangan Keluarga Robetson. Melody menunduk dalam setelah bersalaman dengan Riza dan Rani. “Justin!” tegur Riza karena putranya tidak kunjung berdiri untuk menyambut kedatangan Keluarga Robetson. “Maaf atas sikap putra saya!” kata Riza sembari tersenyum canggung “Nggak papa, Pak.” Riza mempersilahkan Keluarga Robetson untuk duduk. Mereka semua saling melempar senyum, tapi tidak dengan Justin. Melihat keberadaan Melody membuat Justin merasa ada yang aneh. Ia merasa pertemuan keluarganya kali ini bukan karena pekerjaan, melainkan karena hal lain. “Pak Riza saya minta maaf jika kalian menunggu kami terlalu lama.” kata Ardana “Nggak papa, Pak. Lagipula kami tidak menunggu kalian begitu lama.” Cukup lama kedua keluarga tersebut saling diam sampai akhirnya Riza membuka suara terlebih dulu. “Boleh dibicarakan sekarang, Pak?” Ardana mengangguk sembari tersenyum tipis. “Silahkan, Pak!” “Justin!” panggil Riza “Kenapa, Pa?” “Maaf, jika Papa dan Mama baru memberitahu kamu tentang hal ini sekarang. Dengan pertemuan ini Papa dan Mama ingin menjodohkan kamu dengan Melody, putri dari Om Ardan dan Tante Gita!” Deg Justin terkejut mendengar pernyataan orang tuanya. Kedua tangannya terkepal kuat, wajahnya memerah menahan amarah, sudah pasti ia tidak setuju dengan keputusan kedua orang tuanya. “Apa maksud Papa?” nafas Justin terlihat memburu menahan amarah “Seperti apa yang Papa katakan barusan, Papa dan Mama harap kamu bisa menerima perjodohan itu.” “Nggak!” Justin menolaknya dengan tegas “Justin nggak mau dijodohkan!” Riza mengetatkan rahangnya mendengar penolakan yang dilakukan Justin. Beliau merasa segan terhadap Keluarga Ardana. “Justin, jaga nada bicara kamu!” tegur Rani “Apa-apaan ini? Dengan tiba-tiba Papa dan Mama menjodohkan Justin dengan perempuan yang sama sekali tidak Justin kenal, sudah pasti Justin menolak.” “Sampai kapanpun Justin tidak mau dijodohkan dengan perempuan manapun!” ucapnya dengan tegas Melody semakin menunduk dalam mendengar jawaban Justin. Ia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Melody hanya bisa terdiam, ia terlalu takut untuk ikut campur. Riza menghiraukan perkataan Justin, beliau justru beralih menatap ke arah Melody untuk menanyakan jawaban pada gadis itu. “Melody!” panggilnya “I-iya, om!” Melody memberanikan diri untuk mendongak. Ia tersenyum tipis menatap ke arah Riza. “Bagaimana jawabanmu tentang perjodohan ini?” Deg Tubuh Melody mematung mendengar pertanyaan Riza yang begitu tiba-tiba. Lidahnya terasa keluh ketika ingin menjawab pertanyaan beliau. “—“ Mereka semua menunggu jawaban Melody karena bagi Riza dan Rani keputusan Justin tidak begitu penting. Riza yang akan mengambil keputusan dan mengatur semuanya. “Jawab, sayang! Kamu nggak perlu takut untuk menjawabnya.” kata Rani Melody mengangguk kaku. “M-melody setuju dengan perjodohan ini, tante.” Mereka tersenyum mendengar jawaban Melody, tapi tidak dengan Justin. “Enggak! Justin nggak setuju dengan perjodohan ini!” ucapnya dengan tegas “Justin…” “Pa, Ma, Justin sudah dewasa dan kalian tidak berhak mengatur Justin! Justin tahu keputusan apa yang harus diambil.” Dan setelah itu Justin melangkah pergi meninggalkan table keluarganya. Tapi baru beberapa langkah suara Riza berhasil menghentikan langkah laki-laki itu. “Selangkah lagi kamu berjalan detik itu juga kamu akan kehilangan semua asset yang telah Papa berikan padamu!” Justin mengepalkan kedua tangannya erat, bahkan kukunya yang sedikit panjang menancap di telapak tangannya. Perkataan Riza lebih menyakitkan daripada kuku yang menancap di telapak tangannya. Dan tidak lama Justin berbalik badan menghadap keluarganya, hal itu membuat Riza tersenyum