Dean menarik selimutnya sampai setinggi leher. Lalu memandang langit-langit kamarnya yang gelap sambil mengatur ritme napasnya. Sudah beberapa hari ini ia tak bisa tidur nyenyak. Ia pun mencoba mengosongkan pikirannya agar bisa cepat terlelap. Namun bunyi dering telepon tiba-tiba memecah keheningan di kamarnya.
Ia melihat kontak Hendra di layar ponselnya, apalagi yang akan dikatakan Pamannya kali ini?
“Ya Om.” Sapa Dean.
“Kamu hari ini kemana aja? kenapa gak ke kantor?” tanya Hendra langsung.
“Meeting di luar sama klien.”
“Selama itu? Berapa klien yang kamu temui? Bukanya Om udah bilang untuk mengurangi kasus yang kamu pegang.”
“Om, bisa kita bicara besok aja? Saya lelah.” Ucap Dean dengan dengan suara lirih.
“Eh tunggu-tunggu jangan di tutup dulu!” cegah Hendra cepat.
“Apa lagi?”
“Besok kamu pergi ke tempat yang Om suruh ya, ketemu sama kenalannya temen Om.”
Haii... terima kasih sudah baca MADried Couple sejauh ini, terus ikutin ceritanya sampai tamat yaaa :) Follow IG Author @dazedgirl.id
Dean membuka kancing kemejanya yang paling atas agar bisa bernapas leluasa sambil membalas tatapan Kara yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang sengit. “Kayaknya gue memang salah orang, orang yang gue temuin VANYA, bukan siapa tadi nama lo?” ketus Dean malas. Kara mendengus kasar, “Kalo gitu sejak kapan nama lo berubah jadi KAIVAN? Bukanya lama lo Preman atau sejenisnya?” ketus Kara balik. Ia lalu memperhatikan Dean dari ujung kaki sampai ujung kepala, Pria mana yang mengenakan pakaian serba hitam di acara kencan pertama, apa ia habis pulang melayat? Jelas sekali Pria ini tak ada niat berkencan sama sekali. Dean mengancing jasnya kembali, “Kayaknya kita salah paham, jadi lebih baik gue pergi sekarang.” ucapnya lalu bangkit. “Ya, sana pergi, gue juga salah orang.” sahut Kara jutek sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Dean pun langsung keluar dari Café untuk mengambil mobilnya yang terparkir. Sementara Kara langsung menghela napas k
Dean menghentikan mobilnya begitu sampai di depan Aprodite café, ia sengaja tak turun, hanya membuka kaca mobilnya saja karena Kara dan Rumi memang sudah berdiri di depan pintu café. “Ayo masuk, gue anterin pulang.” ajak Dean. Kara langsung menoleh ke arah Rumi, untuk memastikan Rumi juga mendengar hal yang sama dengannya. “Dia mau nganterin gue Rum?” bisik Kara. Rumi mengangguk cepat, dengan wajah sama bingungnya dengan Kara. “Tenang aja, gue gak akan nurunin lo di tengah jalan lagi.” tambah Dean. “Udah sana cepet, ikut aja.” bisik Rumi sambil mendorong Kara agar menerima ajakan Dean. Meski ragu namun akhirnya Kara masuk juga ke mobil Dean, lagi pula ia harus mengambil tasnya. Dan setelah Kara masuk ke mobilnya, Dean pun segera memacu kembali mobilnya. Kara curi-curi pandang ke arah Dean yang masih fokus menyetir, namun meski pandangannya lurus ke depan, entah mengapa Kara merasa pandangan Dean terlihat kosong.
Bau harum semur Ayam berkumpul di dapur rumah Kara. Gilang yang masih mengenakan kolor pendek terlihat sedang menyendok sedikit kuah Semur yang sudah mendidih sejak 10 menit lalu. “Hm… kurang kecapnya dikit lagi.” gumamnya lalu menuang kecap sebanyak dua sendok makan. Setelah itu ia berjoget kecil sambil menunggu Semur Ayamnya matang sempurna. Ia mengencangkan volume musik yang ia dengarkan melalui ear phone dan mulai bergoyang asal sambil pura-pura lipsing dengan centong semurnya yang ia anggap sebagai mic. Kara yang terbangun dengan aroma enak semur pun langsung masuk ke dapur dan mendapati Adiknya sedang berjoget tak jelas di depan kompor. “Gilang!” panggil Kara, namun Gilang tak mendengarnya dan masih asik berjoget. Kara pun mengambil daun bawang yang ada di atas meja dan menggunakannya untuk menyambit Gilang. “Anjir kaget gue!” seru Gilang sambil melepas earphone-nya. “Ya lo ngapain pagi-pagi kesurupan di dapur?”
