“Nay, Nay, Naya ... itu bukannya ayah kamu, ya?” Lusi menunjuk ke arah sebuah Swalayan yang berada di seberang jalan raya.
“Mana? Mana?” Tanya teman-temanku yang lain.“Eh, iya kayaknya itu ayahmu deh, Nay!” Farah memastikan, ia menyipitkan indra penglihatannya yang terlindungi oleh sepasang kaca mata minus.Aku berjalan membelah kerumunan teman-temanku. Di sana, mungkin sekitar seratus meter di seberang jalan raya, tampak seorang lelaki dewasa menggunakan setelan jaket hitam dan celana jin biru tua berjalan menuju sebuah sepeda motor yang amat kukenali karena sering terparkir di halaman belakang rumahku. Seorang anak lelaki berjalan mengikuti di belakangnya. Anak itu tampak sedang memakan sebuah es krim dengan lahapnya.“Ayaaah ...!” Aku berlari sambil berteriak memanggil ayahku.“NAYA! AWAS MOBIL!” Seru teman-temanku.Sepasang tangan dengan sigap mendekap erat tubuhku seraya menarikku ke belakang ketika aku hampir berlari melintasi jalan raya yang dipenuhi lalu lalang kendaraan.Itu Kak Faruq, kakaknya Farah yang tahun ini baru akan masuk sekolah menengah pertama. Berbeda dengan Kak Abel yang lebih senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Kak Faruq justru selalu terlihat bermain bersama adiknya. Kemana pun adiknya pergi, ia selalu di sana menjaganya. Ia pun selalu menjadi pemimpin di tengah kelompok kami jika kami bermain bersama.Kulihat ayah memasangkan sebuah helm pada kepala anak lelaki yang mengikutinya. Lalu mengangkat tubuhnya ke jok belakang sepeda motornya. Sepintas anak lelaki itu terlihat seperti Galang. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin ikut naik motor bersama ayah. Aku ingin tahu bagaimana rasanya dibonceng ayah. Aku ingin tahu bagaimana serunya jalan-jalan keliling kota pakai motor seperti yang selalu diceritakan beberapa teman kelasku.Ayah memang memiliki sepeda motor yang selalu di simpannya di halaman belakang rumah kami. Barang antik, katanya. Hanya sesekali ia menggunakannya untuk bepergian dengan ibu atau jika ada acara mendadak dari kantornya atau mengantarkan Kak Abel jika ada keperluan mendesak. Namun sekali pun, ayah tidak pernah mengajakku naik ke motornya.Tanpa menoleh sedikit pun, ayah lanjut mengemudikan sepeda motornya ke jalan raya, menjauh dari kami. Entah, mungkin teriakanku tidak terdengar olehnya atau mungkin tersamar oleh ramainya suara kendaraan. Sejenak, anak lelaki di belakangnya menoleh, lalu mengacungkan jari tengahnya ke arah kami seraya tersenyum mengejek.“Itu kan si Galang!” celetuk Dinda.“Ngapain si Galang naik motor sama papanya Naya?” tanya temanku yang lain.“Eh, Nay, kudengar dari mamakku, katanya papamu selingkuh ya sama Tante Rahma?” tanya Irfan, anaknya Bu Ratih.“Hush! Udah, udah! Jangan bahas masalah orang dewasa!” Kak Faruq coba menengahi.Selingkuh? Sebenarnya apa itu? Aku sering mendengar pertanyaan serupa dilayangkan oleh Ibu pada Ayah ketika mereka bertengkar. Tapi aku sendiri tak mengerti tentang apa yang mereka ributkan.“Mamakmu itu memang tukang gosip, Irfan! Jangan dipercaya! Galang itu anak yatim. Dan inget kata Pak Ustadz? Menyenangkan anak yatim itu pahalanya besssaar sekali.” Kak Faruq coba membela ayahku.