Bethany terdiam mematung setelah Alex meninggalkannya. Bethany mencoba untuk mengabaikan perkataan Alex.
Bethany mulai duduk dan melihat mejanya sangat berantakan, sepertinya orang-orang mengira tempat ini sudah tidak bertuan dan menjadikannya gudang tempat pembuangan dokumen yang sudah tidak terpakai.
Bethany kembali mengingat ucapan Nancy di lobby tadi, ‘Jadi, Bella mengajukan cuti, bukan menghilang?’
Tiba-tiba, Bethany makin tidak mengerti apa yang menimpa kembarannya tersebut. Belum sempat Bethany menyalakan laptopnya, seseorang mendatanginya dan memberikan setumpuk dokumen dengan wajah yang terlihat sangat jengkel.
“Akhirnya aku tidak perlu melakukan ini lagi sendirian.”
Bethany mengenali wajah itu, dia adalah Robert, staff keuangan yang duduk persis di sebelah meja kerja Bella. Dia juga salah satu orang yang fotonya dipajang Bella di kamarnya.
Kalau orang-orang itu bukan orang yang merundung Bella seperti yang diragukan oleh Alex, lalu kenapa Bella memasang foto mereka di sana?
“Aku pasti membuatmu repot belakangan ini.” Bethany akhirnya membuka percakapan dengan sedikit waspada.
“Jangan berbicara padaku. Kerjakan itu semua hari ini, atau bos akan memarahi kita,” jawab Robbert dengan wajah kesalnya.
Bethany kemudian mengalihkan pandangannya dan terkejut dengan setumpuk dokumen yang diberikan oleh Robert.
Bethany mencoba beradaptasi dengan pekerjaan Bella. Beberapa kali ia harus membuka g****e untuk mencari cara kerja yang benar agar bisa menyelesaikan rumus akuntansi berkas-berkas yang harus dikerjakannya.
Terlalu mencurigakan jika dia menanyakan hal-hal remeh seperti ini kepada staff lainnya. Tidak terasa jam sudah menunjukan pukul dua belas siang.
Alex sudah mengiriminya pesan bahwa dia akan menghampirinya untuk mengajaknya makan siang. Ia memastikan untuk tidak datang telat seperti pagi ini, pria itu sudah nongkrong di belakangnya sejak tiga puluh menit yang lalu.
Alex sudah menunggu Bethany yang masih berusaha menyelesaikan sederet rumus formula excel yang cukup asing baginya.
“Apa kau masih lama?” tanya Alex yang sudah mulai bosan. Ia hanya berputar-putar di kursi kantor yang berada di belakang Bethany, menunggu wanita itu menyelesaikan pekerjaan saudari kembarnya.
Ia merasa Bethany bekerja terlalu keras, itu hanya akting apakah memang dia orang seperti itu? Alex memandang wanita itu dengan kagum.
“Sedikit lagi. Dan ... Yap! Akhirnya aku selesai.” Bethany meregangkan tubuhnya. Alex mendekati kayar laptopnya dan menyaksikan sebuah tabel kosong yang telah dikerjakannya.
“Kau bilang ini selesai?” Alex berusaha menahan tawanya. Ia pikir apa yang dikerjakan dengan serius sejak tadi oleh Bethany kalau hasilnya hanya berupa sebuah tabel.
“Hei! Jangan meremehkan tabel kosong ini. Aku sudah mensetting formula untuk dapat menyelesaikan setumpuk dokumen ini.” Bethany menepuk tumpukan dokumen yang ada di mejanya.
“Aku akan melanjutkannya nanti setelah makan siang. Ayo, tunjukan di mana aku bisa makan?” tanya Bethany dengan pelan agar tidak terlalu terdengar oleh karyawan lain.
Sejak tadi, mata para staff sudah memandanginya, apalagi dengan kehadiran Alex yang sedang berpura-pura menjadi pacarnya.
“Sebelum kita makan siang, aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Ayo ikut aku!” kata Alex yang akhirnya bisa berdiri dari kursi malas yang sejak tadi didudukinya.
