Jamila : Bagaimana kalau kedua orang tuamu tidak setuju dengan hubungan kita? (Sambil mengeratkan genggaman tangannya sendiri dibawah meja makan)
Jamal : (mengerutkan keningnya sambil menatap langit-langit restoran) Jangan kau pedulikan orang tuaku, mereka pasti akan menyukaimu.
Jamila : Tapi Jamal, aku tidak mau jika setelah kita menikah harus tinggal bersama kedua orang tuamu!
Jamal : Ibuku akan menyukaimu.
Jamila : TIDAK JAMAL! (Berdiri dari duduknya sambil memelototi Jamal.
Jamal : Kenapa kamu begitu takut dengan orang tuaku?
Jamila : Cukup, sekarang jawab pertanyaanku, kamu pilih IBUMU atau AKU!? (teriak sambil menatap Jamal dengan nanar).
BRAK!!!
Kara menggebrak mejanya dengan keras hingga gelas kopinya bergeser satu centi. Setelah itu ia bangun dari duduknya dan berjalan mondar-mandir di depan komputernya sambil bertepuk tangan heboh.
Namun tak hanya gelas kopinya yang bergeser karena bunyi hentakan keras tadi. Ada orang lain yang juga berada di ruangan yang sama dengannya.
“KAGET GUE!” protes seorang remaja SMA yang sedang asik rebahan di atas sofa kecil yang dialasi karpet bulu lembut.
“Akhirnya Lang, gue dapet inspirasi! Gue udah putusin kalo Jamila sama Jamal bakal nikah!” seru Kara pada Gilang, adik satu-satunya yang kini duduk di bangku SMA kelas 11.
Gilang hanya geleng-geleng kepala sambil mengernyitkan matanya.
“Terserah!” komentarnya datar lalu melanjutkan gamenya.
“Pasti Sutradara bakal setuju, respon penonton juga akhir-akhir ini ngedukung hubungan Jamal sama Jamila. Gue yakin rating sinetron ini bakalan naik setelah episode ini tayang.” Kara kini ikut bergabung duduk di sofa yang sempit itu.
“Yayaya terserah.” komentar Gilang masih dengan suara dan ekspresi yang sama.
“Gak ada komentar lain apa?” sinis Kara sambil menatap Adiknya.
Gilang pun berpaling sebentar dari layar ponselnya lalu melirik balik Kakaknya yang bahkan belum mandi sejak kemarin.
“Apa? Lo pasti mikir ‘ni bocah pasti hidupnya sengsara, gak punya masa depan’ gitu kan?” tebak Gilang yang sudah hapal dengan bahasa mata Kakak Perempuannya.
Kara pun mendengus malas, “Keluar lo dari kamar gue! heran gue seneng banget nongkrong di sini, kaya gak punya kamar aja lo!” usir Kara sambil mendorong Gilang hingga jatuh dari sofa.
“Makanya pasang Wifi jangan di kamar lo doang!”
“Pala lo! Kamar lo juga kebagian kali, Si Alvin yang rumahnya ngelangkahin tiga rumah aja kadang bisa nyomot Wifi sini!” bentak Kara sambil menempeleng kepala Adiknya.
“Ish… galak banget sih lo, kekerasan dalam rumah tangga nih namanya!” ringis Gilang sambil mengelus kepalanya.
“Bodo! Sana pergi! pagi-pagi ngerusak mood gue aja lo!” kali ini Kara benar-benar menyeret Adiknya keluar dari kamarnya. Setelah itu ia mengunci pintu kamarnya lalu kembali ke depan komputernya.
Ia menatap layarnya lagi sambil men-scroll ke arah atas untuk melihat naskah yang ia sudah ia kerjakan satu tahun.
Kara Lavanya Ahmad adalah seorang penulis kisah roman yang sudah memiliki beberapa buku yang diterbitkan. Walau tak semuanya masuk jajaran best seller, namun ia termasuk penulis yang konsisten karena ia pasti mengeluarkan buku baru di setiap tahunnya.
