Prita kembali menghubungi Aryo. Pasangan suami istri ini memang sudah tidak tinggal serumah lagi. Pertengkaran demi pertengkaran membuat Aryo memilih kembali ke rumah pribadinya di sebuah perumahan elite. Yang juga tidak kalah mewah dengan rumah megah sang mertua, Bunda Sabrina.
Prita akhirnya berhasil menghubungi suaminya yang sudah beberapa hari ini sulit dihubungi. Bahkan saat Prita meminta Sisil, putri tunggalnya bersama Aryo menghubungi Papanya tetap saja tidak ada jawaban.
[Aryo, kamu ini gimana sih? Nggak ada tanggung jawabnya sama anak dan istri kamu. Bahkan dihubungi pun sulit. Dari semalam kuhubungi nggak juga diangkat. Kamu sengaja mau menghindar dari aku kan?]
Prita adalah istri yang sangat arogan. Tidak mau mengalah dan sering memancing pertengkaran karena kecemburuannya pada masa lalu Aryo. Wanita yang dianggap Prita menjadi duri dalam rumah tangganya.
Aryo pun sudah muak dengan kecemburuan Prita. Itu sebabnya ia jarang pulang ke rumah dan memilih tinggal sendiri demi ketenangan hidupnya dan tidak menganggu fokus pekerjaannya.Walau terkadang rasa rindunya pada Sisil membuatnya tersiksa dan ingin kembali ke rumah megah itu.[Aku butuh waktu buat menenangkan diri. Kamu juga nggak perlu marah dan teriak-teriak kayak begitu.]
[Memangnya kamu aja yang capek. Aku juga capek dengan keadaan ini. Dan kamu sama sekali tidak menghargai pernikahan kita. Sebenarnya kita nggak perlu pisah ranjang segala. Ah, udahlah. Kamu nggak perlu kebanyakan alasan. Bilang aja kamu mau cerai kan? Agar kamu bisa balik sama mantan pacar kamu itu. Iya kan?]
[Aku semakin ingin tahu siapa wanita yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita.]
[Cukup, Prita. Cukup!Aku udah capek. Aku bisa gila lama-lama diteror sama kamu kayak gini. Cukup!]
Aryo yang sudah emosi akhirnya kembali membanting ponselnya itu ke lantai.
[Hallo, Hallo?!]
Prita pun akhirnya berpikir pasti Aryo kembali membanting ponselnya hingga rusak. Ini bukan kali pertama Aryo menghancurkan ponselnya.
"Keterlaluan. Pasti dia membanting ponselnya lagi," gerutu Prita.
"Aryo, jangan kamu pikir bisa meninggalkan aku begitu saja dan kembali dengan mantan pacar kamu itu. Kita nggak akan bercerai. Dan aku akan mencari tahu siapa perempuan itu. Aku pasti mendapatkan jawabannya. Kita lihat saja nanti," gumam Prita dengan sorotan mata bengis penuh amarah.
****
Sabrina hanya mampu memasrahkan semua ujian ini pada Rabb-Nya. Pagi ini, Sabrina seperti biasa melakukan salat duha di dalam kamarnya. Memohon pertolongan Rabb-Nya. Ia tahu, tidak ada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak.
Sabrina pun berdoa,ia bermunajat pada Rabb-Nya.
"Ya Allah, hamba pasrahkan semuanya padamu. Dengan segala ketidakberdayaan hamba. Hamba memohon kepadamu, berikanlah hamba kesempatan untuk mengandung keturunan. Anak yang bisa menjadi kebanggaan untuk suami hamba. Hamba mohon kepadamu ya Allah. Jauhkanlah kami dari cobaan perceraian. Hamba memohon kepadamu ya Allah, kabulkan lah doa hamba.Aamiin Ya Robbal aalamiin."
Doni pun masuk ke dalam kamar ketika ia melihat istrinya itu sudah selesai menunaikan salatnya.
"Sayang, aku punya sesuatu buat kamu di depan. Kita ke depan ya?" ajak Doni.
"Ada apa sih, Sayang?" tanya Sabrina penasaran.
"Pokoknya surprise buat kamu," kata Doni semakin membuat istrinya itu penasaran.
"Ya udah. Aku pakai hijab dulu ya," ujar Sabrina.
Doni pun jalan lebih dulu. Menunggu istrinya itu di meja makan. Hingga akhirnya Sabrina pun melihat surprise yang disiapkan suaminya di meja makan itu.
"Ya Allah, Sayang, kamu buatin aku sarapan? Seharusnya kan aku yang buatin sarapan buat kamu," ujar Sabrina.