“Danny, ini Bethany. Bethany, ini Danny.” Tiba-tiba saja Alex menyebutkan nama asli Bethany pada seseorang di ruangan manajer yang kini mereka datangi.
Bethany melotot ke arah Alex dan tidak tahu harus berkata apa.
“Kita harus memiliki seseorang dengan pengaruh kuat. Danny cukup dekat dengan Bella asal kau tahu.” Alex menjelaskan alasannya membongkar identitas Bethany kepada Danny, atasannya di divisi marketing.
Bethany menarik napas panjang dan akhirnya mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengan manajer yang bernama Danny tadi. “Bethany, mungkin Alex sudah menceritakan semuanya padamu. Jadi, mohon bantuannya.”
Danny menyambut uluran tangan Bethany dan menjabatnya, ia tersenyum dan mengatakan, “Aku juga ingin tahu keberadaan Bella.”
Setelah berkenalan, Danny mengajak Bethany dan Alex makan siang di luar kantor yang cukup tidak sering dikunjungi oleh para karyawan Magesty. Mereka ingin membicarakan sesuatu tanpa di dengar atau dimata-matai oleh siapa pun.
Sesampainya mereka di resto tujuan, Bethany tidak sabar untuk menanyakan pertanyaan yang sedari tadi dipendamnya sendiri.
“Sedekat apa kau dengan Bella?” kedua pria di hadapannya saling memandang. Alex membuka suara terlebih dahulu, ia mengangkat telapak tangannya dan membisikan sesuatu seolah-olah tidak ingin orang di sebelahnya mendengar ucapannya.
“Aku juga penasaran. Apa mereka berkencan?” Danny menyikut lengan Alex dan menyanggah ucapannya.
“Aku dan Bella pernah satu project. Dia sangat potensial. Aku juga sangat tidak percaya dengan rumor skandal mengenai dirinya dan pak tua itu. Sekarang, aku ingin menawarkanmu untuk pindah divisi agar menjadi bawahanku. Agar kita bisa lebih mudah berkomunikasi dan membicarakan hal ini lebih sering.”
Bethany sangat tidak menduga tawaran tersebut. Namun, dia mengatakan akan memikirkannya terlebih dahulu.
Sembilan jam berlalu, sedikit lebih lama dari yang Bethany bayangkan. Pekerjaan rutin seperti itu ternyata tidaklah mudah.
Bagaimana Bella bisa kuat duduk lama dan menyelesaikan angka-angka sebanyak itu di dalam laptopnya? Pantas saja Bella harus memakai kacamata, matanya saja sudah hampir menyerah.
Bethany pergi ke toilet, ia merasa ada yang sedikit aneh dengan hari ini. Semua terlihat biasa saja.
Tidak ada yang menanyakan ketidakhadirannya selama ini, maupun yang menyerangnya. ‘Terlalu damai,’ batinnya.
Seluruh karyawan sudah pulang. Toilet wanita pun sudah kosong. Ia masuk ke dalam salah satu bilik toilet dan menyelesaikan urusannya.
Baru saja akan keluar dari bilik tersebut, dia sudah mendapati dirinya disiram air oleh seseorang dari bilik sebelah. Terdengar langkah kaki dibarengi suara pintu yang ditutup.
Tersadar ia harus memeriksa siapa yang melakukannya, Bethany segera keluar bilik dan menyadari sesuatu. ‘Orang itu telah kabur,’ pikir Bethany.
Bethany merasa sekujur tubuhnya lemas, ia terduduk di lantai. Ponselnya berbunyi, sebuah suara yang ia kenal menanyakan keberadaannya di sambungan telepon.
“Di mana kau sekarang?” tanya Alex yang terdengar cukup khawatir.
“Aku di dalam toilet.” Bethany menjawab Alex dengan suara gemetar.
Beberapa saat kemudian, Alex datang dan melihat keadaannya yang sudah terduduk lemas dengan kondisi sangat basah kuyup. Alex membuka jasnya dan menutupi tubuh Bethany.
Bethany memandang Alex sebentar kemudian kembali melihat ke arah lain dengan tatapan kosong, ia kemudian tertawa seperti orang gila.