Romlah : Setelah menikah kamu tetap tinggal di rumah ini, jangan tinggal di rumah lain. (Sambil meminum teh bunga rosela.) Jamal : Kenapa Mam? Jamal kan punya banyak rumah dan apartemen kenapa Jamal masih harus tinggal dengan Mami dan Papi? Romlah : sudah turuti saja apa kata Mami, kamu dan istrimu tetap tinggal di rumah ini. Jamal : (Memakan ubi goreng lalu meminum kopinya) Tapi Mami kan gak terlalu suka sama Jamila, apa Mami bisa bersikap baik selama Jamila tinggal di sini? Romlah : (Tersenyum licik di balik cangkir tehnya) Tenang saja, justru Mami mau memperbaiki hubungan Mami dengan Jamila. Jamal : Baiklah, jika memang itu tujuan Mami, Jamal akan membawa Jamila ke rumah ini. Romlah : (Berkata dalam hati) Hahahaha…. Tidak semudah itu Jamal, Mami tidak akan membiarkan wanita itu hidup dengan tenang, beraninya wanita kampung itu mengusik keluargaku yang terpandang…
Tiga jam lamanya Dean memacu mobilnya hingga sampai ke Bandung Kota, kini Ia dan Kara hanya perlu waktu 30 menit untuk sampai di Lembang, tempat Ayah Kara tinggal. “Nanti mampir dulu ke toko kue.” kata Kara yang dari tadi lebih banyak diam. “Lo mau beli kue?” tanya Dean yang masih fokus menyetir. “Ckckck, lo beneran gay ya?” “Apa hubungannya kue sama gay?” tanya Dean sambil meringis heran ke arah Kara. “Lo pasti gak pernah main ke rumah Pacar, udah jadi kebiasaan kalo cowok dateng ke rumah cewek itu harus bawa sesuatu.” Bibir Dean membulat, “Oh… yaudah kita mampir aja dulu Mall, beli baju atau sepatu gitu buat Ayah lo.” Kara berdecak malas sambil geleng-geleng kepala, “Kan, makin yakin gue.” gumamnya. “Kenapa? Kenapa cuma bawa kue? Lo bilang gue harus buat Ayah lo terkesan supaya dia nerima gue. beliin aja sekalian apa yang dia suka.” tanya Dean bingung. “Ah udah-udah, males gue jelasinnya, nanti setelah lampu m
“Silakan pesanannya Pak.” Rumi memberikan segelas ice latte pada seorang pelanggan. “Terima kasih.” sahut pelanggan itu lalu pergi ke mejanya. Andrea yang sedang berada di area kasir datang menghampiri Rumi sambil melepas apronnya. “Mbak Rumi, saya istirahat dulu ya.” Rumi melirik ke arah Andrea lalu berpindah ke arah jam dinding yang tetempel di dinding. “Iya Ndre, tinggal aja dulu.” ucapnya karena jam memang sudah menunjukan pukul 12.25 siang. Namun tiba-tiba ada seorang pelanggan datang. Rumi yang mengenali pelanggan itu langsung berlari menyambutnya, menyalip Andre yang baru akan keluar dari meja kasir. “Mas Hadi!” seru Rumi senang begitu Om Cabang Garutnya datang. Ia bahkan langsung menggandeng lengan Hadi dan membawanya ke salah satu meja yang kosong. Andre yang menyadari Bosnya mendapat tamu langsung mengurungkan niatnya untuk istirahat. Ia pun masuk kembali ke area kasir dan memakai apronnya.
Dean dan Kara berjalan lurus menuju taman yang berada di halaman belakang, dimana keluarga Balin sudah berkumpul di meja makan panjang yang dipenuhi cangkir teh dan berbagai jenis kue. Hendra yang menyadari kehadiran Dean pertama kali langsung berdiri untuk menyapa Dean yang benar-benar datang bersama Kara. “Dean, akhirnya kamu datang juga.” sapanya yang membuat semua anggota keluarga Balin melihat ke arah Kara. Orang asing yang baru pertama kali muncul di pertemuan keluarga mereka. Dean pun tersenyum canggung lalu sedikit menunduk pada para Paman dan Bibinya, juga tentu saja pada Sang Kakek yang masih saja terlihat dingin. Kara yang menyadari adanya kecanggungan diantara Dean dan keluarganya menjadi ikut canggung dan merasa serba salah, haruskah ia menyapa lebih dulu atau menunggu sampai Dean bicara? Untungnya Hendra yang sudah paham dengan situasi dingin ini langsung mencairkan suasana dengan menyapa Kara lebih dulu. “Kara, terima kasih suda