Karir Kara di dunia penulisan mulai berkembang sejak satu tahun lalu. Salah satu Dosennya tiba-tiba menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Ternyata dari pertemuan itu ia diperkenalkan oleh seorang Sutradara terkenal yang biasa menggarap Sinetron-sinetron dengan rating selangit di stasiun TV nasional. Dan singkat kata, proyek sinetron kejar tayang pun berhasil Kara dapatkan setelah plot naskahnya diterima oleh Sutradara tersebut. Selama 6 bulan sinetron yang berjudul ‘Cintaku Melipir Ke Crazy Rich Depok’ berhasil meraih rating tertinggi dari semua slot TV yang tayang di jam yang sama.
Karena Tingginya popularitas sinetron tersebut, akhirnya rumah produksi membuat sinetron ini berlanjut ke musim 2, Naskah inilah yang saat ini sedang Kara kerjakan sekarang. Dan untuk judul musim kedua kali ini adalah ‘Menantu Beban Keluarga Mertua’. Agak norak memang, namun itulah yang disukai penonton sinetron zaman sekarang.
Kara sebenarnya ingin melanjutkan pekerjaannya lagi. Namun ia teringat dengan janjinya pada teman SMA-nya yang memintanya datang ke acara pembukaan Café miliknya.
Kara pun mematikan komputernya lalu bergegas mandi dan berganti pakaian. Setelah itu ia memesan taksi online dan melesat ke sebuah café yang tak jauh dari stasiun Gambir.
Tak butuh waktu lama, hanya 30 menit, Kara sudah sampai di sebuah ruko dua lantai yang tepat menghadap ke arah stasiun. Dan setelah membayar ongkos taksi, ia pun langsung masuk ke dalam ruko yang memiliki nuansa kayu.
“Itu karangan bunga dari siapa aja?” Kara langsung bertanya begitu melihat Rumi, temannya, yang sedang mengelap mesin kopinya seharga jutaan rupiah.
“Dari Om gue yang di Garut satu, yang di Surabaya satu, sama yang paling gede itu dari Om gue yang di Tangerang.”
“Banyak banget cabang lo.” ejek Kara yang langsung mengabil nomor meja yang masih bertumpuk di dalam kardus lalu menyusunnya ke semua meja yang sebelumnya sudah ditata oleh Rumi.
Bisa dibilang Rumi adalah satu-satunya sahabat Kara saat ini. Sikap mereka yang berlawanan justru membuatnya hubungan persahabatan mereka langgeng. Rumi adalah gadis poluler yang dikenal hampir seluruh siswa karena ia aktif di organisasi dan mudah akrab dengan siapa saja, sedangkan Kara yang pendiam dan cuek lebih suka berdiam diri di pertustakaan karena ia senang membaca dan berlatih menulis. Namun Siapa sangka justru di tempat itulah persahabatan mereka dimulai.
“Terus yang dateng ke sini nanti yang mana?” tanya Kara lagi.
“Ya lo tebak aja, yang dompetnya paling tebel lah yang gue undang.” sahut Rumi.
Kara langsung geleng-geleng kepala, tentu saja Si Om cabang Tangerang yang mengirim karangan bunga paling besar.
“Bagi satu kek, yang dompetnya paling tipis gak apa-apa deh, mayan buat nganter jemput gue biar gak tekor naik taksi mulu.”
“Yang umurnya hampir dua kali umur lo mau?”
“Yeh… kalo gitu mah gue berasa masih dianterin supir taksi juga!”
“Lagian mana ada Om muda, ganteng, banyak duit yang mau melihara cewek galak kaya lo!” ledek Rumi.
“Heh! Gue bedakan dikit bisa ngalahin selfie lo yang filternya tiban empat kali.”
“Enak aja lo!” ringis Rumi sambil melempar lap basah ke arah Kara, “Lagian kaya doyan Laki aja lo.”
“Siapa bilang gue gak doyan Laki?”