Alex hanya melihatnya dengan kening yang berkerut. Sedetik kemudian, Bethany mulai membuka suara, “Jadi ini yang telah dialami Bella selama ini.”
Bethany menunjuk ke arah cermin di dalam toilet itu. Alex memutar wajahnya mengikuti arah jari Bethany menunjuk.
Sedetik kemudian dia tercengang melihat tulisan berwarna merah yang sangat besar pada cermin di hadapannya “MATI SAJA KAU, DASAR JAL*NG!”
Alex mengantar Bethany pulang dengan mobilnya. Sepanjang jalan, mereka hanya terdiam tanpa saling mengatakan sepatah kata pun.Sesampainya di apartemen, Alex sampai harus memposisikan Bethany duduk di kursi kayu area dapur agar mudah dikeringkan.Alex memeriksa lemari baju dan mengambil sepasang piyama di dalamnya. Ia juga membuka laci tempat beberapa pakaian dalam.Alex sempat ragu untuk mengambilnya. “Maaf, Bella. Ini demi kembaranmu.”Alex mengambil sepasang pakaian dalam dan segera menuju Bethany yang masih dengan tatapan kosongnya. Bethany langsung menuruti perintah Alex untuk berganti pakaian.“Hei! Hei!” Alex hampir saja menyaksikan Bethany telanjang di hadapannya, ia segera mengantar Bethany ke kamar mandi dan menyuruhnya berganti baju di dalam sana.Bethany masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri dan memikirkan apa yang harus dikatakannya setelah ini.Setelah berpikir hampir setengah jam, Bethany akhirnya keluar. Alex segera menghampir
Bethany melihat keraguan dalam tatapan Alex tentang pernyataannya. “Kau meragukanku?” “Kau berpikir mereka harus menjadi timmu daripada harus mencurigai mereka sebagai para perundung Bella, begitu?” tanya Alex memperjelas pernyataan Bella barusan. “Ya ... aku memiliki alasan.” Bethany mulai cemberut. “Kau memiliki alasan. Ah ... kedengarannya menarik. Beri tahu aku.” Alex berpindah posisi mendekat ke arah Bethany dan menatapnya dengan serius. “Pertama, aku belum menemukan motif apa pun yang menghubungkan orang-orang itu dengan Bella. Kedua, kalau benar mereka adalah para perundung Bella, bukankah lebih baik aku lebih dekat dengan mereka agar bisa mencari tahu lebih dalam?” “Ya ... pemikiranmu cukup masuk akal. Tapi, ada satu hal yang belum kau ketahui.” “Apa itu?” “Dalang dari semua ini.” Bethany membuka matanya lebih lebar, terkejut dengan pernyataan Alex yang benar-benar dia lewatkan. Dia sama sekali belum bertemu pria yang menyebabkan Bella dirundung dan menghilan
Bethany melihat siapa yang baru saja datang. Betty, orang yang baru saja ia bicarakan diam-diam dengan Alex. Wanita berusia akhir 40 tahun dengan kacamata tebal dan rambut klimis dikuncir kuda. “Silakan masuk.” Bethany memberinya ijin dan menyuruhnya untuk duduk. Betty mengambil kursi di seberang Robert. Bethany nampak cukup terkejut melihat kemiripan Betty dan Robert. Mereka terlihat seperti saudara kembar berbeda jenis kelamin. Alex menyikutnya dari samping, membuyarkan lamunannya dan memberinya kode untuk memulai rapat ini. “Sepertinya semua sudah lengkap. Sebelum kita saling memperkenalkan diri, kami akan menjelaskan lebih dulu project yang akan kita kerjakan.” Alex mengambil alih percakapan dan menyalakan layar yang berada di tengah ruang rapat tersebut. “Baiklah, seperti yang kalian sudah ketahui. Aku, Bella Redwig—yang ditugaskan oleh Danny untuk menyelesaikan sebuah project yang selama ini selalu dihindari pada staff divisi marketing. Mereka menyebutnya, project buangan.”
