Makan malam berjalan dengan suasana dingin. Bukan karena udaranya, tapi lebih karena ibu yang biasanya bawel sekarang tiba-tiba diam. Enggan berbicara sepatah kata pun sejak pulang dari rumah Farah.
Aku tadi tak sempat mengajak Ibu ke belakang seperti yang disuruh oleh Bu Mega. Kulihat saat itu Ayah sudah menghentikan laju motornya ketika tampak keramaian di rumah Bu Farida. Tante Rahma dan Galang yang ikut di Ayah seketika turun. Bu Farida menyambutnya dengan ramah, mereka berbincang sejenak kemudian Ayah tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah keramaian lalu kembali melajukan sepeda motornya menuju rumah kami, meninggalkan Tante Rahma bersama Galang di sini.Kulihat Tante Rahma bersalam-salaman dengan ibu-ibu lainnya, termasuk ibuku. Kemudian ia dan anaknya ikut bergabung bersama para tamu undangan lainnya.“Ih, dasar si Rasti! Kenapa gak dijambak aja tu si Rahma?!” Bu Mega yang masih duduk di sebelahku ikut menyaksikan dengan pandangan yang gereget.“Iya, masa lihat suaminya bonceng perempuan lain dia cuma senyum-senyum doang?!” sahut ibu-ibu lain yang memang satu geng dengan Bu Mega.“Udahlah, ibu-ibu. Gak baik bergosip terus.” Sela Kak Faruq.“Heh, diam kamu! Anak kecil tau apa!” balas Bu Mega.“Lha, ini rumah saya, Bu. Kalo Ibu mau menggunjing orang ya silakan, tapi jangan di rumah saya, nanti keluarga saya kebawa pula dosanya,” balas Kak Faruq, tak mau kalah.“Oh jadi kamu ngusir saya? Belagu banget kamu anak kecil! Rumah punya bapakmu juga!” sungut Bu Mega. Namun tak lama kemudian si Biang Gosip itu pergi juga dengan diseret kedua teman satu gengnya.Malam demi malam selanjutnya rumah kami selalu terasa mencekam berkat suara pertengkaran Ayah dan isak tangis Ibu. Mereka baru berbaikan ketika kak Yumna datang untuk menjemput kak Abel.Hari itu aku baru selesai salat Subuh---yang selalu saja kesiangan---ketika terdengar suara klakson di depan rumahku. Segera aku berlari ke jendela kamarku. Di sana sudah terparkir sebuah mobil MPV keluaran terbaru berwarna hitam. Dari dalamnya kak Yumna keluar bersama dengan seorang pria. Kulihat Ayah dan Ibu segera menyambut mereka. Aku merapikan peralatan ibadahku lalu keluar ikut bergabung bersama mereka.“Naya, buatin kopi dua, sama teh manis satu!”Baru saja aku sampai di pintu, ibu sudah menyuruhku.Aku berbalik menuju dapur, ternyata di sana sudah ada kak Abel yang tengah menjerang air. Kakakku itu sudah rapi. Harum aroma sampo tercium dari rambutnya yang masih tampak sedikit basah. Ia mengenakan celana jin ketat serta kemeja polos panjang yang lengannya telah ditekuk sampai sikutnya. Tangannya cekatan menyusun gelas-gelas beserta sebuah teko kecil ke atas nampan.“Jadi berangkat hari ini, kak?” tanyaku.“Iya, kamu buruan mandi. Mau ikut gak?!” titahnya.“Tapi tadi aku disuruh buat kopi sama ibu,” Ucapku keberatan. Aku takut ibu marah jika aku tak melaksanakan perintahnya.