Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.
[Hallo. Iya, betul, saya suaminya]
[Apa? Istri saya kecelakaan?]
[Baik, saya segera ke sana]
Doni pun langsung mematikan teleponnya.
Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
"Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya.
"Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.
Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.
20 menit berlalu
Doni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance.
"Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri.
"Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, cepat, cepat!" pekik Doni.
Ambulance pun meluncur dengan cepat membawa Sabrina menuju rumah sakit terdekat.
Sebelum masuk ke dalam mobilnya menyusul ambulance yang membawa Sabrina, Doni mengambil gawainya dan menghubungi mertuanya.
[Hallo, Ma, Papa ada?"]
[Sebentar, Don.]
Tidak lama, Papa Martin pun mengambil alih telepon itu.
[Hallo, Don, ada apa?]
[Pa, Sabrina, Pa ....]
[Sabrina kenapa?]
[Sabrina kecelakaan. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit. Papa nyusul ke rumah sakit ya]
Papa Martin kini sudah terduduk lemah
[Iya, Don. Papa ke sana sekarang]
Telepon pun dimatikan.
"Pa, ada apa dengan Sabrina?" tanya Mama Sinta.
"Sabrina ... Sabrina kecelakaan, sekarang sedang dibawa ke rumah sakit,Ma," jawab Papa Martin dengan suara lemah.
Sinta pun langsung syok dan histeris saat mengetahui jika anak semata wayangnya mengalami kecelakaan.
"Sabrina ...." jerit Sinta.
"Ma, ayo kita ke rumah sakit sekarang!" ajak Martin yang bergegas mencari kunci mobil.
"Iya, Pa," jawab Sinta.
Papa dan Mama Sabrina itu langsung pergi menyusul Doni yang membawa Sabrina menuju rumah sakit.
****
Sesampainya di rumah sakit, Doni sudah tidak bisa menemui Sabrina.Sabrina sudah ditangani oleh Om Indra dan Fani di meja operasi.
Doni menanti cemas di luar pintu. Airmatanya pun luruh karena memikirkan istrinya yang sedang berjuang melawan maut.
Setelah menunggu berjam-jam, Sabrina pun akhirnya dipindahkan ke ruangan khusus. Sabrina pun belum sadarkan diri, setelah menjalani operasi.
Hanya ada Doni dan kedua orang tua Sabrina yang menemani.
"Pa, lakukan sesuatu. Aku nggak tega melihat Sabrina seperti ini, Pa," ujar Sinta terisak.
Papa Martin pun mencoba menenangkan istrinya agar tetap tenang. Sedangkan tangan Doni tidak pernah lepas mengenggam tangan Sabrina.
"Insya Allah, Ma, kita akan berusaha semaksimal mungkin. Tetapi, sebagai hamba yang beriman, kita harus pasrahkan segalanya pada Allah. Yang terbaik buat Sabrina," ucap Papa Martin.
"Kita salat, yuk," ajak Martin.
Martin dan Sinta akhirnya meninggalkan ruangan itu. Kini hanya ada Doni yang dengan setia menemani.
"Aku ada di sini, Sabrina. Aku sangat cinta sama kamu, nggak akan ninggalin kamu. Tolong, kamu sadar, Sabrina," ucap Doni dalam hatinya sambil mengelus kepala Sabrina dengan penuh cinta.
Cuaca malam itu sangat buruk. Suara petir mengelegar sangat kencang, hujan yabg deras membuat malam itu terasa sangat dingin.
"Sabrina, bangun! Bangun, Sabrina ...." teriak Doni yang memekikkan hingga Fani ya g sedang berjalan ke ruang Sabrina pun berlari untuk menenangkan Doni, sahabatnya.
"Don, kamu tenang. Kondisi Sabrina saat ini cukup stabil. Kita hanya menunggu ...."
Belum usai Fani bicara, Om Indra yang menangani Sabrina pun datang. Doni pun langsung menemui adik tiri Bundanya itu.
"Om, keadaan Sabrina baik-baik aja kan?" tanya Doni tergesa.