Mereka semua sangat terkejut melihat kejadian di hadapan mereka. Mereka bahkan tidak sanggup mengangkat barang bawaan mereka sendiri. Pabrik yang menjadi satu-satunya harapan bagi mereka, kini habis terbakar. “Apa yang kalian lakukan? Cepat bantu kami!” Seseorang tiba-tiba memberi mereka beberapa ember dan menyuruh mereka untuk membantu. Alex dengan sigap menggulung lengan bajunya dan berlari menuju sumber air. Bethany yang melihatnya kembali tersadar dan tahu apa yang harus ia lakukan. “Cepat, bantu mereka!” Bethany berteriak kepada beberapa koleganya yang masih diam mematung. “Apakah pemadam kebakaran tidak akan datang?” tanya Vallery sambil ikut berlari.“Kemungkinan mereka tidak akan secepat dan setanggap seperti di kota,” jawab Betty yang sudah melepaskan kacamatanya. Mereka akhirnya perlahan berhasil memadamkan api. Tapi, hanya sebatas itu. Tidak terlihat satu benda pun yang terselamatkan. Bethany melihat sekeliling dan matanya tertuju pada beberapa orang yang menangis di
Keesokan harinya, Bethany dan timnya sudah berkumpul untuk membahas rencana mereka selanjutnya. Ia merasa tidak enak karena telah menyeret mereka ke dalam situasi ini demi untuk menemukan kembarannya. “Jadi, Alex. Kau menjanjikan satu minggu untuk kami mengatasi situasi ini. Apa kau memiliki rencana?” tanya Bethany pada Alex yang duduk di hadapannya. “Okay, sejujurnya. Kebakaran di pabrik itu sedikit menguntungkan bagi kita.” “Apa maksudmu?” tanya Bethany terheran. “Pabrik itu, dan apa yang dibuat di dalamnya, sudah tidak memiliki harapan jika terus dilanjutkan. Jadi, ini bagus karena kita bisa mereset semuanya. Memulainya dari awal.” “Maksudmu, kita bisa dalam waktu seminggu, mendirikan pabrik baru?” tanya Robret dengan skeptis. “Tentu saja tidak. Tapi, kita bisa membuat perjanjian baru dengan para warga.” Alex memperlihatkan sebuah dokumen di laptopnya, mereka melihat ada tabel nama-nama tumbuhan yang tidak mereka kenal. “Ini adalah daftar nama tumbuhan yang hanya
Bethany hampir berteriak karena gerakan yang tak terduga dari Alex. Kini Alex mencengkeram pinggulnya erat, seperti tidak akan melepaskannya. Bethany tidak berpikir ini konsekuensi yang akan dia terima akibat mencium pipi Alex sekilas. Alex makin mendekatkan dirinya dengan tubuh Bethany, suara napasnya makin jelas terdengar berat. Alex tampak ingin mengatakan sesuatu yang ia tahan sejak tadi. Bethany akhirnya mencoba melepaskan pelukan Alex pada pinggulnya. “Apa yang kau lakukan? Lepas!” protes Bethany.“Kau yang menggodaku duluan,” jawab Alex dengan tatapan misteriusnya. “Oke maaf. Aku melakukannya hanya karena ....” Bethany memikirkan kata yang tepat untuk dia ucapkan. “Karena kau sangat baik padaku.”“Oh. Jadi begitu, aku baik padamu?” Lagi-lagi Alex tampak kecewa dengan ucapan Bethany dan mulai melonggarkan cengkeramannya. “Aku harus pergi sebelum mereka kembali.” Bethany akhirnya keluar pemandian air hangat tersebut dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumny
