Melihat Ammar sudah berangkat kerja membuat Ina kembali leluasa mengerjai Amalia, setelah memastikan semua aman, Ina bergegas mendatangi kamar anaknya.
"Bangun!! Saya paling sebel sama orang yang pemalas sepertimu!" pekik Ina menarik kasar tangan Amalia. "Iya mah iya.. Badan Amalia hari ini kurang enak, tolong mah, Amalia minta libur bebersih satu hari ini saja," pinta Amalia yang wajahnya pucat. "Gak!!! Udah makan dan tinggal gratis masih minta nego!" tolak Ina berkacak pinggang. Tiba di halaman belakang, Ina meminta Amalia untuk menyapu halaman yang sangat berserakan dedaunan kering. Tak lupa Amalia diminta juga menyiram semua tumbuhan yang ada dirumah ini. "Ingat.. Hari ini aku memberikanmu hukuman ringan mengingat tubuhmu yang kurang fit! Tapi jangan bangga dulu, besok kalau udah sembuh maka pekerjaan kamu akan berlipat ganda!!!" gertak Ina yang dijawab anggukan kepala oleh Amalia. Setelah itu Ina sengaja menghindar dari Amalia untuk melihat pekerjaannya dari kejauhan sekaligus untuk mengetahui apakah Amalia akan menggerutu atau tidak. "Sabar Amalia.. Sabar.. Sebentar lagi kamu juga Ammar akan pindah rumah, betah-betahin dulu disini, ayo Amalia semangat!" gumam Amalia yang tanpa sadar didengar Ina. "Bagus.. Bagus sekali! Belum lama jadi istri Ammar tapi kamu sudah mampu mempengaruhi anak saya segitu jauhnya! Apa saja yang sudah kamu bicarakan sama anak saya sampai dia memiliki pemikiran untuk mengajak pindah rumah, katakan!" ucap Ina yang membuat Amalia terkejut. "Sejak kapan mamah disitu?" tanya Amalia memastikan namun bukan jawaban yang diberi justru malah cacian. "Gadis miskin sepertimu mana pantas menanyakan hal seperti itu kepada saya? Kamu itu siapa? Beraninya menanyakan itu! Suka-suka saya mau berada dimana ini kan rumah saya!" bentak Ina. "Katakan.. Apa yang sudah kamu bicarakan pada Ammar sehingga dia setuju pindah rumah," desak Ina. "Enggak ada mah, memang mas Ammar sendiri yang ingin pindah rumah, saya sebagai istri ya hanya bisa nurut," jawab Amalia membuat Ina tak puas. "Gak!! Jangan bohong kamu! Ayo katakan yang jujur! Kamu sudah mengadu ke Ammar kan?" tuduh Ina namun Amalia menggeleng. Berulang kali Ina melontarkan kata yang sama namun Amalia menjawab dengan gelengan kepala. "Lihat saja nanti! Jika Ammar benar mengajakmu pindah kesini maka kamu mengajak saya perang!" ancam Ina. Lalu Ina berjalan ke dalam rumah sembari menelpon seseorang. "Halo.. Cari keberadan orang tua dari istri anak saya, Ammar, segera beritahu," ucap Ina lalu mematikan sambungan telepon. Tak berselang lama Ina mendapat kabar dari orang suruhannya, disana informasi yang didapat sangatlah jelas bahkan Ina puas akan hal itu. Tak lupa Ina mengirimkan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih. "Ini akan menjadi kartu AS jika sewaktu-waktu gadis kampung itu berani macam-macam," Akhirnya sore hari pun tiba, Ammar pulang kerja sembari memberikan kabar bahagia pada istrinya jika mulai minggu depan mereka sudah bisa pindah rumah. Ammar sudah mencarikan rumah yang cocok untuk ditinggali mereka berdua dan pastinya masih di lingkupan elite. Kabar yang seharusnya membuat Amalia senang kini malah menjadi ancaman baginya, jika mereka nekat pindah sudah pasti mamah mertuanya tidak akan tinggal diam. Ia takut orang tuanya yang akan jadi korban. Belum juga Amalia memberi jawaban, Ammar sudah keluar rumah untuk memberitahu ini kepada Ina juga Ino-papahnya. Kedua orang tuanya terutama Ino senang jika anaknya memiliki pemikiran untuk hidup mandiri namun respon berbeda ditunjukkan pada Ina. Ia tak setuju anaknya pindah rumah dengan dalih nantinya rumah akan semakin sepi. "Percuma mamah juga papahmu membangun rumah mewah juga luas seperti ini kalau akhrinya hanya kami berdua saja yang menepati, dulu mamah juga papah sengaja membuat rumah besar supaya di hari tua kami