Om Indra pun menepuk pundak sang keponakan. Ia pun langsung memberikan sebuah kenyataan pahit.
"Don, kesempatan Sabrina untuk hidup hanya 1% saja," ungkap Dokter Indra lemah.
Doni pun terperangah
"Kecuali jika Allah berkehendak lain," dalih sang dokter.
"Berarti cepat atau lambat, aku akan kehilangan Sabrina?" ucap Doni menahan tangisnya.
"Menurut hasil medis, pemeriksaan keseluruhan Sabrina hanya bisa bertahan dengan menggunakan alat-alat bantu," ujar Dokter Indra.
Om Indra tahu, ini hal yang sangat berat. Tetapi, ini harus ia ungkapkan semuanya agar sang keponakan siap dengan segala resikonya.
"Ng-gak, nggak, itu nggak mungkin Om!" jerit Doni histeris. Doni tidak siap jika harus kehilangan Sabrina.
"Om, Om sebagai dokter mungkin bisa berkata apapun tetapi sebagai seorang umat beragama, jika Allah sudah berkehendak semua bisa terjadi," teriak Doni.
"Sabrina pasti sembuh, Dok," jerit Doni dengan suara kerasnya. Doni sedang tidak bisa mengendalikan emosinya.
"Don, tenang! Tahan emosi kamu. Kemarahan kamu tidak akan merubah kondisi Sabrina!" bujuk Om Indra.
Fani hanya diam memperhatikan sahabatnya sejak kecil itu begitu terpuruk dan hancur menerima kenyataan ini.
"Tenang, Don. kamu sabar dan berdoa. Kami pasti akan berusaha sekuat tenaga," ujar Om Indra sedikit menenangkan Doni.
"Om permisi," pamit Om Indra.
Kini hanya Fani yang menemani Doni dsn Sabrina yang masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan banyaknya alat medis terpasang ditubuhnya.
Doni berjalan perlahan mendekati ranjang, Fani pun mengikutinya dan mencoba menenangkan Doni.
"Don, kamu harus optimis, jangan putus asa.demi Sabrina. Sabrina pasti sembuh," bujuk Fani.
"Allah pasti bersama Sabrina," lanjutnya.
"Makasih Fani, kamu udah ngebantu aku buat berjuang demi Sabrina," ujar Doni lirih.
"Kamu nggak perlu berterimakasih, karena Sabrina sahabat aku," sahut Fani.
"Kita berdua, akan bersama-sama jaga Sabrina," ujar Fani membuat Doni pun menoleh padanya.
Fani pun kembali teringat akan permintaan Bunda Sania padanya beberapa waktu lalu.
"Bunda serius sekali, Fani. Bunda ingin kamu menjadi menantu Bunda. Jadi istri Doni."
Wajah Fani berubah sendu. Ia pun melirik ke arah Sabrina yang sedang berjuang untuk hidup.
Akankah Fani sanggup menjaga persahabatannya dan tidak mengkhianati Sabrina?
****
Keesokan hari
Bunda Sania bersama Prita dan Dinda akhirnya datang ke rumah sakit menemui Doni yang masih setia menjaga Sabrina yang belum juga menunjukkan tanda baik akan kesadarannya.
"Don, Doni, gimana keadaan Sabrina?" tanya Bunda Sania cemas.
"Bunda mau tahu keadaan Sabrina," lanjutnya.
"Bunda tenang dulu. Dokter sedang berusaha menangani pendarahan diotaknya," kata Doni lemah.
"Ya Allah ...." ucap Bunda Sania.
"Don, kita harus tahu keadaan Sabrina. Kita ini kan kelurganya," kata Prita membuat Doni merasa aneh.
Doni pun menarik tangan kakaknya itu agak menjauh dari ruang Sabrina.
"Lagian kakak ini aneh. Kenapa jadi perhatian? Bukannya selama ini kakak selalu berusaha untuk memisahkan aku dan Sabrina?" cecar Doni.
"Kakak punya niat apa lagi?" pekik Doni.