“Lo sendiri yang bilang lo udah muak sama hal-hal berbau cinta, heran gue, tiap hari nulis tentang cinta-cintaan, tapi di hatinya gak ada cinta sama sekali.”
“Itu lah hebatnya gue, bisa mengontrol otak dan hati dengan baik.”
“Baik jidat lo! Yang ada lo gak normal!”
“Udah ah diem, diomelin gak ada di jobdesc gue hari ini ya!”
Kali ini giliran Rumi yang geleng-geleng kepala karena sikap sahabatnya yang ajaib jika sudah membahas tentang topik sensitif ini.
***
Pembukaan Café kecil Rumi yang bertema Book Café berjalan dengan lancar. Berkat gencarnya promosi yang Rumi lakukan di media sosial membuat banyak pengunjung yang datang untuk mencicip café yang diberi nama Aprodite, nama yang ia dapatkan dari hasil Googling tentang Dewi Cinta dalam mitologi Yunani yang menurutnya sama seperti dirinya.
Meski Kara sudah ratusan kali mengejeknya karena nama tersebut terlalu norak dan tak ada kaitannya dengan konsepnya yang mengusung perpustakaan, namun Rumi tetap kekeuh ingin menggunakan nama itu. Ia beranggapan jika buku dan kopi adalah dua hal yang bisa menciptakan suasana romantis yang tak terbantahkan.
Kara yang baru selesai mencuci cangkir kopi melongok sejenak ke arah depan lewat celah kecil di dinding yang membatasi area dapur dan barista. Rumi terlihat masih mengobrol ria dengan ‘Om-nya’ yang ternyata bernama Fatur, Pria berumur 40 tahun yang mengaku Duda dengan satu anak.
Ia sebenarnya ingin pamit pulang, namun sebelum itu ia memutuskan untuk membuang sampah terlebih dahulu. Ia pun mengambil plastik sampah besar yang sudah terisi setengah itu lalu membawanya lewat pintu belakang untuk ia buang ke bak sampah.
Dengan setengah menyeret akhirnya kantong berat itu masuk ke tempatnya. Namun begitu ia memutar tubuhnya untuk berbalik, ia langsung disambut guyuran air berwarna hitam pekat yang sukses membasahi seluruh tubuhnya. Lalu seakan semua itu belum cukup membuatnya kaget, ia kembali mendapat kejutan lain yang hanya berselang beberapa detik.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kara hingga bibirnya terbuka sampai ia bisa merasakan rasa air hitam itu yang ternyata terasa pahit.
“DASAR PELAKOR!!” bentak seseorang dengan napas yang memburu.
Kara mencoba mengatur napasnya, hatinya gondok bukan main. Salah satu kakinya tak bisa diam dan terus bergoyang karena menahan amarah saat wanita yang menyebabkan semua ini masih saja meneriakinya dengan berbagai umpatan.“Bu, sabar, tenang dulu, kita bicara baik-baik dulu.” Seorang petugas polisi mencoba menenangkan kembali wanita itu. Ya, setelah menyiram Kara dengan air kopi dan menamparnya, tanpa babibu lagi, wanita itu langsung menyeret Kara ke pos polisi terdekat tanpa membiarkan Kara bicara atau membela diri.“Bu, kalau Ibu gak tenang, gimana masalahnya selesai, kita dengar dulu penjelasan Mbak ini.” bujuk polisi itu lagi.“Penjelasan? Apa yang keluar dari mulutnya pasti kebohongan, ngapain sih memperpanjang masalah, udah jelas dia penipu, perebut suami orang, masukin aja ke penjara, apa susahnya sih! Nyesel saya bawa dia ke sini, aturan saya bawa aja langsung ke polsek!” cerocosnya tak terima.“Ya sa