Bethany menatap Alex dengan serius, menunggu penjelasannya. Ia tidak terpikir ide apa pun bahwa Alex dengan tega melakukan itu kepada dirinya dan kepada timnya. Alex menarik napas panjang dan mencoba memberi jalan suara pada tenggorokannya agar tidak terbata-bata dalam menjelaskan. “Oke, dengar baik-baik. Kebakaran itu, ya itu jelas aku yang merencakannya. Dengan Danny.” “Danny? Dia juga terlibat dalam hal ini?” Bethany makin terkejut mendengar nama atasan barunya yang juga ikut andil dalam pembakaran pabrik tersebut. “Kau tahu, kebakaran itu. Kami sudah memastikannya dengan baik bahwa itu terjadi dengan aman. Tapi, tidak boleh ada yang tahu hal ini, Okay. Apa aku bisa mempercayaimu?” tanya Alex dengan nada yang sedikit ragu. “Itu tergantung jawabanmu,” jawab Bethany menegaskan posisinya bahwa dialah orang yang harus dibuat percaya, bukan sebaliknya. “Baiklah. Seperti yang kukatakan sebelumnya. Project ini dinamakan project buangan. Bukan hanya sekedar tidak ada yang mau
Bethany sudah kembali ke kamarnya, ia langsung memasukan dirinya sendiri ke dalam futon di lantai dan menarik selimut sampai hampir menutupi seluruh wajahnya. Ia merasa aneh dengan perasaan ini, ia tidak suka melihat Alex berpelukan dengan Wendy, atau lebih tepatnya—dengan wanita lain. Bethany menghembuskan napas beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Bethany hampir terkecoh dengan perasaannya sendiri. Ia teringat akan Bella. Sampai saat ini belum ada petunjuk sedikit pun tentang keberadaan Bella. Dan ia bahkan belum menemukan pelaku perundungannya. Dia baru sadar bahwa dia tidak tidur sendirian di kamar, ia mengintip ke arah Betty dan Vallery yang tertidur dengan lelap. Dia berpikir sejenak, mungkin dia harus mengakui siapa dirinya kepada rekan satu timnya. Lagipula, dia sangat penasaran alasan mereka setuju untuk bergabung. ***“Untuk apa kita dikumpulkan sepagi ini?” kata David yang masih menguap dan mengucek matanya. Setelah semalaman berpikir, Bethany akhirnya membulatkan
"Alex?" ucap Bethany ketika hampir bersamaan dengan terbukanya pintu apartemen. "Ah, ternyata bukan," sambungnya lagi. 'Apa yang kuharapkan? Tentu saja Alex tidak akan ke sini lagi setelah bilang putus dariku,' batinnya dengan sedikit kecewa. "Kalau tidak salah, kau pengawalnya Alex yang di rumah sakit itu kan? Apa tadi kau yang mengirim pesan kepadaku menggunakan nomor telepon Alex?" tanyanya kepada pria bertubuh besar berotot di hadapannya. "Benar Nona. Perkenalkan, saya Gerard. Saya ke sini untuk mengembalikan ini." Bethany langsung membuka sebuah kotak kecil yang diberikan Gerard padanya. Ia melihat gelang yang pernah diberikan Alex di desa Woodwill. Bethany terkejut dan matanya membelalak, "Di mana kau menemukannya?! Aku benar-benar berpikir gelang ini sudah hilang." "Di kantor, Nona. Saya menemukan itu di dekat pintu masuk," jawab Gerard. Bethany mengambil gelang itu. Mengusap inisial nama BA di baliknya. Kemudian, ia mengembalikan gelang itu lagi kepada G
Bethany kembali ke dalam unit apartemen Bella. Rekannya yang lain telah menunggunya di sana dengan sangat penasaran. Mereka berharap kabar baik dari Bethany, seperti yang dikatakan oleh David. Suara langkah kaki makin dekat ke ruang tunggu di unit apartemen itu. Mereka melihat Bethany memasuki ruangan dengan tesenyum. Mereka sudah tahu arti senyuman itu, senyum kepuasan. Tak lama kemudian, di belakang Bethany, Danny mengikuti langkahnya untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Ia masih terlihat sangat kesal. Namun, ada tekat yang kuat di sorot matanya. "Tidak usah banyak berbasa-basi lagi. Katakan apa yang harus kulakukan," kata Danny yang akhirnya menerima tawaran wanita yang sangat manipulatif itu. David tersenyum lebar dan matanya berbinar. Ia langsung berteriak senang karena tebakannya tidak meleset. "Yuhuuu!" Baru saja ia mau bereuforia dengan kemenangan taruhannya, Vallery menepuk punggungnya untuk menyadarkannya. "Diam kau!" Lagi, David lagi-lagi takluk denga
