Biasanya ketika Ammar pulang dari kantor disambut dengan senyum dan pelukan hangat dari Amalia, sang istri. Rupanya berbeda untuk kali ini dan mungkin saja seterusnya, di samping Amalia ada Heni yang juga tengah menyambut kepulangannya.
"Mas... Akhirnya pulang juga, miss you so much," rengek Heni manja dan langsung bergelanyut manja di lengan Ammar."Tasnya mana, Mar? Sini aku bawain setelah itu ke kamar, sudah aku siapin air hangat," ucap Amalia tak mau kalah."Eh... Gak bisa gitu dong mbak, enak aja mas Ammar langsung ke kamarmu! Ingat mbak, aku ini masih harus banyak belajar jadi istri yang baik tuh gimana, ngalah dikit dong! Kalau apa-apa gak diberi celah yang ada aku tuh dosa, aku sekarang juga istrinya jadi aku juga berhak merawat mas Ammar," keluh Heni cemberut."Tepatnya istri siri, camkan itu! Yang namanya cadangan harus siap mengalah dari pemeran utama," sindir pedas Amalia."Kalian bisa gak jangan bertengkar? Aku ini baru"Kamu bermalam disini? Nanti madu kamu merengek-rengek loh, Mar," tanya Amalia yang sebenarnya bahagia karena suaminya kembali disini. "Bukan urusanku, bagiku kemarin sudah ya cukup dong, memang faktanya istriku hanya kamu saja sayang," jawab Ammar bodoh amat. Tentu saja perkataan Ammar membuat Amalia terbang melayang. "Aku juga maunya begitu mas, kamu tidak berbagi kepada dia," jawab Amalia jujur. "Akan aku usahakan untuk berpisah dengannya tapi dengan cara berbeda, yaitu mencari kesalahannya, entah itu kapan tapi aku mohon sabar ya sayang, semua harus tetap berjalan secara alami, tahan dulu ya, aku juga gak sanggup menyakitimu," pinta Ammar memohon. "Aku gak yakin... Heni lebih muda dan tentu saja lebih segalanya, bentuk tubuh pun menggoda dia," ucap Amalia ragu. "Nanti akan aku buat kamu mengembang," goda Ammar sambil mencubit dengan gemas pipi istrinya. Amalia yang kebingungan pun hanya bisa diam sambil terus menca
"Mau kemana, mah?" tanya Heni yang melihat mertuanya sudah berpenampilan sangat mewah dan paripurna. "Arisan... Kenapa? Mau ikut?" tebak Ina sewot. Rona bahagia muncul di wajah Heni ketika ditanya seperti itu, dengan spontan Heni menjawab dengan anggukan kepala cepat pertanda jika memang mau ikut. Awalnya Ina malas mengajak istri kedua anaknya itu karena nantinya akan ada beberapa pertanyaan dari para teman arisan nya tapi beberapa waktu itu salah satu temannya menantang untuk mengajak menantu Ina sebagai bukti jika menantunya bukan dari kalangan kelas bawah. Sekilas Ina melihat Heni dari atas sampai bawah dan menilai tak ada yang patut dipermalukan apalagi silsilah keluarga Heni juga cukup oke lah, Heni sendiri juga bukan hanya lulusan SMA melainkan S2 dan sempat bekerja di perusahaan Ammar, anaknya. Setidaknya latar belakang dan fisik Heni cukup oke bagi Ina, jadi mau gak mau Ina pun akhirnya menyetujui mengajak Heni ya meskipun sebelum ber
Acara arisan yang sangat panas pun akhirnya usai sudah, sesuai kesepakatan kini Heni juga Ina bergegas ke kantor Ammar untuk makan siang. Sengaja Ina tidak memberitahu putranya jika akan datang. Semua karyawan lama pun menyambut dengan hangat kedatangan Ina dan tak lupa memberikan salam yang disusul beberapa karyawan baru meskipun agak canggung. Ceklek... Pintu ruang kerja Ammar terbuka. "Mas..." sapa Heni dengan suara manjanya dan langsung duduk di meja tepat didepan Ammar. "Apa-apaan kamu! Minggir!!! Bisa pecah kacanya!" usir Ammar yang kaget dengan kedatangan Heni tiba-tiba. "Jangan begitu sama dia, beruntung loh kamu memperistri dia karena bisa diajak ke tempat ramai dan satu lagi, tidak membuat malu..." puji Ina yang membuat Heni seakan diatas awan. "Ammar tak paham apa maksud mamah tapi yang jelas hanya Amalia wanita terbaik," sanggah Ammar yang seketika membuat Heni terhempas bebas. "Tadi mamah aj