Dinda pun merelai pertikaian 2 saudaranya itu.
"Kak, udah. Nanti kita tanya sama Fani aja. Kakak udah telepon Mas Aryo?" tanya Dinda.
"Adik kamu benar. Biar gimana pun, Aryo masih suamimu. Biar dia belajar sedikit menghargai keluarga mertuanya. Gimana sih," sindir Bunda Sania.
Prita hanya terdiam.
Sejam kemudian
Aryo datang ke rumah sakit. Saat diparkiran, ia melihat Fani sedang berjalan. Aryo pun mengejar kekasih lamanya itu. Tetapi, tiba-tiba suara dering gawainya membuyarkan semuanya.
[Hallo, Aryo, kamu di mana?]
[Ini aku ada diparkiran]
[Kamu nggak usah ....]
Aryo langsung mematikan gawainya karena tidak ingin kehilangan jejak Fani.
"Ini sih bukannya mati tetapi dimatiin. Kayaknya dia marah deh," gerutu Prita.
"Gimana nggak marah. Jangankan minta izin. Kamu mint cerai aja nggak bilang-bilang kok," sindir Bunda Sania.
Aryo akhirnya berhasil menemui Fani, ia pun menepuk pundak dokter muda dan cantik itu. Fani pun menoleh.
"Fani ...."
bersambung ....
"Fani ...."Fani pun menoleh saat ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Fani pun terperanjat saat membalikkan badannya, ternyata sosok laki-laki yang selama ini dihindarinya kini sudah berada dihadapannya."Aryo ...."Dua sepasang sejoli yang pernah begitu sangat mencintai itu kini saling bertatapan. Wajah Aryo begitu sumringah saat akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan wanita yang masih sangat dicintainya itu."Ya Allah, Aryo,ini kamu?" kata Fani mencoba meyakinkan hatinya jika ini bukan sebuah mimpi. Mimpi yang akhirnya menjadi nyata."Iya, ini aku Aryo," jawab Aryo tersenyum bahagia.Fani tersenyum menahan tangisnya.Aryo pun mengenggam tangan Fani.
"Mereka nggak boleh bicara empat mata?Ini bisa gawat!" batin Martin."Jika Sinta sampai bicara dengan Sania, ini bisa gawat. Ini bisa merusak rumah tanggaku dengan Sinta," gumam Martin dalam hatinya.Sinta pun bangkit dan mendekati Martin yang berdiri di depan jendela."Mama ragu mereka akan mempertahankan rumah tangga. Apalagi Sabrina sedang sakit parah," ujar Sinta."Ya, siapa yang mau sakit, Ma," timpal Martin."Papa nggak aneh? Melihat tingkahnya Sania yang selalu menekan Sabrina. Mama nggak ngerti, seolah dia punya sentimen pribadi terhadap keluarga kita," pikir Sinta."Maksud Mama?" tanya Martin."Kenapa sih, Pa? Jadi aneh, bingung ...." cecar Sinta."Ah, Papa jalan dulu," dalih Martin yang ingin menghindar dan tidak mau Sinta mengetahui lebih soal hubungannya dengan Sania di masa lalu."Papa takut sama Sania?" ucap Sinta membuat langkah Martin terhenti.Martin pun sedikit membalikkan badannya da
