“Keterlaluan kau, Mas! Kenapa kau tak pulang saja ke rumahnya sekalian, ha?! Tidur sampai pagi di rumah si janda sialan itu!”
Aku mengerjapkan mata. Melayangkan pandangan ke sekitar yang diselimuti keremangan cahaya lampu tidur. Tatapanku berhenti pada jam meja analog milik kakakku yang berpendar mengeluarkan cahaya lembut pada jarum jam dan angka-angkanya. Jarum jam dan menit pada benda itu sama-sama menunjuk pada angka satu. Lagi-lagi aku harus terbangun oleh suara keributan yang ditimbulkan Ayah dan Ibu.“Apa sih, Ras? Kebiasaan kau sembarangan nuduh! Aku ini ada rapat sama para pengurus partai lainnya sampai tengah malem. Aku Cuma kebetulan ketemu Rahma pas pulang.”“Prang,” suara benturan dari benda pecah belah yang beradu dengan lantai menyusul terdengar.“Sudah kubilang jangan kau sebut nama si janda laknat itu! Dasar kau banyak alasan! Kau tak ingat ha, tiga anakmu itu perempuan semua, Darman?! Kau tak takut karmamu jatuh pada anak-anakmu, ha?!”“Seharusnya kau ngaca Rasti! Siapa suruh kau hanya mampu melahirkan anak perempuan!”Lama berjeda. Tak kudengar jawaban keluar dari mulut Ibu. Tapi sepertinya ibuku mulai menangis. Dapat kutebak dari suara isakan perempuan yang perlahan mulai terdengar.Aku menggoyangkan tubuh Kak Abel yang terbaring di sampingku. Aku gelisah, aku tak tahu kenapa akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering ribut di tengah malam seperti ini.Kak Abel seketika membuka mata. Ia menatap tajam ke arahku dan berbisik, “ssstttt! Udah, tidur!” ia lalu kembali menutup matanya seolah-olah tengah tertidur pulas. Rupanya sejak tadi kakakku itu juga ikut mendengarkan suara keributan Ayah dan Ibu.“Anak itu titipan Tuhan, Mas! Aku tak mampu menentukan jenis kelaminnya!” Ibu kembali bicara dengan suara terisak.“Seharusnya kau mikir, kenapa Tuhan terus kasih kita anak perempuan! Itu biar kau sadar, biar kau tidak terus-terusan sakiti aku!” sambungnya lagi.“Lihat saja, Mas! Aku bersumpah karmamu pasti turun ke anak-anakmu! Semoga kau panjang umur agar kau dapat menyaksikan itu semua!”Terdengar suara langkah kaki orang berlari. Disusul debum daun pintu dibanting yang menggema ke seisi rumah. Mengagetkan para penghuninya. Termasuk kakakku yang juga sekejap membuka matanya, namun kemudian kembali tertidur. Atau mungkin tepatnya pura-pura tertidur. Aku mengikutinya. Aku memeluk erat si Melvin, boneka monyet kesayanganku, lalu mencoba memejamkan mata seperti yang dilakukan Kak Abel di sampingku.Suara berserak dari serpihan kaca yang tengah disapu masih dapat tertangkap oleh indra dengarku. Entah siapa yang membersihkan sisa-sisa keributan itu. Mungkin Ayah. Karena perlahan dapat kudengar suara pilu isak tangis Ibu dari balik kamar yang saat ini kutempati.Sebenarnya aku memiliki kamarku sendiri di bagian depan sebelah ruang tamu. Hanya saja aku lebih suka tidur bersama kakakku jika Ayah terlambat pulang. Dulu, waktu Ayah belum bergabung dengan partai politik, Ayah selalu pulang tepat waktu lalu menceritakan kisah-kisah para nabi atau pun kisah heroik para pahlawan Nusantara sampai aku tertidur karena bosan mendengarnya. Rasanya semuanya berubah saat seseorang mengajak ayah untuk menjadi bagian dari pengurus salah satu partai politik. Waktu ayah banyak tersita untuk urusan partai katanya. Sehingga