“Ke...ke...kenapa, Bu?” Tanyaku terbata-bata. Aku mencoba memastikan pendengaranku.
“Kau tadi lihat ayahmu ngebonceng si Galang?” Ibu kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang pelan tidak berbisik seperti sebelumnya. Namun suara itu terdengar datar, tidak seperti orang bertanya. Tangannya berhenti memetiki kangkung. Kulirik sekilas, matanya pun menatap ke arah lain dengan raut wajah yang hampa.“I...iya, Bu.” Aku coba menjawab pertanyaan ibu walau dengan nada ragu, jujur aku takut ibu marah.Lama tak terdengar lagi kata-kata dari mulut ibu. Perlahan aku mengambil sebatang demi sebatang kangkung lalu mulai ikut memetikinya sambil menunggu ibu kembali bicara.“Nay, kalau ayah dan ibu berpisah, dan ibu pulang ke pulau seberang, kau mau ikut siapa?” Akhirnya ibu kembali bicara, tapi tatapan matanya masih kosong.Kakakku sering bercerita bahwa Ibu berasal dari pulau seberang yang jauh sekali dari rumah kami yang sekarang. Katanya, untuk sampai ke sana, kita harus menaiki kapal laut selama kurang lebih satu minggu. Aku belum pernah ke rumah keluarga Ibu. Hanya Kak Yumna dan Kak Abel yang pernah ke sana, mereka sering bercerita tentang betapa serunya berada di lautan selama satu minggu. Aku tak tahu seperti apa rasanya, namun sepertinya itu tidak akan menyenangkan untukku, naik bus umum selama dua jam saja aku muntah-muntah parah, apalagi jika harus menaiki kapal laut, terombang-ambing di tengah pasang surut ombak yang tak menentu, mana satu minggu pula, membayangkannya saja perutku sudah mual.“Ikut Ibu atau Ayah?” Ibu mengulang pertanyaannya.Ibu menarik napas sebentar lalu kembali meneruskan ucapannya, “kalau kau ikut Ibu, aku takut kau diapa-apain nanti sama ayah tirimu nanti. Kalau kau ikut ayahmu, aku takut kau tidak dipedulikan oleh ibu tirimu nanti. Bagaimana bila kau hanya diberinya makanan sisa?! Bagaimana bila kau tak dapat seragam baru lagi tiap kenaikan kelas?! Kau lihat sendiri, ayahmu bahkan lebih peduli pada anak si janda itu dibanding anaknya sendiri.” Ibu menyeka matanya yang sedikit basah.“Ya Tuhan bagaimanalah ini..., keluargaku semuanya jauh. Aku di sini hanya punya suamiku, tapi suamiku sendiri menyakitiku....” Kulihat Ibu menangis tergugu, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dan ucapan salam dari arah pintu depan. Ibu segera mengakhiri tangisnya, cepat-cepat ia membersihkan sisa-sisa air mata dan kesedihannya, lalu berlari menyambut tamunya.Aku menggeser sedikit dudukku agar pandanganku bisa mengikuti langkah Ibu.“Eh..., Bu Farida, ayo masuk sini, Bu!” sambut Ibu. Itu Bu Farida, ibu dari Farah dan kak Faruq.“Maaf berantakan ini, biasa ulah si Naya.”“Nay... Naya! Beresin ini! Kamu kerjaan berantakin rumah mulu!”Aku segera berlari menyusul Ibu lalu mengumpulkan barang-barang milikku yang ada di sana kemudian membawanya ke kamarku.Cara Ibu dan Kak Yumna dalam memintaku membereskan sesuatu amat jauh berbeda. Biasanya Kak Yumna, kakak pertamaku, akan memintaku dengan lembut seperti, “Naya mau gak jadi anak baik? Kalau jadi anak baik itu harus rapi, jadi ini mejanya dirapiin ya.”Berbeda dengan Ibu yang malah cenderung melabeliku sebagai ‘tukang berantakin rumah’. Padahal kata Pak Ustaz, kata-kata itu bisa jadi doa. Aku kadang bertanya-tanya, apa jangan-jangan kebiasaan menaruh barang sembaranganku ini adalah akibat dari kata-kata ibu, ya? Jujur aku selalu berusaha untuk merapikan kembali barang-barang yang telah selesai kupakai, tapi selalu saja ada yang mengalihkan perhatianku sehingga aku jadi lupa dengan aktivitasku yang sebelumnya.