"Saya sudah membuat keputusan. Setelah Sabrina sembuh, saya akan meminta anak saya untuk menceraikan anak kamu," pekik Sania menunjuk-nunjuk ke arah Martin yang berdiri dihadapannya. Martin terperangah Sania pun kembali duduk ke kursi kebanggaannya itu. Martin hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan sikap Sania yang .... "Kamu kok begitu ekstrim. Apa salah Sabrina?" tanya Martin pada mantan istrinya itu. "Apa salahnya?" cecar Martin. "Anak itu memang tidak pernah punya salah. Tetapi, kesalahan dia satu-satunya adalah dia tidak bisa memberikan keturunan pada anak saya." "Sania, kamu sadar. Kamu nggak berhak menentukan seseorang bisa mempunyai keturunan atau tidak punya keturunan," sergah Martin. Doni pun datang dan mencoba mendengarkan pembicaraan Bunda Sania dan Papa Martin. "Hanya Allah. Hanya Allah pemilik kehidupan ini," ucap Martin tegas. "Sudah. Cukup, cukup!" bentak Sania. Ia pun menutup kedua t
"Sampai aku tua dan mati!" pekik Doni."Selama Sabrina masih bernyawa, aku nggak akan menyerah kecuali Allah berkehendak lain," sahut Doni tegas.Prita dan Dinda tersenyum sinis. Begitupun Bunda Sania yang tidak tahu lagi bagaimana menasihati Doni.Bunda Sania menatap Sabrina yang masih tertidur dengan pandangan nanar."Sabrina, saya nggak tahu apa kamu itu menjadi karunia atau sebaliknya menjadi malapetaka untuk Doni, anakku ...." gumam Sania dalam hatinya.Doni pun tidak mampu menahan tangisnya melihat wajah sendu Bunda Sania.****Sania mengundang Fani untuk datang ke kantornya. Demi menghormati undangan Bunda Sania, Fani pun datang ke kantornya."Assalamualaikum," sapa Fani saat memasuki ruangan mewah Bunda Sania.Wa'alaikumsalam," jawab Sania mempersilakan fani duduk."Bunda ingin membicarakan sesuatu, Fani," kata Sania tersenyum.Tidak lama, Renny, Mama Fani pun datang. Fani dibuat terkejut dengan ked
Bunda Sania mengajak Dinda serta Prita untuk menemui Doni di rumah sakit. Bunda Sania ingin segera menikahkan Doni dan Fani, di saat Sabrina masih terbaring koma.Sesampainya di ruangan Sabrina"Don, mau sampai kapan kamu menunggu Sabrina seperti ini?" tanya BUnda Sania dengan tatapan nanar.Doni hanya terdiam memandangi istri yang sangat dicintainya itu. Pandangannya nanar. Bulir bening itu terasa mulai jatuh."Don, Fani itu wanita yang baik. Dia pintar dan pastinya akan memberikan kamu keturunan. Cucu yang selama ini diharapkan Bunda," tutur Prita membuat Doni seketika memandanginya dengan sorot mata tajam."Nggak kak, Fani hanya kuanggap sebatas sahabat.Bagaimana mungkin ...." ucap Doni terbata.Tiba-tiba ...Bunda Sania mengalami serangan jantung lagi saat Doni menolak permintaannya menikahi Fani."Don, menikahlah. lihat tuh, Bunda, gara-gara memikirkan kamu, sampai sakit dan ....""Iya, Kak, apa Kakak nggak kasihan
Bunda Sania yang sangat menginginkan pernikahan Doni dan Fani segera terlaksana akhirnya mulai menyusun sebuah rencana. Rencana untuk mendekatkan keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai, bukan sebatas sahabat.Bunda Sania siang itu sengaja berbelanja di sebuah mall elite di bilangan Jakarta Selatan dan membuat janji dengan Fani. Fani yang tahu hanya ada Bunda Sania pun mau saja mengikutinya.Tanpa sepengetahuan Fani, Doni pun diminta datang untuk menjemputnya. Bunda Sania beralasan jika sedang tidak ada supir dan meminta putra kesayangannya itu datang ke mall.Bunda Sania akhirnya menghubungi Doni.[Hallo, Bunda, ada apa?][Doni, anak kesayangan Bunda, kamu di mana?][Aku lagi dijalan, Bun. Mau ke rumah sakit. Semoga hari ini ada perkembangan dari kondisi Sabrina]Sambil membawa kendaraannya, Doni mengangkat telepon sang Bunda.[Doni ke mall sekarang ya. Jemput Bunda ke si
