Ditengah kesibukan urusan kedua orang tua Ammar, ayahnya menyempatkan waktu untuk mengunjungi ibunya Amalia sebagai wujud rasa empati dan juga agar hubungan antara besan semakin lebih dekat.
Sudah diduga jika Ina tak mau ikut menjenguk ibunya Amalia dengan berbagai macam alasan, bilang jauh lah, capek, malas, urusannya masih banyak lah dan lain sebagainya. Awalnya Ino bisa memaklumi itu namun tidak untuk kali ini, sudah terlalu lama mereka belum menjenguk besannya padahal mereka tau jika ibunya Amalia dirawat di rumah sakit. "Mah.. Besok papah menjenguk ibunya Amalia, jadi papah sudah gak mau lagi mendengar alasan apapun, jika mamah gak mau ikut biar papah kesana sendiri,""Papah.. Kenapa sih urusan yang menyangkut Amalia selalu saja papah itu gerak cepat? Dia itu hanya orang lain yang kebetulan dinikahi Ammar," protes Ina tak suka jika suaminya selalu lebih memperhatikan Amalia daripada dirinya."Bukan gerak cepat, orang tua Amalia sedang sakit dan sudah kewajiban kita untuk menjenguknya apalagi kita ini besan, ingat mah, Amalia bukan orang lain yang kebetulan dinikahi Ammar, dia sekarang menjadi anak kita, jadi jangan membedakan antara anak dan menantu," tegur Ino membuat Ina semakin membenci menantunya itu.Bagi Ina, tak hanya perhatian Ammar saja yang sudah berhasil direnggut oleh Amalia melainkan sekarang suaminya juga ikut lebih perhatian dengannya. Rasa tak suka pada Amalia kini semakin bertambah sudah, baginya semenjak Amalia hadir ditengah keluarganya, seluruh perhatian suami dan anak laki-laki nya kini berpindah ke Amalia, gadis yang menurut Ina sangatlah tak pantas menjadi bagian dari keluarganya.***Siang hari Ino juga Ina sudah tiba di rumah sakit tempat dimana ibunya Amalia dirawat, sesampainya disana, Ino merasa prihatin dengan musibah yang dialami oleh ibu dari menantunya itu, sekujur kakinya hampir terbakar dan hal itu membuat Ino bergidik ngeri, ia tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya."Pasti sakit sekali ya yang dirasakan ibumu, papah aja melihatnya jadi merinding dan teriris," ucap Ino yang mencoba mencairkan suasana karena ketika pertama ia datang bersama istrinya, Amalia bersikap dingin dan lebih banyak pendiam, biasanya Amalia selalu bersikap ramah padanya."Maaf ya mah, pah, kondisi ibu belum pulih betul dan tadi baru saja diberikan obat penenang karena setiap ibu bangun selalu saja histeris dan mengeluh kakinya kesakitan," ucap Amalia tak enak hati karena disaat kedua mertuanya datang menjenguk malah posisi ibunya tertidur, mau dibangunkan pun juga percuma karena ibunya masih berada dalam pengaruh obat bius.Ino memahami kondisi ibunya Amalia dan sama sekali tidak mempermasalahkan, berbeda dengan Ina yang merasa kesal karena sudah jauh-jauh datang kesini untuk menengok dan supaya bisa berbasa-basi sedikit dengan besannya eh ternyata malah tidur. "Nyesel udah belain jauh-jauh kesini! Mana aku harus absen arisan pula, ish!" keluh Ina yang didengar semuanya."Mah.. Jaga ucapan mu! Itu gak sopan!" tegur Ino yang menatap istrinya tajam."Memang benar kan.. Kita kesini mau jenguk ibunya bukan malah bercengkrama dengan Ammar juga istrinya itu, apa salah jika mamah ini berkata jika semua sia-sia?" tanya Ina dengan angkuhnya.Ketika Ino ingin memberi teguran lagi pada istrinya, Ammar memberikan isyarat pada papahnya agar diam saja dan mengalah. "Ini di rumah sakit pah dan ibunya Amalia juga tengah kritis, jadi tahan emosi papah,"Amalia hanya bisa menundukkan kepala karena merasa bersalah namun juga merasa kesal ketika harus bertatap muka dengan Ina. Ketika mereka saling bertatapan, seketika hati Amalia merasa sangat marah dan ingin sekali memberitahu ayah mertua juga