Sabrina pun kaget tak percaya jika suaminya membuatkan sarapan spesial untuknya. Padahal seharusnya ia sebagai istri yang harus menyiapkan sarapan.
"Udah, sesekali aku yang buatin. Dokter kan juga bilang kamu harus banyak istirahat dan makanan yang sehat dan vitamin," ujar Doni memberikan perhatian kecil pada istrinya itu.
"Nih, kamu paling suka kan sop? Aku suapin ya. Kamu baca doa dulu," pinta Doni.
Doni pun menyuapi istrinya itu. Sabrina pun merasa bahagia. Ditengah ketetapan ujian Allah padanya, suaminya masih sangat peduli padanya.
"Makasih ya, Mas. Emangnya kamu masih percaya kalau aku bisa memberikan kamu keturunan? Sedang kata dokter kan ...."
Doni pun menyela
"Nggak ada yang tidak mungkin. Kita hanya perlu ikhtiar, berdoa. Aku yakin, suatu saat kamu pasti bisa hamil lagi dan memberikan keturunan. Kalaupun tidak, aku akan tetap mencintai kamu," ujar Doni mengenggam tangan istrinya itu.
"Makasih ya, Mas, Kamu sudah mau mencintaiku dengan tulus," puji Sabrina.
Ia bersyukur memiliki suami seperti Doni yang sangat mencintainya.
Dari lantai atas, Prita melihat kemesraan adik dan iparnya itu dengan tatapan sinis. Sejak lama, ia memang sangat membenci Sabrina.
"Bunda, Bunda," panggil Prita saat melihat Bundanya itu keluar kamar.
"Bun, coba deh lihat. Pagi-pagi sudah mesra dan manja-manjaan. Pakai dibuatin sarapan segala. Disuapin lagi," kata Prita sinis.
"Ya udahlah," jawab Bunda Sania cuek tak perduli.
"Apa nggak terlalu berlebihan ya, Bun? Untuk ukuran istri mandul kayak si Sabrina itu?" ucap sinis Prita.
"Eh, hati-hati kamu kalau bicara Prita. Jangan sampai adikmu itu dengar. Dia bisa marah," tegur sang Bunda.
"Sabrina kan nggak mandul," bela Bunda Sania yang sangat menyayangi menantunya itu.
"Sabrina itu nggak bisa memberikan Doni keturunan. Terus apa bedanya dengan perempuan mandul?" pekik Prita.
"Emang Bunda nggak kasihan apa sama Doni?" cecar Prita.
Prita terus saja memprovokasi sang Bunda agar membenci adik iparnya itu.
"Maksud kamu apa?" tanya sang Bunda.
"Bun, Bunda harus berpikir. Bunda harus melakukan sesuatu. Emangnya Bunda mau, masa depan Doni hancur. Nggak punya anak gitu?" dalih Prita yang seolah sangat menyayangi adiknya.
"Baiklah. Bunda akan lakukan sesuatu," ujar Bunda Sania.
"Nah, gitu dong!" ucap Prita tersenyum bahagia.
Prita dan sang Bunda pun turun menghampiri Doni dan Sabrina di meja makan.
"Selamat pagi," sapa Bunda Sania pada menantu dan anak lelaki kesayangannya itu.
"Pagi, Bun," jawab Doni dan Sabrina bersamaan.
"Makan apa nih?" tanya sang Bunda itu lembut.
"Makaroni," jawab Doni.
"Gimana nih menantu Bunda. Udah baikan, Sabrina?" tanya sang Bunda mengelus kepala menantunya itu dengan lembut.
"Doni, apapun yang menjadi kebaikan dan kebahagiaan kamu itu juga akan menjadi kebahagiaan dan kebaikan Bunda," ucap Bunda Sania merangkul pundak menantunya itu. Mertua Sabrina itu memang sangat menyayangi Sabrina walau ia belum bisa memberinya seorang cucu.
"Makasih ya, Bunda, Bunda udah kasih perhatian ke Sabrina," puji Doni. Doni bahagia, jika Bundanya tidak membenci istrinya karena belum bisa memberikan seorang cucu yang sudah diidam-idamkan selama ini.
Bunda Sania pun mengangguk dan tersenyum.
Sikap lembut sang Bunda pada Sabrina, justru membuat Prita marah dan mulai menekan adik iparnya itu. Prita pun mulai menyindir iparnya itu karena tidak suka diperlakukan sang Bunda dengan penuh kehangatan.
