Kara mematikan komputernya setelah merampungkan naskah untuk episode minggu depan. Setelah itu ia bergegas mandi karena hari ini ia akan pergi ke kantor Pengacara bernama Dean itu untuk mengembalikan uang sogokan yang diberikan Ibu Wilson.
Sesuai pendiriannya, ia tak akan bergeming dengan semua tawaran Ibu Wilson sampai Rumi bisa dibebaskan dari kasus ini.
Setelah tiga puluh menit bersiap, Kara pun keluar dari kamarnya lalu langsung menuju pintu keluar. Namun langkahnya terhenti sejenak karena ada telepon yang masuk.
Ia melihat kata Ayah di layar ponselnya, maka ia pun langsung buru-buru mengangkatnya.
“Ya Yah, kenapa?”
“Kar, kamu lagi sibuk?”
“Mau keluar sih, tapi gak apa-apa, kenapa Yah?”
“Oh kamu mau pergi, yaudah nanti aja Ayah telepon lagi.”
“Eh gak apa-apa Yah, ngomong aja.”
“Sudah nanti aja, Ayah tutup teleponnya ya.”
Sedetik kemudian sambungan telepon pun terputus, meski bingung namun Kara langsung meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ayahnya memang sering iseng meneleponnya tanpa alasan, mungkin ini salah satu keisengannya. Maka Kara akan membiarkannya saja, lagi pula Ayahnya mengatakan jika akan menghubunginya kembali nanti.
Kara pun segera bergegas keluar dari rumahnya, tak lupa kotak berisi uang cash ia jinjing di dalam paper bag.
Sementara itu di Gedung lantai 8 Alpha Law Firm, Dean terlibat pembicaraan serius dengan Direktur Firma Hukum ini. Yaitu Mahendra Balin, tepatnya Paman Dean sendiri. Hendra adalah adik dari Ayah Dean yang sudah meninggal 15 tahun yang lalu.
“Kamu menangani berapa kasus sekarang?” tanya Hendra dari atas bangkunya yang empuk.
“Tiga kasus, satu sudah hampir berakhir, dua masih baru mulai sidang.” Jawab Dean yang duduk di depannya.
“Serahin dua kasus yang baru mau sidang ke Junior kamu, kamu urus kasus yang sudah mau selesai aja.” ucap Pamannya yang membuat Dean sedikit terkejut.
“Kenapa?” tanya Dean heran.
“Fokus aja berobat dulu, jangan berusaha terlalu keras.”
“Tapi―”
“Kamu mau bener-bener dikeluarin dari keluarga?” tanya Hendra sambil mengelus perut buncitnya.
“Tapi Om…”
“Kalo Kakek kamu tau kamu masih suka bikin ulah lagi, dia akan beneran anggap kamu gila.”
Dean menggertakkan giginya sambil mencengkram pulpen yang sedang dia pegang.
Hendra mendesah pelan sambil geleng-geleng kepala lalu mengambil koran di atas mejanya dan menggulungnya asal lalu ia gunakan untuk menyambit kepala Dean.
“Dasar Bocah! Gitu aja marah!” kekehnya tak habis pikir.
Dean langsung meringis sambil mengusap kepalanya, Pamannya yang satu ini memang suka sekali meledeknya.
“Kemarin kamu abis berantem lagi di persidangan kan? Mana ada Pengacara yang sampe mukulin tersangka, kamu tau berapa uang damai yang keluarin biar kamu gak di tuntut balik?” tanyanya sambil bersiap memukul kepala Dean lagi, namun kali ini Dean bisa menghindar.
“Masalahnya dia terus kasih kesaksian palsu di persidangan, Om tau berapa banyak wanita yang dia perkosa? Dipenjara seumur hidup bahkan gak cukup buat dia!” Dean mencoba membela diri.
“Ah udah-udah ah, bisa-bisa Om ketularan kamu, Om gak mau ngabisin masa tua ketemu psikiater.”
Dean mendengus malas, tak bisa ia pungkiri jika ia memang masih sulit mengontrol emosinya yang mudah sekali terpancing.
“Mulai sekarang kamu fokus di kasus perceraian aja, jangan ambil kasus lain, paham?”