“Eh, terima kasih Bu Rasti, gak perlu repot-repot. Saya cuma sebentar kok,” jawab Bu Farida yang masih bisa terdengar olehku.“Ada apa, Bu Farida? Tumben ke sini?” tanya Ibu.“Oh, ini, saya mau ngundang Pak Darman buat hadir di acara syukuran suami saya, Bu. Nanti bakda Ashar.” Jawab Bu Farida.“Oh, kenapa gitu suaminya Bu?” tanya ibu kepo.“Anu, Bu, suami saya diterima kerja di perusahaan besar di luar kota. Ini juga sekaligus acara perpisahan karena kami sekeluarga mau ikut pindah ke sana beberapa hari lagi.”Jawaban Bu Farida membuatku tertegun. Apa tadi beliau bilang? Perpisahan? Pindah? Itu artinya Farah dan Kak Faruq juga akan ikut pindah? Lalu bagaimana nanti denganku? Selama ini Kak Faruqlah yang selalu membelaku jika aku diperlakukan tidak adil oleh teman-temanku yang lain ketika kami bermain. Sedang adiknya, Farah, adalah sahabat terbaikku di kelas. Hanya dia yang selalu setia menemaniku jajan di kantin, atau mengajakku yang pendiam ini untuk ikut bergabung bersama teman-teman yang lain.Seketika aku merasa hampa. Kenapa tahun ini banyak sekali orang-orang yang kusayangi yang harus pergi dari hidupku? Pertama Kak Abel yang menjadi temanku di rumah. Sekarang dua teman yang paling kusayangi pun ikut pergi.“Oalah..., alhamdulillah, Bu. Selamat ya. Tapi suami saya gak ada, lagi pergi, Bu. Anu..., tadi katanya ada program penyantunan anak yatim dari tempat kerjanya.” Ibu tertawa canggung, dari nada bicaranya aku dapat menebak jika Ibu tengah berbohong.Aku tahu berbohong adalah suatu perbuatan tercela. Tapi jika Kak Abel atau Kak Yumna ada di sini, biasanya kakakku itu akan memberitahuku bahwa kebohongan yang dilakukan Ibu kepada para tetangga itu adalah baik, karena Ibu mencoba menutupi aib Ayah. Aku sendiri sebenarnya tak tahu apa yang dimaksud dengan kata ‘aib’ oleh kakakku.“Oh, kalo gitu gapapa biar Bu Rasti sama Naya aja yang ke sana,” jawab Bu Farida.“Oh, baik kalau begitu. Terima kasih ya Bu atas undangannya.”“Iya, sama-sama, Bu. Kalo gitu saya permisi dulu ya, Bu. Mau menyampaikan undangan ke yang lain juga.”“Oh iya, silakan, silakan Bu Farida.”Selepas kepergian Bu Farida, Ibu memintaku untuk membantunya memasak. Masih ada waktu beberapa jam sebelum bakda Ashar nanti kami harus memenuhi undangan Bu Farida. Kejadian Ayah yang membonceng Galang tadi sepertinya sudah dilupakan oleh Ibu. Sekarang Ibu malah sibuk merepet membandingkan nasib baik Bu Farida dengan dirinya sendiri.“Beruntung sekali Bu Farida punya suami kayak Pak Yunus. Udah ganteng, baik, soleh, gak banyak tingkah, sayang sama keluarga, sekarang dapet kerjaan yang mapan pulak!”Aku hanya bisa memasang telinga tanpa ikut berkomentar, takut kena amuk.“Begitulah kalau suami setia, sayang sama keluarga. Doa dari istri buat kebaikannya dia mudah diterima. Beda sama ayahmu yang banyak tingkah itu. Mau berapa kali pun aku berdoa buat kebaikan dia, gak akan terkabul. Terhalang sama dosa-dosa dia yang udah nyakitin aku!”Repetan Ibu terdengar bersahut-sahutan dengan irama wajan penggorengan yang tengah ia gunakan untuk menumis kangkung.