Dean benar-benar serius dengan ucapannya. Tak peduli dengan izin Kakeknya, ia mempersiapkan pernikahannya dengan Kara secepat mungkin. Ia juga meminta Hendra untuk mendatangi Ayah Kara di Bandung untuk melamar Kara secara resmi. Untungnya Paman dan Bibi Dean yang lainnya mendukung dan turut membantu pernikahan Dean. Mulai dari menyiapkan gedung, baju pengantin, dan semua tetek bengek yang harus ada di upacara pernikahan. Pernikahan mereka pun juga sudah di daftarkan di KUA yang dijadwalkan akan berlangsung 2 minggu lagi. Semua persiapan dilakukan secepat dan serapi mungkin. Kara yang mempercayakan semua pernikahan ini pada Dean hanya bisa menunggu dengan sedikit perasaan waswas. Untung saja semua keluarganya setuju dan tak ada yang menaruh curiga. Sehingga ia bisa terus mengikuti alur sandiwara ini dengan baik. Apalagi ia tak perlu repot-repot mempersiapkan pernikahan ini. Keluarga Dean benar-benar mengambil alih semuanya dari A-Z. Seperti saat ini, ia tau-ta
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.“Ke rumah Jojo?”“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Kara mengintip dari balik pintu kaca Aprodite Café yang masih tertutup rapat, padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi. Harusnya Café ini sudah buka sejak satu jam yang lalu.“Sepi banget sih?” gumam Kara, ia memang sedikit khawatir pada Rumi makanya ia memutuskan untuk datang menemuinya saja dari pada mendengarnya bicara lewat telepon.Namun baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelepon Rumi, Andrea keburu datang dan menepuk pundaknya dari belakang.“Mbak Kara.” sapa Andrea.“Eh kaget!” Kara sedikit melenjit, “Gak ada suaranya lo Ndre ah!” protes Kara.“Heheh maaf Mbak, Mbak Kara ngapain?”“Kok masih tutup Cafenya? Rumi mana?” tanya Kara langsung.“Mbak Rumi masih di jalan katanya, tadi abis dari salon dulu katanya.” jelas Andrea.Kara pun mengangguk mengerti, “Em… lo masih kerja di Club waktu itu Ndre?&rdq
Hubungan Dean dan Kara benar-benar berubah 180º. Kontrak penuh poin perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya seperti sengaja mereka lupakan begitu saja tanpa ada yang berniat membahasnya. Kini tak ada lagi batas kontak fisik, keduanya bisa saling menyentuh satu-sama lain kapanpun mereka mau. Kini mereka tak lagi berpisah saat malam datang. Entah itu di kamar Kara, atau di kamar Dean, melewati malam bersama kini sudah menjadi hal rutin yang tak bisa mereka lewatkan, baik hanya untuk saling bercengkrama, berkeluh kesah, berpelukan, atau bercinta sampai lelah.Satu bulan pun terlewat begitu saja dengan bertambahnya kisah Kara dan Dean yang sedang dimabuk cinta.“Lo lagi baca apa?” tanya Dean yang dari tadi merasa dicueki.“Buku baru.” sahut Kara yang masih asik membaca Novel berbahasa Inggris yang baru ia beli.Dean menyentuh lengan Kara dengan jari telunjuknya dan mengusapnya lembut, sambil mengamati wajah Kara dari samping.
Pintu ruangan Dean terbuka setelah diketuk dua kali. Lalu masuklah seorang Pria yang membawa tumpukan kertas tebal di tangannya.“Siang Pak Dean, ini print out kasus Pak Hendra yang tadi Pak Dean minta.” ucap Pria kurus itu yang bernama Dikta, dia adalah Junior Dean di Fakultas Hukum dulu, dan kini ia menjadi asisten Dean di Alpha Law Firm.“Hm, taro aja di meja.” sahut Dean sambil menunjuk meja sofa dengan dagunya.“Ah iya Pak, sidang kasus perceraian Bu Sarah itu saya kasih ke siapa ya? Pak Dean udah gak bisa urus itu kan?” tanya Dikta.Dean berhenti sejenak untuk berpikir, “Hm… kamu lagi ngerjain kasus apa?”“Saya masih bantuin kasus sengketa tanah Apotek yang di Ancol.”“Kamu bisa kalo pegang kasusnya Bu Sarah sekalian?”Mata Dikta langsung berbinar, “Beneran Pak? Saya boleh pegang kasus ini?”Dean mengangguk, “Ya, pela
Kara mengekori Dean begitu Pria itu masuk ke dalam rumah setelah kembali dari unit Apartemen Bu Bambang yang ada di lantai 11.“Gimana? Lo gak di laporin Polisi kan?” tanya Kara penasaran.“Gue gak akan bisa masuk penjara, itu kan bentuk pertahanan diri, yang penting udah ada buktinya dia nyerang lo duluan.” sahut Dean sambil mengambil air dingin dari kulkas.“Tapi tuh orang sampe babak belur hampir mati begitu, kalo dia nuntut lo gimana?”“Bodo, salah sendiri mancing emosi gue.” sahut Dean enteng, namun setelah itu ia mendelik ke arah Kara.“Yak! Udah gue bilang, segalak-galaknya lo, jangan coba-coba cari masalah sama orang jahat, kenapa lo hobi banget nantangin orang? Seandainya gak ada gue semalem bisa-bisa lo yang ada di rumah sakit sekarang.” omel Dean.Kara langsung melengos, pasti ada saja ocehan Dean yang hinggap padanya.“Itu karena lo gak percaya sama gue, kan