ia tiada sempat lagi menemaniku belajar mengaji atau sekedar menceritakan kisah-kisah membosankan sebelum aku tidur.Selang beberapa saat, terdengar pintu kamar kami terbuka. Aku tak tahu siapa yang membukanya karena posisi tidurku membelakangi pintu. Aku hanya dapat melihat Kak Abel yang tetap memejamkan mata, maka aku pun mengikutinya.Rentetan suara yang khas dari para nyamuk yang menjemput ajalnya di sebuah raket listrik menyusul terdengar. Bisa kupastikan itu Ayah. Telingaku menangkap suara helaan nafasnya yang berat saat ia berdiri di belakangku, menarik selimutku lalu mengusap lembut kepalaku.Kalau aku boleh berpendapat, sebenarnya Ayah adalah orang yang baik. Namun entah mengapa Ibu selalu marah-marah pada Ayah. Kak Abel bilang, ada sebuah hal dalam dunia orang dewasa yang belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia tujuh tahun sepertiku.Usapan tangan Ayah menenangkanku. Hingga akhirnya aku kembali menjemput mimpi-mimpi yang tadi sempat terjeda.Pukul setengah enam pagi Kak Abel membangunkanku. Pasti Ibu masih marah. Tak kudengar suara Ibu yang mengomel tanpa henti tentang kebiasaan tidurku yang sulit untuk bangun seperti biasa. Ibu memang selalu jadi pendiam jika telah bertengkar dengan Ayah. Jika hari libur, biasanya ayah yang akan memasak nasi goreng untuk kami semua bila ibu sedang marah. Tapi ini hari kerja. Ayah sudah berangkat sejak pukul lima. Jarak rumah kami dan kantor tempat Ayah bekerja memang cukup jauh. Sehingga ia harus berangkat pagi-pagi sekali demi mengejar jadwal kereta. Aku melaksanakan rutinitas pagiku walau dengan suasana yang tak begitu nyaman.“Kau masih ke sekolah, Bel? Bukannya ujiannya sudah beres?” tanya Ibu.Kak Abel ikut bergabung di meja makan lengkap dengan pakaian seragam sekolah putih birunya. Ia meletakkan kotak bekal makanan kosong lalu mulai mengisinya dengan hidangan apa pun yang tersedia di meja.“Iya, Bu. Kemarin aku dapet kabar dari Pak Yusuf kalo aku lulus seleksi tahap pertama calon penerima beasiswa di salah satu SMA favorit di Ibu Kota. Hari ini aku diajak ke sana untuk melengkapi berkas persyaratan sekaligus daftar ulang untuk ujian tahap kedua,” papar Kak Abel.“Memang kau yakin mau sekolah di Ibu Kota? Nanti gimana kamu tinggal di sana? Makan kamu? Masa kamu pulang-pergi ke sana?” tanya Ibu.“Aku bisa ikut di kos Kak Yumna, Bu. Lokasi sekolahnya masih satu daerah kok. Kalau aku berhasil dapat beasiswa, semua keperluan sekolahku ditanggung pihak yayasan, termasuk seragam dan alat tulis. Jadi Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir lagi soal biaya sekolahku.”Kak Abel menjawab sambil memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas khusus. Ia juga membungkus beberapa kue yang ada di meja untuk dimakannya di kendaraan umum. Kakakaku itu memang jarang sempat sarapan di rumah, ia mengikuti cara Ayah dan Kak Yumna dulu untuk mengisi perut disela kesibukannya.“Ya sudahlah.” Ibu terlihat menghela napas pasrah sambil memberikan tangan kanannya untuk dicium oleh anak keduanya itu. Kak Abel berangkat, tinggal aku berdua dengan Ibu. Suasana tak nyaman mulai kurasakan.Aku mulai memikirkan tentang nasibku sendiri. Di antara semua saudaraku, hanya aku yang paling tidak bisa dibanggakan. Kak Abel dan Kak Yumna dulu sering juara di sekolahnya. Amat berbeda denganku, semester kemarin aku hanya sanggup mendapat peringkat 10 di kelasku. Ayah dan Ibu tampak kecewa. Mereka terus menuntutku untuk bisa sehebat kakak-kakakku. Katanya, agar aku tidak terus merepotkan mereka di masa depan nanti, lebih bagus kalau bisa membantu mereka.