“Biar aku aja. Udah kamu mandi sana! Kamu mandinya lama.” Perintah kak Abel yang tak dapat kutolak. Segera kuambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.Kami berangkat menuju Ibu Kota satu setengah jam kemudian. Lelaki yang berada di belakang kemudi itu bernama kak Marwan. Ibu sempat menjelaskan bahwa dia adalah pacar sekaligus calon suami kak Yumna. Ibu tampak senang sekali, beberapa kali kulihat ia beranjak dari tempat duduknya ketika ada tetangga yang lewat di depan rumah kami lalu memandang heran pada mobil hitam yang terparkir di depan. Kudengar, Ibu begitu membangga-banggakan kak Marwan kepada mereka. Kata Ibu, lelaki itu adalah salah satu anak seorang pemilik perkebunan karet di sebuah pulau yang jauh di sana. Ia sedang berkuliah di Ibu Kota dan kebetulan magang di kantor yang sama tempat kakakku bekerja. Selepas kelulusannya nanti ia berjanji akan segera melamar kakakku lalu membawanya tinggal di pulau yang jauh.Aku sendiri tidak begitu menyukai calon kakak iparku itu. Entah, aku hanya tak suka padanya. Firasatku berkata ia bukan laki-laki baik, meski nyatanya ia memperlakukan kami semua dengan sangat baik. Bahkan bersedia mengantar kami pulang kembali ke rumah seusai menjemput Kak Abel. Menurutku, ada hal ganjil tentang kak Marwan, yang belum bisa kupastikan itu apa.Libur kenaikan kelas usai. Hari ini aku akan memulai kegiatan belajar pertamaku di kelas dua. Kakak beradik Farah dan Faruq sudah berangkat sejak beberapa hari sebelumnya. Mereka memberiku sebuah gelang dengan simbol huruf ‘FF●NAYARA’ sebagai kenang-kenangan, katanya kakak beradik itu membuatnya sendiri untuk semua teman-teman yang ada di sini sesuai dengan nama mereka masing-masing.Mulai hari ini aku akan berangkat sendiri ke sekolah, tanpa diantar Ibu. Bukan. Bukan karena tahun ini Galang mulai bersekolah, tapi karena memang peraturan dari sekolahku sendiri agar anak kelas dua sudah tidak perlu diantar dan ditunggui lagi. Aku lega dengan hal itu. Jujur berada dekat Ibu selalu membuatku merasa tertekan.Kelas berakhir cepat, karena memang hari pertama belum terlalu fokus belajar. Guru-guru lebih fokus pada perkenalan sekolah bagi siswa-siswi dan orang tua murid yang baru memasukkan anak mereka ke sana. Beberapa teman lelaki mengusulkan untuk bermain ke rumahku. Mereka gemas ingin memanjat pohon rambutan di depan rumahku yang buahnya sering kali berjatuhan ke jalan umum. Usul itu disetujui oleh anak-anak perempuan juga.Aku keberatan, jujur aku takut ibuku marah.“Gak bakalan! Tenang aja! Biar nanti aku yang minta izin ke ibumu,” sergah Agus. Aku pasrah saja. Toh banyak anak ikut bergabung.Pukul setengah sembilan kami semua sampai di rumahku. Kuhitung, total ada sembilan anak yang ikut, sepuluh denganku. Enam laki-laki dan empat perempuan. Rumahku mendadak ramai. Agus menunaikan janjinya untuk meminta izin pada ibuku. Ibu menyediakan satu baskom besar untuk menampung rambutan sebagai tanda izinnya, kemudian beliau pamit akan pergi ke warung.Kami semua bersenang-senang. Apalagi ketika melihat Danu loncat dari pohon lalu seperti orang kesurupan dia segera membuka bajunya. Rupanya ada dua ekor semut rang-rang yang menggigit bagian punggungnya.“Yah cuma semut doang! Pohon rambutan di rumahku malah ada odengnya.” Riko berseloroh santai, ia masih tenang duduk di salah satu dahan pohon sembari mengupas buah rambutan yang ia petik langsung. Odeng adalah serangga sejenis tawon.Selesai memanen semua buah, mereka semua kini berkumpul di bawah. Baskom besar yang disediakan Ibu penuh sesak. Sisanya kami kumpulkan saja menjadi satu gundukan di tanah lalu kami makan bersama.