“Coba kalau ayahmu dikasih kerjaan yang mapan, beuh... pasti makin banyak tingkah dia! Cuma karyawan biasa aja gayanya udah sok-sokan ikut ngurusin partai. Sok-sokan pengen kredit ini kredit itu! Mentang-mentang si Abel dapet beasiswa! Gak lihat apa aku belanja aja cuma bisa seadanya gini! Ngirit-ngirit biar cukup buat satu bulan, lah dia malah banyak gaya! Mentang-mentang dia yang cari duit!”Ibu membanting serbet dengan kasar. Tangannya cekatan memindahkan panci untuk merejang air ke atas tungku kompor yang sebelumnya digunakan untuk menumis kangkung. Aku membantunya menata masakan yang telah matang.“Nay...,”“NAYA BANGUN!”Aku tersentak kaget. Sedikit bingung kenapa wajah, rambut juga sebagian bajuku basah.“Emang dasar kebo kau! Susah kali dibangunin!”Kulihat Ibu sedang berjalan keluar dari kamarku sembari menenteng sebuah gelas kosong. Mungkin isinya sudah ia tumpahkan ke mukaku barusan.Melihatku hanya terdiam di tempat tidur, Ibu berbalik dan kembali mengomel, “cepat bangun! Ke aer sana! Bukannya bengong! Bentar lagi kita kondangan ke rumah Farah.”Demi mendengar omelan Ibu, aku segera beranjak menuju kamar mandi.“Wudu! Salat Zuhur! Bentar lagi Asar ini! Kebiasaan kau salat di akhir waktu, pantes rankingmu di kelas juga paling bontot terus.”Selesai salat Asar, kami berangkat menuju rumah Farah. Ibu tampak anggun dengan mengenakan baju gamis panjang berbordir, sementara aku hanya mengenakan busana mengajiku yang merupakan setelan tunik dan celana panjang, tapi aku tak sempat memikirkan soal busana, karena seperti biasa, Ibu selalu tergesa menyuruhku agar cepat selesai.Sesampainya di rumah Farah, kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Farah memanggilku untuk berkumpul bersamanya dan teman-teman yang lain. Tiba-tiba Bu Mega lari tergopoh ke arahku,“Naya... Naya...,”“Heh, Naya! Cepat kamu ajak ibumu ke belakang sana cepat! Itu ada ayahmu sama si Rahma mau lewat! Cepat!” bisik Bu Mega.Makan malam berjalan dengan suasana dingin. Bukan karena udaranya, tapi lebih karena ibu yang biasanya bawel sekarang tiba-tiba diam. Enggan berbicara sepatah kata pun sejak pulang dari rumah Farah.Aku tadi tak sempat mengajak Ibu ke belakang seperti yang disuruh oleh Bu Mega. Kulihat saat itu Ayah sudah menghentikan laju motornya ketika tampak keramaian di rumah Bu Farida. Tante Rahma dan Galang yang ikut di Ayah seketika turun. Bu Farida menyambutnya dengan ramah, mereka berbincang sejenak kemudian Ayah tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah keramaian lalu kembali melajukan sepeda motornya menuju rumah kami, meninggalkan Tante Rahma bersama Galang di sini.Kulihat Tante Rahma bersalam-salaman dengan ibu-ibu lainnya, termasuk ibuku. Kemudian ia dan anaknya ikut bergabung bersama para tamu undangan lainnya.“Ih, dasar si Rasti! Kenapa gak dijambak aja tu si Rahma?!” Bu Mega yang masih duduk di sebelahku ikut menyaksikan dengan pandangan yang gereget.“Iya, masa lihat suaminya bo