smrik. Beliau yakin Justin akan kembali karena putranya tidak akan bisa hidup tanpa asset darinya. “Papa sudah menduga kamu akan kembali, Justin.” batin Riza berucap Dengan terpaksa Justin kembali bergabung dengan keluarganya. Ia tidak memiliki pilihan selain memenuhi permintaan kedua orang tuanya.Justin tidak bisa berbuat apa-apa karena Ayahnya telah mengancam akan mengambil semua asset yang beliau berikan padanya jika ia tidak mau menerima perjodohan itu. Justin tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. “Ekhm, boleh saya bicara berdua dengan Melody?” tanya Justin pada keluarganya Mereka semua tersenyum tanpa rasa curiga. Mereka berpikir Justin mengajak Melody bicara untuk saling mengenal lebih dalam, tapi bukan itu yang akan Justin lakukan. Justin akan meminta pada Melody untuk menolak perjodohan itu dan masalahnya akan selesai. “Silahkan!” kata Ardan Melody mengikuti langkah Justin dari belakang sembari menunduk. Jantungnya berdebar kencang, takut Justin akan melakukan sesuatu padanya. Justin menghentikan langkahnya sembari menatap ke arah depan. Tatapannya terlihat begitu dingin dan tajam. Justin telah memastikan tidak ada orang yang akan mendengar pembicaraan mereka. Melody tetap diam sembari menunduk. Ia berdiri tepat di belakang tubuh Justin menunggu
Keesokan harinya Pagi ini Melody akan menemui Justin di kantor laki-laki tersebut. Ia akan mengatakan padanya jika mereka tetap melanjutkan perjodohan itu. Kedua orang tua Melody membutuhkan bantuan darinya, dan karena hal itu ia akan tetap melanjutkan perjodohan tersebut sekalipun harus mendapat ancaman dari Justin. Melody mendatangi resepsionis terlebih dulu untuk meminta izin. Ia harap Justin berada di kantor karena mereka perlu bicara. “Pagi! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis tersebut “Em.. saya ingin bertemu Pak Justin, apa beliau ada di kantor saat ini?” “Ada. Apa sudah membuat janji?” “—“ Melody terdiam sejenak. Jika dirinya berkata belum resepsionis itu pasti tidak akan mengizinkannya bertemu dengan Justin, atau bisa saja Justin menolak bertemu dengannya. “Sudah!” “Apa ada bukti jika sudah membuat janji dengan Pak Justin?” Seketika Melody langsung teringat dengan kartu nama milik Justin yang diberikan oleh orang tuanya. Ia bisa menggunakan kartu nama itu seb
Beberapa hari kemudian Tepat di hari ini acara pernikahan Melody dengan Justin akan dilaksanakan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga, tapi tidak bagi sang pengantin. Melody dan Justin terpaksa menikah karena kedua orang tua. Keadaan yang membuat Melody terpaksa menerima perjodohan itu sekalipun Justin telah memiliki seorang kekasih. Melody merasa telah menjadi perempuan yang paling jahat karena merebut kekasih perempuan lain. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakitnya seperti apa jika ia berada di posisi Marcella. Bohong, jika Melody baik-baik saja. Ia merasa sangat bersalah karena telah merebut Justin dari Marcella. “Maafin aku! Aku tidak bermaksud merebut Justin darimu.” batinnya berucap Make up Melody sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Ia terlihat semakin cantik dengan make up tipis di wajahnya. Namun sayang, yang seharusnya menjadi hari bahagia justru menjadi hari duka bagi Melody. Melody duduk di depan cermin dengan tatapan kosong. Air matanya