masih bisa bersama anak-anak dan juga cucu, kami nanti bisa bermain bersama cucu sembari kalian bekerja," ucap Ina pura-pura sedih. Ammar menjadi tak tega setelah mendengar jawaban Ina, rasanya memang berat meninggalkan orang tua yang sudah membesarkannya namun gimana lagi? Kini Ammar sudah berumah tangga. "Awas saja kamu! Ternyata ancaman ku tak mempan juga!" batin Ina murka lalu mengirim pesan ke orang suruhannya untuk membakar rumah Amalia. Kebetulan didalam rumah Amalia ada ibu juga adiknya yang tengah tidur pulas, kampung halamannya pun jika selepas magrib sudah sepi, jadi orang suruhan Ina bisa leluasa untuk menjalankan perintah Ina. Rumah Amalia yang hanya terbuat dari setengah bata juga kayu sangat mudah dilalap si jago merah. "Uhuk.. Uhuk.. Uhuk.." suara Anisa terbatuk dan langsung menjerit histeris ketika kamar mereka dilalap api. "Aaaaaaa… ada api, bu bangun bu," "Astaghfirullahalazim.. Kenapa bisa seperti ini? Anisa ayo selamatkan dirimu," perintah Ika yang melindungi Anisa dari reruntuhan kayu yang sudah terbakar. Tiba di pintu depan, Anisa sudah berhasil keluar dan diamankan oleh warga sekitar, namun sayang sekali, Ika yang akan kembali ke dalam untuk mengambil tas juga ponsel malah tertimpa kayu cukup besar. Kakinya susah untuk digerakkan karena ikut kebakar, alhasil antara kayu juga kulitnya menyatu. Warga segera membawa Ika ke rumah sakit supaya segera mendapat pertolongan. Tak lupa salah seorang tetangga yang memiliki nomor Amalia segera memberitahu. Sayang sekali berulang kali Amalia dipanggil tak ada jawaban, akhirnya tetangga Amalia meninggalkan sebuah pesan singkat. "Amalia.. Aku sudah menghubungimu berulang kali tapi tak juga ada jawaban, maaf menganggu waktu istirahat mu, tapi ini urgent, ibumu saat ini ada dirumah sakit karena rumahmu mengalami kebakaran sehingga kaki ibumu tertimpa kayu, jika kamu sudah membaca pesan ini segera datang ke Rumah Sakit Harapan Sehat ya," Amalia yang tengah berada di dapur untuk mengambil minum tiba-tiba memecahkan gelas yang akan ia tuangkan minum dan setelah itu perasaannya mendadak tak enak, berulang kali Amalia mengelus dadanya supaya bisa lebih tenang namun tak bisa. Entah dorongan darimana tapi Amalia segera berlari ke kamar dan mengecek ponsel, benar saja.. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Heny-tetangganya sekaligus teman di kampungnya. Ketika membaca pesan yang dikirm Heny, seketika Amalia menangis dan berteriak dengan kencang. Ammar yang tengah berada di kamar mandi pun bergegas menemui istrinya untuk memastikan apa yang terjadi. Setelah Amalia memberitahu dan Ammar membaca isi pesan Heni, malam itu juga mereka datang ke kampung halaman Amalia. Sebelum berangkat, tak lupa Ammar memberitahu kejadian ini kepada kedua orang tuanya, Ino merasa kaget dan ingin ikut kesana tetapi melihat jadwal besok ada meeting penting dan sementara menggantikan anaknya di perusahaan membuat Ino menunda kepergiannya, malam ini hanya Amalia dan Ammar saja yang berangkat. Di hadapan Ammar, mamahnya menunjukkan sikap empati dan memasang wajah sedih, namun setelah Ammar keluar lebih dulu untuk memberitahu supirnya, Amalia mendapat sebuah bisikan dari Ina "Bagaimana rasanya? Pasti sakit juga sedih ya orang yang kita sayangi sedang tidak baik-baik saja, itu sedikit perasaan yang menggambarkan apa yang saya rasakan ketika anak saya memilih mu menjadi istrinya, ingat.. Saya sudah pernah bilang kan jangan main api dengan saya, kamu ngeyel kan? Inilah akibatnya," bisikkan Ina membuat dada Amalia memanas, ia tak terima jika insiden kebakaran di rumahnya itu karena ulah dari mamah mertuanya sendiri. Hmm.. Jika kalian jadi Amalia, apa yang akan kalian lakukan guys ?Sudah seminggu berlalu usai insiden kebakaran yang melanda keluarga Amalia, selama itu pula ia tak pulang ke rumah suaminya dan fokus pada