Di sekolah, rumor tentang ayahku yang ‘doyan cewek’ telah beredar luas. Entah siapa yang menyebarkannya. Belum lagi tentang berita bahwa aku disiksa oleh ibuku. Ibu memang tidak marah di depan teman-temanku. Malah dengan lembut Ibu membagi rambutan-rambutan di dalam baskom besar itu ke dalam keresek-keresek kecil lalu menyerahkannya pada anak-anak sekalian untuk dibagikan pada tetangga-tetangga yang lain.Baru setelah teman-temanku pergi, Ibu mulai menghajarku seperti biasa. Menyalahkanku mengapa aku membiarkan teman-temanku melihat album foto itu. Entah, mungkin ada anak yang kembali lewat di depan rumahku lalu mendengar sumpah serapah dan makian Ibu saat wanita itu melampiaskan emosinya padaku.Beberapa ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sempat menanyaiku, namun aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku tahu mereka bertanya hanya untuk sekedar mencari berita, bukan benar-benar peduli padaku. Sekarang tidak ada lagi Farah, atau kak Faruq atau bahkan Bu Farida yang bias
Ayah berhasil meyakinkan Ibu bahwa ia akan bertemu dengan Kepala Cabang. Tentang perempuan yang menelepon tadi, Ayah bilang itu istrinya Pak Kepala. Namun Ayah menolak saat Ibu menyatakan keinginannya untuk ikut.“Halah... lain kali aja! Aku sudah telat ini!” Ayah tampak tergesa.“Kenapa kau gak bilang dari kemarin kalau Pak Kepala mau ngajak istrinya? Aku juga kan pingin ikut...,” protes Ibu.“Lah, dia gak bilang kemarin mau ngajak istrinya. Udahlah aku sudah telat!” Ayah berpamitan dan segera berangkat dengan sepeda motor antiknya. Menyisakan ibu dengan wajahnya yang masih merengut.Tak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil-manggil nama Ibu dari luar. Rupanya itu Bu Ratih.“Bu Rasti, ini saya ketitipan uang kembalian dari Bu Haji.” Bu Ratih menyerahkan beberapa lembar uang pada Ibu.“Oh iya, aduuh makasih Bu Ratih, maaf jadi ngerepotin.”“Pak Darman sama si Rahma mau ke mana, Bu? Kok barusan saya lihat mereka boncengan di depan gang sana?” tanya Bu Ratih.Aku melihat wajah ib
“Tapi katanya bunuh diri itu dosa besar. Tidak akan diampuni. Dia akan disiksa di neraka dengan mengulang-ulang cara kematiannya. Tapi aku juga gak kuat, ya Allah. Aku capek. Keluargaku semua jauh. Di sini gak ada yang mendukungku, gak ada yang peduli sama aku. Aku cuma punya suamiku, tapi dia tega menyakitiku. Uhuhuhu....” Ibu menangis, ia menutupkan kedua tangan ke wajahnya.Bukan sekali ini Ibu mengucapkan ungkapan rasa putus asa itu. Cukup sering. Untunglah masih ada setitik iman di hatinya. Semoga Tuhan mengampuninya, ia bertahan hidup hanya karena tahu bunuh diri itu merupakan suatu dosa.Aku hanya bisa menduga tanpa mampu merasakan seberat apa beban batin yang ditanggung Ibu hingga ia berputus asa seperti itu. Ibu selalu tampil baik-baik saja di hadapan para tetangga dan saudara-saudara Ayah. Tak pernah sekali pun kudengar Ibu berkata kasar kepada orang-orang di luar, meski tak jarang mereka sengaja menyindir atau memanas-manasi Ibu. Semua kekecewaan, kemarahan dan kesedihan ha
