Setelah Danar berpamitan pulang, Ammar bergegas menemui Amalia.
"Sayang.. Buka pintunya," ucap Ammar yang beberapa kali mengetuk pintu namun tak kunjung dibuka. Ina yang melihat itu merasa kesal, lalu Ina meminta Ammar untuk turun sebentar, biar urusan ini ia yang handle. "Heh cewek miskin buka pintunya! Jangan berani marah sama anak saya ya!" ucap Ina setengah berbisik namun terdengar jelas oleh Amalia. Lagi-lagi Amalia berurai air mata akibat hinaan serta kata-kata pedas dari mamah mertuanya, Amalia bingung harus berkeluh kesah pada siapa? Ia tak bisa terus berlama-lama tinggal disini. Amalia takut jika nantinya dia akan gi-la menghadapi mamah mertua seperti Ina. "Buka pintunya atau saya dobrak dan siksa kamu!" ancam Ina yang membuat Amalia memilih mengalah, lantas ia buka pintu kamar dengan mata sembab. Baru juga Amalia membuka pintu dan ingin mengucapkan sepatah kata, tapi tiba-tiba "PLAK.. PLAK.." tamparan keras tertuju pada kedua pipi Amalia. Panas sekali rasanya dan bekas tamparan itu membekas merah. "Berani ya kamu memusuhi anak saya! Kamu itu siapa!! Jangan sok hebat! Kamu gak denger kalau daritadi anak saya mengetuk pintu, kupingmu masih normal kan? Apa mau saya buat tu-li?" ucap Ina menarik telinga Amalia cukup kencang hingga Amalia kesakitan. "Sakit mah, ampun," rengek Amalia. "Sekali lagi saya tau kamu memusuhi anak saya, awas saja! Kamu bakal merasakan lebih dari ini dan satu lagi! Berani kamu mengadu apa yang sudah pernah saya lakukan kepadamu, jangan harap orang tuamu akan hidup tenang!!!" ancam Ina. "Jangan menganggu kedua orang tua saya mah, saya mohon," rengek Amalia yang ketika membahas orang tua langsung lemah. "Makanya jangan sok ketika disini! Ingat! Kamu itu hanya gadis miskin yang beruntung dipersunting anak saya!!!" hina Ina lalu mendorong tubuh Amalia cukup keras sehingga Amalia terjengkang dan kepalanya membentur meja. Merasa lama akhirnya Ammar ke atas dan malah menemui istrinya tengah mengusap kepalanya seperti kesakitan. Belum lagi pipi istrinya itu membekas merah seperti tamparan. "Sayang.. Kamu kenapa? Ini pipi kamu juga kenapa?" tanya Ammar panik dan menuntun Amalia ke ranjang. "Gak papa mas, tadi waktu aku buka pintu kebetulan mamah menyender di pintu jadinya aku dan mamah sama-sama terjengkang, kepalaku kena meja tapi mamahmu gak papa kok," jawab Amalia. "Syukurlah.. Lain kali hati-hati, sekarang mamah mana?" tanya Ammar celingukan mencari Ina. "Mamah ada dikamarnya," jawab Amalia ketus, segitu mudahnya Ammar percaya jika Amalia berbohong dan sekarang malah suaminya fokus ke mamahnya ketimbang dirinya, sungguh miris memang nasib Amalia. Lalu Ammar tiba-tiba teringat perkataan Danar dan ingin segera mengklarifikasi pada Amalia. "Sayang, ada yang ingin mas tanyakan, tolong jawab jujur," ucap Ammar dan Amalia dengan ragu menganggukkan kepala. "Apa kamu bahagia tinggal disini?" tanya Ammar secara tiba-tiba membuat Amalia kaget. Ingin menjawab bahagia namun semua itu mustahil, tapi jika menjawab gak bahagia mungkin saja Ammar akan bertanya lebih jauh dan semua akan terbongkar. "Kenapa kamu tanya begitu mas? Apa ada yang mengusik pikiranmu?" tanya Amalia. "Aku ingin kamu jujur, jadi tolong jawablah," jawab Ammar. "Kamu suamiku mas, harusnya kamu tau jawabannya tanpa perlu aku bertanya," jawab Amalia membuat Ammar semakin kebingungan. Ammar merasa jika istrinya bahagia tinggal disini tapi di satu sisi Ammar terus terngiang tentang perkataan sepupunya. "Aku.. Aku rasa kamu lebih bahagia jika kita tinggal berdua, bukan begitu?" tebak Ammar. Sebenarnya Ammar hanya memberi jebakan saja pada Amalia terkait pertanyaan itu, apa jawaban yang diberikan Amalia nanti