"Lucu ya, perempuan zaman sekarang. Sarapan disiapin sama suami. Enak banget," sindir Prita ketus.
"Prita," tegur Bunda Sania.
Doni pun bangkit dan membela sang istri.
"Kak, kalau yang kakak maksud itu soal sarapan, itu inisiatif aku sendiri, Kak. Sabrina itu harus banyak istirahat," ucap.Doni dengan suara keras.
"Buat apa banyak istirahat. Biar bisa hamil," sindir Prita sinis.
"Kurang jelas penjelasan Om Indra kalau dia nggak mungkin bisa hamil!" pekik Prita.
"Kak, cukup Kakak menekan Sabrina. Kakak nggak kasihan apa sama dia?" bentak Doni.
"Cukup Prita!" bentak sang Bunda.
Sania pun mendekati kedua anaknya yang sedang bertengkar hebat itu.
"Jangan tumpahkan kemarahan kamu hanya karena permasalahan rumah tangga kamu dengan Aryo," tegur keras Bunda Sania pada putri sulungnya itu.
"Oh, aku tahu. Kakak mau Mas Aryo mencintai Kakak sama seperti aku mencintai Sabrina. Iya kan, Kak?" pekik Doni.
"Ini nggak ada hubungannya sama Aryo! Kamu nggak usah ikut campur urusan rumah tanggaku," bentak Prita.
"Sebagai Kakak, aku wajib mengingatkan kamu. Kamu itu punya tanggung jawab yang besar pada keluarga ini. Sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini, kamu berkewajiban untuk meneruskan nama besar Ayah," ucap Prita tegas.
Bunda Sania pun memilih pergi.
Prita pun mendekati Sabrina yang sejak tadi hanya diam duduk di meja makan.
"Kamu jangan munafik deh. Kalau kamu nggak mau saya dengan Doni bertengkar terus, kamu hamil dong. Jadi kita semua nggak pusing mikirin nasibnya Doni!" bentak Prita.
Sabrina hanya bisa menangis
"Iya, Mbak," jawab Sabrina menahan tangisnya.
"Aku minta maaf," ucap Sabrina.
"Maaf, maaf. Bisanya cuma bisa minta maaf. Kamu yang mandul, kita semua yang kena getahnya," jerit Prita.
Prita pun akhirnya kembali ke kamarnya.
****
Malam hari pukul 19.45Dinda, adik bungsu Prita dan Doni akhirnya pulang berbulan madu bersama suaminya, Romi. Sepasang pengantin baru ini sangat berbahagia menikmati' hadiah bulan madu dari sang Bunda.
"Jadi kalian senang hadiah bulan madu dari Bunda?" tanya Bunda Sania.
"Eh, mana oleh-olehnya yang Bunda minta, pasti lupa," ejek Bunda Sania pada anak dan menantunya.
"Pasti lupa kan," ucapnya tertawa.
"Eh, ingat ya. Jangan ditunda-tunda lagi. Bunda mau rumah ini penuh dengan riuh tawa cucu-cucu Bunda," ujar Bunda Sania tersenyum.
"Iya, Bunda. Doakan aku ya biar bisa segera hamil. Aku kan keturunannya Bunda, subur," ujar Dinda.
"Aku setuju sama kamu, Din. Soalnya kalau Doni dan istrinya kan belum tentu punya anak," kata Prita sinis.
"Prita," tegur Bunda Sania.
"Assalamualaikum."
Doni dan Sabrina akhirnya sampai juga di rumah setelah berkeliling mencari hadiah untuk sang Bunda.
"Maaf ya Bunda kami telat. Soalnya jalanannya macet tadi. Oh ya, ini ada hadiah untuk Bunda," kata Sabrina memberikan sebuah goodie bag berisi syal untuk sang mertua.
"Untuk Bunda? Makasih ya, Sabrina," ucap Bunda Sania berterimakasih.
Dinda pun menyalami kakak iparnya, Sabrina juga Doni. Begitupun dengan sang suami, Romi.
"Apa kabar, Kak?" tanya Dinda berbasa-basi. Keduanya pun berpelukan.
Prita menatapnya dengan sinis.
"Kok, jadi pada diam sih?" tanya Doni heran.
"Kalau kita lanjutin ngobrolnya, nanti ada yang tersinggung lagi," sindir Prita.
"Tersungging kenapa?" tanya Doni lagi.
"Ini loh, Don, kita lagi membahas anaknya Mas Farel, anaknya Bude Fahmi yang tinggal di London itu. Kamu ingat kan? Dinda bilang, bayinya itu lucu banget," terang Prita sambil menatap Sabrina sinis.