suaminya tentang keburukan Ina."Kamu ngapain ngeliatin saya seperti itu? Ingat.. Saya ini lebih tua dari kamu jadi sopan sedikit!" tanya Ina sinis.Ammar yang sedari tadi memperlihatkan bahasa tubuh istrinya dan Ina tiba-tiba merasa jika diantara keduanya ada sesuatu permasalahan.Didalam hatinya mengatakan jika bisa saja mamahnya adalah salah satu target yang harus ia selidiki dan menjadi kandidat salah satu orang yang membuat istrinya kesal."Gak mah.. Gak papa," jawab Amalia sedikit cuek.Feeling Ammar semakin kuat jika memang ada sesuatu diantara keduanya karena tak biasanya Amalia membalas pertanyaan kedua orang tuanya seperti itu."Kamu juga, Mar, kenapa ngeliatin mamah seperti itu? Ha? Kamu jangan membuat mamah kesal juga ya," cibir Ina."Gak mah.. Ammar heran aja kok mamah sama Amalia tumben bersitegang, kalian seperti saling tidak menyukai satu sama lain," sindir Ammar."Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang dan terkesan kurang sopan, saya ini sedang fokus dengan kesembuhan ibuku, kalian lihat sendiri kan? Ibu saya masih lemah tak berdaya kenapa kalian malah berseteru didepannya? Jika masalah kalian belum selesai silahkan diluar saja, aku hanya ingin ibu merasa tenang dan kondisinya segera pulih," tegur Amalia penuh penekanan."Kamu.. Beraninya mengusir saya! Lihat pah! Lihat betapa kurang ajarnya menantu yang selalu kamu bela ini!! Ini nih hasil didikan kamu sama Ammar, terlalu me-ratukan dia jadinya besar kepala!" ucap Ina menunjuk Amalia dengan wajah sinis.Karena tak mau kondisi semakin panas, Ino mengajak istrinya untuk keluar dari ruang rawat inap ibunya Amalia sembari mengucapkan maaf atas sikap Ina, tak lupa Ino memberikan sebuah parsel buah berukuran besar dan juga mengucapkan semoga besannya segera sembuh, barulah setelah itu Ino dan Ina pulang."Benar kan apa kata mamah? Buat apa kita jenguk ibunya Amalia, buang waktu aja," protes Ina masih kesal."Gak ada salahnya menjenguk besan, yang salah itu mamah," jawab Ino ketus."Kok jadi mamah yang disalahin? Bela terus istri Ammar, sana bela!!" protes Ina."Gak! Papah membela yang menurut papah benar, siapapun dia, dan papah gak segan untuk menegur jika memang orang itu salah! Papah tegur mamah karena memang semua ini salah mamah, harusnya mamah itu disana jaga sikap! Lihat dimana tempat mamah berpijak! Dirumah sakit kok kayak preman! Bagus gitu mah bisa mencela orang!" tegur Ino yang sudah geram.Ditegur sampai segitunya membuat Ina semakin membenci Amalia dan berencana akan membuat pelajaran yang berlipat-lipat dari sebelumnya, Ina merasa jika kehadiran Amalia di tengah keluarganya membuat suaminya sering kali memarahinya, padahal bagi Ina itu hal yang lumrah dilakukan terhadap menantu gak tau diri seperti Amalia.Ina merasa jika dirinya sama sekali tak ada salah dan memang seharusnya Amalia diperlakukan seperti itu, Amalia yang berasal dari keluarga miskin seharusnya tak pantas masuk ke dalam lingkup keluarganya, wajar jika Ina merasa kalau Amalia hanya menginginkan harta Ammar saja.Di dunia ini mana ada wanita yang hanya bermodal cinta saja? Mustahil... Dimana-mana finansial yang utama. Amalia menikahi Ammar sudah otomatis hidupnya bakal enak dan bergelimang harta sampai 7 turunannya.Pagi hari sekali Ina sudah membuat suasana rumah menjadi kacau karena teriakannya yang memekikkan telinga. "Mamah kenapa sih teriak begitu? Ada apa?" tanya Ino yang telinganya merasa bising. Tak menjawab pertanyaan suaminya malah Ina berjalan ke belakang halaman sembari bergumam sendiri, "Papah ini mana tau urusan perempuan.. Lagian bibi kemana sih? Biasanya juga langsung nyamperin, hih! Gini nih kalau punya pembantu usianya udah lebih! Amalia