Doni yang panik, akhirnya membawa Sabrina ke rumah sakit. Sesampainya di sana, sang istri segera ditangani dokter jaga.
Doni hanya bisa menunggu di luar, dengan harap cemas. Beberapa saat kemudian dokter jaga pun keluar. Berbarengan dengan Dokter Indra yang tidak lain omnya sendiri.
"Gimana, Sabrina?" cecar Doni yang panik memikirkan keadaan istrinya itu.
"Biar Dokter Indra saja yang berbicara. Maaf, saya harus mengecek pasien lain." Dokter jaga itupun berlalu pergi.
"Om, gimana, Sabrina?" tanya Doni.
"Kita bicara di ruangan Om saja."
"Duh, ada apa sebenarnya?Jangan buatku takut seperti ini, Om?" gerutu Doni.
Om Indra pun mengajak Doni ke ruangannya untuk membicarakan hal ini. Doni yang semakin tidak menentu perasaannya semakin dibuat penasaran. Ia takut, ada hal buruk menimpa istri yang paling dicintainya itu.
"Duduklah, Doni."
Sabrina hampir saja tertabrak mobil Beck. Seorang lelaki dengan sigap menyelamatkannya. Sabrina yang pingsan karena syok, segera dilarikan ke rumah sakit. Ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan kandungan Sabrina."Bertahan, Sabrina. Bertahanlah demi anakmu!" kata Aryo yang membawa iparnya itu ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Sabrina segera dibawa ke ruang UGD. Di sana, ia ditangani oleh Om Indra. Aryo hanya bisa menunggu di luar. Aryo pun segera menghubungi Doni.[Sabrina kecelakaan. Sekarang di tangani Om Indra. Kamu secepatnya ke sini ya!]Doni langsung panik ketika membaca pesan Kakak iparnya itu. Ia segera berlari cepat menuju mobilnya. Di dalam perjalanan Doni pun menghubungi Aryo. [Gimana, Sabrina?][Dia masih ditangani. Kamu segera ke sini ya.]Tidak lebih dari lima belas menit, Doni sampai di rumah sakit. Tidak lama berselang, ke
Fani hanya menangis. Ia histeris, memelas maaf suaminya. Tetapi kemarahan Doni sudah pada puncaknya dan tidak bisa lagi memberikan kata maaf. Bagi Doni, Sabrina adalah segalanya. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga Sabrina.Kesalahan yang dilakukan Fani sudah kriminal, tidak mungkin lagi ia membelanya. Bunda Sania yang sangat menyayangi Fani pun tidak lagi bisa membelanya.----------Fani masih tergeletak di depan pintu rumah mertuanya. Dia menahan sakit yang luar biasa. Fani semakin banyak mengeluarkan darah. Dia pun terus berteriak, memanggil Doni juga Bunda Sania. Tidak ada satupun yang keluar. Fani mulai takut jika ia akan kehilangan bayinya. Hanya bayi itulah sebagai pengikat agar Doni tetap mau bertahan dan tidak menceraikannya."Mas, tolong aku! Aku enggak mau kehilangan anak kita. Tolong aku, Mas …." Fani terus menerus berteriak dengan sisa tenaga yang ia punya. Hingga akhirnya, Bunda Sania pun keluar. Walau
Sejak Doni menceraikannya dan mengusirnya begitu saja dari rumah, ia kembali tinggal di rumah Mamanya. Di sana ia tinggal seorang diri, meratapi nasibnya yang dipaksa menikah dengan oleh Mamanya dan Bunda Sania. Namun, saat Doni membuangnya bagai sampah, Bunda Sania tidak sedikitpun membelanya.Kebencian Fani bukan saja pada Sabrina. Namun, ia akan membalaskan semua sakit hatinya pada seluruh keluarga Doni. Terutama Bunda Sania. Fani pun mengusap air matanya, ia menatap tajam foto pernikahannya dengan Doni."Ingat, Mas, kalian semua harus membayar atas semua perlakuan kalian padaku. Aku takkan pernah membiarkan kalian semua hidup tenang!" ucap Fani dalam tangisnya.Fani yang dulu lembut, kini berubah menjadi Fani yang bengis. Fani yang dendam dan rela melakukan segala cara demi menghancurkan keluarga Natanegara. Terutama Sabrina. Ya, jika anak yang dikandungnya tidak dapat hidup bersama Ayahnya, anak itu juga harus mati.