“Cepatlah kau makannya, Naya! Jangan banyak melamun! Kamu semua serba disiapin masih aja lelet! Lihat tuh kakakmu, Abel! Bangun paling pagi, siap-siap sendiri, ke sekolah sendiri. Lah kau? Bangun masih harus dibangunin, makan masih harus disiapin, berangkat pun masih harus kuantar,” omelnya.Itulah yang menyebalkan dari Ibu. Padahal sebenarnya aku pun ingin menyiapkan makananku sendiri, aku pun bisa berangkat ke sekolah sendiri, tapi Ibu sengaja melakukan semuanya untukku, lalu kemudian dia menyalahkanku. Tapi baiklah, demi mendengar Ibu kembali mengomel, berarti suasana hatinya mulai membaik. Aku mempercepat makanku sesuai titahnya. Apalagi ketika mendengar beberapa teman memanggil namaku dari luar rumah, pasti mereka sudah berangkat.“Cepat, Naya! Lihat teman-temanmu sudah pada nunggu!”Aku ikut bergabung bersama teman-temanku menuju sekolah. Ibu berjalan di belakang bersama para orang tua siswa lain yang juga ikut mengantarkan anaknya.“Tiit tiiit tiiitttt,” dari belakang terdengar seseorang menirukan bunyi klakson. Kami semua menyingkir untuk memberikannya jalan.Seorang anak lelaki melintas dengan sepeda barunya. Itu Galang, anaknya Tante Rahma. Ayahnya meninggal karena kecelakaan satu tahun yang lalu.“Wiiih, sepeda baru, Lang?” tanya Bu Ratih, ibunya temanku yang juga ikut mengantarkan anaknya ke sekolah.“Iya, kemarin dibelikan papanya Naya.”Galang menjawab dengan santainya sambil terus melesat membelah jalanan pedesaan kami.Eh, tunggu. Apa dia bilang? Sepeda itu dibelikan ayahku?“Loh, kok bisa sih Papa Naya ngasih sepeda ke Galang? Padahal Naya sendiri kan gak pernah punya sepeda.” Dinda, teman yang ikut berjalan bersamaku berujar.Aku hanya diam. Ayah memang tidak pernah membelikanku sepeda, bahkan yang roda tiga sekali pun. Alasannya, sudah ada sepeda milik Kak Abel, aku bisa meminjamnya. Tapi sepeda Kak Abel masih terlalu tinggi untuk kupakai belajar.“Loh, Bu Rasti, kok bisa Pak Darman ngasih sepeda ke Galang?” Bu Ratih ikut bertanya pada ibuku.“Iya. Hati-hati loh Bu Rasti, jangan-jangan Galang mau diangkat jadi anaknya,” sambung Bu Mega.“Anak tiri!” Bu Mega berbisik yang masih terdengar jelas olehku. Disusul kemudian oleh tawa tertahan beberapa ibu-ibu yang berjalan mengantar anaknya.Kulihat teman-temanku pun mulai berbisik-bisik. Farah, teman yang berjalan di sampingku mengusap punggungku untuk membesarkan hatiku. Aku hanya bisa berjalan menunduk sambil memainkan dasiku.“Oh itu, kemarin Mas Darman ketitipan dana amal dari partainya. Katanya buat ana