Hari perayaan agustusan kembali tiba. Biasanya ada banyak perlombaan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat di desa kami.Untuk urusan mengikuti lomba, aku tak perlu ajakan dari Farah. Dengan senang hati akan kudaftarkan diriku sendiri pada panitia. Toh tidak semua lomba harus diikuti secara berkelompok, ada juga beberapa lomba yang bisa diikuti secara perorangan, jadi tidak masalah seandainya tidak ada teman yang mau satu kelompok denganku.Suasana lapangan begitu meriah. Aku datang sendiri, Kak Abel sibuk dengan sekolahnya jadi tak mungkin sempat pulang. Apalagi Kak Yumna, menurut kabar yang kudengar dari Ibu, selain bekerja di sebuah perusahaan, Kak Yumna juga membuka bimbel bagi anak-anak di sana. Ia juga terkadang membuka stand berjualan jika ada acara-acara tertentu. Jadi kakakku yang satu itu sudah jelas jarang pulang.Aku berjalan menuju meja panitia, lalu mendaftarkan diriku pada lembar peserta Lomba Balap Makan Kerupuk, Lomba Balap Karung, Lomba Balap Kelereng, Lomba
Sudah hampir dua jam berlalu dan Ibu belum sadarkan diri juga. Aku sudah menyeka semua bagian tubuhnya, membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya dan memakaikan Ibu pakaian yang bersih. Namun bau minyak tanah tetap tidak mau hilang.Ayah sempat datang beberapa saat menjelang Asar. Ia mandi, berganti pakaian dan mengambil perlengkapan ibadah seperti sajadah dan tasbih, lalu berangkat ke mesjid. Ia sempat bertanya perihal keadaan Ibu, lalu berkata bahwa jika sampai selepas magrib Ibu belum sadar juga maka ia akan membawanya ke dokter. Namun ayah sama sekali tidak bertanya soal keadaanku. Apa aku sudah makan. Apa aku sudah shalat. Setidaknya, jagakanlah ibu sebentar selama aku ke kamar mandi. Namun Ayah langsung berlalu begitu saja.Rasa lapar tak kunjung reda. Aku memutuskan pergi ke dapur sebentar untuk mengambil sepiring nasi. Namun apa yang kulihat membuatku semakin lesu. Nasi beserta lauk pauknya sudah terkumpul menjadi satu dalam sebuah wadah di dekat tempat sampah, mungkin
Tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Sampai sekarang, aku tak tahu apa yang waktu itu terjadi di rumahku ketika aku menerima hadiah lomba Perayaan Agustusan di Lapangan. Ibu tak menceritakannya padaku, aku pun enggan bertanya pada Ibu. Sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis bahwa aku tidak boleh banyak bertanya pada Ibu, apalagi pada Ayah. Menerima apa pun yang mereka berikan tanpa perlu banyak meminta apalagi mengeluh.Selentingan beredar kabar bahwa Tante Rahma akan berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Aku tak tahu benar atau tidaknya. Namun satu tahun kemudian—ketika aku naik ke kelas tiga—aku baru menyadari bahwa Galang sudah tidak bersekolah di tempat yang sama denganku lagi.Kabar kudengar dari pembicaraan ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah, bahwa Bu Haji telah mendaftarkan Tante Rahma ke penyalur TKW tempatnya dulu bekerja. Itulah mengapa dia disebut ‘Bu Haji’—karena dia pernah bekerja di sebuah negeri tempat di mana orang-orang biasa melakukan ibadah haji, so