Hari ini Ina ada tempatan arisan yang nantinya para teman sosialitanya datang. "Amalia.... Amalia...." teriak Ina di pagi hari. Dengan tergesa-gesa Amalia turun untuk menemui mertuanya itu, tumben sekali ia dipanggil dan terus berulang, Amalia yang tengah menyiapkan pakaian Ammar pun bergegas menghampiri, takut terjadi sesuatu. "Ada apa mah?" tanyanya panik. "Telingamu bu-deg apa gimana sih? Dipanggil tuh nyahut! sampai capek tenggorokan saya! Hari ini saya ada arisan di rumah jadi bantu bibi menyiapkan segala menu yang sudah saya perintah, ingat! Harus higenis dan jangan membuat malu!!" perintah Ina dengan wajah sinis. Amalia celingukan seperti sedang mencari seseorang dan itu membuat Ina tambah kesal, bukannya menjawab perintah darinya malah seperti orang kebingungan. "Cari siapa sih? Denger gak saya bilang apa?" tanya Ina ketus. "Dengar mah... Amalia lagi cari Heni, kemana dia? Kok hanya Amalia saja yang dipanggil mamah," tanya Am
"Selamat siang semuanya.... Terima kasih atas kehadirannya di acara arisan ini, semoga kalian semua menikmati acara demi acara dan juga hidangan yang telah disiapkan tuan rumah," sapa Amalia sangat ramah, tak lupa senyum yang menawan ia perlihatkan kepada semua tamu arisan. Hati Ana menjadi penasaran dan merasa akan ada berita heboh makanya ia nekat mendekati Amalia untuk menanyakan siapa dirinya. "Kamu cantik sekali nona... Kalau boleh saya tau, anda siapa?" tanya Ana yang memang tulus memuji. Antara Ina dengan Heni saling lempar pandang dengan hati yang tengah gusar, mereka takut jika Amalia berbicara yang sebenarnya... Hancur sudah reputasi Ina ketika semuanya terbongkar. "Buat apa kamu bertanya seperti itu, Jeng Ana? Apakah itu hal yang penting?" tanya Ina yang mulai panik. "Tentu dong Jeng karena selama kita mengadakan arisan, baru ini pertama kalinya kami melihat nona cantik ini," jawab Ana dengan senyum penuh kemenan
"Mah... Aku gak terima direndahkan seperti itu sama Amalia, dia gadis kampung mah... Kenapa sekarang dia punya keberanian seperti itu?" rengek Heni. "Diam lah, kamu pikir saya gak pusing memikirkannya, saya juga kaget darimana dia berani seperti itu padahal hari ini kan gak ada Ammar atau pun suami saya," jawab Ina sambil memijat kening. "Pokoknya kita harus membuat perhitungan sama dia mah, tolong bantu pikirkan caranya mah," rengek Heni lagi dan Ina sama sekali tidak menjawab. Untuk berpikir saja saat ini Ina tak bisa, mendadak otaknya kosong karena ia masih syok dengan keberanian dan ucapan demi ucapan Amalia beberapa waktu lalu. "Kalau mamah gak bisa membantu biarkan aku menyelesaikannya sendiri, pokonya Amalia harus menangis dan sangat sakit hati!" ucap Heni berlari ke kamar. ****Tak berselang lama Heni pergi ke kantor Ammar yang kebetulan pekerjaan hari ini sedikit longgar, kedatangan Heni tentu saja membuat