"Jadi kemarin aku sama Mas Romi ke London terus kita mampir deh," sela Dinda.
"Kamu bayangin,Don, kamu dan Farel kan usianya nggak beda jauh. Tetapi Farel sudah punya anak 3 loh," sindir Prita.
Bunda Sania masih memperhatikan perdebatan anak-anaknya. Suasana malam itu mulai tidak kondusif.
Sabrina dan Doni hanya menunduk. Doni tahu, sang kakak sedang menekan Sabrina lagi soal kehamilannya.
"Istrinya sudah melahirkan 3 anak hanya dalam waktu enam tahun. Terus, kapan istri kamu hamil?" sindir Prita ketus.
"Duh, Kak Prita, kita kayaknya nggak perlu tanya begitu deh. Soalnya kita kan sudah tahu gimana kondisi Kak Sabrina," sindir Dinda.
"Aku lupa kalau punya saudara ipar yang mandul," timpal Prita tertawa kecil.
Sabrina pun terperanjat. Ia mencoba menahan agar tidak menangis dihadapan keluarga suaminya itu.
Bunda Sania pun heran. Ia menggelengkan kepalanya karena kesal melihat Prita yang sudah keterlaluan.
"Kak, tolong jaga mulut Kakak ya. Kata-kata Kakak itu sungguh menyakitkan. Seharusnya Kakak itu mendoakan Sabrina. Bukannya mencaci maki," bela Doni.
"Loh, kenapa kamu marah sama Kakak? Kan bukan Kakak yang cari masalah. Yang Kakak bicarakan kan semuanya fakta. Memang istri kamu bermasalah," sahut Prita ketus.
"Cukup, Kak, cukup!" bentak Doni.
"Sabrina itu istri aku. Tolong, Kakak bisa menghormatinya sedikit saja," pekik Doni.
"Sudah cukup!" teriak sang Bunda yang mulai jengah melihat pertengkaran kedua anaknya.
"Untuk apa kalian mempertengkarkan soal Sabrina. Bunda sudah capek mendengarnya," pekik Bunda Sania kesal.
"Bunda betul. Ingat ya, kita semua saudara. Nggak akan ada bekasnya," ujar Dinda.
"Aku setuju sama kamu, Din. Saudara itu nggak ada bekasnya. Tetapi suami istri bisa putus hubungan," dalih Prita menatap adik lelakinya itu tajam.
"Jadi sebaiknya istri kamu segera hamil. Biar perceraian benar-benar tidak terjadi,"sindir Prita.
"Astagfirullah," ucap Doni.
Doni yang sudah emosi, menarik kasar tangan sang Kakak.
"Istighfar, Kak. Kenapa sih di dalam diri Kakak penuh kebencian.Kakak iri kan karena rumah tangga Kakak tidak seharmonis rumah tangga aku dan Sabrina. Iya kan?" serang Doni.
Sabrina pun mendekati Doni dan memintanya agar bersikap tenang.
"Hei, ini nggak ada hubungannya sama Aryo. Kamu itu sebagai lelaki nggak punya nyali. Nggak ada bedanya sama pengecut!" bentak Prita.
"Kak, tolong katakan sama aku, Kak. Apa yang harus kulakukan agar Kak Prita berhenti membenci aku, Kak," ujar Sabrina terisak.
Prita pun memalingkan wajahnya
"Bunda, apa yang harus kulakukan agar bisa diterima di keluarga ini?" tanya Sabrina mendekati sang mertua yang tengah terduduk di sofa berwarna gold itu.
Bunda Sania diam.
"Baik, baiklah, Sabrina. Baik jika itu mau kamu. Lekas-lekaslah kamu hamil. Berikhtiarlah. Beri, beri keluarga ini cucu kebanggaan. Kamu tunggu apa! Tunggu kamu sudah tua? Tunggu sampai Doni tidak lagi bisa memberikan seorang anak?!" pekik Bunda Sania.
"Tetapi Bunda nggak membenci Sabrina kan?" timpal Doni.
"Bagaimana mungkin Bunda membenci Ssbrina. Tidak pernah Bunda membenci Sabrina. Dia menantu Bunda. Kamu, anak kesayangan Bunda. Tetapi, rumah ini penuh dengan pertengkaran. Ini semua harus dihentikan. Kalau tidak, kalian akan saling membenci satu sama lain," ujar Bunda Sania menangis.
Prita hanya bersikap sinis.
Sabrina pun menyeka airmatanya.