Dean tak menjawab, ia hanya melihat ke arah lain dengan tatapan kesal.
“Dasar Bocah berengs… ah… tuh kan, kamu ini emang penuh aura jelek, harusnya kamu itu pergi ke dukun, bukan ke Psikiater.” Ledek Hendra lagi.
“Oke oke! Hanya kasus perceraian, Om puas?” Dean akhirnya mengalah, toh ia memang punya banyak jam terbang dalam memenangkan kasus perceraian, walau ia sendiri sebenarnya lebih menyukai kasus-kasus kriminal yang berat.
“Bagus, setidaknya kamu bisa sedikit tenang, kamu harus jaga sikap, jangan sampai Kakek kamu tau kalau kamu masih menjalani pengobatan, sudah cukup dengan Ibu kamu.” Jelas Hendra yang memang mengkhawatirkan posisi Dean di dalam keluarga Balin.
Dean hanya bisa mengangguk pelan, ia paham betul maksud dari perkataan Pamannya.
“Akhir pekan ini datang ke rumah Kakek, semua keluarga wajib datang, entah ada apa, tapi kayaknya ada yang mau dia sampaikan.”
Dean tak menjawab, ia malah bangun dari duduknya lalu pamit keluar. Dan dengan langkah gontai ia kembali ke ruangannya, duduk di sofa panjang yang ada di tengah-tengah ruangan lalu menyandarkan punggungnya.
Jika ia datang ke rumah Kakeknya, itu berarti ia harus siap menghadapi sikap dingin Kakeknya, belum lagi Kakeknya yang selalu menatapnya dengan tatapan acuh. Entah, ia pun tak yakin jika Kakeknya masih menganggapnya sebagai Cucu. Itu semua tentu ada alasannya, Kakeknya sebenarnya menentang pernikahan kedua orang tuanya karena Ibunya bukan berasal dari keluarga yang terpandang, saat itu Ibunya adalah seorang Aktris Teater yang baru meniti karirnya.
Namun naas, 15 tahun yang lalu, kedua orang tuanya terlibat kecelakaan mobil hingga Ayahnya meregang nyawa di tempat, sementara Ibunya mengalami luka serius hingga kehilangan setengah ingatannya. Ya, Karin, wanita paruh baya yang Dean temui kemarin di rumah sakit jiwa adalah Ibu kandungnya.
Dean mengendurkan dasinya lalu membuka kancing paling atas kemejanya, ia lalu bangkit untuk mengambil obatnya yang ada di laci kemudian meminumnya dengan dibarengi segelas air. Setelah itu ia mengatur napasnya perlahan sambil menghitung satu sampai lima di dalam hati.
Karena masalah inilah Dean mengalami hari-hari yang buruk hingga akhirnya ia didiagnosis menderita BPD (Borderline Personality Disorder) dimana seseorang dengan kondisi mental dan suasana hati yang gampang berubah-ubah dan kadang bisa memicu perilaku impulsif.
Sudah lima tahun ini Dean rutin pergi ke Psikiater untuk mengobati penyakitnya, dan sudah menunjukan tanda-tanda kemajuan sejak dua tahun terakhir karena ia rutin meminum obat dan menjaga emosinya agar tetap stabil. Meski kadang serangan panik itu masih suka datang saat ia beradu argumen di pengadilan dengan pihak lawan kliennya
Hanya ia dan Herman, yang mengetahui masalah sebenarnya. Itulah yang membuat ia dekat dengan Pamannya yang sudah ia anggap sebagai Ayahnya sendiri.
Dean kembali mengatur napasnya yang sudah tampak lebih stabil dari sebelumnya. sampai sebuah telepon masuk lewat interkom yang ada di atas mejanya.
“Ya, kenapa?” tanya Dean sedikit lemas pada resepsionis yang menghubunginya.
“Ada tamu Pak, Ibu Rumi.”
“Oh, iya, suruh ke ruangan saya.” Sahut Dean lalu menutup teleponnya.