juga ngapain pulang kampung lama banget, gini kan aku susah!"Ternyata yang membuat kekacauan di pagi hari karena Ina mencari keberadaan pembantu untuk menanyakan pesanan pakaiannya apa sudah diantar, setelah diberitahu dimana tempat pembantu meletakkan barang pesanan Ina barulah Ina bergegas mengambil dan segera menggunakannya untuk arisan. ***Acara arisan kali ini berbeda dari arisan sebelumnya karena hari ini ada surprise untuk salah satu anggota arisan yang berulang tahun. Tak hanya itu saja, tempatnya pun berada disebuah resort mewah dan
Kring... Bunyi smartphone mahal berlogo buah tergigit itu berdering dengan nyaring nya, Ammar yang tengah menikmati sarapan di sebuah kantin rumah sakit terpaksa menunda sarapannya guna untuk mengangkat telepon. Terpampang nama sang assisten kepercayaannya yang menghubungi Ammar pagi hari ini, sudah pasti ini adalah hal yang penting. "Halo.. Ada kabar apa?" tanya Ammar tanpa ada ramahnya sedikitpun. "Maaf bos jika menganggu waktu sarapan anda, ada kabar penting bos.. Ada beberapa masalah di kantor dan harus anda yang mengatasinya," ucap assisten Ammar yang bernama Arman itu. Jika sudah menyangkut perusahaan atau pun hal dalam dunia pekerjaan, Ammar akan dengan serius menanggapinya, mau bagaimanapun juga perusahaan yang sudah berdiri dengan megahnya itu memiliki cerita yang sangat panjang untuk meraihnya, butuh perjuangan yang sangat ekstra bahkan air mata pun turut menjadi saksi suksesnya perusahaan yang sampai saat ini Ammar bangun. "Katakan dengan jel
Untung saja setelah mendapat kabar dari Arman jika dirinya harus segera pulang malam ini juga untuk menyelesaikan masalah di kantor yang semakin pelik, Ammar mendapat tiket pesawat yang jam penerbangannya 30 menit kemudian. Entah suatu kebetulan atau tidak tapi yang pasti Ammar tak membuang kesempatan itu, dengan hati yang berat ia harus meninggalkan istrinya seorang diri di rumah sakit. "Maafkan aku sayang, jika semua sudah selesai aku janji akan memberitahumu, Tuhan... Jaga istriku disana dan semoga mertuaku segera sembuh agar kami bisa menjalani hidup seperti biasanya," harap Ammar dalam hati lalu tak berselang lama matanya terpejam. Lelah? Sudah pasti Ammar sangat lelah harus bersikap seolah baik-baik saja dengan beberapa masalah yang menimpa seolah tiada henti. Ammar ingin hidup dengan bahagia, nyaman dan damai namun semesta seolah belum memenuhi keinginan sederhananya itu. Tak terasa kini Ammar sudah ada di kota tempatnya tinggal, segera Ammar mem
Heni gegas berdiri dengan isak tangis yang mengalir di pipi kuning langsat nya itu. Dengan beberapa kali helaan nafas akhirnya Heni siap untuk berbicara. "Baiklah.. Saya akan memberitahu siapa saja orang dibalik semua ini tapi saya mohon pak setelah ini jangan pecat saya, maafkan saya yang sudah merusak kepercayaan bapak, saya janji ini pertama dan terakhir kalinya, tolong jangan pecat saya," pinta Heni mengiba dan Ammar hanya diam saja. Merasa bosnya sudah sangat marah membuat Heni benar-benar mati kutu, ia takut jika nanti bicara jujur maka dia akan dipecat namun jika tidak jujur nama dia akan diblacklist, Heni tau sebesar apa kekuasan Ammar di bumi ini. Apalagi perusahaan milik Ammar tak hanya di Indonesia melainkan di beberapa belahan dunia juga."Saya benar-benar minta maaf karena sudah mengkhianati perusahaan sampai akhirnya berdampak sefatal ini pak, saya melakukan karena terpaksa dan tentu saja karena saya terdesak tuntutan ekonomi yang membuat saya kurang berpikir jernih, aw