"Bunda nggak pernah membenci Bella," ucap Bunda Sania yang kini berdiri di depan jendela.
"Aaaaa ...." Bunda Sania pun meringis menahan sakitnya.
Tiba-tiba, penyakit jantung Bunda Sania kambuh. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Sania pun tidak dapat menahannya lagi dan nyaris tumbang jika Doni tidak sigap berlari memegang sang Bunda.
"Bunda, Bunda ...."
Bersambung ....
Tiba-tiba, penyakit jantung Nyonya Sania kambuh. Ia merasakan sakit yang luar biasa. Sania pun tidak dapat menahannya lagi dan nyaris tumbang jika saja Doni tidak sigap. "Bunda, Bunda ...." Doni pun sigap membawa Bundanya itu ke dalam kamarnya. Prita pun langsung menghubungi Fani yang sudah menjadi dokter pribadi sang Bunda sejak lama. Beberapa saat kemudian Fani pun akhirnya sampai di rumah mewah keluarga Sania itu. Ia pun langsung memeriksa kondisi kesehatan sang pasien. "Tekanannya normal 120. Coba Bunda tarik napas yang panjang ya," pinta Fani. "Oh, tolong semuanya keluar dulu. Biar Dokter Fani bisa memeriksa kondisi Bunda," pinta Prita. "Kamu juga Sabrina. Ngapain kamu masih di sini? Bunda sakit itu juga gara-gara kamu," sindir Prita ketus. Sabrina pun menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya pun berkaca-kaca. Ia tahu, Prita memang sangat membencinya. Bukan soal ia yang tidak kunjung hamil, tetapi juga karena
"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.Aryo tetap diam"Jawab, Aryo!" teriak Prita.Aryo yang sedang menyetir justru tangannya ditarik-tarik oleh Prita hingga mobilnya pun mulai oleng."Eh, Prita! Kamu tenang dong. Aku ini lagi bawa kendaraan," sergah Aryo."Aku nggak perduli. Ayo tabrak, tabrak, Aryo!" pekiknya.Terjadi tarik-menarik hingga Aryo mulai hilang kendali. Mobil yang sedang berjalan di jalanan ibukota yang sedang sepi itu nyaris menabrak beberapa kendaraan, pengguna jalan hingga para pedagang kaki lima disekitar. Hingga akhirnya Aryo berhasil menahan mobilnya dan berhenti di sebuah sudut ibukota.Aryo dan Prita akhirnya menarik napas panjang setelah mobilnya oleng dan nyaris menabrak banyak orang jika saja Aryo tidak bisa mengendalikannya."Astaghfirullah," ucap Aryo."Kamu gila yah?! Apa yang kam
Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.[Hallo. Iya, betul, saya suaminya][Apa? Istri saya kecelakaan?][Baik, saya segera ke sana]Doni pun langsung mematikan teleponnya.Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya."Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya."Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.20 menit berlaluDoni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance."Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri."Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, ce
"Fani ...."Fani pun menoleh saat ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Fani pun terperanjat saat membalikkan badannya, ternyata sosok laki-laki yang selama ini dihindarinya kini sudah berada dihadapannya."Aryo ...."Dua sepasang sejoli yang pernah begitu sangat mencintai itu kini saling bertatapan. Wajah Aryo begitu sumringah saat akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan wanita yang masih sangat dicintainya itu."Ya Allah, Aryo,ini kamu?" kata Fani mencoba meyakinkan hatinya jika ini bukan sebuah mimpi. Mimpi yang akhirnya menjadi nyata."Iya, ini aku Aryo," jawab Aryo tersenyum bahagia.Fani tersenyum menahan tangisnya.Aryo pun mengenggam tangan Fani.