Dean pun memasukkan kembali botol obatnya ke dalam laci lalu megancing kembali kerah kemejanya dan membetulkan letak dasinya.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu dan sedetik kemudian munculah kepala Kara dari balik pintu sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Lo? Bukanya…” suara Dean tertahan begitu memahami situasinya. Jelas saja wanita Singa ini berbohong pada reseptionis agar bisa bertemu dengannya.
“Kenapa? Kaget banget, kecewa ya bukan Rumi yang dateng?” ejek Kara yang main melenggang begitu saja ke dalam ruangan Dean.
Dean mengdengus kasar, baru saja ia meminum obatnya, namun sumber kemarahan barunya malah muncul.
“Ngapain lagi lo kesini?” tanya Dean langsung.
Kara sedikit terkejut karena Dean tak menggunakan bahasa formal lagi padanya. Sepertinya pria ini benar-benar menganggap urusan mereka sudah selesai setelah memberikannya uang damai.
“Gue mau balikin ini.” sahut Kara sambil meletakkan paperbag berisi kotak uang yang Dean berikan kemarin.
Dean menghela napas panjang, kenapa wanita ini selalu memperpanjang permasalahan.
“Gue bilang itu hadiah dari Bu Wilson, tolong terima aja.” ucap Dean sabar.
“Lo pikir gue gampangan? Gue gak mau makan uang sogokan.” Ketus Kara.
“Denger, mau gimanapun Mbak Rumi harus bersaksi di pengadilan.”
“Bukanya ada hukum kalau saksi diperbolehkan menolak bersaksi?”
Dean geleng-geleng kepala sambil bertolak pinggang, “Dia bersaksi untuk membersihkan namanya sendiri, lo gak mau temen lo keseret masalah penipuan kan? Makanya dia harus memberi kesaksian di persidangan.” Jelas Dean dengan sisa kesabarannya.
Kara menggigit bibir bawahnya, tentu saja ia tau, namun ia tau jika Rumi takut berada di persidangan karena ia trauma dengan perceraian dengan suaminya dulu, itu sebabnya ia tak mau Rumi merasa sedih lagi karena harus masuk ke ruang persidangan. Ditambah lagi biar bagaimanapun Rumi pasti disalahkan oleh pihak Ibu Wilson karena ia adalah selingkuhan suaminya. Kara tidak bisa menjamin jika Rumi nanti akan dirisak dengan serangan verbal.
“Pokoknya gue tetep pada pendirian gue!” tegas Kara sambil melipat tangannya di depan dada.
Dean mengangkat kotak uang itu lalu memberikannya pada Kara, “Ambil!” perintahnya.
“Gue gak mau!” Kara memberikannya lagi pada Dean dengan kasar.
Dean pun menggertakkan giginya lalu menggebrak mejanya sendiri dengan keras.
“MAU LO APA? LO MAU GUE NYERET BU WILSON KE SINI BUAT MINTA MAAF SAMA LO? APA GUE HARUS BUAT DIA BERLUTUT DI DEPAN LO? KENAPA LO SELALU MEMPERKERUH MASALAH!” Teriak Dean tepat di depan Kara.
Kara sempat diam tak bergeming selama beberapa detik karena kaget dengan reaksi Dean yang begitu berlebihan, apakah Dean baru saja membentaknya?
“Lo bentak gue?” tanya Kara tak percaya dengan mata melotot.
“KENAPA? APA MAU LO SEKARANG?” tanya Dean balik dengan suara yang sama tingginya.
Kara membuang napas kasar, “Whoah! Ternyata selama ini gue salah, lo bukan Pengacara, tapi PREMAN!” bentak Kara tak kalah sengit.
“Terserah! Sana kalau mau tuntut! Cari pengacara yang bagus, lawan gue di persidangan!” tantang Dean.
Lagi-lagi Kara membuang napas kasar, Pengacara ini memang benar-benar membuatnya tak habis pikir. Sebenarnya bukan ini yang ia harapkan.
“KENAPA? GAK BERANI? SANA KE KANTOR POLISI, GUE AKAN PASTIIN JUSTRO LO YANG MASUK PENJARA!” bentak Dean sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah Kara.