Pagi itu degup jantung Sabrina berdetak sangat kencang. Tubuhnya lemah. Kakinya seperti tak menapak lagi ke lantai. Sabrina akhirnya memaksakan dirinya untuk ke kamar mandi dan membawa testpack itu. Doni bersama Nyonya Sania dan kakak Doni, Prita menunggu di depan kamar mandi utama. "Bun, kenapa ya lama sekali nggak keluar dari kamar mandi hampir sejam?" Doni pun mulai mengkhawatirkan keadaan Sabrina di dalam kamar mandi mewahnya itu. "Ah, paling seperti biasa hasilnya tidak sesuai harapan," timpal Prita ketus. .Erick pun menatap sinis ke arah Prita. Andai saja tidak memandang Bundanya, mungkin ia sudah menampar kakaknya itu. "Kak, bisa diam nggak!" bentak Doni. "Doni, ada benarnya apa kata kakakmu. Kita sebaiknya cari second opinion. Jadi kalau ada masalah kita bisa tangani segera," ucap Bunda Sania menenangkan dua anaknya yang sedang bertikai itu. Doni pun diam. Di dalam kamar mandi, tu
Prita kembali menghubungi Aryo. Pasangan suami istri ini memang sudah tidak tinggal serumah lagi. Pertengkaran demi pertengkaran membuat Aryo memilih kembali ke rumah pribadinya di sebuah perumahan elite. Yang juga tidak kalah mewah dengan rumah megah sang mertua, Bunda Sabrina. Prita akhirnya berhasil menghubungi suaminya yang sudah beberapa hari ini sulit dihubungi. Bahkan saat Prita meminta Sisil, putri tunggalnya bersama Aryo menghubungi Papanya tetap saja tidak ada jawaban. [Aryo, kamu ini gimana sih? Nggak ada tanggung jawabnya sama anak dan istri kamu. Bahkan dihubungi pun sulit. Dari semalam kuhubungi nggak juga diangkat. Kamu sengaja mau menghindar dari aku kan?] Prita adalah istri yang sangat arogan. Tidak mau mengalah dan sering memancing pertengkaran karena kecemburuannya pada masa lalu Aryo. Wanita yang dianggap Prita menjadi duri dalam rumah tangganya. Aryo pun sudah muak dengan kecemburuan Prita. Itu sebabnya ia jarang pulang ke rum
Tiba-tiba, penyakit jantung Nyonya Sania kambuh. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Sania pun tidak dapat menahannya lagi dan nyaris tumbang jika saja Doni tidak sigap. "Bunda, Bunda ...." Doni pun sigap membawa Bundanya itu ke dalam kamarnya. Prita pun langsung menghubungi Fani yang sudah menjadi dokter pribadi sang Bunda sejak lama. Beberapa saat kemudian Fani pun akhirnya sampai di rumah mewah keluarga Sania itu. Ia pun langsung memeriksa kondisi kesehatan sang pasien. "Tekanannya normal 120. Coba Bunda tarik napas yang panjang ya," pinta Fani. "Oh, tolong semuanya keluar dulu. Biar Dokter Fani bisa memeriksa kondisi Bunda," pinta Prita. "Kamu juga Sabrina. Ngapain kamu masih di sini? Bunda sakit itu juga gara-gara kamu," sindir Prita ketus. Sabrina pun menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya pun berkaca-kaca. Ia tahu, Prita memang sangat membencinya. Bukan soal ia yang tidak kunjung hamil, tetapi juga karena
"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.Aryo tetap diam"Jawab, Aryo!" teriak Prita.Aryo yang sedang menyetir justru tangannya ditarik-tarik oleh Prita hingga mobilnya pun mulai oleng."Eh, Prita! Kamu tenang dong. Aku ini lagi bawa kendaraan," sergah Aryo."Aku nggak perduli. Ayo tabrak, tabrak, Aryo!" pekiknya.Terjadi tarik-menarik hingga Aryo mulai hilang kendali. Mobil yang sedang berjalan di jalanan ibukota yang sedang sepi itu nyaris menabrak beberapa kendaraan, pengguna jalan hingga para pedagang kaki lima disekitar. Hingga akhirnya Aryo berhasil menahan mobilnya dan berhenti di sebuah sudut ibukota.Aryo dan Prita akhirnya menarik napas panjang setelah mobilnya oleng dan nyaris menabrak banyak orang jika saja Aryo tidak bisa mengendalikannya."Astaghfirullah," ucap Aryo."Kamu gila yah?! Apa yang kam
Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.[Hallo. Iya, betul, saya suaminya][Apa? Istri saya kecelakaan?][Baik, saya segera ke sana]Doni pun langsung mematikan teleponnya.Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya."Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya."Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.20 menit berlaluDoni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance."Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri."Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, ce
Sejak Doni menceraikannya dan mengusirnya begitu saja dari rumah, ia kembali tinggal di rumah Mamanya. Di sana ia tinggal seorang diri, meratapi nasibnya yang dipaksa menikah dengan oleh Mamanya dan Bunda Sania. Namun, saat Doni membuangnya bagai sampah, Bunda Sania tidak sedikitpun membelanya.Kebencian Fani bukan saja pada Sabrina. Namun, ia akan membalaskan semua sakit hatinya pada seluruh keluarga Doni. Terutama Bunda Sania. Fani pun mengusap air matanya, ia menatap tajam foto pernikahannya dengan Doni."Ingat, Mas, kalian semua harus membayar atas semua perlakuan kalian padaku. Aku takkan pernah membiarkan kalian semua hidup tenang!" ucap Fani dalam tangisnya.Fani yang dulu lembut, kini berubah menjadi Fani yang bengis. Fani yang dendam dan rela melakukan segala cara demi menghancurkan keluarga Natanegara. Terutama Sabrina. Ya, jika anak yang dikandungnya tidak dapat hidup bersama Ayahnya, anak itu juga harus mati.