"Mereka nggak boleh bicara empat mata?Ini bisa gawat!" batin Martin."Jika Sinta sampai bicara dengan Sania, ini bisa gawat. Ini bisa merusak rumah tanggaku dengan Sinta," gumam Martin dalam hatinya.Sinta pun bangkit dan mendekati Martin yang berdiri di depan jendela."Mama ragu mereka akan mempertahankan rumah tangga. Apalagi Sabrina sedang sakit parah," ujar Sinta."Ya, siapa yang mau sakit, Ma," timpal Martin."Papa nggak aneh? Melihat tingkahnya Sania yang selalu menekan Sabrina. Mama nggak ngerti, seolah dia punya sentimen pribadi terhadap keluarga kita," pikir Sinta."Maksud Mama?" tanya Martin."Kenapa sih, Pa? Jadi aneh, bingung ...." cecar Sinta."Ah, Papa jalan dulu," dalih Martin yang ingin menghindar dan tidak mau Sinta mengetahui lebih soal hubungannya dengan Sania di masa lalu."Papa takut sama Sania?" ucap Sinta membuat langkah Martin terhenti.Martin pun sedikit membalikkan badannya da
"Saya sudah membuat keputusan. Setelah Sabrina sembuh, saya akan meminta anak saya untuk menceraikan anak kamu," pekik Sania menunjuk-nunjuk ke arah Martin yang berdiri dihadapannya. Martin terperangah Sania pun kembali duduk ke kursi kebanggaannya itu. Martin hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan sikap Sania yang .... "Kamu kok begitu ekstrim. Apa salah Sabrina?" tanya Martin pada mantan istrinya itu. "Apa salahnya?" cecar Martin. "Anak itu memang tidak pernah punya salah. Tetapi, kesalahan dia satu-satunya adalah dia tidak bisa memberikan keturunan pada anak saya." "Sania, kamu sadar. Kamu nggak berhak menentukan seseorang bisa mempunyai keturunan atau tidak punya keturunan," sergah Martin. Doni pun datang dan mencoba mendengarkan pembicaraan Bunda Sania dan Papa Martin. "Hanya Allah. Hanya Allah pemilik kehidupan ini," ucap Martin tegas. "Sudah. Cukup, cukup!" bentak Sania. Ia pun menutup kedua t
"Sampai aku tua dan mati!" pekik Doni."Selama Sabrina masih bernyawa, aku nggak akan menyerah kecuali Allah berkehendak lain," sahut Doni tegas.Prita dan Dinda tersenyum sinis. Begitupun Bunda Sania yang tidak tahu lagi bagaimana menasihati Doni.Bunda Sania menatap Sabrina yang masih tertidur dengan pandangan nanar."Sabrina, saya nggak tahu apa kamu itu menjadi karunia atau sebaliknya menjadi malapetaka untuk Doni, anakku ...." gumam Sania dalam hatinya.Doni pun tidak mampu menahan tangisnya melihat wajah sendu Bunda Sania.****Sania mengundang Fani untuk datang ke kantornya. Demi menghormati undangan Bunda Sania, Fani pun datang ke kantornya."Assalamualaikum," sapa Fani saat memasuki ruangan mewah Bunda Sania.Wa'alaikumsalam," jawab Sania mempersilakan fani duduk."Bunda ingin membicarakan sesuatu, Fani," kata Sania tersenyum.Tidak lama, Renny, Mama Fani pun datang. Fani dibuat terkejut dengan ked
Bunda Sania mengajak Dinda serta Prita untuk menemui Doni di rumah sakit. Bunda Sania ingin segera menikahkan Doni dan Fani, di saat Sabrina masih terbaring koma.Sesampainya di ruangan Sabrina"Don, mau sampai kapan kamu menunggu Sabrina seperti ini?" tanya BUnda Sania dengan tatapan nanar.Doni hanya terdiam memandangi istri yang sangat dicintainya itu. Pandangannya nanar. Bulir bening itu terasa mulai jatuh."Don, Fani itu wanita yang baik. Dia pintar dan pastinya akan memberikan kamu keturunan. Cucu yang selama ini diharapkan Bunda," tutur Prita membuat Doni seketika memandanginya dengan sorot mata tajam."Nggak kak, Fani hanya kuanggap sebatas sahabat.Bagaimana mungkin ...." ucap Doni terbata.Tiba-tiba ...Bunda Sania mengalami serangan jantung lagi saat Doni menolak permintaannya menikahi Fani."Don, menikahlah. lihat tuh, Bunda, gara-gara memikirkan kamu, sampai sakit dan ....""Iya, Kak, apa Kakak nggak kasihan
Sejak Doni menceraikannya dan mengusirnya begitu saja dari rumah, ia kembali tinggal di rumah Mamanya. Di sana ia tinggal seorang diri, meratapi nasibnya yang dipaksa menikah dengan oleh Mamanya dan Bunda Sania. Namun, saat Doni membuangnya bagai sampah, Bunda Sania tidak sedikitpun membelanya.Kebencian Fani bukan saja pada Sabrina. Namun, ia akan membalaskan semua sakit hatinya pada seluruh keluarga Doni. Terutama Bunda Sania. Fani pun mengusap air matanya, ia menatap tajam foto pernikahannya dengan Doni."Ingat, Mas, kalian semua harus membayar atas semua perlakuan kalian padaku. Aku takkan pernah membiarkan kalian semua hidup tenang!" ucap Fani dalam tangisnya.Fani yang dulu lembut, kini berubah menjadi Fani yang bengis. Fani yang dendam dan rela melakukan segala cara demi menghancurkan keluarga Natanegara. Terutama Sabrina. Ya, jika anak yang dikandungnya tidak dapat hidup bersama Ayahnya, anak itu juga harus mati.