Rupanya keributan di ruangan Dean terdengar sampai ke luar, sialnya Hendra yang sedang melintas di depan ruangan Dean juga ikut mendengar keributan itu.
Akhirnya dua orang staf dan Herman masuk ke dalam ruangan Dean.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Hendra bingung.
Kara langsung menoleh, setelah itu ia langsung menghampiri Hendra yang sepertinya orang penting di gedung ini, bisa dilihat dari pakaiannya yang sama rapinya dengan Dean.
“Pak tolong, dia bentak-bentak saya.” Adu Kaca cepat sambil menunjuk Dean.
Hendra melihat ke arah Kara dan Dean secara bergantian, sepertinya keponakannya ini kembali terlibat cekcok wanita ini.
“Pak Dean, ada apa ini?” tanya Hendra tegas.
“Dia masuk ke sini tanpa izin.” Jawab Dean.
“Masuk tanpa izin? Bohong Pak! Bapak Bos disini ya? Pak, saya ini keluarga saksi, dan dia ngancam akan nuntut saya ke pengadilan, padahal saya juga korban penyerangan dari keluarga kliennya dia.” Jelas Kara dengan emosi menggebu.
“Klien gue udah maaf dan kasih uang damai, kenapa lo masih memperpanjang masalah!” Dean kembali memelototi Kara.
“Lo pikir semuanya bisa selesai pakai uang damai? Gue rugi secara materi dan moril.” Sengit Kara tak mau kalah.
“LO BISA DI―”
“CUKUP!!” Hendra buru-buru memotong kata-kata Dean lalu menarik napas panjang. Setelah itu ia berbalik menhadap Kara.
“Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, bagaimana kalau Mbak menunggu di ruangan saya saja.” Ucapnya dengan suara tenang.
Kara masih mengatur napasnya yang naik turun, setelah itu ia mengangguk cepat, ia juga sudah malas berlama-lama melihat wajah Dean. Dan akhirnya dengan diantar seorang staf, Kara pergi ke ruangan Hendra.
Setelah Kara pergi, Hendra langsung menutup pintu ruangan Dean dan berjalan menghampiri Keponakannya.
“Baru tadi dibilang jangan buat ulah!” semprot Hendra kesal sambil mencari koran untuk menyambit kepala Dean lagi.
“Dia duluan yang ngajak ribut!” sanggah Dean yang mundur beberapa langkah.
“Bisa-bisanya Pengacara malah ribut dengan saksi, kalau dia nuntut balik gimana? Bagaimana kalau saksi nanti mengubah kesaksian di persidangan yang memberatkan klien kamu, kamu mau kalah dan masuk penjara?” omelnya yang sudah gemas dengan emosi keponakannya yang gampang sekali meledak.
Dean tak menjawab, ia lebih memilih untuk pergi meninggalkan ruangannya saja.
Hendra hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengusap leher belakangnya, “Hhh…. Stress!” ucapnya lalu keluar dari ruangan Dean untuk menemui Kara yang menunggu di ruangannya.