“Nay, Nay, Naya ... itu bukannya ayah kamu, ya?” Lusi menunjuk ke arah sebuah Swalayan yang berada di seberang jalan raya.“Mana? Mana?” Tanya teman-temanku yang lain.“Eh, iya kayaknya itu ayahmu deh, Nay!” Farah memastikan, ia menyipitkan indra penglihatannya yang terlindungi oleh sepasang kaca mata minus.Aku berjalan membelah kerumunan teman-temanku. Di sana, mungkin sekitar seratus meter di seberang jalan raya, tampak seorang lelaki dewasa menggunakan setelan jaket hitam dan celana jin biru tua berjalan menuju sebuah sepeda motor yang amat kukenali karena sering terparkir di halaman belakang rumahku. Seorang anak lelaki berjalan mengikuti di belakangnya. Anak itu tampak sedang memakan sebuah es krim dengan lahapnya.“Ayaaah ...!” Aku berlari sambil berteriak memanggil ayahku.“NAYA! AWAS MOBIL!” Seru teman-temanku.Sepasang tangan dengan sigap mendekap erat tubuhku seraya menarikku ke belakang ketika aku hampir berlari melintasi jalan raya yang dipenuhi lalu lalang kendaraan.Itu
“Ke...ke...kenapa, Bu?” Tanyaku terbata-bata. Aku mencoba memastikan pendengaranku.“Kau tadi lihat ayahmu ngebonceng si Galang?” Ibu kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang pelan tidak berbisik seperti sebelumnya. Namun suara itu terdengar datar, tidak seperti orang bertanya. Tangannya berhenti memetiki kangkung. Kulirik sekilas, matanya pun menatap ke arah lain dengan raut wajah yang hampa.“I...iya, Bu.” Aku coba menjawab pertanyaan ibu walau dengan nada ragu, jujur aku takut ibu marah.Lama tak terdengar lagi kata-kata dari mulut ibu. Perlahan aku mengambil sebatang demi sebatang kangkung lalu mulai ikut memetikinya sambil menunggu ibu kembali bicara.“Nay, kalau ayah dan ibu berpisah, dan ibu pulang ke pulau seberang, kau mau ikut siapa?” Akhirnya ibu kembali bicara, tapi tatapan matanya masih kosong.Kakakku sering bercerita bahwa Ibu berasal dari pulau seberang yang jauh sekali dari rumah kami yang sekarang. Katanya, untuk sampai ke sana, kita harus menaiki
Makan malam berjalan dengan suasana dingin. Bukan karena udaranya, tapi lebih karena ibu yang biasanya bawel sekarang tiba-tiba diam. Enggan berbicara sepatah kata pun sejak pulang dari rumah Farah.Aku tadi tak sempat mengajak Ibu ke belakang seperti yang disuruh oleh Bu Mega. Kulihat saat itu Ayah sudah menghentikan laju motornya ketika tampak keramaian di rumah Bu Farida. Tante Rahma dan Galang yang ikut di Ayah seketika turun. Bu Farida menyambutnya dengan ramah, mereka berbincang sejenak kemudian Ayah tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah keramaian lalu kembali melajukan sepeda motornya menuju rumah kami, meninggalkan Tante Rahma bersama Galang di sini.Kulihat Tante Rahma bersalam-salaman dengan ibu-ibu lainnya, termasuk ibuku. Kemudian ia dan anaknya ikut bergabung bersama para tamu undangan lainnya.“Ih, dasar si Rasti! Kenapa gak dijambak aja tu si Rahma?!” Bu Mega yang masih duduk di sebelahku ikut menyaksikan dengan pandangan yang gereget.“Iya, masa lihat suaminya bo
Di sekolah, rumor tentang ayahku yang ‘doyan cewek’ telah beredar luas. Entah siapa yang menyebarkannya. Belum lagi tentang berita bahwa aku disiksa oleh ibuku. Ibu memang tidak marah di depan teman-temanku. Malah dengan lembut Ibu membagi rambutan-rambutan di dalam baskom besar itu ke dalam keresek-keresek kecil lalu menyerahkannya pada anak-anak sekalian untuk dibagikan pada tetangga-tetangga yang lain.Baru setelah teman-temanku pergi, Ibu mulai menghajarku seperti biasa. Menyalahkanku mengapa aku membiarkan teman-temanku melihat album foto itu. Entah, mungkin ada anak yang kembali lewat di depan rumahku lalu mendengar sumpah serapah dan makian Ibu saat wanita itu melampiaskan emosinya padaku.Beberapa ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sempat menanyaiku, namun aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku tahu mereka bertanya hanya untuk sekedar mencari berita, bukan benar-benar peduli padaku. Sekarang tidak ada lagi Farah, atau kak Faruq atau bahkan Bu Farida yang bias