Fani hanya menangis. Ia histeris, memelas maaf suaminya. Tetapi kemarahan Doni sudah pada puncaknya dan tidak bisa lagi memberikan kata maaf. Bagi Doni, Sabrina adalah segalanya. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga Sabrina.Kesalahan yang dilakukan Fani sudah kriminal, tidak mungkin lagi ia membelanya. Bunda Sania yang sangat menyayangi Fani pun tidak lagi bisa membelanya.----------Fani masih tergeletak di depan pintu rumah mertuanya. Dia menahan sakit yang luar biasa. Fani semakin banyak mengeluarkan darah. Dia pun terus berteriak, memanggil Doni juga Bunda Sania. Tidak ada satupun yang keluar. Fani mulai takut jika ia akan kehilangan bayinya. Hanya bayi itulah sebagai pengikat agar Doni tetap mau bertahan dan tidak menceraikannya."Mas, tolong aku! Aku enggak mau kehilangan anak kita. Tolong aku, Mas …." Fani terus menerus berteriak dengan sisa tenaga yang ia punya. Hingga akhirnya, Bunda Sania pun keluar. Walau
Sabrina hampir saja tertabrak mobil Beck. Seorang lelaki dengan sigap menyelamatkannya. Sabrina yang pingsan karena syok, segera dilarikan ke rumah sakit. Ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan kandungan Sabrina."Bertahan, Sabrina. Bertahanlah demi anakmu!" kata Aryo yang membawa iparnya itu ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Sabrina segera dibawa ke ruang UGD. Di sana, ia ditangani oleh Om Indra. Aryo hanya bisa menunggu di luar. Aryo pun segera menghubungi Doni.[Sabrina kecelakaan. Sekarang di tangani Om Indra. Kamu secepatnya ke sini ya!]Doni langsung panik ketika membaca pesan Kakak iparnya itu. Ia segera berlari cepat menuju mobilnya. Di dalam perjalanan Doni pun menghubungi Aryo. [Gimana, Sabrina?][Dia masih ditangani. Kamu segera ke sini ya.]Tidak lebih dari lima belas menit, Doni sampai di rumah sakit. Tidak lama berselang, ke
Doni yang panik, akhirnya membawa Sabrina ke rumah sakit. Sesampainya di sana, sang istri segera ditangani dokter jaga.Doni hanya bisa menunggu di luar, dengan harap cemas. Beberapa saat kemudian dokter jaga pun keluar. Berbarengan dengan Dokter Indra yang tidak lain omnya sendiri."Gimana, Sabrina?" cecar Doni yang panik memikirkan keadaan istrinya itu."Biar Dokter Indra saja yang berbicara. Maaf, saya harus mengecek pasien lain." Dokter jaga itupun berlalu pergi."Om, gimana, Sabrina?" tanya Doni."Kita bicara di ruangan Om saja.""Duh, ada apa sebenarnya?Jangan buatku takut seperti ini, Om?" gerutu Doni.Om Indra pun mengajak Doni ke ruangannya untuk membicarakan hal ini. Doni yang semakin tidak menentu perasaannya semakin dibuat penasaran. Ia takut, ada hal buruk menimpa istri yang paling dicintainya itu."Duduklah, Doni."