kesembuhan ibunya. Amalia merasa bersalah sudah membuat keluarganya berada dalam bahaya, keluarganya menjadi korban atas kesalahan yang Amalia lakukan. Padahal jika di pikir ulang, Amalia tak bersalah apapun, Ammar tiba-tiba membeli rumah dan menyampaikan seminggu lagi rumah barunya bisa ditempati, semua itu di luar kendali Amalia. Perkataan mamah mertuanya waktu itu kini dilakukan, tak hanya Amalia yang dibuat menderita tapi keluarganya juga. "Mamah.. Jika memang tak menyukaiku, tak apa, aku bisa menerima itu, tapi kenapa harus ibu juga keluargaku yang terkena imbasnya? Biarkan mereka hidup dengan tenang disini, ini semua bukan kemauan ku, Ammar yang memutuskan semuanya sendiri, kenapa jadi keluargaku yang menanggung semuanya?" batin Amalia menangis dalam diam. Ammar tahu jika saat ini Amalia tengah bersedih, namun hari ini adalah hari dimana m
Ditengah kesibukan urusan kedua orang tua Ammar, ayahnya menyempatkan waktu untuk mengunjungi ibunya Amalia sebagai wujud rasa empati dan juga agar hubungan antara besan semakin lebih dekat. Sudah diduga jika Ina tak mau ikut menjenguk ibunya Amalia dengan berbagai macam alasan, bilang jauh lah, capek, malas, urusannya masih banyak lah dan lain sebagainya. Awalnya Ino bisa memaklumi itu namun tidak untuk kali ini, sudah terlalu lama mereka belum menjenguk besannya padahal mereka tau jika ibunya Amalia dirawat di rumah sakit. "Mah.. Besok papah menjenguk ibunya Amalia, jadi papah sudah gak mau lagi mendengar alasan apapun, jika mamah gak mau ikut biar papah kesana sendiri," "Papah.. Kenapa sih urusan yang menyangkut Amalia selalu saja papah itu gerak cepat? Dia itu hanya orang lain yang kebetulan dinikahi Ammar," protes Ina tak suka jika suaminya selalu lebih memperhatikan Amalia daripada dirinya. "Bukan gerak cepat, orang tua Amalia sedang sakit dan sud
Pagi hari sekali Ina sudah membuat suasana rumah menjadi kacau karena teriakannya yang memekikkan telinga. "Mamah kenapa sih teriak begitu? Ada apa?" tanya Ino yang telinganya merasa bising. Tak menjawab pertanyaan suaminya malah Ina berjalan ke belakang halaman sembari bergumam sendiri, "Papah ini mana tau urusan perempuan.. Lagian bibi kemana sih? Biasanya juga langsung nyamperin, hih! Gini nih kalau punya pembantu usianya udah lebih! Amalia juga ngapain pulang kampung lama banget, gini kan aku susah!"Ternyata yang membuat kekacauan di pagi hari karena Ina mencari keberadaan pembantu untuk menanyakan pesanan pakaiannya apa sudah diantar, setelah diberitahu dimana tempat pembantu meletakkan barang pesanan Ina barulah Ina bergegas mengambil dan segera menggunakannya untuk arisan. ***Acara arisan kali ini berbeda dari arisan sebelumnya karena hari ini ada surprise untuk salah satu anggota arisan yang berulang tahun. Tak hanya itu saja, tempatnya pun berada disebuah resort mewah dan
Kring... Bunyi smartphone mahal berlogo buah tergigit itu berdering dengan nyaring nya, Ammar yang tengah menikmati sarapan di sebuah kantin rumah sakit terpaksa menunda sarapannya guna untuk mengangkat telepon. Terpampang nama sang assisten kepercayaannya yang menghubungi Ammar pagi hari ini, sudah pasti ini adalah hal yang penting. "Halo.. Ada kabar apa?" tanya Ammar tanpa ada ramahnya sedikitpun. "Maaf bos jika menganggu waktu sarapan anda, ada kabar penting bos.. Ada beberapa masalah di kantor dan harus anda yang mengatasinya," ucap assisten Ammar yang bernama Arman itu. Jika sudah menyangkut perusahaan atau pun hal dalam dunia pekerjaan, Ammar akan dengan serius menanggapinya, mau bagaimanapun juga perusahaan yang sudah berdiri dengan megahnya itu memiliki cerita yang sangat panjang untuk meraihnya, butuh perjuangan yang sangat ekstra bahkan air mata pun turut menjadi saksi suksesnya perusahaan yang sampai saat ini Ammar bangun. "Katakan dengan jel