Kara menarik Rumi ke dalam dapur begitu mereka sampai di Café milik Rumi. Ia langsung memojokkan Rumi di balik kulkas agar Sang Pengacara yang kini sedang duduk di area Café tak mendengar percakapan mereka.“Heh, sebenarnya ada apaan sih? Jelasin ke gue!” pekik Kara pelan.Rumi menatap penampilan Kara yang kacau akibat ulahnya lalu mulai menangis.“Dih malah nangis lagi, jawab gue!” sengit Kara gemas.“Sorry, harusnya gue langsung keluar belain lo, tapi Mas Fatur ngelarang dan malah nyuruh ngumpet.” jawab Rumi yang selalu takut pada Kara yang sedang marah, baginya Kara seperti penyihir yang bisa menelannya bulat-bulat.“Terus kenapa lo malah keluar! Udah bener-bener ngumpet!”“Tadi Gue sebenarnya udah mau pergi, tapi tuh orang keburu muncul, alhasil gue terpaksa ngaku.”Sebenarnya Rumi dan Fatur mendengar keributan Kara dan Wilson, dan mereka pun
Romlah : Apa bagusnya wanita itu Jamal? Begitu banyak wanita lain di dunia ini dan kamu memilih gadis kampung itu? (Berdiri sambil memegang kening) Jamal : Mami, Jamila adalah wanita yang baik, dia pasti akan menjadi menantu yang bisa mengangkat derajat keluarga kita. (Menatap Romlah dengan tatapan lirih dan sendu) Romlah : Persetan dengan derajat! Derajat dia saja jauh dibawah kita! Jamal : Mami Please, tolong sekali ini percaya pada Jamal, Jamal begitu mencintai Jamila. (merangkul lengan Romlah) Romlah : Kamu tau apa tentang cinta, Mami akan jodohkan kamu dengan keluarga terpandang di Depok, bukan dengan Jamila yang gak jelas asalnya! (Menepis tangan Jamal) Jamal : (Mulai menangis) Suara keripik kentang yang dikunyah Rumi terdengar jelas dari ruang tengah karena suasana rumah Kara sangat sunyi saat ini. Sementara matanya tak lepas dari layar TV yang tengah mem
Dean memarkir mobilnya tepat di depan Aprodite Café. Ia mengambil sebuah kotak dari kursi belakang mobilnya lalu turun dari mobil. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu masuk dengan percaya diri.ia lega karena saat pintu terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah orang yang ia cari. Apalagi orang itu kini sedang menatapnya dengan tatapan tak suka. Sesuai tebakannya.“Pak Dean?” Suara Rumi membuat Dean menoleh ke arah lain.“Selamat siang Mbak Rumi.” Sapa Dean ramah.“Ada apa ke sini? Apa ada masalah lagi?” tanya Rumi takut.“Ah, enggak, berkas Mbak Rumi kemarin udah saya serahkan ke pengadilan. Pak Fatur juga sudah di tangkap semalam, tinggal nunggu persidangan aja.” jelas DeanMata rumi langsung membulat saking kagetnya, “Beneran? Mas Fatur udah ketangkep?” tanyanya takpercaya.Dean mengangguk, “Ya, dia sembunyi di rumah temannya selama ini.”&ldq
Kara mematikan komputernya setelah merampungkan naskah untuk episode minggu depan. Setelah itu ia bergegas mandi karena hari ini ia akan pergi ke kantor Pengacara bernama Dean itu untuk mengembalikan uang sogokan yang diberikan Ibu Wilson. Sesuai pendiriannya, ia tak akan bergeming dengan semua tawaran Ibu Wilson sampai Rumi bisa dibebaskan dari kasus ini. Setelah tiga puluh menit bersiap, Kara pun keluar dari kamarnya lalu langsung menuju pintu keluar. Namun langkahnya terhenti sejenak karena ada telepon yang masuk. Ia melihat kata Ayah di layar ponselnya, maka ia pun langsung buru-buru mengangkatnya. “Ya Yah, kenapa?” “Kar, kamu lagi sibuk?” “Mau keluar sih, tapi gak apa-apa, kenapa Yah?” “Oh kamu mau pergi, yaudah nanti aja Ayah telepon lagi.” “Eh gak apa-apa Yah, ngomong aja.” “Sudah nanti aja, Ayah tutup teleponnya ya.” Sedetik kemudian sambungan telepon pun terputus, mes