Aku terhenyak ketika—di sore hari yang tenang—telingaku harus menangkap suara klakson mobil di depan rumah. Aku menyibak gorden jendela kamarku dan mendapati dua orang lelaki tengah berusaha menurunkan sebuah sepeda motor baru dari atas mobil bak terbuka. Aku beranjak keluar dari kamar dan menemukan Ibu tengah duduk di ruang tamu dengan wajah masam.“Ayah jadi beli motor baru?” tanyaku.“Iya. Bukan beli. Tapi kredit,” jawab Ibu ketus.Kuharap Ayah membeli sepeda motor matic, agar sekalian bisa kupakai belajar. Teman-teman seusiaku memang rata-rata sedang belajar mengemudi sepeda motor. Terlepas dari fakta aku yang tidak bisa mengendarai sepeda biasa, katanya motor matic lebih mudah untuk dikuasai dibandingkan motor manual yang harus memindah-mindahkan persneling.Aku berjalan keluar, ingin ikut melihat seperti apa sepeda motor yang dibeli Ayah. Aku sudah sangat yakin bahwa Ayah pasti membeli motor matic, selain karena sekarang memang sedang musim-musimnya model sepeda motor seperti it
Hari bebas. Libur kenaikan kelas telah tiba. Aku naik ke kelas sebelas. Kak Daniel berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi yang cukup bergengsi di negeri ini. Namun, hal yang paling menyenangkan adalah, aku sudah bebas dari bayang-bayang Ibu. Aku sudah tinggal di tempat kos sekarang. Bersama Elina yang kini menjadi sahabatku. Aku sama sekali tidak membayar biaya sewa untuk kos ini. Semua ditanggung Kak Daniel.Namun di balik itu semua, tentu saja hal paling menyenangkan adalah ketika aku bisa belajar mengendarai sepeda motor setiap hari, bersama Elina. Kadang bersama Kak Eugiene jika salah satu kakak kembar Kak Daniel itu ada waktu luang. Aku begitu di terima dengan hangat di lingkungan keluarga Kak Daniel. Semua orang menyayangiku. Ini luar biasa. Sungguh sesuatu yang di luar dugaanku. Di keluargaku sendiri aku ditolak, diabaikan, bahkan sering dituduh yang aneh-aneh dan dicaci-maki tanpa alasan yang jelas. Namun, lihatlah di keluarga orang lain justru aku begitu diterima dan d
Minggu pagi aku sudah siap-siap. Aku menjadi lebih rajin setelah mengenal dunia luar lewat Elina dan Kak Daniel. Entahlah, selama ini aku merasa seperti di penjara. Hidup dengan begitu banyak aturan yang diberikan oleh orang tuaku. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak mampu memenuhi kebutuhanku. Aku merasa, aku sudah cukup banyak mengalah untuk orang tuaku selama ini.Sejak dini hari aku sudah merapikan kamarku. Lalu membersihkan seisi rumah tanpa harus menunggu perintah Ibu. Wanita yang telah melahirkanku itu enam belas tahun lalu itu tengah memasak untuk sarapan kami. Kak Abel telah resmi menikah satu bulan lalu. Sekarang kakakku satu-satunya itu tinggal bersama suaminya dan mungkin akan jarang pulang lagi ke sini. Aku tak tahu, aku tidak terlalu dekat dengannya. Mungkin waktu aku kecil aku merasa begitu dekat hanya karena sering diizinkan tidur menginap di kamarnya. Namun, baru aku sadari sekarang bahwa kakakku itu sebenarnya tidak terlalu peduli juga padaku. Hal ini terlihat set
Semenjak bekerja bersama Elina, sedikit demi sedikit kesadaranku mulai terbuka. Kemurunganku perlahan hilang dan aku bisa tersenyum kembali. Bulan ketiga aku bekerja di sana, aku mulai mengenal keluarga inti Kak Daniel. Tak hanya ibunya, tapi juga ayahnya, kedua kakak kembarnya, serta kedua kakak laki-lakinya. Aku selalu merasa lebih baik saat bersama mereka dibanding saat bersama keluargaku sendiri. Mereka seperti rumah yang selama ini kucari, dan aku belajar banyak hal dari mereka.Kak Daniel telah diterima di sebuah kampus ternama di negeri ini melalui jalur undangan. Aku ikut senang mendengarnya. Juga ikut termotivasi untuk bisa sepertinya. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku takjub dengan keluarga ini. Kami berbeda agama tapi mereka sangat menghormatiku. Mereka selalu memperhatikan apa yang kumakan, mereka senantiasa mengingatkanku untuk salat lima waktu ketika azan berkumandang. Mereka juga menghormatiku ketika aku berpuasa. Semua orang di sini tulus dan ramah, jauh berbeda d