Kara menghabiskan segelas air putih dingin dengan banyak es batu dalam waktu singkat untuk mendinginkan suhu tubuhnya yang terasa panas. Rumi yang melihat wajah suntuk Kara hanya bisa menunggu sampai Kara menceritakan kejadian apa yang baru saja ia alami sampai wajahnya semerah udang rebus. Pulang dari kantor Dean, Kara memang langsung pergi ke Aprodite Café. “Gila! Dasar orang gila, stress, psyco, preman!” rutuk Kara sambil menggenggam gelasnya dengan kuat. “Ada apalagi sih Kar? Lo abis berantem sama preman mana lagi?” tanya Rumi tak habis pikir. “Pengacara Berandalan itu lah, siapa lagi!” sahut Kara ketus. “Pak Dean? Lo beneran jadi balikin uang yang kemaren?” “Iya lah, ogah gue nerimanya!” Rumi mendesah berat, “Pasti lo ribut di sana kan?” “Gue dateng baik-baik ya, eh tau-tau dia bentak gue, ngancam mau masukin gue ke penjara lagi!” “Udah deh Kar lupain aja, biarin deh gue jadi saksi di persidangan, dari pada
Dean berjalan memasuki sebuah rumah mewah bergaya khas eropa lalu menuju ruang keluarga yang berada di bagian tengah rumah . Ia bisa melihat Kakeknya yang sedang duduk di kursi roda dan di sekelilingnya ada anak-anak dan menantunya.Dean pun segera bergabung dan memilih duduk di kursi yang jauh dengan Kakeknya. Lesmana Balin, Kakek Dean yang kini berusia hampir 70 tahun tersenyum lebar saat melihat lima Cicitnya yang berlarian di dalam ruangan luas itu sambil bercanda. Kakek tua itu memang sudah tak mampu berjalan sejak ia terserang stroke lima tahun lalu. Namun semangatnya masih kuat, ia bahkan masih berkontribusi pada semua Firma Hukum yang ia miliki. Alpha Law Firm hanyalah salah satu dari empat Firma Hukum yang ia punya, tiga Firma Hukum lainnya terdapat di Surabaya, Bali, dan Malaysia. "Jangan kencang-kencang larinya." titahnya pada seorang cicitnya yang baru berusia lima tahun. Lesmana memiliki empat orang anak, dan semuanya laki-laki, Ayah Dean ad
Dean membasuh wajahnya dengan air wastafel yang dingin berkali-kali untuk menyegarkan wajahnya. Ia tak bisa tidur dengan nyenyak semalam karena perkataan Kakeknya yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mengapa Kakeknya menyuruhnya menikah tiba-tiba seperti ini.Apa Kakeknya pikir ia tak cukup dewasa sampai ia harus menikah terlebih dahulu? Apa kedewasaan bisa diukur jika orang itu sudah menikah? Hal ini justru semakin membuatnya malas berada di dalam keluarga ini, namun lagi-lagi ia teringat oleh Ibunya. Haruskah ia mengikuti perintah Kakeknya? Lagi pula bukankah Kakeknya akan memberikan salah satu Firma Hukum miliknya kepadanya? Dean menatap wajahnya yang basah lewat cermin yang ada di depannya. Pikirannya malah semakin kalut. Lebih baik ia segera mandi dan pergi bekerja, karena hari ini ia ada janji dengan Ibu Wilson yang akan datang ke kantornya. Sementara itu di waktu yang sama, Kara sedang memasukkan baju-baju Ayahnya ke dalam
Dean menarik selimutnya sampai setinggi leher. Lalu memandang langit-langit kamarnya yang gelap sambil mengatur ritme napasnya. Sudah beberapa hari ini ia tak bisa tidur nyenyak. Ia pun mencoba mengosongkan pikirannya agar bisa cepat terlelap. Namun bunyi dering telepon tiba-tiba memecah keheningan di kamarnya. Ia melihat kontak Hendra di layar ponselnya, apalagi yang akan dikatakan Pamannya kali ini? “Ya Om.” Sapa Dean. “Kamu hari ini kemana aja? kenapa gak ke kantor?” tanya Hendra langsung. “Meeting di luar sama klien.” “Selama itu? Berapa klien yang kamu temui? Bukanya Om udah bilang untuk mengurangi kasus yang kamu pegang.” “Om, bisa kita bicara besok aja? Saya lelah.” Ucap Dean dengan dengan suara lirih. “Eh tunggu-tunggu jangan di tutup dulu!” cegah Hendra cepat. “Apa lagi?” “Besok kamu pergi ke tempat yang Om suruh ya, ketemu sama kenalannya temen Om.”