“Mending sekarang kita jajan aja yuk! Tuh, banyak yang jualan di depan!” Kak Faruq mengalihkan pembicaraan.Ini adalah hari Minggu kedua dari libur panjang kenaikan kelas. Aku jadi kelas dua sekarang. Peringkatku di kelas naik satu angka, jadi ke-9. Namun Ayah dan Ibu tampak kurang antusias dengan hasil rapotku, tapi kemurungan mereka cukup terobati dengan kabar diterimanya Kak Abel di salah satu sekolah favorit di Ibu Kota dengan beasiswa penuh.Iya, Kak Abel jadi pindah ke Ibu Kota. Tinggal bersama Kak Yumna yang memang sudah bekerja di sana sejak tiga tahun yang lalu. Kak Yumna tidak berminat kuliah karena tidak ingin membebani Ayah dan Ibu, itu yang selalu disampaikan ibuku saat membanggakan anak pertamanya. Lulus dari SMA dengan nilai tinggi, juga segenap prestasi lain yang telah diraih Kak Yumna, membuat mudah pihak sekolah untuk merekomendasikannya ke berbagai perusahaan besar.Sesampainya di rumah, aku segera berlari ke halaman belakang untuk memastikan. Benar. Sepeda motor ayah tidak ada di tempatnya biasa terparkir. Kulayangkan pandangan ke seisi rumah, tak kutemukan ibu di mana pun. Pintu kamar Kak Abel terbuka. Harum aroma parfum yang lembut seketika tercium oleh hidungku. Kak Abel keluar dengan pakaian rapi, sebuah tas ransel ia gendong dengan satu bahunya. Sehelai jaket tampak ia sampirkan di tangan kanannya. Kakakku itu memang selalu tampil anggun.“Kak, Ibu mana?” tanyaku.“Ke warung.” Kak Abel menjawab singkat seraya berjalan menuju tempat sepatu. Aku mengikutinya.“Kakak mau ke mana?” tanyaku.“Rumah temen.” Jawabnya.“Aku ikut, ya?” Aku memohon.Kak Abel sejenak menghentikan aktivitasnya memakai sepatu. Ia tampak memutar bola matanya, lalu menghembuskan napas kasar.“Kau baru pulang bermain Naya. Kau belum mandi, belum dandan, belum makan. Aku tak punya banyak waktu untuk menunggumu.” Tolak Kakakku.Aku merengut. Benar juga apa kata kakakku.“Kak, Ayah ke mana sih?” Aku kembali bertanya sebelum kakakku itu benar-benar selesai memakai sepatunya.“Keluar. Ada rapat partai katanya.” Kak Abel selesai memasang sepatunya. Lalu memakai jaketnya.“Masa? Tadi di jalan aku lihat ayah ngebonceng Galang pakai motor.” Sangkalku.Kak Abel tiba-tiba terdiam, bola matanya membulat sempurna.“Kau yakin?” Kakakku bertanya setengah berbisik.Aku mengangguk.“Tadi aku coba panggil Ayah, tapi sepertinya ayah gak dengar,” sambungku.Kak Abel merunduk, mensejajarkan pandangannya denganku. Tangannya mencengkram kedua bahuku. Ia menatap tajam mataku kemudian berbisik, “sssstttt! Jangan bilang-bilang soal ini ke Ibu!”“Janji?” Kakakku memberikan jari kelingkingnya untuk kusambut.Aku menyanggupinya, berjanji padanya untuk tidak mengatakan soal Ayah yang membonceng Galang kepada Ibu.Selepas kepergian Kak Abel, aku segera membersihkan tubuhku. Harum aroma sabun sedikit menenangkan pikiranku.“Nay!”“Naya?!”“Di mana kamu?”Suara Ibu terdengar memanggil. Mungkin baru pulang dari warung.“Apa? Aku lagi ganti baju, Bu.” Teriakku.“Cepat sini!”Aku segera menyelesaikan aktivitas berpakaianku, kemudian berjalan memenuhi panggilan Ibu.“Kenapa, Bu?” Kulihat raut wajah gelisah ibu ketika ia sedang memetik sayur kangkung satu-persatu.“Eh, kau tak ada yang luka?” Ibu membolak-balikan badanku memeriksa.