Setelah mendapatkan sebuah berita yang sangat bagus. Bethany dan timnya memutuskan untuk menjadikan hal itu sebagai bahan untuk menjatuhkan target pertamanya. Namun, sekarang yang dipikirkannya adalah cara memanfaatkan hal itu. Dia terdiam sejenak untuk memikirkan cara yang pasti berhasil dan efisien. Bethany melirik ke arah Robert. Bagaimana pun, ini misi balas dendam untuknya. Dia harus memastikan satu hal pada pria berkacamata itu. "Hei, Robert. Aku tahu bahwa kita melakukan ini semua demi menjatuhkan kaki tangan Bob si botak itu. Tapi, Wilson adalah musuhmu. Apa kau memiliki keinginan khusus?" tanya Bethany. "Keinginan khusus? Ah, maksudmu apakah aku bisa merequest hal apa yang aku ingin lihat darinya saat dijatuhkan?" ucap Robert merasa tidak yakin. "Ya, kurang lebih seperti itu. Aku sedang memikirkan cara yang efektif dan efisien. Seperti mengancamnya dengan rekaman video yang disimpan oleh David. Tapi, jika kulakukan hal itu. Kurang seru bukan? Dia telah merebut
Wilson Andrew. Nama target pertama Revenge Squad yang akan mereka hancurkan perlahan. Sebuah rencana gila sudah ada di pikiran Bethany sejak kemarin. Dia hanya sedang menunda untuk mengungkapkannya. Betty masih memandangi foto aktor bernama Hardvey yang sedang berciuman dengan Wilson Andrew di dalam mobil tersebut. Meskipun foto itu di blur dan tidak terlalu menampakan wajah mereka. Namun, warna rambut Wilson Andrew yang nyentrik terlihat sangat jelas. 'Pantas saja pria feminim itu mengubah warna rambutnya hari ini,' batin Betty yang baru menyadari hal itu. "Ngomong-ngomong, siapa yang bisa mendapatkan foto seintim ini? Kurasa, aktor ini sangat menjaga privasi, media saja sampai tidak ada yang pernah tahu asal usul keluarganya," komentarnya. "Ehem." David berpura-pura batuk hingga semua mata teralih padanya. "Kau yang mendapatkannya?!" teriak Betty antara terkejut dan sedikit kagum. Dia tidak menduga pria muda ini begitu ahli. "Aku langsung bersemangat ketika t
Setelah pergi dari apartemen yang Bethany tinggali, mereka semua berpencar untuk pulang ke rumah masing-masing. Betty memperhatikan Robert yang masih sangat pendiam sejak pengungkapan rahasianya tadi. "Pulanglah denganku. Aku akan mengantarmu," ucapnya setelah berhasil menyamakan langkah kaki mantan suaminya tersebut. Tidak seperti biasanya, kali ini Robert menuruti perkataan mantan istrinya itu. Setelah di dalam mobil, Robert akhirnya mau bersuara. "Ada yang aneh dengan dirinya hari ini. Apakah benar, gara-gara Alex sifat aslinya menjadi keluar seperti itu?" tanya Robert. "Maksudmu si Bethany? Tidak usah dipikirian. Kita juga hanya memanfaatkannya," jawab Betty sambil tetap fokus pada kemudi mobilnya. "Ya, kau benar. Kita tidak benar-benar berteman. Kita semua hanya saling memanfaatkan," ucap Robert akhirnya dapat kembali menenangkan dirinya. *** Keesokan harinya, Bethany mulai bersiap-siap untuk menjalankan misinya. Semalaman penuh dia memikirkan cara yang