Fani pun mulai merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk pergi lebih dulu. Fani mulai kesal dan menganggap Sabrina sengaja mempermalukannya.Saat di parkiran, Fani mengirimkan pesan pada Doni. Fani meminta sang suami datang ke rumah Mamanya karena ia akan kembali ke sana. Fani ingin menghabiskan waktu bersama Doni. Hanya berdua.[Nanti sore, kamu pulang ke rumah Mamaku. Aku butuh kamu malam ini.]Fani akhirnya langsung pergi meluncur dengan mobilnya. Di dalam perjalanan, ia menggerutu dalam hati. Rasa bersalah yang kemarin dirasakannya kini hilang berganti dengan kebencian pada madunya, Sabrina."Awas kamu, Sabrina. Kamu akan rasakan pembalasanku. Dari dulu, kamu selalu saja mengambil perhatian Mas Doni. Padahal, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintainya," gerutu Fani.Fani pun membuat sebuah rencana untuk mulai membongkar pernikahan poligami ini. Nanti malam, saat Doni datang, Fani aka
Fani pingsan. Ia tidak kuat menerima kenyataan kalau Mamanya kini sudah tiada. Fani pun dilarikan ke UGD. Setelah beberapa saat, Fani pun tersadar. Ada Bunda Sania dan Sabrina yang menungguinya sampai tersadar.Fani pun menangis di pelukan Sabrina. Sabrina sangat tahu, Fani sangat kehilangan. Mamanya yang mendadak pergi, tanpa diketahui selama ini mengidap penyakit kronis."Sabrina, aku sendiri sekarang. Aku enggak punya siapa-siapa lagi." Fani pun terisak.Sabrina paham, Fani sangat berduka, ia butuh teman yang selalu menjaga dan menemaninya dalam kondisi apapun."Fan, ada aku, Mas Doni dan keluarga yang akan selalu jaga kamu. Iya kan, Mas?" tanya Sabrina sambil menatap wajah suaminya yang panik."E-ee ....""Iya, dong! Fani kan sudah jadi keluarga, Doni akan selalu menjaga semua anggota keluarga kita. Betul, Doni?" Bunda Sania menatap tajam."Iya, kamu t
Sejak hubungan Doni dan Fani melunak, mereka semakin dekat. Meski Doni hanya mencintai Sabrina, tetapi kini dia mulai mau menjalankan kewajibannya sebagai suami pada Doni. Doni pun memberikan nafkah batin kepada Fani. Hal yang tidak pernah dilakukan Doni.Tidak dipungkiri, Doni sepertinya mulai menikmati pernikahannya dengan Fani. Fani yang mencintai Doni sejak lama pun cukup bahagia. Meski ia tahu, Doni melakukannya hanya untuk memenuhi kewajibannya, tetapi ia yakin, suatu saat hatinya akan luluh dan suaminya itu bisa mencintainya, meski tak sebesar cintanya pada Sabrina.Bunda Sania sangat menyayangi Fani. Dia berharap jika Fani bisa segera hamil dan memberikan cucu laki-laki padanya. Karena hasratnya yang besar, Ibu mertuanya pun meminta Fani memeriksakan kondisi kesehatan rahimnya."Fan, gimana hasilnya?" tanya Bunda Sania."Alhamdulillah, Bun, semuanya baik-baik saja dan kata dokter, aku s
Keputusan Fani menikah dengan Doni memang karena perjodohan. Kedua orang tua mereka yang sudah bersahabat sejak lama, ingin agar anak-anaknya itu berjodoh. Apalagi Sania, ia ingin Doni memiliki keturunan.Bunda Sania syok saat mendengar keputusan Fani meminta cerai.dari putra kesayangannya itu. Doni pun terdiam, ia bingung harus mengambil keputusan apa.Di satu sisi dia sangat mencintai Sabrina, tetapi Bunda Sania juga tidak menginginkan dia dan Fani bercerai."Apa yang harus kulakukan?" gumam Doni dalam hatinya.Fani pun memutuskan keluar dari rumah kedua orang tua suaminya itu. Dia kembali ke rumah Mamanya. Fani menangis, bersimpuh dihadapan Mamanya dan meminta kerelaan Nyonya Renny agar mengikhlaskan jika ia harus bercerai dengan Doni dan menjadi seorang janda."Ma, aku mau bercerai dengan Mas Doni. Ak
Aryo dilema.Antara memberitahu keadaan suaminya yang sudah berbagi cinta atau ikut menyembunyikan pernikahan kedua adik iparnya itu."Mas, ada apa?" tanya Sabrina lagi."Nggak kok. Kita kan sudah lama nggak ketemu, Sabrina. Kamu kan tahu, sejak hubunganku dan Prita memburuk, aku jarang ikut kumpul bersama keluarga Bunda. Makanya setelah mendengar kabar kamu, aku ingin bertemu. Alhamdulillah ya, sekarang kamu sehat dan baik-baik aja," dalih Aryo. Aryo pun menghentikan langkahnya memberitahu Sabrina yang sebenarnya. Aryo tidak ingin terjadi sesuatu pada wanita solehah itu. "Oh, aku kira ada apa?" kata Sabrina tertawa."Aku kangen deh Mas sama Sisil. Gimana kabarnya Sis, Mas?" tanya Sabrina.."Sisil baik. Kenapa kamu nggak ke rumah Bunda aja?" timpal Aryo. Ia berusaha menyelidiki apakah Sabrina sudah curiga atau belum."Aku nggak boleh ke sana, Mas. Karena