"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.
Aryo tetap diam
"Jawab, Aryo!" teriak Prita.
Aryo yang sedang menyetir justru tangannya ditarik-tarik oleh Prita hingga mobilnya pun mulai oleng.
"Eh, Prita! Kamu tenang dong. Aku ini lagi bawa kendaraan," sergah Aryo.
"Aku nggak perduli. Ayo tabrak, tabrak, Aryo!" pekiknya.
Terjadi tarik-menarik hingga Aryo mulai hilang kendali. Mobil yang sedang berjalan di jalanan ibukota yang sedang sepi itu nyaris menabrak beberapa kendaraan, pengguna jalan hingga para pedagang kaki lima disekitar. Hingga akhirnya Aryo berhasil menahan mobilnya dan berhenti di sebuah sudut ibukota.
Aryo dan Prita akhirnya menarik napas panjang setelah mobilnya oleng dan nyaris menabrak banyak orang jika saja Aryo tidak bisa mengendalikannya.
"Astaghfirullah," ucap Aryo.
"Kamu gila yah?! Apa yang kamu lakuin itu bahaya buat kita. Bahaya buat orang!" pekik Aryo.
"Kamu bisa jujur nggak sih sama aku? Kamu punya pria idaman lain kan?" tanya Prita yang terus menyerang Aryo.
"Kamu ini tuh aneh. Dulu kamu tuduh aku masih cinta sama pacar aku yang dulu dan sekarang kamu tuduh aku punya wanita idaman lain. Kamu gila," cecar Aryo.
Prita menggeleng. Wanita yang masih sah menjadi Nyonya Aryo ini berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya sudah berkaca-kaca.
"Kamu benar-benar egois. Kamu nggak pernah mau mengerti perasaan aku. Aku benci sama kamu. Aku benci," jerit Prita.
"Kalau kamu benci sama aku, kenapa kamu masih perduli? Kenapa kamu masih bertahan? Dua tahun lalu, saat kamu mengajukan gugatan cerai, kamu bilang muak. Tetapi, kenapa sekarang kamu marah-marah?" serang balik Aryo.
"Karena kamu selalu bikin aku marah. Dari awal pernikahan kita," teriak Prita.
"Kamu lupa, yang menginginkan pernikahan ini kamu, bukan aku. 8 tahun yang lalu, kamu bilang mau nuntut aku karena kamu hamil. Aku yang harus bertanggung jawab atas kehamilan kamu," ujar Aryo menunjuk ke arah Prita yang duduk disebelahnya.
"Terus kenapa kamu menikah dengan aku?"
"Karena ancaman kamu, Prita.Kamu dan teman-teman kamu yang borjuis di Amerika itu, sengaja kan jebak aku kan? Sampai aku nggak bisa bela diri. Tega kamu," serang Aryo.
"Cukup, Aryo!" bentak Prita.
"Cukup!" jeritnya.
"Nggak usah dibahas lagi. Semua udah jadi masa lalu, Aryo," dalih Prita.
"Masa lalu aku hancur. Aku kehilangan semuanya. Orang tua, saudara bahkan pacar aku. Mereka berharap banyak ketika aku sekolah di Amerika. Tetapi, ternyata apa? Aku dituduh menghamili anak orang!" cecar Aryo.
"Dan satu hal, aku tidak pernah meniduri kamu, Prita!" jawab tegas Aryo.
Prita tertawa kecil
"Ho'o, jadi kamu mau mengungkit kembali masa lalu kita?" tanya Prita.
"Aku cuma pengen menyadari kamu. Kalau kamu, nggak selamanya benar. Toh, sekarang kita hanya menunggu keputusan hakim dan kita bercerai. Dan aku akan segera terbebas dari kemarahan kamu, caci maki kamu dan semua fitnahan kamu selama ini," ungkap Aryo.
"Dengan sikap dingin kamu, aku yakin kamu berselingkuh ditengah proses perceraian kita. Eh, jangan kamu pikir aku akan berdiam diri gitu aja. Aku akan membatalkan proses perceraian kita dan kamu akan kehilangan hak asuh atas anak kita," ancam Prita.
Aryo seketika menoleh dengan ancaman Prita. Aryo terdiam. Prita tahu, jika Sisil adalah kelemahan Aryo. Aryo sesungguhnya tidak pernah bisa jauh dari Sisil.
****
Rumah orang tua Sabrina
"Ini benar-benar keterlaluan, Pa. Kita nggak bisa tinggal diam. Sabrina sudah mulai tertekan dengan pernikahannya. Belum lagi, kelakuan ipar-iparnya yang sudah sangat keterlaluan," pekik Sinta, Mama Sabrina.
"Ma, Papa juga bisa marah. Tetapi, Ma, ini kan keluarga. Kita nggak bisa ikut campur terlalu dalam. Ini ...." ujar Martin, Papa Sabrina.
Sinta menggeleng.
"Ini masalah keluarga, Ma. Yang paling penting, Doni masih mencintai Sabrina," ucap Martin demi menenangkan sang istri.