"Doni ...."Fani pun menunduk malu."Kok, bisa ada Fani di sini sih?" tanya Doni dengan wajah kesal."Iya. Bunda juga ajak Fani ke sini," jawab Sania seolah tidak bersalah."Bunda, jangan bilang sama aku, kalau Bunda sudah merencanakan semua ini.""Bunda sengaja ingin kalian bertemu dengan suasana yang tidak sengaja seperti ini. Ya seperti sekarang, kita bisa jalan-jalan, rileks, kita belanja. Ayok!" ajak Sania tersenyum.Doni pun menahan emosinya. Sedangkan Fani hanya diam saat melihat reaksi Doni yang tidak suka dengan cara sang Bunda yang mempertemukan mereka secara diam-diam ini."Eh, Doni, Bunda masih ada yang mau dilihat sebentar ya. Doni temanin Fani dulu sebentar ya," ucap Sania. Sania pun melangkah pergi agar Doni dan Fani bisa mengobrol berdua saja.Doni dan Fani terdiam.Di rumah sakit, Dokter Indra bersama beberapa perawat terus berjuang sekuat tenag
"Kebetulan sekali, tadi Doni kan mau ke rumah sakit mau menengok Sabrina. Iya kan? Kamu juga mau ke rumah sakit juga kan? Gimana kalau kalian sama-sama aja. Kebetulan kan kalian punya tujuan yang sama," usul Sania langsung membuat Doni meradang."Saya biar naik taksi aja, Bunda," jawab Fani yang merasa tidak enak dengan Doni yang kesal."Oh, jangan,jangan. Bunda jangan dipikirin. Bunda masih mau belanja, mau shopping. Lagian nanti Kak Prita mau ke sini. Ya, Doni, antarkan Fani ke rumah sakit," bujuk Sania.Doni dan Fani pun diam"Ok. Ya udah deh, aku antar Fani," jawab Doni agak terpaksa."Assalamualaikum."Fani dan Doni akhirnya bergegas pergi setelah mencium tangan Bunda Sania dengan takjim."Ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan menjodohkan mereka," gumam Sania tersenyum bahagia."Ah, semoga mereka dipersatukan dalam ikatan pernikahan ya Allah," batin Sania.***Di dalam perjalanan, Doni lebih banyak
Sejak Doni menceraikannya dan mengusirnya begitu saja dari rumah, ia kembali tinggal di rumah Mamanya. Di sana ia tinggal seorang diri, meratapi nasibnya yang dipaksa menikah dengan oleh Mamanya dan Bunda Sania. Namun, saat Doni membuangnya bagai sampah, Bunda Sania tidak sedikitpun membelanya.Kebencian Fani bukan saja pada Sabrina. Namun, ia akan membalaskan semua sakit hatinya pada seluruh keluarga Doni. Terutama Bunda Sania. Fani pun mengusap air matanya, ia menatap tajam foto pernikahannya dengan Doni."Ingat, Mas, kalian semua harus membayar atas semua perlakuan kalian padaku. Aku takkan pernah membiarkan kalian semua hidup tenang!" ucap Fani dalam tangisnya.Fani yang dulu lembut, kini berubah menjadi Fani yang bengis. Fani yang dendam dan rela melakukan segala cara demi menghancurkan keluarga Natanegara. Terutama Sabrina. Ya, jika anak yang dikandungnya tidak dapat hidup bersama Ayahnya, anak itu juga harus mati.