Waktu sudah mulai sore, Ammar terbangun dari tidur nyenyak nya. Menyadari yang disebelahnya kini Heni sebenarnya membuat Ammar merasa sedih namun di satu sisi Ammar mengakui bagaimana hebatnya Heni ketika berurusan dengan ranjang. Bukan bermaksud membandingkan dengan Amalia yang lebih banyak diam, namun yang namanya laki-laki pasti lebih tertantang dengan wanita yang liar didalam ranjang, hal seperti itu akan menimbulkan sensasi sendiri bahkan rasa ketagihan. "Hen... Heni... Ayo bangun," ucap Ammar menggoyangkan tubuh Heni pelan. "Jam berapa ini, mas? Astaga maaf mas aku belum masak, bentar," ucap Heni yang langsung berdiri dan menuju dapur. Ia kaget ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, itu tandanya sebentar lagi makan malam. Ammar pun mengikuti langkah Heni ke dapur, di sana istrinya tampak terampil dalam menggunakan segala bahan dan alat di dapur, apalagi aroma masakannya sangat menggugah selera. Menyad
"Lihat tuh... Heni saja yang baru menjadi istrinya Ammar sudah bisa mengambil hati dan juga waktu, jangan salahkan anak saya jika semakin lama yang menjadi utama itu Heni," sindir Ina tersenyum sinis. Mendengar penuturan sadis mertuanya membuat Amalia merasa rendah diri, sejak kejadian Heni pindah ke apartemen, setiap hari suaminya selalu pulang terlambat. Pernah di kala weekend Ammar sampai tak pulang dan ya sudah pasti suaminya berada di rumah singgah madunya. "Makanya jadi istri itu ada gairahnya! Gak diam aja kek gini! Nyesel kan sekarang udah di kalahkan sama Heni!" ucap Ina lagi lalu berjalan ke luar rumah. Entah kemana perginya sang mertua yang jelas saat ini Amalia tengah fokus dengan perubahan suaminya. Berulang kali Amalia menelpon namun tak juga diangkat, apa sesibuk itu sehingga panggilan darinya tak berarti lagi? Akhirnya Amalia memutuskan ke kantor suaminya untuk meminta penjelasan atas semuanya. ****
"Mamah, kenapa mamah bisa begini? Mamah sakit apa? Kenapa rambut mamah habis?" tanya Kenzo di sela tangisannya. "Mamah baik-baik saja dan nanti akan jauh lebih baik-baik saja, apa Kenzo mau berjanji sama mamah?" tanya Heni dijawab anggukan kepala oleh Kenzo. "Kenzo akan janji kepada mamah asalkan mamah juga janji untuk sembuh," pinta Kenzo yang dijawab anggukan kepala oleh Heni. "Mamah minta jika nanti mamah sudah gak ada, Kenzo hidup yang baik dan penurut ya sama om Ammar, mulai sekarang Kenzo mamah titipkan sama om Ammar, apakah Kenzo bersedia?" tanya Heni membuat tangis Kenzo semakin pecah. Kenzo memberontak ketika tau keinginan Heni, maunya Kenzo tetap hidup bersama Heni sampai selamanya. "Tidak ada manusia yang hidup selamanya, sayang, semua yang lahir sudah digariskan meninggal, mungkin sebentar lagi waktunya bagi mamah meninggalkan Kenzo di dunia ini tapi percayalah jika di alam sana nanti mamah akan selalu mengawasi Kenzo dengan baik," ucap Heni berlinang air mata. "Janga
Hari demi hari telah dilewati dengan begitu cepat, ternyata ucapan Ammar waktu itu memang benar adanya. Sekarang ia lebih sering ke sini dan menghabiskan waktu dengan Kenzo. Heni merasa senang karena kini Kenzo bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah yang sesungguhnya, dulu sebuah kasih sayang yang diinginkan Kenzo adalah hal paling berat bagi Heni karena mustahil baginya untuk mengemis kepada Lukman, sebelum akhirnya Heni tau bahwa Kenzo adalah anak kandung Ammar. Kini tanpa perlu Heni mengemis pun sebuah perhatian yang diinginkan Kenzo datang dengan sendirinya, setidaknya kini doa Heni terjawab sudah. Tuhan memang terlalu baik kepadanya karena sudah banyak kebaikan demi kebaikan yang diberikan kepada Heni namun dirinya malah sering lalai dalam menjalankan kewajiban. "Terima kasih sudah menepati janji dengan mengunjungi Kenzo lebih sering, dulu, Kenzo sangat menginginkan bagaimana rasanya disayangi oleh Ayah, Kenzo juga menginginkan sebuah