Dean membuka kancing kemejanya yang paling atas agar bisa bernapas leluasa sambil membalas tatapan Kara yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang sengit. “Kayaknya gue memang salah orang, orang yang gue temuin VANYA, bukan siapa tadi nama lo?” ketus Dean malas. Kara mendengus kasar, “Kalo gitu sejak kapan nama lo berubah jadi KAIVAN? Bukanya lama lo Preman atau sejenisnya?” ketus Kara balik. Ia lalu memperhatikan Dean dari ujung kaki sampai ujung kepala, Pria mana yang mengenakan pakaian serba hitam di acara kencan pertama, apa ia habis pulang melayat? Jelas sekali Pria ini tak ada niat berkencan sama sekali. Dean mengancing jasnya kembali, “Kayaknya kita salah paham, jadi lebih baik gue pergi sekarang.” ucapnya lalu bangkit. “Ya, sana pergi, gue juga salah orang.” sahut Kara jutek sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Dean pun langsung keluar dari Café untuk mengambil mobilnya yang terparkir. Sementara Kara langsung menghela napas k
Dean menghentikan mobilnya begitu sampai di depan Aprodite café, ia sengaja tak turun, hanya membuka kaca mobilnya saja karena Kara dan Rumi memang sudah berdiri di depan pintu café. “Ayo masuk, gue anterin pulang.” ajak Dean. Kara langsung menoleh ke arah Rumi, untuk memastikan Rumi juga mendengar hal yang sama dengannya. “Dia mau nganterin gue Rum?” bisik Kara. Rumi mengangguk cepat, dengan wajah sama bingungnya dengan Kara. “Tenang aja, gue gak akan nurunin lo di tengah jalan lagi.” tambah Dean. “Udah sana cepet, ikut aja.” bisik Rumi sambil mendorong Kara agar menerima ajakan Dean. Meski ragu namun akhirnya Kara masuk juga ke mobil Dean, lagi pula ia harus mengambil tasnya. Dan setelah Kara masuk ke mobilnya, Dean pun segera memacu kembali mobilnya. Kara curi-curi pandang ke arah Dean yang masih fokus menyetir, namun meski pandangannya lurus ke depan, entah mengapa Kara merasa pandangan Dean terlihat kosong.
Bau harum semur Ayam berkumpul di dapur rumah Kara. Gilang yang masih mengenakan kolor pendek terlihat sedang menyendok sedikit kuah Semur yang sudah mendidih sejak 10 menit lalu. “Hm… kurang kecapnya dikit lagi.” gumamnya lalu menuang kecap sebanyak dua sendok makan. Setelah itu ia berjoget kecil sambil menunggu Semur Ayamnya matang sempurna. Ia mengencangkan volume musik yang ia dengarkan melalui ear phone dan mulai bergoyang asal sambil pura-pura lipsing dengan centong semurnya yang ia anggap sebagai mic. Kara yang terbangun dengan aroma enak semur pun langsung masuk ke dapur dan mendapati Adiknya sedang berjoget tak jelas di depan kompor. “Gilang!” panggil Kara, namun Gilang tak mendengarnya dan masih asik berjoget. Kara pun mengambil daun bawang yang ada di atas meja dan menggunakannya untuk menyambit Gilang. “Anjir kaget gue!” seru Gilang sambil melepas earphone-nya. “Ya lo ngapain pagi-pagi kesurupan di dapur?”
Romlah : Setelah menikah kamu tetap tinggal di rumah ini, jangan tinggal di rumah lain. (Sambil meminum teh bunga rosela.) Jamal : Kenapa Mam? Jamal kan punya banyak rumah dan apartemen kenapa Jamal masih harus tinggal dengan Mami dan Papi? Romlah : sudah turuti saja apa kata Mami, kamu dan istrimu tetap tinggal di rumah ini. Jamal : (Memakan ubi goreng lalu meminum kopinya) Tapi Mami kan gak terlalu suka sama Jamila, apa Mami bisa bersikap baik selama Jamila tinggal di sini? Romlah : (Tersenyum licik di balik cangkir tehnya) Tenang saja, justru Mami mau memperbaiki hubungan Mami dengan Jamila. Jamal : Baiklah, jika memang itu tujuan Mami, Jamal akan membawa Jamila ke rumah ini. Romlah : (Berkata dalam hati) Hahahaha…. Tidak semudah itu Jamal, Mami tidak akan membiarkan wanita itu hidup dengan tenang, beraninya wanita kampung itu mengusik keluargaku yang terpandang…