Fani hanya menangis. Ia histeris, memelas maaf suaminya. Tetapi kemarahan Doni sudah pada puncaknya dan tidak bisa lagi memberikan kata maaf. Bagi Doni, Sabrina adalah segalanya. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga Sabrina.Kesalahan yang dilakukan Fani sudah kriminal, tidak mungkin lagi ia membelanya. Bunda Sania yang sangat menyayangi Fani pun tidak lagi bisa membelanya.----------Fani masih tergeletak di depan pintu rumah mertuanya. Dia menahan sakit yang luar biasa. Fani semakin banyak mengeluarkan darah. Dia pun terus berteriak, memanggil Doni juga Bunda Sania. Tidak ada satupun yang keluar. Fani mulai takut jika ia akan kehilangan bayinya. Hanya bayi itulah sebagai pengikat agar Doni tetap mau bertahan dan tidak menceraikannya."Mas, tolong aku! Aku enggak mau kehilangan anak kita. Tolong aku, Mas …." Fani terus menerus berteriak dengan sisa tenaga yang ia punya. Hingga akhirnya, Bunda Sania pun keluar. Walau
Sabrina hampir saja tertabrak mobil Beck. Seorang lelaki dengan sigap menyelamatkannya. Sabrina yang pingsan karena syok, segera dilarikan ke rumah sakit. Ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan kandungan Sabrina."Bertahan, Sabrina. Bertahanlah demi anakmu!" kata Aryo yang membawa iparnya itu ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Sabrina segera dibawa ke ruang UGD. Di sana, ia ditangani oleh Om Indra. Aryo hanya bisa menunggu di luar. Aryo pun segera menghubungi Doni.[Sabrina kecelakaan. Sekarang di tangani Om Indra. Kamu secepatnya ke sini ya!]Doni langsung panik ketika membaca pesan Kakak iparnya itu. Ia segera berlari cepat menuju mobilnya. Di dalam perjalanan Doni pun menghubungi Aryo. [Gimana, Sabrina?][Dia masih ditangani. Kamu segera ke sini ya.]Tidak lebih dari lima belas menit, Doni sampai di rumah sakit. Tidak lama berselang, ke
Doni yang panik, akhirnya membawa Sabrina ke rumah sakit. Sesampainya di sana, sang istri segera ditangani dokter jaga.Doni hanya bisa menunggu di luar, dengan harap cemas. Beberapa saat kemudian dokter jaga pun keluar. Berbarengan dengan Dokter Indra yang tidak lain omnya sendiri."Gimana, Sabrina?" cecar Doni yang panik memikirkan keadaan istrinya itu."Biar Dokter Indra saja yang berbicara. Maaf, saya harus mengecek pasien lain." Dokter jaga itupun berlalu pergi."Om, gimana, Sabrina?" tanya Doni."Kita bicara di ruangan Om saja.""Duh, ada apa sebenarnya?Jangan buatku takut seperti ini, Om?" gerutu Doni.Om Indra pun mengajak Doni ke ruangannya untuk membicarakan hal ini. Doni yang semakin tidak menentu perasaannya semakin dibuat penasaran. Ia takut, ada hal buruk menimpa istri yang paling dicintainya itu."Duduklah, Doni."
Fani pun mulai merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk pergi lebih dulu. Fani mulai kesal dan menganggap Sabrina sengaja mempermalukannya.Saat di parkiran, Fani mengirimkan pesan pada Doni. Fani meminta sang suami datang ke rumah Mamanya karena ia akan kembali ke sana. Fani ingin menghabiskan waktu bersama Doni. Hanya berdua.[Nanti sore, kamu pulang ke rumah Mamaku. Aku butuh kamu malam ini.]Fani akhirnya langsung pergi meluncur dengan mobilnya. Di dalam perjalanan, ia menggerutu dalam hati. Rasa bersalah yang kemarin dirasakannya kini hilang berganti dengan kebencian pada madunya, Sabrina."Awas kamu, Sabrina. Kamu akan rasakan pembalasanku. Dari dulu, kamu selalu saja mengambil perhatian Mas Doni. Padahal, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintainya," gerutu Fani.Fani pun membuat sebuah rencana untuk mulai membongkar pernikahan poligami ini. Nanti malam, saat Doni datang, Fani aka