“Nay, aku ikut kipasan ya di dalem. Panas ni!” pinta Agus.“Iya, buatin kita minum juga lah Nay. Haus,” sambung Riko.Aku mengiyakan lalu mengajak mereka semua masuk ke ruang tamuku yang di plafonnya terdapat kipas angin baling-baling.“Nay, ini buku apaan?” Dinda bertanya sambil tangannya mengambil sebuah album foto dari bawah meja.Malam tadi memang kulihat ayah menempel foto-foto kami waktu mengantar kak Abel ke Ibu Kota. Mungkin Ibu belum sempat mengembalikannya ke tempat semula.“Oh, itu album foto,” jawabku.“Boleh lihat?” tanya Dinda.Aku mengiyakan sambil berlalu ke dapur untuk mengambil seteko air dan beberapa buah gelas kosong.“Nay, kok kebanyakan isinya foto-foto bapakmu sih?” tanya Riko geli.“Iya, aneh. Padahal biasanya album foto keluarga itu isinya foto anak-anak pas waktu bayi.” terang Danu.“Iya sama. Album foto di rumahku juga isinya foto-fotoku sama kakak pas waktu kecil,” sambung Nana.“Itu juga ada kok fotoku sama kak Abel dan kak Yumna pas mereka kecil,” sanggahku.“Iya, tapi cuma dikit. Masih banyakan foto bapakmu,” ucap Riko diiringi tawa.“Nay, perasaan banyak banget foto bapakmu sama cewek?” Agus ikut bertanya sambil tertawa geli, tangannya membolak-balikkan lembar demi lembar di buku album itu.“Ih, bapakmu doyan cewek ya Nay?! Kok kayak seneng banget gini mukanya.” Riko kembali berujar sembari memperlihatkan foto ayahku yang ditemukannya pada teman-teman yang lain.Aku menunduk malu. Kurasakan wajahku memanas dan kelenjar air mataku mulai bereaksi. Aku ingin marah dan merebut album foto itu lalu mengusir mereka semua, tapi kemudian Ibu datang.Di sekolah, rumor tentang ayahku yang ‘doyan cewek’ telah beredar luas. Entah siapa yang menyebarkannya. Belum lagi tentang berita bahwa aku disiksa oleh ibuku. Ibu memang tidak marah di depan teman-temanku. Malah dengan lembut Ibu membagi rambutan-rambutan di dalam baskom besar itu ke dalam keresek-keresek kecil lalu menyerahkannya pada anak-anak sekalian untuk dibagikan pada tetangga-tetangga yang lain.Baru setelah teman-temanku pergi, Ibu mulai menghajarku seperti biasa. Menyalahkanku mengapa aku membiarkan teman-temanku melihat album foto itu. Entah, mungkin ada anak yang kembali lewat di depan rumahku lalu mendengar sumpah serapah dan makian Ibu saat wanita itu melampiaskan emosinya padaku.Beberapa ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sempat menanyaiku, namun aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku tahu mereka bertanya hanya untuk sekedar mencari berita, bukan benar-benar peduli padaku. Sekarang tidak ada lagi Farah, atau kak Faruq atau bahkan Bu Farida yang bias
Ayah berhasil meyakinkan Ibu bahwa ia akan bertemu dengan Kepala Cabang. Tentang perempuan yang menelepon tadi, Ayah bilang itu istrinya Pak Kepala. Namun Ayah menolak saat Ibu menyatakan keinginannya untuk ikut.“Halah... lain kali aja! Aku sudah telat ini!” Ayah tampak tergesa.“Kenapa kau gak bilang dari kemarin kalau Pak Kepala mau ngajak istrinya? Aku juga kan pingin ikut...,” protes Ibu.“Lah, dia gak bilang kemarin mau ngajak istrinya. Udahlah aku sudah telat!” Ayah berpamitan dan segera berangkat dengan sepeda motor antiknya. Menyisakan ibu dengan wajahnya yang masih merengut.Tak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil-manggil nama Ibu dari luar. Rupanya itu Bu Ratih.“Bu Rasti, ini saya ketitipan uang kembalian dari Bu Haji.” Bu Ratih menyerahkan beberapa lembar uang pada Ibu.“Oh iya, aduuh makasih Bu Ratih, maaf jadi ngerepotin.”“Pak Darman sama si Rahma mau ke mana, Bu? Kok barusan saya lihat mereka boncengan di depan gang sana?” tanya Bu Ratih.Aku melihat wajah ib