Sudah beberapa hari ini Ino melihat anaknya selalu murung seperti tak ada lagi semangat hidup, bahkan pekerjaan di kantor pun menurun dan banyak sekali yang membatalkan kerja sama karena kurang puas dengan kinerja Ammar. Jika dibiarkan akan semakin buruk ke depannya, makanya itu Ino meluangkan waktu untuk berbincang empat mata bersama anaknya itu. "Hal apa yang sedang menggangu pikiranmu?" tanya Ino tak mau basa-basi. "Gak ada, Pah, hanya lagi capek saja," jawab Ammar berbohong. "Jangan berbohong, Papah tau kamu sedang menyembunyikan sesuatu, bahkan kamu bawa masalah itu dalam dunia bekerja, apa kamu sadar? Banyak yang membatalkan kerja sama karena mereka mengeluh kinerja kamu kurang baik akhir-akhir ini," bantah Ino. "Lebih penting perusahaan daripada anak kamu sendiri, Pah? Dari dulu selalu perusahaan yang di nomor satukan," sindir Ammar tersenyum miris. "Bukan begitu, masalah apa yang sedang kamu alami sampai kamu t
Rona bahagia juga terpancar di wajah cantik Amalia, setelah itu Amalia mencium tangan Alan sebagai bentuk bakti kepada suami. Tak mau melewatkan momen, untuk mengungkapkan kebahagiaannya, Alan mencium kening Amalia dengan penuh penghayatan. "Woi tahan woi, masih ada kita dan pak penghulu disini," celetuk Dafa membuat suasana yang tadi sempat tegang kini menjadi gelak tawa. Alan menahan malu karena sindiran temannya itu, Amalia juga tersipu malu hingga pipinya merah merona. "She's mine, makanya nikah biar gak nyindir mulu," sindir Alan membuat Dafa manyun. Ditengah suasana khidmat pernikahan Alan dan Ammar, ada salah satu penyusup yang ikut menyaksikan momen itu. "Alan juga mantan istrinya anda hari ini melangsungkan pernikahan, bos," ucap seseorang yang mengirim bukti foto serta video kepada Ammar. Melihat bukti yang dikirimkan seseorang kepadanya, membuat Ammar tak bisa menyimpan rasa amarahny
Sepekan kemudian, Seno sudah di perbolehkan untuk pulang, sesuai kesepakatan yang sudah dibuat, kedua orang tua Alan mendatangi rumah Amalia untuk menentukan hari baik sekaligus melamar secara resmi. Tak ada suguhan mewah karena kondisi yang masih seperti ini tidak membuat keluarga Alan tersinggung, justru pihak dari Alan malah meminta maaf karena terkesan terburu-buru, semua ini karena Alan yang selalu mendesak kedua orang tuanya untuk mendatangi rumah Amalia. Alan takut jika nantinya Amalia berubah pikiran lalu kembali ke pelukan Ammar, ia tidak menginginkan itu terjadi. "Maaf ya, Pak, Bu, kalau kedatangan kami terkesan mendadak," ucap Eko sungkan. "Tidak apa-apa justru kami yang minta maaf, semua jadi terhambat karena saya masuk rumah sakit," jawab Seno juga sungkan. Lalu kedua keluarga terlibat obrolan ringan dulu sebelum menuju inti pertemuan. Setelah basa-basi dirasa selesai, kini Eko mengutarakan maksud dan tuju