Fani pingsan. Ia tidak kuat menerima kenyataan kalau Mamanya kini sudah tiada. Fani pun dilarikan ke UGD. Setelah beberapa saat, Fani pun tersadar. Ada Bunda Sania dan Sabrina yang menungguinya sampai tersadar.Fani pun menangis di pelukan Sabrina. Sabrina sangat tahu, Fani sangat kehilangan. Mamanya yang mendadak pergi, tanpa diketahui selama ini mengidap penyakit kronis."Sabrina, aku sendiri sekarang. Aku enggak punya siapa-siapa lagi." Fani pun terisak.Sabrina paham, Fani sangat berduka, ia butuh teman yang selalu menjaga dan menemaninya dalam kondisi apapun."Fan, ada aku, Mas Doni dan keluarga yang akan selalu jaga kamu. Iya kan, Mas?" tanya Sabrina sambil menatap wajah suaminya yang panik."E-ee ....""Iya, dong! Fani kan sudah jadi keluarga, Doni akan selalu menjaga semua anggota keluarga kita. Betul, Doni?" Bunda Sania menatap tajam."Iya, kamu t
Sejak hubungan Doni dan Fani melunak, mereka semakin dekat. Meski Doni hanya mencintai Sabrina, tetapi kini dia mulai mau menjalankan kewajibannya sebagai suami pada Doni. Doni pun memberikan nafkah batin kepada Fani. Hal yang tidak pernah dilakukan Doni.Tidak dipungkiri, Doni sepertinya mulai menikmati pernikahannya dengan Fani. Fani yang mencintai Doni sejak lama pun cukup bahagia. Meski ia tahu, Doni melakukannya hanya untuk memenuhi kewajibannya, tetapi ia yakin, suatu saat hatinya akan luluh dan suaminya itu bisa mencintainya, meski tak sebesar cintanya pada Sabrina.Bunda Sania sangat menyayangi Fani. Dia berharap jika Fani bisa segera hamil dan memberikan cucu laki-laki padanya. Karena hasratnya yang besar, Ibu mertuanya pun meminta Fani memeriksakan kondisi kesehatan rahimnya."Fan, gimana hasilnya?" tanya Bunda Sania."Alhamdulillah, Bun, semuanya baik-baik saja dan kata dokter, aku s
Keputusan Fani menikah dengan Doni memang karena perjodohan. Kedua orang tua mereka yang sudah bersahabat sejak lama, ingin agar anak-anaknya itu berjodoh. Apalagi Sania, ia ingin Doni memiliki keturunan.Bunda Sania syok saat mendengar keputusan Fani meminta cerai.dari putra kesayangannya itu. Doni pun terdiam, ia bingung harus mengambil keputusan apa.Di satu sisi dia sangat mencintai Sabrina, tetapi Bunda Sania juga tidak menginginkan dia dan Fani bercerai."Apa yang harus kulakukan?" gumam Doni dalam hatinya.Fani pun memutuskan keluar dari rumah kedua orang tua suaminya itu. Dia kembali ke rumah Mamanya. Fani menangis, bersimpuh dihadapan Mamanya dan meminta kerelaan Nyonya Renny agar mengikhlaskan jika ia harus bercerai dengan Doni dan menjadi seorang janda."Ma, aku mau bercerai dengan Mas Doni. Ak
Aryo dilema.Antara memberitahu keadaan suaminya yang sudah berbagi cinta atau ikut menyembunyikan pernikahan kedua adik iparnya itu."Mas, ada apa?" tanya Sabrina lagi."Nggak kok. Kita kan sudah lama nggak ketemu, Sabrina. Kamu kan tahu, sejak hubunganku dan Prita memburuk, aku jarang ikut kumpul bersama keluarga Bunda. Makanya setelah mendengar kabar kamu, aku ingin bertemu. Alhamdulillah ya, sekarang kamu sehat dan baik-baik aja," dalih Aryo. Aryo pun menghentikan langkahnya memberitahu Sabrina yang sebenarnya. Aryo tidak ingin terjadi sesuatu pada wanita solehah itu. "Oh, aku kira ada apa?" kata Sabrina tertawa."Aku kangen deh Mas sama Sisil. Gimana kabarnya Sis, Mas?" tanya Sabrina.."Sisil baik. Kenapa kamu nggak ke rumah Bunda aja?" timpal Aryo. Ia berusaha menyelidiki apakah Sabrina sudah curiga atau belum."Aku nggak boleh ke sana, Mas. Karena