Setelah beberapa hari membujuk, bahkan sampai membawa Elina datang ke rumahku. Dengan berat hati, akhirnya Ibu pun mengizinkan aku bekerja di resto milik ibunya Kak Daniel bersama Elina. Aku memberitahukan segala tentang resto itu pada Ibu untuk meyakinkannya. Aku akan baik-baik saja, Elina juga anak baik-baik bukan seperti yang selama ini selalu Ibu tuduhkan padaku.“Jangan menghakimi orang tuamu, Nay.” Suatu hari gadis itu memberi nasihat ketika kami selesai bekerja seharian.Jam kerjaku adalah sejak pulang sekolah hingga pukul tujuh malam. Ibu memintaku untuk pulang pergi ke rumah dan tidak boleh menginap di mana pun. Meski jarak rumahku ke sini adalah sekitar tiga puluh lima menit perjalanan. Ibu masih paranoid, takut jika aku melakukan hal-hal yang melanggar norma. Andai saja Ibu tahu tentang perbuatan Kak Abel, apa Ibu akan marah pada Kak Abel? Mengingat selama ini wanita yang menjadi ratu di rumahku itu selalu memperlakukan Kak Abel dengan baik, berbeda denganku. “Tapi mereka
Aku sampai di rumah lebih dulu dari Ibu. Sepertinya orang tuaku masih mampir dulu entah ke mana. Karena nyatanya mereka baru sampai dua jam kemudian setelahku.“Kenapa juga si Abel kepengen buru-buru nikah? Tahu orang tuanya lagi repot banyak hutang.” Ayah mengeluh sambil melepas sepatunya.Aku menyerahkan segelas air putih untuk Ayah pada Ibu. Sudah seperti peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa jika Ayah pulang, kami harus membawakannya segelas air minum. Entah itu oleh Ibu, atau pun kakak-kakakku. Setelah memberikan air putih, segera aku kembali menepi menuju kamarku. Menutup pintu, kemudian hanya mendengarkan dari dalam sini. Sejak peristiwa ayah memukuliku bertahun-tahun lalu, jujur aku malas berdekatan dengan Ayah. Energi Ayah membuatku tak nyaman, seperti ada aura gelap di sana. Atau mungkin, aku hanya trauma? Aku tak tahu pasti. Namun, aku enggan berdekatan dengan Ayah.“Ya, mau gimana lagi. Toh si Abel juga sudah cukup usianya untuk menikah. Nikahin aja, dari pada na
Kak Daniel hanya tersenyum melihat tingkah aneh kami berdua. Elina yang begitu ekspresif dipadukan denganku yang amat pendiam. Beberapa karyawan resto yang ada di sana seketika melirik ke arah kami. Kurasakan pipiku mulai memanas, ingin rasanya berlari sembunyi, tapi tak mungkin. Ingin menggenggam tangan Kak Daniel lalu menyembunyikan kepalaku di bahunya, ah itu jauh lebih tak mungkin! Jadi, di sinilah aku. Hanya bisa diam mematung menyaksikan tatapan orang-orang yang memperhatikanku. Apa ini panic attack? Oh, tidak! Apa waktu kata Kak Hana?“Udah! Jangan tegang! Ngobrol sana sama Elina! Aku mau ke Mama dulu!” Kak Daniel berpesan seraya menepuk bahuku. Kemudian lelaki itu berlalu memasuki sebuah pintu yang tertutup.Apa? Mama? Apa restoran ini milik ibunya? Atau ibunya bekerja di sini?“Cari tempat, yuk!” Belum selesai aku melakukan konfigurasi terhadap kebingunganku, Elina sudah menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya.Wanita berambut panjang hitam lurus itu mengajakku ke halaman