“Tapi katanya bunuh diri itu dosa besar. Tidak akan diampuni. Dia akan disiksa di neraka dengan mengulang-ulang cara kematiannya. Tapi aku juga gak kuat, ya Allah. Aku capek. Keluargaku semua jauh. Di sini gak ada yang mendukungku, gak ada yang peduli sama aku. Aku cuma punya suamiku, tapi dia tega menyakitiku. Uhuhuhu....” Ibu menangis, ia menutupkan kedua tangan ke wajahnya.Bukan sekali ini Ibu mengucapkan ungkapan rasa putus asa itu. Cukup sering. Untunglah masih ada setitik iman di hatinya. Semoga Tuhan mengampuninya, ia bertahan hidup hanya karena tahu bunuh diri itu merupakan suatu dosa.Aku hanya bisa menduga tanpa mampu merasakan seberat apa beban batin yang ditanggung Ibu hingga ia berputus asa seperti itu. Ibu selalu tampil baik-baik saja di hadapan para tetangga dan saudara-saudara Ayah. Tak pernah sekali pun kudengar Ibu berkata kasar kepada orang-orang di luar, meski tak jarang mereka sengaja menyindir atau memanas-manasi Ibu. Semua kekecewaan, kemarahan dan kesedihan ha
Hari perayaan agustusan kembali tiba. Biasanya ada banyak perlombaan yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat di desa kami.Untuk urusan mengikuti lomba, aku tak perlu ajakan dari Farah. Dengan senang hati akan kudaftarkan diriku sendiri pada panitia. Toh tidak semua lomba harus diikuti secara berkelompok, ada juga beberapa lomba yang bisa diikuti secara perorangan, jadi tidak masalah seandainya tidak ada teman yang mau satu kelompok denganku.Suasana lapangan begitu meriah. Aku datang sendiri, Kak Abel sibuk dengan sekolahnya jadi tak mungkin sempat pulang. Apalagi Kak Yumna, menurut kabar yang kudengar dari Ibu, selain bekerja di sebuah perusahaan, Kak Yumna juga membuka bimbel bagi anak-anak di sana. Ia juga terkadang membuka stand berjualan jika ada acara-acara tertentu. Jadi kakakku yang satu itu sudah jelas jarang pulang.Aku berjalan menuju meja panitia, lalu mendaftarkan diriku pada lembar peserta Lomba Balap Makan Kerupuk, Lomba Balap Karung, Lomba Balap Kelereng, Lomba
Sudah hampir dua jam berlalu dan Ibu belum sadarkan diri juga. Aku sudah menyeka semua bagian tubuhnya, membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya dan memakaikan Ibu pakaian yang bersih. Namun bau minyak tanah tetap tidak mau hilang.Ayah sempat datang beberapa saat menjelang Asar. Ia mandi, berganti pakaian dan mengambil perlengkapan ibadah seperti sajadah dan tasbih, lalu berangkat ke mesjid. Ia sempat bertanya perihal keadaan Ibu, lalu berkata bahwa jika sampai selepas magrib Ibu belum sadar juga maka ia akan membawanya ke dokter. Namun ayah sama sekali tidak bertanya soal keadaanku. Apa aku sudah makan. Apa aku sudah shalat. Setidaknya, jagakanlah ibu sebentar selama aku ke kamar mandi. Namun Ayah langsung berlalu begitu saja.Rasa lapar tak kunjung reda. Aku memutuskan pergi ke dapur sebentar untuk mengambil sepiring nasi. Namun apa yang kulihat membuatku semakin lesu. Nasi beserta lauk pauknya sudah terkumpul menjadi satu dalam sebuah wadah di dekat tempat sampah, mungkin
Tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Sampai sekarang, aku tak tahu apa yang waktu itu terjadi di rumahku ketika aku menerima hadiah lomba Perayaan Agustusan di Lapangan. Ibu tak menceritakannya padaku, aku pun enggan bertanya pada Ibu. Sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis bahwa aku tidak boleh banyak bertanya pada Ibu, apalagi pada Ayah. Menerima apa pun yang mereka berikan tanpa perlu banyak meminta apalagi mengeluh.Selentingan beredar kabar bahwa Tante Rahma akan berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Aku tak tahu benar atau tidaknya. Namun satu tahun kemudian—ketika aku naik ke kelas tiga—aku baru menyadari bahwa Galang sudah tidak bersekolah di tempat yang sama denganku lagi.Kabar kudengar dari pembicaraan ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah, bahwa Bu Haji telah mendaftarkan Tante Rahma ke penyalur TKW tempatnya dulu bekerja. Itulah mengapa dia disebut ‘Bu Haji’—karena dia pernah bekerja di sebuah negeri tempat di mana orang-orang biasa melakukan ibadah haji, so
Aku terhenyak ketika—di sore hari yang tenang—telingaku harus menangkap suara klakson mobil di depan rumah. Aku menyibak gorden jendela kamarku dan mendapati dua orang lelaki tengah berusaha menurunkan sebuah sepeda motor baru dari atas mobil bak terbuka. Aku beranjak keluar dari kamar dan menemukan Ibu tengah duduk di ruang tamu dengan wajah masam.“Ayah jadi beli motor baru?” tanyaku.“Iya. Bukan beli. Tapi kredit,” jawab Ibu ketus.Kuharap Ayah membeli sepeda motor matic, agar sekalian bisa kupakai belajar. Teman-teman seusiaku memang rata-rata sedang belajar mengemudi sepeda motor. Terlepas dari fakta aku yang tidak bisa mengendarai sepeda biasa, katanya motor matic lebih mudah untuk dikuasai dibandingkan motor manual yang harus memindah-mindahkan persneling.Aku berjalan keluar, ingin ikut melihat seperti apa sepeda motor yang dibeli Ayah. Aku sudah sangat yakin bahwa Ayah pasti membeli motor matic, selain karena sekarang memang sedang musim-musimnya model sepeda motor seperti it
Entah Ibu dapat info dari mana bahwa Ayah sempat jalan-jalan bersama Galang dengan sepeda motor barunya. Tapi menurutku wanita memang pandai sekali dalam mencari tahu tentang segala hal yang berhubungan dengan orang-orang yang dicintainya.“Ayahmu itu keterlaluan banget! Masa aku yang sudah susah ngirit-ngirit demi cicilan motornya dia, eh dia malah enak-enakan jalan-jalan sama anaknya si janda sialan itu! Keterlaluan!”Suatu pagi Ibu meluahkan isi hatinya pada Kak Abel ketika kami sedang memasak bersama. Tidak seperti Kak Yumna dulu yang bekerja di Ibu Kota, kakak keduaku itu memilih bekerja di sebuah perusahaan besar di kota kami. Sehingga ia bisa leluasa pulang ke rumah tiap dua minggu sekali.Ini yang aku suka. Setiap kali Kak Abel pulang, Ibu selalu bercerita perihal isi hatinya. Kak Abel bisa bersikap lebih baik dalam menanggapi cerita Ibu dibandingkan dengan aku. Jika Kak Abel berbicara, pasti Ibu mau mendengarkan. Berbeda jauh denganku, apabila aku yang bicara menanggapi cerit