"Cinta aja kan nggak cukup, Pa. Tetap harus ada dukungan dari 2 keluarga. Tetap aja nggak bisa seperti itu kan, Pa?" ujar Sinta menggebu-gebu.
"Pernikahan mereka seperti bom waktu yang suatu saat akan meledak dan itu akan sangat fatal," jerit Sinta yang tidak ingin Sabrina mengalami banyak tekanan dari keluarga suaminya.
"Ma, ini demi Sabrina," bujuk Martin.
"Iya, sampai kapan kita harus sabar. Sampai kapan kita harus ngalah? Papa tahu kan, ini sudah menyangkut harga diri keluarga kita. Ya Allah, Mama nggak rela Sabrina diperlakukan begini, Pa," ujar Sinta menangis.
Martin pun merangkul istrinya. Berusaha menenangkan wanita itu yang sedih melihat keadaan putri semata wayangnya yang sudah tertekan.
Di kamarnya, Sabrina hendak meminum obatnya. Saat hendak mengambilnya di meja, tiba-tiba foto pernikahannya dengan Doni yang ada di meja kerjanya tiba-tiba terjatuh.
"Ya Allah, pertanda buruk apakah ini?" gumam Sabrina.
"Ya Allah ...."
Sabrina pun mengambil bingkai foto itu.
"Ya Allah, aku mohon ya Allah, berikanlah aku keturunan. Jadikanlah aku menantu yang disayang mertuaku," kata Sabrina dalam hatinya. Air matanya pun luruh.
Sinta dan Martin yang mendengar kegaduhan dari kamar Sabrina,langsung lari berlari memasuki kamar sang putri.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Sinta heran melihat putrinya menangis memegangi bingkai foto pernikahannya.
Martin pun mengambil bingkai foto itu dan melihat jika kaca itu sudah retak. Seketika Martin melirik ke arah sang istri. Tatapan penuh makna. Namun, ia memilih diam agar Sabrina tidak semakin cemas. Martin pun duduk disamping putrinya.
"Sabrina, sebaiknya kamu cepat pulang. Nggak baik kalau suami istri sering terpisah. Takutnya ada setan yang menghasut, nanti takutnya rumah tangga kamu akan berantakan," usul Martin pada putrinya.
"Kecuali jika di antara kalian, sudah tidak ada lagi cinta," celetuk Sinta.
Sabrina pun menoleh ke arah Mamanya yang berdiri dihadapannya kemudian melirik ke arah Papanya yang duduk disebelahnya.
"Papa dan Mama benar. Sabrina harus pulang. Sabrina dan Mas Doni saling mencintai. Nggak ada yang bisa memisahkan aku dan Mas Doni kecuali maut. Aku memang harus pulang," ucap Sabrina yang yakin dengan keputusannya.
Martin pun merangkul erat putrinya.
****
Rumah Sania
Sania kini mulai menekan anak lelaki satu-satunya itu menyoal Sabrina yang tidak kunjung hamil.
"Kamu harus segera mengambil keputusan," cecar Bunda Sania.
"Maaf, Bunda, kali ini aku nggak bisa menuruti keinginan Bunda. Aku nggak mungkin bisa menceraikan Sabrina," jerit Doni.
"Bunda nggak pernah meminta kamu menceraikan Sabrina. Itu dilarang dalam agama," timpal Sania.
"Tetapi, apa yang bisa kamu harapkan dari Sabrina? Dia jelas-jelas tidak bisa memberi kamu keturunan. Dan itu artinya kamu tidak mempunyai kesempatan untuk memiliki keturunan," pekik sang Bunda.
Doni dan sang Bunda terdiam.
Tanpa sepengetahuan Doni dan sang Bunda yang sedang berdebat di lantai 2 rumahnya yang megah itu, Sabrina pun pulang.
Sabrina pun mulai mendengarkan perdebatan suami dan mertuanya itu
"Kenapa Bunda menekan aku seperti ini? Bunda juga tahu, kalau aku sangat mencintai Sabrina. Sabrina itu nggak mandul. Yang penting, kita berikhtiar," jawab Doni tegas. Doni pun mulai menuruni anak tangga.
"Cukup Doni. Kamu jangan terlalu naif. Oke, kamu punya hak untuk mempertahankan pernikahanmu. Namun, sebagai seorang Ibu, Bunda berhak menasehati kamu. Kamu mau menunggu Bunda sampai tua, sampai mati?" pekik Sania.
"Ingat Doni, fitrah seorang manusia itu menikah dan mempunyai keturunan. Semua itu sudah digariskan oleh Allah," cecar sang Bunda terus menerus.
Doni pun terdiam, ia mulai berpikir.
Sabrina hanya mendengar dibalik tembok yang tidak jauh dari tempat di mana Doni dan Sania sedang berdebat hebat.
"Maksud Bunda apa sih?" tanya Doni.
"Rasanya tidak perlu ada lagi yang kamu tanyakan. Kalau kamu bisa memiliki keturunan tanpa harus menceraikan Sabrina, adil kan?" serang Bunda Sania terus menerus.