"Nyonya... Nyonya yang menyuruh saya untuk membuat semua pemegang saham mencabut sahamnya dan juga tender besar yang sedang bekerja sama dengan perusahaan pak Ammar diminta untuk batal, nyonya mengancam akan membuat keluarga saya hancur jika tidak menuruti keinginan nyonya, makanya itu dengan terpaksa saya melakukannya, kini semua telah terbongkar nyonya... Tolong jangan berkelit, saya hanya ingin tetap bekerja, saya butuh pekerjaan ini, tidak mudah mencari pekerjaan di era sekarang," rengek Heni dengan sorot mata memohon. Namun sayang sekali, alih-alih berkata jujur, justru Ina semakin senang dengan suasana ini. Kesempatan yang bagus untuk merusak rumah tangga anaknya melalui Heni. Didepan Ammar akan ia bantah semuanya namun nanti ketika di belakang Ammar, ia akan memberikan bayaran yang lebih kepada Heni jika nantinya memang ia dipecat. Bantahan yang dilakukan Ina membuat posisi Heni semakin tersudut, tak ada pilihan lain selain pasrah dengan semuanya. Heni sad
"KAMU DIMANA, AMMAR?""BAGUS... GAK USAH JAWAB PANGGILAN DARIKU SEKALIAN!!!""DEMI PEREMPUAN ITU KAMU TEGA MENINGGALKAN AKUN DISINI SENDIRIAN!!!""SETIDAKNYA JUJURLAH JIKA KAMU KE KOTA UNTUK BERTEMU PEREMPUAN ITU!!! JANGAN BERALASAN PERUSAHAAN MU SEDANG ADA MASALAH, INGAT AMMAR! UCAPAN ADALAH DOA!!!!"Isi chat dari Amalia membuat Ammar kaget bukan main, ia sangat bingung dengan semua pesan yang dibaca. Karena jika Ammar membalas akan semakin lama dan takut suasana semakin keruh, Ammar langsung menelpon Amalia. "Ayolah sayang angkat teleponnya, jangan asal menuduh saja bahkan aku tak tau kamu berbicara seperti itu dengan bukti apa," gumam Ammar yang tengah gusar karena Amalia tak kunjung mengangkat teleponnya. Pada deringan ketiga barulah Amalia mengangkat panggilannya. "Halo sayang? Kamu kenapa kok marah-marah begitu??? ada masalah apa? Apa yang kamu maksud itu? Aku sama sekali tak mengerti,"
Sepekan sudah Ammar berada di kota untuk menyelesaikan masalah yang ada, bukannya semakin membaik malah keadaan menjadi buruk. Setelah ia mengantongi cukup bukti bahwa memang ibu kandungnya lah dalang dibalik semua ini, Ammar bingung harus melakukan pelajaran apa untuk ibunya. Jika di laporkan ke pihak berwajib Ammar tidak tega, memaki habis-habisan Ammar juga segan. Hanya kebingungan yang saat ini menemani Ammar. Ayahnya pun akhirnya tau dan tentu saja merasa kecewa, untuk apa istrinya melakukan hal sebesar ini? Sama saja istrinya hampir membuat Ammar bangkrut. Sampai saat ini motifnya pun belum diketahui, Ina terus bungkam dan kini malah pergi entah kemana. "Pah... Bagaimana ini?" tanya Ammar kebingungan. "Kamu tenang saja, apa yang harus papah bantu? Kembalikan dulu kondisi perusahaan setelah itu pikirkan mamah, mau bagaimana pun dia orang tua kandungmu, jangan gegabah dalam memberinya ganjaran, dia juga dulunya berjasa sangat besar dalam melahirkan juga membesarkan kamu ya mes
Akhirnya Amalia sudah bisa meninggalkan ibunya setelah Amalia memastikan sendiri keadaan ibunya sehat dan bisa kembali beraktivitas. Meskipun begitu Amalia tetap menegur ibunya jangan terlalu capek, jika terasa lelah segera istirahat. Amalia berpamitan untuk kembali ke kota tempat dimana ia tinggal bersama suaminya sekarang, berat hati meninggalkan ibunya lagi tapi mau gimana pun sekarang Amalia sudah menjadi istri orang, tak baik terus menerus meninggalkan suaminya apalagi ada ular yang sedang mencoba menjadi duri dalam rumah tangganya. "Tolong nanti jemput aku di bandara pukul 2 siang mas, aku pulang hari ini," chat Amalia yang sejujurnya sangat sedih karena harus pulang ke kota seorang diri, seharusnya suaminya kesini dan mengajak Amalia pulang, namun harapan seolah sirna setelah dengan telinganya sendiri ada perempuan lain yang beraninya menjawab telepon. Semenjak kejadian itu Amalia menjadi malas untuk berkomunikasi dengan suaminya, baru hari