Fani hanya menangis. Ia histeris, memelas maaf suaminya. Tetapi kemarahan Doni sudah pada puncaknya dan tidak bisa lagi memberikan kata maaf. Bagi Doni, Sabrina adalah segalanya. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga Sabrina.Kesalahan yang dilakukan Fani sudah kriminal, tidak mungkin lagi ia membelanya. Bunda Sania yang sangat menyayangi Fani pun tidak lagi bisa membelanya.----------Fani masih tergeletak di depan pintu rumah mertuanya. Dia menahan sakit yang luar biasa. Fani semakin banyak mengeluarkan darah. Dia pun terus berteriak, memanggil Doni juga Bunda Sania. Tidak ada satupun yang keluar. Fani mulai takut jika ia akan kehilangan bayinya. Hanya bayi itulah sebagai pengikat agar Doni tetap mau bertahan dan tidak menceraikannya."Mas, tolong aku! Aku enggak mau kehilangan anak kita. Tolong aku, Mas …." Fani terus menerus berteriak dengan sisa tenaga yang ia punya. Hingga akhirnya, Bunda Sania pun keluar. Walau
Sabrina hampir saja tertabrak mobil Beck. Seorang lelaki dengan sigap menyelamatkannya. Sabrina yang pingsan karena syok, segera dilarikan ke rumah sakit. Ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan kandungan Sabrina."Bertahan, Sabrina. Bertahanlah demi anakmu!" kata Aryo yang membawa iparnya itu ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Sabrina segera dibawa ke ruang UGD. Di sana, ia ditangani oleh Om Indra. Aryo hanya bisa menunggu di luar. Aryo pun segera menghubungi Doni.[Sabrina kecelakaan. Sekarang di tangani Om Indra. Kamu secepatnya ke sini ya!]Doni langsung panik ketika membaca pesan Kakak iparnya itu. Ia segera berlari cepat menuju mobilnya. Di dalam perjalanan Doni pun menghubungi Aryo. [Gimana, Sabrina?][Dia masih ditangani. Kamu segera ke sini ya.]Tidak lebih dari lima belas menit, Doni sampai di rumah sakit. Tidak lama berselang, ke
Doni yang panik, akhirnya membawa Sabrina ke rumah sakit. Sesampainya di sana, sang istri segera ditangani dokter jaga.Doni hanya bisa menunggu di luar, dengan harap cemas. Beberapa saat kemudian dokter jaga pun keluar. Berbarengan dengan Dokter Indra yang tidak lain omnya sendiri."Gimana, Sabrina?" cecar Doni yang panik memikirkan keadaan istrinya itu."Biar Dokter Indra saja yang berbicara. Maaf, saya harus mengecek pasien lain." Dokter jaga itupun berlalu pergi."Om, gimana, Sabrina?" tanya Doni."Kita bicara di ruangan Om saja.""Duh, ada apa sebenarnya?Jangan buatku takut seperti ini, Om?" gerutu Doni.Om Indra pun mengajak Doni ke ruangannya untuk membicarakan hal ini. Doni yang semakin tidak menentu perasaannya semakin dibuat penasaran. Ia takut, ada hal buruk menimpa istri yang paling dicintainya itu."Duduklah, Doni."