Ayah berhasil meyakinkan Ibu bahwa ia akan bertemu dengan Kepala Cabang. Tentang perempuan yang menelepon tadi, Ayah bilang itu istrinya Pak Kepala. Namun Ayah menolak saat Ibu menyatakan keinginannya untuk ikut.“Halah... lain kali aja! Aku sudah telat ini!” Ayah tampak tergesa.“Kenapa kau gak bilang dari kemarin kalau Pak Kepala mau ngajak istrinya? Aku juga kan pingin ikut...,” protes Ibu.“Lah, dia gak bilang kemarin mau ngajak istrinya. Udahlah aku sudah telat!” Ayah berpamitan dan segera berangkat dengan sepeda motor antiknya. Menyisakan ibu dengan wajahnya yang masih merengut.Tak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil-manggil nama Ibu dari luar. Rupanya itu Bu Ratih.“Bu Rasti, ini saya ketitipan uang kembalian dari Bu Haji.” Bu Ratih menyerahkan beberapa lembar uang pada Ibu.“Oh iya, aduuh makasih Bu Ratih, maaf jadi ngerepotin.”“Pak Darman sama si Rahma mau ke mana, Bu? Kok barusan saya lihat mereka boncengan di depan gang sana?” tanya Bu Ratih.Aku melihat wajah ib
“Tapi katanya bunuh diri itu dosa besar. Tidak akan diampuni. Dia akan disiksa di neraka dengan mengulang-ulang cara kematiannya. Tapi aku juga gak kuat, ya Allah. Aku capek. Keluargaku semua jauh. Di sini gak ada yang mendukungku, gak ada yang peduli sama aku. Aku cuma punya suamiku, tapi dia tega menyakitiku. Uhuhuhu....” Ibu menangis, ia menutupkan kedua tangan ke wajahnya.Bukan sekali ini Ibu mengucapkan ungkapan rasa putus asa itu. Cukup sering. Untunglah masih ada setitik iman di hatinya. Semoga Tuhan mengampuninya, ia bertahan hidup hanya karena tahu bunuh diri itu merupakan suatu dosa.Aku hanya bisa menduga tanpa mampu merasakan seberat apa beban batin yang ditanggung Ibu hingga ia berputus asa seperti itu. Ibu selalu tampil baik-baik saja di hadapan para tetangga dan saudara-saudara Ayah. Tak pernah sekali pun kudengar Ibu berkata kasar kepada orang-orang di luar, meski tak jarang mereka sengaja menyindir atau memanas-manasi Ibu. Semua kekecewaan, kemarahan dan kesedihan ha
Hari perayaan agustusan kembali tiba. Biasanya ada banyak perlombaan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat di desa kami.Untuk urusan mengikuti lomba, aku tak perlu ajakan dari Farah. Dengan senang hati akan kudaftarkan diriku sendiri pada panitia. Toh tidak semua lomba harus diikuti secara berkelompok, ada juga beberapa lomba yang bisa diikuti secara perorangan, jadi tidak masalah seandainya tidak ada teman yang mau satu kelompok denganku.Suasana lapangan begitu meriah. Aku datang sendiri, Kak Abel sibuk dengan sekolahnya jadi tak mungkin sempat pulang. Apalagi Kak Yumna, menurut kabar yang kudengar dari Ibu, selain bekerja di sebuah perusahaan, Kak Yumna juga membuka bimbel bagi anak-anak di sana. Ia juga terkadang membuka stand berjualan jika ada acara-acara tertentu. Jadi kakakku yang satu itu sudah jelas jarang pulang.Aku berjalan menuju meja panitia, lalu mendaftarkan diriku pada lembar peserta Lomba Balap Makan Kerupuk, Lomba Balap Karung, Lomba Balap Kelereng, Lomba