Kara menghabiskan segelas air putih dingin dengan banyak es batu dalam waktu singkat untuk mendinginkan suhu tubuhnya yang terasa panas. Rumi yang melihat wajah suntuk Kara hanya bisa menunggu sampai Kara menceritakan kejadian apa yang baru saja ia alami sampai wajahnya semerah udang rebus. Pulang dari kantor Dean, Kara memang langsung pergi ke Aprodite Café. “Gila! Dasar orang gila, stress, psyco, preman!” rutuk Kara sambil menggenggam gelasnya dengan kuat. “Ada apalagi sih Kar? Lo abis berantem sama preman mana lagi?” tanya Rumi tak habis pikir. “Pengacara Berandalan itu lah, siapa lagi!” sahut Kara ketus. “Pak Dean? Lo beneran jadi balikin uang yang kemaren?” “Iya lah, ogah gue nerimanya!” Rumi mendesah berat, “Pasti lo ribut di sana kan?” “Gue dateng baik-baik ya, eh tau-tau dia bentak gue, ngancam mau masukin gue ke penjara lagi!” “Udah deh Kar lupain aja, biarin deh gue jadi saksi di persidangan, dari pada
Dean berjalan memasuki sebuah rumah mewah bergaya khas eropa lalu menuju ruang keluarga yang berada di bagian tengah rumah . Ia bisa melihat Kakeknya yang sedang duduk di kursi roda dan di sekelilingnya ada anak-anak dan menantunya.Dean pun segera bergabung dan memilih duduk di kursi yang jauh dengan Kakeknya. Lesmana Balin, Kakek Dean yang kini berusia hampir 70 tahun tersenyum lebar saat melihat lima Cicitnya yang berlarian di dalam ruangan luas itu sambil bercanda. Kakek tua itu memang sudah tak mampu berjalan sejak ia terserang stroke lima tahun lalu. Namun semangatnya masih kuat, ia bahkan masih berkontribusi pada semua Firma Hukum yang ia miliki. Alpha Law Firm hanyalah salah satu dari empat Firma Hukum yang ia punya, tiga Firma Hukum lainnya terdapat di Surabaya, Bali, dan Malaysia. "Jangan kencang-kencang larinya." titahnya pada seorang cicitnya yang baru berusia lima tahun. Lesmana memiliki empat orang anak, dan semuanya laki-laki, Ayah Dean ad
Dean membasuh wajahnya dengan air wastafel yang dingin berkali-kali untuk menyegarkan wajahnya. Ia tak bisa tidur dengan nyenyak semalam karena perkataan Kakeknya yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mengapa Kakeknya menyuruhnya menikah tiba-tiba seperti ini.Apa Kakeknya pikir ia tak cukup dewasa sampai ia harus menikah terlebih dahulu? Apa kedewasaan bisa diukur jika orang itu sudah menikah? Hal ini justru semakin membuatnya malas berada di dalam keluarga ini, namun lagi-lagi ia teringat oleh Ibunya. Haruskah ia mengikuti perintah Kakeknya? Lagi pula bukankah Kakeknya akan memberikan salah satu Firma Hukum miliknya kepadanya? Dean menatap wajahnya yang basah lewat cermin yang ada di depannya. Pikirannya malah semakin kalut. Lebih baik ia segera mandi dan pergi bekerja, karena hari ini ia ada janji dengan Ibu Wilson yang akan datang ke kantornya. Sementara itu di waktu yang sama, Kara sedang memasukkan baju-baju Ayahnya ke dalam