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.“Ke rumah Jojo?”“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Kara mengintip dari balik pintu kaca Aprodite Café yang masih tertutup rapat, padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi. Harusnya Café ini sudah buka sejak satu jam yang lalu.“Sepi banget sih?” gumam Kara, ia memang sedikit khawatir pada Rumi makanya ia memutuskan untuk datang menemuinya saja dari pada mendengarnya bicara lewat telepon.Namun baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelepon Rumi, Andrea keburu datang dan menepuk pundaknya dari belakang.“Mbak Kara.” sapa Andrea.“Eh kaget!” Kara sedikit melenjit, “Gak ada suaranya lo Ndre ah!” protes Kara.“Heheh maaf Mbak, Mbak Kara ngapain?”“Kok masih tutup Cafenya? Rumi mana?” tanya Kara langsung.“Mbak Rumi masih di jalan katanya, tadi abis dari salon dulu katanya.” jelas Andrea.Kara pun mengangguk mengerti, “Em… lo masih kerja di Club waktu itu Ndre?&rdq
Hubungan Dean dan Kara benar-benar berubah 180º. Kontrak penuh poin perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya seperti sengaja mereka lupakan begitu saja tanpa ada yang berniat membahasnya. Kini tak ada lagi batas kontak fisik, keduanya bisa saling menyentuh satu-sama lain kapanpun mereka mau. Kini mereka tak lagi berpisah saat malam datang. Entah itu di kamar Kara, atau di kamar Dean, melewati malam bersama kini sudah menjadi hal rutin yang tak bisa mereka lewatkan, baik hanya untuk saling bercengkrama, berkeluh kesah, berpelukan, atau bercinta sampai lelah.Satu bulan pun terlewat begitu saja dengan bertambahnya kisah Kara dan Dean yang sedang dimabuk cinta.“Lo lagi baca apa?” tanya Dean yang dari tadi merasa dicueki.“Buku baru.” sahut Kara yang masih asik membaca Novel berbahasa Inggris yang baru ia beli.Dean menyentuh lengan Kara dengan jari telunjuknya dan mengusapnya lembut, sambil mengamati wajah Kara dari samping.
Pintu ruangan Dean terbuka setelah diketuk dua kali. Lalu masuklah seorang Pria yang membawa tumpukan kertas tebal di tangannya.“Siang Pak Dean, ini print out kasus Pak Hendra yang tadi Pak Dean minta.” ucap Pria kurus itu yang bernama Dikta, dia adalah Junior Dean di Fakultas Hukum dulu, dan kini ia menjadi asisten Dean di Alpha Law Firm.“Hm, taro aja di meja.” sahut Dean sambil menunjuk meja sofa dengan dagunya.“Ah iya Pak, sidang kasus perceraian Bu Sarah itu saya kasih ke siapa ya? Pak Dean udah gak bisa urus itu kan?” tanya Dikta.Dean berhenti sejenak untuk berpikir, “Hm… kamu lagi ngerjain kasus apa?”“Saya masih bantuin kasus sengketa tanah Apotek yang di Ancol.”“Kamu bisa kalo pegang kasusnya Bu Sarah sekalian?”Mata Dikta langsung berbinar, “Beneran Pak? Saya boleh pegang kasus ini?”Dean mengangguk, “Ya, pela
Kara mengekori Dean begitu Pria itu masuk ke dalam rumah setelah kembali dari unit Apartemen Bu Bambang yang ada di lantai 11.“Gimana? Lo gak di laporin Polisi kan?” tanya Kara penasaran.“Gue gak akan bisa masuk penjara, itu kan bentuk pertahanan diri, yang penting udah ada buktinya dia nyerang lo duluan.” sahut Dean sambil mengambil air dingin dari kulkas.“Tapi tuh orang sampe babak belur hampir mati begitu, kalo dia nuntut lo gimana?”“Bodo, salah sendiri mancing emosi gue.” sahut Dean enteng, namun setelah itu ia mendelik ke arah Kara.“Yak! Udah gue bilang, segalak-galaknya lo, jangan coba-coba cari masalah sama orang jahat, kenapa lo hobi banget nantangin orang? Seandainya gak ada gue semalem bisa-bisa lo yang ada di rumah sakit sekarang.” omel Dean.Kara langsung melengos, pasti ada saja ocehan Dean yang hinggap padanya.“Itu karena lo gak percaya sama gue, kan