itulah apa yang dirasakannya. "Kenapa kamu baru kepikiran sekarang, mas?" sindir Amalia yang sebenarnya merasa senang jika suaminya punya pemikiran seperti itu, setidaknya ia tidak sendiri. "Maafkan aku ya sayang, yasudah besok aku coba carikan rumah untuk tempat tinggal keluarga kecilku, sabar ya," pinta Ammar dan Amalia dengan semangat mengangguk. "Makasih mas.." jawab Amalia yang memeluk Ammar erat, tak terasa air mata menetes di bahu suaminya. Tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang mendengarkan secara diam-diam apa yang sedang sepasang suami istri itu bicarakan, ya dia adalah Ina. Dia merasa cemas dan takut jika menantu miskinnya itu tiba-tiba keceplosan memberitahu apa yang sudah ia lakukan selama ini. Namun ketika mendengar anaknya akan pindah rumah semakin membuat hati Ina geram bahkan semakin tak suka dengan Amalia. Jika anaknya mencari rumah untuk mereka tempati, lalu usaha dia supaya Amalia gak betah dan meminta cerai dari Ammar akan sia-sia. "Ini gak boleh dibiarkan! Pokoknya harus segera mencari cara, kalau mereka pindah ya gak leluasa dong buat aku mengerjai cewek miskin itu malah yang ada dia merasa menang karena terbebas dariku! Enak aja! Aku gak mau Ammar terpengaruh lebih dalam lagi dengan gadis miskin itu!!! Dengan merelakan pernikahan mereka saja itu sudah membuatku kehilangan muka di hadapan kolega juga keluarga besar! Jangan sampai gadis itu memiliki Ammar seutuhnya!!" batin Ina yang sudah sangat marah. Tanpa sadar Ina menyenggol vas bunga besar yang ada di sebelah pintu kamar Ammar, vas bunga itu pun pecah dan menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. "Aduh..kenapa aku bisa ceroboh gini sih! Pokoknya harus segera sembunyi! Jangan sampai Ammar dan cewek miskin itu tau kalau aku menguping!" gumam Ina yang lari terburu-buru masuk ke kamarnya. Perhatian Amalia juga Ammar kini teralihkan ke asal suara benda jatuh itu. "Sepertinya ada sesuatu yang jatuh diluar sana, ayo kita tengok dulu," ucap Ammar bergegas membuka pintu. Namun sayang sekali, tak ada siapapun di luar sana dan asal suara itu ternyata berasal dari vas bunga yang jatuh. "Aneh.." gumam Ammar merasa janggal. "Ada apa mas?" tanya Amalia ikut keluar kamar. "Lihatlah.. Vas bunga sebesar ini masak tiba-tiba jatuh," tunjuk Ammar dengan wajah keheranan. "Loh.. Kok bisa mas? Aneh ya," tanya Amalia juga tak kalah heran, Ammar menganggukkan kepala pertanda setuju. "Aku juga memikirkan hal yang sama, seperti ada yang sengaja mendengarkan perbincangan kita, tapi siapa? Bibi pun jika tidak ada keperluan bebersih dan menempatkan barang, gak berani naik kesini, mamah sendiri yang memerintahkan," ucap Ammar menerka. Sebenarnya Amalia tengah menduga satu orang namun tak berani ia ungkapkan, jika Amalia berbicara bisa saja orang itu adalah Ina, maka Ammar sudah pasti tak akan percaya terlebih lagi nantinya Ammar pasti akan menanyakan lebih jauh apa alasan dia menuduh mamanya yang menguping pembicaraan mereka. Maka Amalia memilih diam dan pura-pura gak tahu saja, itu jalan paling aman baginya. Langkah Amalia sudah benar belum guys?Melihat Ammar sudah berangkat kerja membuat Ina kembali leluasa mengerjai Amalia, setelah memastikan semua aman, Ina bergegas mendatangi kamar anaknya. "Bangun!! Saya paling sebel sama orang yang pemalas sepertimu!" pekik Ina menarik kasar tangan Amalia. "Iya mah iya.. Badan Amalia hari ini kurang enak, tolong mah, Amalia minta libur bebersih satu hari ini saja," pinta Amalia yang wajahnya pucat. "Gak!!! Udah makan dan tinggal gratis masih minta nego!" tolak Ina berkacak pinggang. Tiba di halaman belakang, Ina meminta Amalia untuk menyapu halaman yang sangat berserakan dedaunan kering. Tak lupa Amalia diminta juga menyiram semua tumbuhan yang ada dirumah ini. "Ingat.. Hari ini aku memberikanmu hukuman ringan mengingat tubuhmu yang kurang fit! Tapi jangan bangga dulu, besok kalau udah sembuh maka pekerjaan kamu akan berlipat ganda!!!" gertak Ina yang dijawab anggukan kepala oleh Amalia. Setelah itu Ina sengaja menghindar dari Amalia untuk melihat pekerjaannya dari kejauhan sekalig