Karena sudah ada Alan di sini, Seno meminta keduanya mendekat. Alan yang merasa akan ada sesuatu yang terjadi memilih mengikuti alur saja, terlebih dirinya sudah mempersiapkan jauh-jauh hari. "Berhubung kalian sudah datang, bapak akan mengatakan kalau bapak merestui Alan sebagai calon suamimu, sedari dulu Alan sudah mencintaimu nyatanya ketika tau kamu janda pun dia tidak mundur, sekarang semua bapak serahkan kepadamu, Amalia, bagaimana kamu akan memberikan kepastian kepada Alan, jangan terus kamu gantung perasaan seseorang, bapak yakin Alan pria terbaik," ucap Seno dengan suara lemah sambil menyatukan tangan Alan juga Amalia. Mendengar jawaban dari bapaknya membuat Amalia tidak bisa menahan air matanya, dengan suara bergetar, Amalia mengatakan jawaban yang selama ini sudah ia pikirkan dengan matang. "Jika orang tuaku saja dengan mudahnya setuju denganmu, kenapa tidak denganku? Aku menerima lamaran darimu, Alan, tapi aku mohon jangan sakiti aku seperti apa y
Karena sudah ada Alan di sini, Seno meminta keduanya mendekat. Alan yang merasa akan ada sesuatu yang terjadi memilih mengikuti alur saja, terlebih dirinya sudah mempersiapkan jauh-jauh hari. "Berhubung kalian sudah datang, bapak akan mengatakan kalau bapak merestui Alan sebagai calon suamimu, sedari dulu Alan sudah mencintaimu nyatanya ketika tau kamu janda pun dia tidak mundur, sekarang semua bapak serahkan kepadamu, Amalia, bagaimana kamu akan memberikan kepastian kepada Alan, jangan terus kamu gantung perasaan seseorang, bapak yakin Alan pria terbaik," ucap Seno dengan suara lemah sambil menyatukan tangan Alan juga Amalia. Mendengar jawaban dari bapaknya membuat Amalia tidak bisa menahan air matanya, dengan suara bergetar, Amalia mengatakan jawaban yang selama ini sudah ia pikirkan dengan matang. "Jika orang tuaku saja dengan mudahnya setuju denganmu, kenapa tidak denganku? Aku menerima lamaran darimu, Alan, tapi aku mohon jangan sakiti aku seperti apa y
Setelah mendengar jawaban dari Alan justru membuat mood Amalia memburuk. Akhirnya mereka saling diam dalam perjalanan. Kebetulan supir yang disewa Alan adalah temannya sendiri jadi dia sudah tau sedikit perihal masalah yang menimpa mereka berdua. Jika dia jadi Alan mungkin tidak akan kuat untuk terus mempertahankan cintanya yang tak pernah dianggap. "Namanya dua orang saling mencintai tidak selamanya selalu bersatu, terkadang mereka ditakdirkan untuk saling menyakiti meskipun di hati tersimpan perasaan yang sangat rapi, tidak semua dua insan yang saling mencintai itu bisa bersatu, banyak dari mereka berakhir sama-sama memiliki pasangan sembari menyimpan perasaan untuk orang yang ia cintai karena mereka sadar jika bersatu yang ada hanya saling melukai, tak hanya itu, banyak juga dari mereka yang berakhir dengan takdir berbeda alam, itu hal yang paling menyakitkan, mencintai namun alam memisahkan mereka, itu adalah level mencintai paling dramatis dan trag
Alan mengalami mimpi dimana dia juga Amalia sedang bertengkar hebat karena masalah Ammar, berulang kali Alan meyakinkan pujaan hatinya jika hanya dirinya lah yang terbaik bagi Amalia hingga akhirnya Amalia luluh juga. Ketika Alan terbangun, dia merasa sedih karena semua hanyalah mimpi semata, mimpi yang kebanyakan orang mengatakan hanyalah bunga tidur namun kenapa di dalam mimpi rasanya seperti kenyataan? Alan tidak menampik jika dirinya menginginkan mimpi itu menjadi kenyataan, bertahun-tahun menyimpan rasa dengan wanita yang sama itu tidaklah mudah. Bahkan ketika Amalia sudah resmi bercerai pun, Alan tak juga mampu meluluhkan hati Amalia, sungguh mengenaskan sekali nasib percintaannya. Hingga terbesit dalam pikirannya untuk menyudahi perasaan ini terhadap Amalia setelah itu ia akan membuka hati untuk wanita lain, tapi akankah itu semua berhasil? Ketika sedang melamun, Amalia menelpon, sebuah kebetulan yang tidak di sengaj