Bethany melirik ke arah Danny yang sudah mulai merasa tidak nyaman dengan dirinya. Dia tahu persis bahwa Danny sangat tidak suka berada di bawah kendali orang lain. 'Apakah dia begitu mencintai Bella hingga bisa menurunkan egonya seperti ini?' batin Bethany. Bethany kembali fokus kepada tujuan awalnya mengumpulkan seluruh timnya di apartemen ini. Mencoba mengalihkan pikirannya dari Danny yang sudah mulai duduk dengan gelisah. "Baiklah. Langsung saja, aku akan memberi kalian tugas pertama untuk misi balas dendam kita. Aku menyebutnya. Misi pencarian kaki tangan." "Kau suka sekali memberi nama project dengan nama unik. Kau sepertinya berbakat menjadi seorang penulis," sindir Robert. Bethany memincingkan matanya. Tidak senang dengan komentar sarkas Robert padanya. "Kenapa? Bukankah bagus jika kita menjuluki misi ini? Kalian sepertinya butuh motivasi lebih untuk bersemangat melakukannya." "Sudahlah, cepat katakan. Apa yang harus kita lakukan," sahut Betty. Bethany te
Bethany berdiri dari kursinya. Ia berjalan menuju pigura lukisan besar yang ada di ruangan tersebut. Terpampang jelas hal yang selama ini ia sembunyikan dari timnya. "Apa itu?!" teriak Vallery dengan sangat terkejut. Bukan hanya dirinya, melainkan seluruh orang yang ada di dalam unit apartemen itu juga hampir pingsan melihat foto mereka dipajang di kamar tersebut. "Ini adalah alasanku membentuk tim ini. Kalian pikir, aku hanya secara random memilih orang untuk kujadikan tim?" tanya Bethany dengan tatapan mencurigakan. "Tapi aku benar-benar bukan orang yang telah merundung saudarimu," kata David mulai panik. Bethany tersenyum misterius mendengar pernyataan David barusan. Kemudian ia mengeluarkan tawa yang sangat keras hingga mereka smua terdiam. "Kenapa kau tertawa? Apa maksud semua ini?" tanya Betty menghentikan kegilaan Bethany. "Hah, dia tidak jauh beda denganku," ujar Danny yang juga merasa pernah melakukan hal yang serupa. Bethany melihat Danny dan merasa kes
Keesokan harinya, tidak satu pun hal yang Bethany pikirkan kecuali mencari cara agar keinginannya untuk menemukan Bella cepat tercapai. Dia merenungi apa yang sudah dia lakukan selama ini hanyalah bersenang-senang dengan timnya, apalagi dengan sosok Alex yang sempat menjadi penghalang bagi tujuan utamanya. Bethany meraih ponselnya, mengirimi beberapa pesan darurat kepada tim yang sudah ia buat sejak awal. Termasuk salah seorang yang tadinya sangat mustahil ia jadikan tim. "Pergilah ke alamat ini. Mari kita mulai melaksanakan rencana kita." Satu pesan singkat yang ia kirimkan kepada Revenge Team. "Aku akan segera menemukan Bella. Pergilah ke alamat ini." Pesan lain yang ia kirimkan pada seseorang. Beberapa jam kemudian, satu per satu timnya datang. Ke TKP di mana Bella terakhir kali tinggal. Ke tempat di mana seluruh kejadian dimulai. "Cepatlah mulai," ujar Robert dengan tidak sabar. "Tunggu," Bethany berdiri gelisah sambil memegangi dagunya. Keningnya berkeru
"Aku hanya memanfaatkanmu." Kalimat Alex yang paling tidak pernah ingin didengar oleh Bethany. Meskipun dia sudah menduganya sejak pertama kali mereka bertemu. Bethany kemudian terdiam sejenak. Alex masih menatapnya dengan penuh pertanyaan di benaknya. Kenapa wanita ini hanya diam? "Katakan sesuatu," ujar Alex yang mulai tidak sabar. Sesaat kemudian Bethany tertawa. Cukup keras hingga membuat Alex merasa tersinggung. "Apa ada hal yang lucu?" Alex mengerutkan keningnya. Tidak menyangka bahwa reaksi itu adalah yang pertama kali keluar dari Bethany. "Kau kira aku tidak pernah menduganya? Kau pikir aku wanita bodoh yang dengan mudahnya berkencan dengan seseorang yang baru saja aku kenal?" Bethany kemudian mengubah ekspresinya seketika dan mencengkram kerah baju Alex. Alex yang sedikit lengah langsung terpaku dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bethany barusan. Dia mengira wanita di hadapannya ini benar-benar mencintainya selama ini. "Kau dengar baik-baik. Aku