Sudah seminggu berlalu usai insiden kebakaran yang melanda keluarga Amalia, selama itu pula ia tak pulang ke rumah suaminya dan fokus pada kesembuhan ibunya. Amalia merasa bersalah sudah membuat keluarganya berada dalam bahaya, keluarganya menjadi korban atas kesalahan yang Amalia lakukan. Padahal jika di pikir ulang, Amalia tak bersalah apapun, Ammar tiba-tiba membeli rumah dan menyampaikan seminggu lagi rumah barunya bisa ditempati, semua itu di luar kendali Amalia. Perkataan mamah mertuanya waktu itu kini dilakukan, tak hanya Amalia yang dibuat menderita tapi keluarganya juga. "Mamah.. Jika memang tak menyukaiku, tak apa, aku bisa menerima itu, tapi kenapa harus ibu juga keluargaku yang terkena imbasnya? Biarkan mereka hidup dengan tenang disini, ini semua bukan kemauan ku, Ammar yang memutuskan semuanya sendiri, kenapa jadi keluargaku yang menanggung semuanya?" batin Amalia menangis dalam diam. Ammar tahu jika saat ini Amalia tengah bersedih, namun hari ini adalah hari dimana m
Ditengah kesibukan urusan kedua orang tua Ammar, ayahnya menyempatkan waktu untuk mengunjungi ibunya Amalia sebagai wujud rasa empati dan juga agar hubungan antara besan semakin lebih dekat. Sudah diduga jika Ina tak mau ikut menjenguk ibunya Amalia dengan berbagai macam alasan, bilang jauh lah, capek, malas, urusannya masih banyak lah dan lain sebagainya. Awalnya Ino bisa memaklumi itu namun tidak untuk kali ini, sudah terlalu lama mereka belum menjenguk besannya padahal mereka tau jika ibunya Amalia dirawat di rumah sakit. "Mah.. Besok papah menjenguk ibunya Amalia, jadi papah sudah gak mau lagi mendengar alasan apapun, jika mamah gak mau ikut biar papah kesana sendiri," "Papah.. Kenapa sih urusan yang menyangkut Amalia selalu saja papah itu gerak cepat? Dia itu hanya orang lain yang kebetulan dinikahi Ammar," protes Ina tak suka jika suaminya selalu lebih memperhatikan Amalia daripada dirinya. "Bukan gerak cepat, orang tua Amalia sedang sakit dan sud
Pagi hari sekali Ina sudah membuat suasana rumah menjadi kacau karena teriakannya yang memekikkan telinga. "Mamah kenapa sih teriak begitu? Ada apa?" tanya Ino yang telinganya merasa bising. Tak menjawab pertanyaan suaminya malah Ina berjalan ke belakang halaman sembari bergumam sendiri, "Papah ini mana tau urusan perempuan.. Lagian bibi kemana sih? Biasanya juga langsung nyamperin, hih! Gini nih kalau punya pembantu usianya udah lebih! Amalia juga ngapain pulang kampung lama banget, gini kan aku susah!"Ternyata yang membuat kekacauan di pagi hari karena Ina mencari keberadaan pembantu untuk menanyakan pesanan pakaiannya apa sudah diantar, setelah diberitahu dimana tempat pembantu meletakkan barang pesanan Ina barulah Ina bergegas mengambil dan segera menggunakannya untuk arisan. ***Acara arisan kali ini berbeda dari arisan sebelumnya karena hari ini ada surprise untuk salah satu anggota arisan yang berulang tahun. Tak hanya itu saja, tempatnya pun berada disebuah resort mewah dan