Beberapa hari kemudian Tepat di hari ini acara pernikahan Melody dengan Justin akan dilaksanakan. Hari bahagia yang ditunggu-tunggu oleh kedua keluarga, tapi tidak bagi sang pengantin. Melody dan Justin terpaksa menikah karena kedua orang tua. Keadaan yang membuat Melody terpaksa menerima perjodohan itu sekalipun Justin telah memiliki seorang kekasih. Melody merasa telah menjadi perempuan yang paling jahat karena merebut kekasih perempuan lain. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakitnya seperti apa jika ia berada di posisi Marcella. Bohong, jika Melody baik-baik saja. Ia merasa sangat bersalah karena telah merebut Justin dari Marcella. “Maafin aku! Aku tidak bermaksud merebut Justin darimu.” batinnya berucap Make up Melody sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Ia terlihat semakin cantik dengan make up tipis di wajahnya. Namun sayang, yang seharusnya menjadi hari bahagia justru menjadi hari duka bagi Melody. Melody duduk di depan cermin dengan tatapan kosong. Air matanya
Keesokan harinya Pagi ini Melody akan menemui Justin di kantor laki-laki tersebut. Ia akan mengatakan padanya jika mereka tetap melanjutkan perjodohan itu. Kedua orang tua Melody membutuhkan bantuan darinya, dan karena hal itu ia akan tetap melanjutkan perjodohan tersebut sekalipun harus mendapat ancaman dari Justin. Melody mendatangi resepsionis terlebih dulu untuk meminta izin. Ia harap Justin berada di kantor karena mereka perlu bicara. “Pagi! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis tersebut “Em.. saya ingin bertemu Pak Justin, apa beliau ada di kantor saat ini?” “Ada. Apa sudah membuat janji?” “—“ Melody terdiam sejenak. Jika dirinya berkata belum resepsionis itu pasti tidak akan mengizinkannya bertemu dengan Justin, atau bisa saja Justin menolak bertemu dengannya. “Sudah!” “Apa ada bukti jika sudah membuat janji dengan Pak Justin?” Seketika Melody langsung teringat dengan kartu nama milik Justin yang diberikan oleh orang tuanya. Ia bisa menggunakan kartu nama itu seb
Justin tidak bisa berbuat apa-apa karena Ayahnya telah mengancam akan mengambil semua asset yang beliau berikan padanya jika ia tidak mau menerima perjodohan itu. Justin tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. “Ekhm, boleh saya bicara berdua dengan Melody?” tanya Justin pada keluarganya Mereka semua tersenyum tanpa rasa curiga. Mereka berpikir Justin mengajak Melody bicara untuk saling mengenal lebih dalam, tapi bukan itu yang akan Justin lakukan. Justin akan meminta pada Melody untuk menolak perjodohan itu dan masalahnya akan selesai. “Silahkan!” kata Ardan Melody mengikuti langkah Justin dari belakang sembari menunduk. Jantungnya berdebar kencang, takut Justin akan melakukan sesuatu padanya. Justin menghentikan langkahnya sembari menatap ke arah depan. Tatapannya terlihat begitu dingin dan tajam. Justin telah memastikan tidak ada orang yang akan mendengar pembicaraan mereka. Melody tetap diam sembari menunduk. Ia berdiri tepat di belakang tubuh Justin menunggu
Terlihat keluarga harmonis sedang berkumpul di salah satu ruangan dengan aktivitas masing-masing. Riza dan Rani saling menatap, moment yang tepat untuk memberitahu Justin tentang pertemuannya dengan seseorang. “Justin!” panggil Riza “Hm,” Justin hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia pegang “Papa mau bicara!” “Bicara aja.” “Taruh ponsel kamu dan dengarkan Papa bicara sampai selesai!” Justin menghela nafas kasar. Ia menaruh ponselnya di atas meja lalu beralih menatap ke arah kedua orang tuanya. Justin menunggu apa yang ingin Ayahnya bicarakan. “Papa mau bicara soal apa?” “Nanti malam ikut Papa!” “Ke mana?” “Papa akan melakukan sebuah pertemuan dengan rekan kerja Papa, Papa harap kamu bisa ikut.” “Tumben ajak Justin?” “Di sana nanti akan ada obrolan penting dengan rekan kerja Papa. Bisa ikut?” Justin menganggukkan kepalanya. “Justin akan ikut.” Riza dan Rani tersenyum mendengar jawaban Justin. Tidak ada rasa curiga sedikitpun yang dir