“Engga. Kenapa, Bu?”“Kata Irfan kau tadi hampir ketabrak mobil?”Aku sedikit kaget mendengar kata-kata Ibu. Ah, dasar si Irfan! Ibu dan anak sama saja! Sama-sama biang gosip! Padahal tadi di jalan sebelum pulang, Kak Faruq sudah meminta kami merahasiakan semuanya, ia takut aku akan diamuk lagi oleh Ibu jika ibuku sampai tahu aku mencoba menyebrang jalan sembarangan. Kak Faruq tahu jika aku sering dipukuli oleh ibuku, begitu pun anak-anak lainnya, tapi mereka menganggap itu adalah hal yang biasa dilakukan orang tua kepada anaknya. Kecuali orang tuanya Kak Faruq mungkin, setahuku Bu Farida adalah orang yang lemah lembut pada anak-anaknya, andai Ibu mau dekat dengan Bu Farida. Sayang, ibuku lebih senang bergaul dengan para tukang gosip.“Enggak kok, Bu. Tadi memang ada mobil yang jalannya ugal-ugalan terus hampir nabrak ke Naya.” Aku coba mengarang cerita.“Jangan bohong kamu! Kecil-kecil sudah belajar bohong!” bentak ibu.Aku hanya bisa menunduk menggigit bibir. Bersiap menerima kemarahan dari Ibu.“Duduk sini!” Di luar dugaanku, Ibu malah menepuk lantai kosong di depan baskom berisi sayur kangkung yang sudah dipetik.Aku menurutinya. Segera duduk bersimpuh di tempat yang ditunjuk Ibu.“Heh, kau tadi lihat ayahmu ngebonceng si Galang kan?” Ibu bertanya dengan nada berbisik.Aku kembali tercengang mendengar pertanyaan Ibu. Ah, pasti ulah si biang gosip junior itu lagi. Padahal aku sudah berjanji pada Kak Abel untuk tidak membahas soal itu kepada ibu.“Ke...ke...kenapa, Bu?” Tanyaku terbata-bata. Aku mencoba memastikan pendengaranku.“Kau tadi lihat ayahmu ngebonceng si Galang?” Ibu kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang pelan tidak berbisik seperti sebelumnya. Namun suara itu terdengar datar, tidak seperti orang bertanya. Tangannya berhenti memetiki kangkung. Kulirik sekilas, matanya pun menatap ke arah lain dengan raut wajah yang hampa.“I...iya, Bu.” Aku coba menjawab pertanyaan ibu walau dengan nada ragu, jujur aku takut ibu marah.Lama tak terdengar lagi kata-kata dari mulut ibu. Perlahan aku mengambil sebatang demi sebatang kangkung lalu mulai ikut memetikinya sambil menunggu ibu kembali bicara.“Nay, kalau ayah dan ibu berpisah, dan ibu pulang ke pulau seberang, kau mau ikut siapa?” Akhirnya ibu kembali bicara, tapi tatapan matanya masih kosong.Kakakku sering bercerita bahwa Ibu berasal dari pulau seberang yang jauh sekali dari rumah kami yang sekarang. Katanya, untuk sampai ke sana, kita harus menaiki
Makan malam berjalan dengan suasana dingin. Bukan karena udaranya, tapi lebih karena ibu yang biasanya bawel sekarang tiba-tiba diam. Enggan berbicara sepatah kata pun sejak pulang dari rumah Farah.Aku tadi tak sempat mengajak Ibu ke belakang seperti yang disuruh oleh Bu Mega. Kulihat saat itu Ayah sudah menghentikan laju motornya ketika tampak keramaian di rumah Bu Farida. Tante Rahma dan Galang yang ikut di Ayah seketika turun. Bu Farida menyambutnya dengan ramah, mereka berbincang sejenak kemudian Ayah tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah keramaian lalu kembali melajukan sepeda motornya menuju rumah kami, meninggalkan Tante Rahma bersama Galang di sini.Kulihat Tante Rahma bersalam-salaman dengan ibu-ibu lainnya, termasuk ibuku. Kemudian ia dan anaknya ikut bergabung bersama para tamu undangan lainnya.“Ih, dasar si Rasti! Kenapa gak dijambak aja tu si Rahma?!” Bu Mega yang masih duduk di sebelahku ikut menyaksikan dengan pandangan yang gereget.“Iya, masa lihat suaminya bo