Aku memasukkan seluruh alat tulisku ke dalam tas. Hari ini sekolah berakhir lebih cepat dari biasanya. Ada rapat para guru. Anak kelas dua belas sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Pantas, sudah beberapa waktu berlalu Kak Daniel tidak lagi mencariku. Aku masih sering masih sering melihatnya wara-wiri di sekitar sekolah, tapi tampaknya ia cukup sibuk. Sesekali, aku mendapati ada coklat dan makanan lain telah tersedia di kolong meja tempat belajarku ketika aku datang pagi-pagi. Aku tak tahu siapa yang menaruhnya di sana. Namun, firasatku mengatakan itu ulah Kak Daniel. Entah bagaimana caranya tapi aku merasa seolah pikiranku bisa terhubung dengan kakak kelasku itu. Setiap kali aku memikirkan suatu makanan pasti keesokan harinya makanan itu akan tersedia di mejaku. Bukan hanya itu, kemarin malam aku memikirkan tentang masa depanku. Maksudku, setelah aku selesai membaca diari Kak Yumna, aku mulai memikirkan masa depanku. Tentang apa yang harus aku lakukan di masa depan, jika ak
Pov DanielDi sepanjang jalan, Nayara menceritakan tentang keluarganya yang sedang terkena musibah. Di sana aku baru tahu jika kakaknya meninggal beberapa hari yang lalu, dan hari ini jenazahnya akan dimakamkan di kampungnya. Gadis itu gelisah karena seharusnya sekarang dia sudah ada di rumahnya. Namun, ia memilih berangkat sekolah perkara ada suatu sebab yang ia tak mau menjelaskannya. Entah, aku tak ingin memaksanya. Aku menghargai privasinya.Aku merasa gadis ini menanggung beban perasaan yang cukup berat. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalunya, Nayara hanya menceritakan bahwa ia tidak dekat dengan keluarganya, sama sekali. Apalagi dengan ibunya. Maksudku, aku bukan ahli psikologi keluarga, tapi sebagai sesama anak bungsu, nasib kami begitu jauh berbeda.Jika aku begitu dekat dengan keluargaku, dengan ayah, ibu juga kakak-kakakku, maka berbeda halnya dengan gadis itu. Kulihat ia pun bukan seorang yang ekstrover yang senang bergaul, bagaimana jika ia tidak diterima di rumah
Pov DanielBel berbunyi. Jam istirahat yang sedari tadi kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Segera aku turun menuju tempat di mana aku memarkir sepeda motor pertama yang kubeli menggunakan uang hasil kerja kerasku sendiri. Meski orang tuaku berkecukupan, aku sudah bekerja mencari uang sendiri sejak kelas empat SD. Ayahku mengelola sebuah toko elektronik yang cukup besar di kotaku, yang merupakan warisan orang tuanya. Penghasilan ayahku sebenarnya cukup untuk kami sekeluarga, tapi ayah mendidik kami agar kami tidak terlalu bergantung pada orang lain, termasuk orang tua. Ayah juga mengizinkan Ibu untuk mengelola restoran milik keluarganya, ketika kakek–nenekku dari ibu memutuskan pensiun. Ayah sama sekali tidak merasa tersaingi ketika melihat Ibu bekerja, sebaliknya ayah justru bangga dan percaya, karena kelak jika ia sudah tak ada di dunia maka ibulah yang akan bertanggung jawab untuk mengambil alih semua pekerjaan ayah.Ibuku mengelola sebuah restoran warisan keluarganya. Kadang aku