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.“Ke rumah Jojo?”“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Kara mengintip dari balik pintu kaca Aprodite Café yang masih tertutup rapat, padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi. Harusnya Café ini sudah buka sejak satu jam yang lalu.“Sepi banget sih?” gumam Kara, ia memang sedikit khawatir pada Rumi makanya ia memutuskan untuk datang menemuinya saja dari pada mendengarnya bicara lewat telepon.Namun baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelepon Rumi, Andrea keburu datang dan menepuk pundaknya dari belakang.“Mbak Kara.” sapa Andrea.“Eh kaget!” Kara sedikit melenjit, “Gak ada suaranya lo Ndre ah!” protes Kara.“Heheh maaf Mbak, Mbak Kara ngapain?”“Kok masih tutup Cafenya? Rumi mana?” tanya Kara langsung.“Mbak Rumi masih di jalan katanya, tadi abis dari salon dulu katanya.” jelas Andrea.Kara pun mengangguk mengerti, “Em… lo masih kerja di Club waktu itu Ndre?&rdq
Hubungan Dean dan Kara benar-benar berubah 180º. Kontrak penuh poin perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya seperti sengaja mereka lupakan begitu saja tanpa ada yang berniat membahasnya. Kini tak ada lagi batas kontak fisik, keduanya bisa saling menyentuh satu-sama lain kapanpun mereka mau. Kini mereka tak lagi berpisah saat malam datang. Entah itu di kamar Kara, atau di kamar Dean, melewati malam bersama kini sudah menjadi hal rutin yang tak bisa mereka lewatkan, baik hanya untuk saling bercengkrama, berkeluh kesah, berpelukan, atau bercinta sampai lelah.Satu bulan pun terlewat begitu saja dengan bertambahnya kisah Kara dan Dean yang sedang dimabuk cinta.“Lo lagi baca apa?” tanya Dean yang dari tadi merasa dicueki.“Buku baru.” sahut Kara yang masih asik membaca Novel berbahasa Inggris yang baru ia beli.Dean menyentuh lengan Kara dengan jari telunjuknya dan mengusapnya lembut, sambil mengamati wajah Kara dari samping.
Pintu ruangan Dean terbuka setelah diketuk dua kali. Lalu masuklah seorang Pria yang membawa tumpukan kertas tebal di tangannya.“Siang Pak Dean, ini print out kasus Pak Hendra yang tadi Pak Dean minta.” ucap Pria kurus itu yang bernama Dikta, dia adalah Junior Dean di Fakultas Hukum dulu, dan kini ia menjadi asisten Dean di Alpha Law Firm.“Hm, taro aja di meja.” sahut Dean sambil menunjuk meja sofa dengan dagunya.“Ah iya Pak, sidang kasus perceraian Bu Sarah itu saya kasih ke siapa ya? Pak Dean udah gak bisa urus itu kan?” tanya Dikta.Dean berhenti sejenak untuk berpikir, “Hm… kamu lagi ngerjain kasus apa?”“Saya masih bantuin kasus sengketa tanah Apotek yang di Ancol.”“Kamu bisa kalo pegang kasusnya Bu Sarah sekalian?”Mata Dikta langsung berbinar, “Beneran Pak? Saya boleh pegang kasus ini?”Dean mengangguk, “Ya, pela
Kara mengekori Dean begitu Pria itu masuk ke dalam rumah setelah kembali dari unit Apartemen Bu Bambang yang ada di lantai 11.“Gimana? Lo gak di laporin Polisi kan?” tanya Kara penasaran.“Gue gak akan bisa masuk penjara, itu kan bentuk pertahanan diri, yang penting udah ada buktinya dia nyerang lo duluan.” sahut Dean sambil mengambil air dingin dari kulkas.“Tapi tuh orang sampe babak belur hampir mati begitu, kalo dia nuntut lo gimana?”“Bodo, salah sendiri mancing emosi gue.” sahut Dean enteng, namun setelah itu ia mendelik ke arah Kara.“Yak! Udah gue bilang, segalak-galaknya lo, jangan coba-coba cari masalah sama orang jahat, kenapa lo hobi banget nantangin orang? Seandainya gak ada gue semalem bisa-bisa lo yang ada di rumah sakit sekarang.” omel Dean.Kara langsung melengos, pasti ada saja ocehan Dean yang hinggap padanya.“Itu karena lo gak percaya sama gue, kan