Di sekolah, rumor tentang ayahku yang ‘doyan cewek’ telah beredar luas. Entah siapa yang menyebarkannya. Belum lagi tentang berita bahwa aku disiksa oleh ibuku. Ibu memang tidak marah di depan teman-temanku. Malah dengan lembut Ibu membagi rambutan-rambutan di dalam baskom besar itu ke dalam keresek-keresek kecil lalu menyerahkannya pada anak-anak sekalian untuk dibagikan pada tetangga-tetangga yang lain.Baru setelah teman-temanku pergi, Ibu mulai menghajarku seperti biasa. Menyalahkanku mengapa aku membiarkan teman-temanku melihat album foto itu. Entah, mungkin ada anak yang kembali lewat di depan rumahku lalu mendengar sumpah serapah dan makian Ibu saat wanita itu melampiaskan emosinya padaku.Beberapa ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sempat menanyaiku, namun aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku tahu mereka bertanya hanya untuk sekedar mencari berita, bukan benar-benar peduli padaku. Sekarang tidak ada lagi Farah, atau kak Faruq atau bahkan Bu Farida yang bias
Ayah berhasil meyakinkan Ibu bahwa ia akan bertemu dengan Kepala Cabang. Tentang perempuan yang menelepon tadi, Ayah bilang itu istrinya Pak Kepala. Namun Ayah menolak saat Ibu menyatakan keinginannya untuk ikut.“Halah... lain kali aja! Aku sudah telat ini!” Ayah tampak tergesa.“Kenapa kau gak bilang dari kemarin kalau Pak Kepala mau ngajak istrinya? Aku juga kan pingin ikut...,” protes Ibu.“Lah, dia gak bilang kemarin mau ngajak istrinya. Udahlah aku sudah telat!” Ayah berpamitan dan segera berangkat dengan sepeda motor antiknya. Menyisakan ibu dengan wajahnya yang masih merengut.Tak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil-manggil nama Ibu dari luar. Rupanya itu Bu Ratih.“Bu Rasti, ini saya ketitipan uang kembalian dari Bu Haji.” Bu Ratih menyerahkan beberapa lembar uang pada Ibu.“Oh iya, aduuh makasih Bu Ratih, maaf jadi ngerepotin.”“Pak Darman sama si Rahma mau ke mana, Bu? Kok barusan saya lihat mereka boncengan di depan gang sana?” tanya Bu Ratih.Aku melihat wajah ib
“Tapi katanya bunuh diri itu dosa besar. Tidak akan diampuni. Dia akan disiksa di neraka dengan mengulang-ulang cara kematiannya. Tapi aku juga gak kuat, ya Allah. Aku capek. Keluargaku semua jauh. Di sini gak ada yang mendukungku, gak ada yang peduli sama aku. Aku cuma punya suamiku, tapi dia tega menyakitiku. Uhuhuhu....” Ibu menangis, ia menutupkan kedua tangan ke wajahnya.Bukan sekali ini Ibu mengucapkan ungkapan rasa putus asa itu. Cukup sering. Untunglah masih ada setitik iman di hatinya. Semoga Tuhan mengampuninya, ia bertahan hidup hanya karena tahu bunuh diri itu merupakan suatu dosa.Aku hanya bisa menduga tanpa mampu merasakan seberat apa beban batin yang ditanggung Ibu hingga ia berputus asa seperti itu. Ibu selalu tampil baik-baik saja di hadapan para tetangga dan saudara-saudara Ayah. Tak pernah sekali pun kudengar Ibu berkata kasar kepada orang-orang di luar, meski tak jarang mereka sengaja menyindir atau memanas-manasi Ibu. Semua kekecewaan, kemarahan dan kesedihan ha