Fani pun mulai merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk pergi lebih dulu. Fani mulai kesal dan menganggap Sabrina sengaja mempermalukannya.Saat di parkiran, Fani mengirimkan pesan pada Doni. Fani meminta sang suami datang ke rumah Mamanya karena ia akan kembali ke sana. Fani ingin menghabiskan waktu bersama Doni. Hanya berdua.[Nanti sore, kamu pulang ke rumah Mamaku. Aku butuh kamu malam ini.]Fani akhirnya langsung pergi meluncur dengan mobilnya. Di dalam perjalanan, ia menggerutu dalam hati. Rasa bersalah yang kemarin dirasakannya kini hilang berganti dengan kebencian pada madunya, Sabrina."Awas kamu, Sabrina. Kamu akan rasakan pembalasanku. Dari dulu, kamu selalu saja mengambil perhatian Mas Doni. Padahal, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintainya," gerutu Fani.Fani pun membuat sebuah rencana untuk mulai membongkar pernikahan poligami ini. Nanti malam, saat Doni datang, Fani aka
Fani pingsan. Ia tidak kuat menerima kenyataan kalau Mamanya kini sudah tiada. Fani pun dilarikan ke UGD. Setelah beberapa saat, Fani pun tersadar. Ada Bunda Sania dan Sabrina yang menungguinya sampai tersadar.Fani pun menangis di pelukan Sabrina. Sabrina sangat tahu, Fani sangat kehilangan. Mamanya yang mendadak pergi, tanpa diketahui selama ini mengidap penyakit kronis."Sabrina, aku sendiri sekarang. Aku enggak punya siapa-siapa lagi." Fani pun terisak.Sabrina paham, Fani sangat berduka, ia butuh teman yang selalu menjaga dan menemaninya dalam kondisi apapun."Fan, ada aku, Mas Doni dan keluarga yang akan selalu jaga kamu. Iya kan, Mas?" tanya Sabrina sambil menatap wajah suaminya yang panik."E-ee ....""Iya, dong! Fani kan sudah jadi keluarga, Doni akan selalu menjaga semua anggota keluarga kita. Betul, Doni?" Bunda Sania menatap tajam."Iya, kamu t
Sejak hubungan Doni dan Fani melunak, mereka semakin dekat. Meski Doni hanya mencintai Sabrina, tetapi kini dia mulai mau menjalankan kewajibannya sebagai suami pada Doni. Doni pun memberikan nafkah batin kepada Fani. Hal yang tidak pernah dilakukan Doni.Tidak dipungkiri, Doni sepertinya mulai menikmati pernikahannya dengan Fani. Fani yang mencintai Doni sejak lama pun cukup bahagia. Meski ia tahu, Doni melakukannya hanya untuk memenuhi kewajibannya, tetapi ia yakin, suatu saat hatinya akan luluh dan suaminya itu bisa mencintainya, meski tak sebesar cintanya pada Sabrina.Bunda Sania sangat menyayangi Fani. Dia berharap jika Fani bisa segera hamil dan memberikan cucu laki-laki padanya. Karena hasratnya yang besar, Ibu mertuanya pun meminta Fani memeriksakan kondisi kesehatan rahimnya."Fan, gimana hasilnya?" tanya Bunda Sania."Alhamdulillah, Bun, semuanya baik-baik saja dan kata dokter, aku s
Keputusan Fani menikah dengan Doni memang karena perjodohan. Kedua orang tua mereka yang sudah bersahabat sejak lama, ingin agar anak-anaknya itu berjodoh. Apalagi Sania, ia ingin Doni memiliki keturunan.Bunda Sania syok saat mendengar keputusan Fani meminta cerai.dari putra kesayangannya itu. Doni pun terdiam, ia bingung harus mengambil keputusan apa.Di satu sisi dia sangat mencintai Sabrina, tetapi Bunda Sania juga tidak menginginkan dia dan Fani bercerai."Apa yang harus kulakukan?" gumam Doni dalam hatinya.Fani pun memutuskan keluar dari rumah kedua orang tua suaminya itu. Dia kembali ke rumah Mamanya. Fani menangis, bersimpuh dihadapan Mamanya dan meminta kerelaan Nyonya Renny agar mengikhlaskan jika ia harus bercerai dengan Doni dan menjadi seorang janda."Ma, aku mau bercerai dengan Mas Doni. Ak
Aryo dilema.Antara memberitahu keadaan suaminya yang sudah berbagi cinta atau ikut menyembunyikan pernikahan kedua adik iparnya itu."Mas, ada apa?" tanya Sabrina lagi."Nggak kok. Kita kan sudah lama nggak ketemu, Sabrina. Kamu kan tahu, sejak hubunganku dan Prita memburuk, aku jarang ikut kumpul bersama keluarga Bunda. Makanya setelah mendengar kabar kamu, aku ingin bertemu. Alhamdulillah ya, sekarang kamu sehat dan baik-baik aja," dalih Aryo. Aryo pun menghentikan langkahnya memberitahu Sabrina yang sebenarnya. Aryo tidak ingin terjadi sesuatu pada wanita solehah itu. "Oh, aku kira ada apa?" kata Sabrina tertawa."Aku kangen deh Mas sama Sisil. Gimana kabarnya Sis, Mas?" tanya Sabrina.."Sisil baik. Kenapa kamu nggak ke rumah Bunda aja?" timpal Aryo. Ia berusaha menyelidiki apakah Sabrina sudah curiga atau belum."Aku nggak boleh ke sana, Mas. Karena