Untung saja setelah mendapat kabar dari Arman jika dirinya harus segera pulang malam ini juga untuk menyelesaikan masalah di kantor yang semakin pelik, Ammar mendapat tiket pesawat yang jam penerbangannya 30 menit kemudian. Entah suatu kebetulan atau tidak tapi yang pasti Ammar tak membuang kesempatan itu, dengan hati yang berat ia harus meninggalkan istrinya seorang diri di rumah sakit. "Maafkan aku sayang, jika semua sudah selesai aku janji akan memberitahumu, Tuhan... Jaga istriku disana dan semoga mertuaku segera sembuh agar kami bisa menjalani hidup seperti biasanya," harap Ammar dalam hati lalu tak berselang lama matanya terpejam. Lelah? Sudah pasti Ammar sangat lelah harus bersikap seolah baik-baik saja dengan beberapa masalah yang menimpa seolah tiada henti. Ammar ingin hidup dengan bahagia, nyaman dan damai namun semesta seolah belum memenuhi keinginan sederhananya itu. Tak terasa kini Ammar sudah ada di kota tempatnya tinggal, segera Ammar mem
Heni gegas berdiri dengan isak tangis yang mengalir di pipi kuning langsat nya itu. Dengan beberapa kali helaan nafas akhirnya Heni siap untuk berbicara. "Baiklah.. Saya akan memberitahu siapa saja orang dibalik semua ini tapi saya mohon pak setelah ini jangan pecat saya, maafkan saya yang sudah merusak kepercayaan bapak, saya janji ini pertama dan terakhir kalinya, tolong jangan pecat saya," pinta Heni mengiba dan Ammar hanya diam saja. Merasa bosnya sudah sangat marah membuat Heni benar-benar mati kutu, ia takut jika nanti bicara jujur maka dia akan dipecat namun jika tidak jujur nama dia akan diblacklist, Heni tau sebesar apa kekuasan Ammar di bumi ini. Apalagi perusahaan milik Ammar tak hanya di Indonesia melainkan di beberapa belahan dunia juga."Saya benar-benar minta maaf karena sudah mengkhianati perusahaan sampai akhirnya berdampak sefatal ini pak, saya melakukan karena terpaksa dan tentu saja karena saya terdesak tuntutan ekonomi yang membuat saya kurang berpikir jernih, aw
"Nyonya... Nyonya yang menyuruh saya untuk membuat semua pemegang saham mencabut sahamnya dan juga tender besar yang sedang bekerja sama dengan perusahaan pak Ammar diminta untuk batal, nyonya mengancam akan membuat keluarga saya hancur jika tidak menuruti keinginan nyonya, makanya itu dengan terpaksa saya melakukannya, kini semua telah terbongkar nyonya... Tolong jangan berkelit, saya hanya ingin tetap bekerja, saya butuh pekerjaan ini, tidak mudah mencari pekerjaan di era sekarang," rengek Heni dengan sorot mata memohon. Namun sayang sekali, alih-alih berkata jujur, justru Ina semakin senang dengan suasana ini. Kesempatan yang bagus untuk merusak rumah tangga anaknya melalui Heni. Didepan Ammar akan ia bantah semuanya namun nanti ketika di belakang Ammar, ia akan memberikan bayaran yang lebih kepada Heni jika nantinya memang ia dipecat. Bantahan yang dilakukan Ina membuat posisi Heni semakin tersudut, tak ada pilihan lain selain pasrah dengan semuanya. Heni sad
"KAMU DIMANA, AMMAR?""BAGUS... GAK USAH JAWAB PANGGILAN DARIKU SEKALIAN!!!""DEMI PEREMPUAN ITU KAMU TEGA MENINGGALKAN AKUN DISINI SENDIRIAN!!!""SETIDAKNYA JUJURLAH JIKA KAMU KE KOTA UNTUK BERTEMU PEREMPUAN ITU!!! JANGAN BERALASAN PERUSAHAAN MU SEDANG ADA MASALAH, INGAT AMMAR! UCAPAN ADALAH DOA!!!!"Isi chat dari Amalia membuat Ammar kaget bukan main, ia sangat bingung dengan semua pesan yang dibaca. Karena jika Ammar membalas akan semakin lama dan takut suasana semakin keruh, Ammar langsung menelpon Amalia. "Ayolah sayang angkat teleponnya, jangan asal menuduh saja bahkan aku tak tau kamu berbicara seperti itu dengan bukti apa," gumam Ammar yang tengah gusar karena Amalia tak kunjung mengangkat teleponnya. Pada deringan ketiga barulah Amalia mengangkat panggilannya. "Halo sayang? Kamu kenapa kok marah-marah begitu??? ada masalah apa? Apa yang kamu maksud itu? Aku sama sekali tak mengerti,"