Kring... Bunyi smartphone mahal berlogo buah tergigit itu berdering dengan nyaring nya, Ammar yang tengah menikmati sarapan di sebuah kantin rumah sakit terpaksa menunda sarapannya guna untuk mengangkat telepon. Terpampang nama sang assisten kepercayaannya yang menghubungi Ammar pagi hari ini, sudah pasti ini adalah hal yang penting. "Halo.. Ada kabar apa?" tanya Ammar tanpa ada ramahnya sedikitpun. "Maaf bos jika menganggu waktu sarapan anda, ada kabar penting bos.. Ada beberapa masalah di kantor dan harus anda yang mengatasinya," ucap assisten Ammar yang bernama Arman itu. Jika sudah menyangkut perusahaan atau pun hal dalam dunia pekerjaan, Ammar akan dengan serius menanggapinya, mau bagaimanapun juga perusahaan yang sudah berdiri dengan megahnya itu memiliki cerita yang sangat panjang untuk meraihnya, butuh perjuangan yang sangat ekstra bahkan air mata pun turut menjadi saksi suksesnya perusahaan yang sampai saat ini Ammar bangun. "Katakan dengan jel
Untung saja setelah mendapat kabar dari Arman jika dirinya harus segera pulang malam ini juga untuk menyelesaikan masalah di kantor yang semakin pelik, Ammar mendapat tiket pesawat yang jam penerbangannya 30 menit kemudian. Entah suatu kebetulan atau tidak tapi yang pasti Ammar tak membuang kesempatan itu, dengan hati yang berat ia harus meninggalkan istrinya seorang diri di rumah sakit. "Maafkan aku sayang, jika semua sudah selesai aku janji akan memberitahumu, Tuhan... Jaga istriku disana dan semoga mertuaku segera sembuh agar kami bisa menjalani hidup seperti biasanya," harap Ammar dalam hati lalu tak berselang lama matanya terpejam. Lelah? Sudah pasti Ammar sangat lelah harus bersikap seolah baik-baik saja dengan beberapa masalah yang menimpa seolah tiada henti. Ammar ingin hidup dengan bahagia, nyaman dan damai namun semesta seolah belum memenuhi keinginan sederhananya itu. Tak terasa kini Ammar sudah ada di kota tempatnya tinggal, segera Ammar mem
Heni gegas berdiri dengan isak tangis yang mengalir di pipi kuning langsat nya itu. Dengan beberapa kali helaan nafas akhirnya Heni siap untuk berbicara. "Baiklah.. Saya akan memberitahu siapa saja orang dibalik semua ini tapi saya mohon pak setelah ini jangan pecat saya, maafkan saya yang sudah merusak kepercayaan bapak, saya janji ini pertama dan terakhir kalinya, tolong jangan pecat saya," pinta Heni mengiba dan Ammar hanya diam saja. Merasa bosnya sudah sangat marah membuat Heni benar-benar mati kutu, ia takut jika nanti bicara jujur maka dia akan dipecat namun jika tidak jujur nama dia akan diblacklist, Heni tau sebesar apa kekuasan Ammar di bumi ini. Apalagi perusahaan milik Ammar tak hanya di Indonesia melainkan di beberapa belahan dunia juga."Saya benar-benar minta maaf karena sudah mengkhianati perusahaan sampai akhirnya berdampak sefatal ini pak, saya melakukan karena terpaksa dan tentu saja karena saya terdesak tuntutan ekonomi yang membuat saya kurang berpikir jernih, aw
"Nyonya... Nyonya yang menyuruh saya untuk membuat semua pemegang saham mencabut sahamnya dan juga tender besar yang sedang bekerja sama dengan perusahaan pak Ammar diminta untuk batal, nyonya mengancam akan membuat keluarga saya hancur jika tidak menuruti keinginan nyonya, makanya itu dengan terpaksa saya melakukannya, kini semua telah terbongkar nyonya... Tolong jangan berkelit, saya hanya ingin tetap bekerja, saya butuh pekerjaan ini, tidak mudah mencari pekerjaan di era sekarang," rengek Heni dengan sorot mata memohon. Namun sayang sekali, alih-alih berkata jujur, justru Ina semakin senang dengan suasana ini. Kesempatan yang bagus untuk merusak rumah tangga anaknya melalui Heni. Didepan Ammar akan ia bantah semuanya namun nanti ketika di belakang Ammar, ia akan memberikan bayaran yang lebih kepada Heni jika nantinya memang ia dipecat. Bantahan yang dilakukan Ina membuat posisi Heni semakin tersudut, tak ada pilihan lain selain pasrah dengan semuanya. Heni sad