Hari perayaan agustusan kembali tiba. Biasanya ada banyak perlombaan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat di desa kami.Untuk urusan mengikuti lomba, aku tak perlu ajakan dari Farah. Dengan senang hati akan kudaftarkan diriku sendiri pada panitia. Toh tidak semua lomba harus diikuti secara berkelompok, ada juga beberapa lomba yang bisa diikuti secara perorangan, jadi tidak masalah seandainya tidak ada teman yang mau satu kelompok denganku.Suasana lapangan begitu meriah. Aku datang sendiri, Kak Abel sibuk dengan sekolahnya jadi tak mungkin sempat pulang. Apalagi Kak Yumna, menurut kabar yang kudengar dari Ibu, selain bekerja di sebuah perusahaan, Kak Yumna juga membuka bimbel bagi anak-anak di sana. Ia juga terkadang membuka stand berjualan jika ada acara-acara tertentu. Jadi kakakku yang satu itu sudah jelas jarang pulang.Aku berjalan menuju meja panitia, lalu mendaftarkan diriku pada lembar peserta Lomba Balap Makan Kerupuk, Lomba Balap Karung, Lomba Balap Kelereng, Lomba
Sudah hampir dua jam berlalu dan Ibu belum sadarkan diri juga. Aku sudah menyeka semua bagian tubuhnya, membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya dan memakaikan Ibu pakaian yang bersih. Namun bau minyak tanah tetap tidak mau hilang.Ayah sempat datang beberapa saat menjelang Asar. Ia mandi, berganti pakaian dan mengambil perlengkapan ibadah seperti sajadah dan tasbih, lalu berangkat ke mesjid. Ia sempat bertanya perihal keadaan Ibu, lalu berkata bahwa jika sampai selepas magrib Ibu belum sadar juga maka ia akan membawanya ke dokter. Namun ayah sama sekali tidak bertanya soal keadaanku. Apa aku sudah makan. Apa aku sudah shalat. Setidaknya, jagakanlah ibu sebentar selama aku ke kamar mandi. Namun Ayah langsung berlalu begitu saja.Rasa lapar tak kunjung reda. Aku memutuskan pergi ke dapur sebentar untuk mengambil sepiring nasi. Namun apa yang kulihat membuatku semakin lesu. Nasi beserta lauk pauknya sudah terkumpul menjadi satu dalam sebuah wadah di dekat tempat sampah, mungkin
Tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Sampai sekarang, aku tak tahu apa yang waktu itu terjadi di rumahku ketika aku menerima hadiah lomba Perayaan Agustusan di Lapangan. Ibu tak menceritakannya padaku, aku pun enggan bertanya pada Ibu. Sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis bahwa aku tidak boleh banyak bertanya pada Ibu, apalagi pada Ayah. Menerima apa pun yang mereka berikan tanpa perlu banyak meminta apalagi mengeluh.Selentingan beredar kabar bahwa Tante Rahma akan berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Aku tak tahu benar atau tidaknya. Namun satu tahun kemudian—ketika aku naik ke kelas tiga—aku baru menyadari bahwa Galang sudah tidak bersekolah di tempat yang sama denganku lagi.Kabar kudengar dari pembicaraan ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah, bahwa Bu Haji telah mendaftarkan Tante Rahma ke penyalur TKW tempatnya dulu bekerja. Itulah mengapa dia disebut ‘Bu Haji’—karena dia pernah bekerja di sebuah negeri tempat di mana orang-orang biasa melakukan ibadah haji, so