Sabrina pun menangis, ia tidak lagi mampu menahan bulir bening itu jatuh membasahi pipinya.
"Bunda ingin aku berpoligami,begitu?" sahut Doni.
"Iya," jawab Bunda Sania tegas.
"Itu semua dihalalkan di dalam agama," sambung Sania.
"Poligami memang halal. Cuma resikonya sangat berat dan aku merasa belum mampu untuk bersikap adil," jawab Doni dengan wajah tertekan.
"Kalau begitu, kamu siap-siap menggali kuburan untuk Bundamu sendiri. Bunda tidak akan mampu melihat kamu hidup tanpa mempunyai keturunan," lirih Sania.
Doni terdiam. Ia tidak tahu lagi harus bicara apa. Apa yang harus dilakukannya?
"Akhirnya, apa yang aku takutkan terjadi," gumam Sabrina.
Sabrina yang tidak lagi tahan mendengar pertikaian itu akhirnya memilih pergi. Ia tidak lagi perduli, ditengah derasnya hujan malam itu, ia membawa mobilnya dengan sangat laju ditengah derasnya hujan. Air mata itupun terus membanjiri wajahnya tanpa henti.
Di dalam perjalanan, Sabrina terus menangis. Tangisnya pun pecah. Sabrina mulai kehilangan kontrol, ia membawa mobilnya sangat laju ditengah derasnya hujan. Tidak perduli, jalanan licin itu terus diterjalnya.
Sambil mengendarai mobilnya, ia mengambil gawai dan menghubungi Fani, wanita yang hendak dijodohkan mertuanya untuk menjadi istri kedua suaminya. Sahabat baiknya yang disiapkan untuk menjadi madunya.
[Hallo]
[Assalamualaikum, Fani.]
[Wa'alaikumsalam.]
Sabrina terus menangis. Mobilnya pun semakin tak terkendali.
[Sabrina. Sabrina, kamu kenapa?]
[Apa malam ini aku bisa menginap di rumah kamu?]
Tangis Sabrina pun semakin pecah. Fani pun mulai khawatir dengan keadaan sahabatnya yang mulai terdengar tidak bisa mengontrol dirinya.
[Kok, suara kamu kayak begitu?]
[Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan?]
[Ya udah. Aku tunggu sekarang ya]
Sabrina terus saja menangis.
[Sabrina, kamu di mana sekarang?]
[Sabrina, kamu cerita sama aku?]
Fani pun semakin cemas.
[Bunda Sania meminta Mas Doni untuk menikah lagi karena aku belum bisa memberinya keturunan]
Sabrina pun menceritakan semuanya pada Fani dengan Isak tangis.
Fani pun syok mendengarnya.
[Sekarang kamu tenang. Kamu nggak usah mikir apa-apa dan kamu diam aja. Kamu sekarang kasih tahu aku, di mana kamu sekarang?]
Sabrina terus menangis. Gawainya pun sudah tidak lagi berada di telinganya. Sabrina terus menangis sambil membawa kendaraannya dan gawai yang masih dalam genggaman.
[Sabrina!]
Sabrina yang terus menangis tidak menyadari jika ada mobil di depannya. Saat tersadar, Sabrina langsung panik dan membanting stirnya demi menghindari tabrakan itu.
"Astaghfirullah," ucap Sabrina saat mobilnya sudah berhenti mendadak.
[Sabrina?]
[Sabrina, hallo?]
Fani menjadi panik karena Sabrina tidak menjawab panggilannya.
Sabrina terdiam ditengah-tengah jalanan. Ia terus menangis tanpa henti.
Tiba-tiba sebuah truk besar menabraknya mobilnya. Supir truk yang mengantuk pun tidak lagi bisa mengontrol kendaraannya.
[Sabrina ....]
[Sabrina ....]
"Astaghfirullah. Ya Allah, apa yang terjadi dengan Sabrina?" gumam Fani saat mendengar hal tak biasa saat panggilan itu belum terputus.
bersambung
Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.[Hallo. Iya, betul, saya suaminya][Apa? Istri saya kecelakaan?][Baik, saya segera ke sana]Doni pun langsung mematikan teleponnya.Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya."Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya."Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.20 menit berlaluDoni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance."Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri."Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, ce
"Fani ...."Fani pun menoleh saat ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Fani pun terperanjat saat membalikkan badannya, ternyata sosok laki-laki yang selama ini dihindarinya kini sudah berada dihadapannya."Aryo ...."Dua sepasang sejoli yang pernah begitu sangat mencintai itu kini saling bertatapan. Wajah Aryo begitu sumringah saat akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan wanita yang masih sangat dicintainya itu."Ya Allah, Aryo,ini kamu?" kata Fani mencoba meyakinkan hatinya jika ini bukan sebuah mimpi. Mimpi yang akhirnya menjadi nyata."Iya, ini aku Aryo," jawab Aryo tersenyum bahagia.Fani tersenyum menahan tangisnya.Aryo pun mengenggam tangan Fani.
"Mereka nggak boleh bicara empat mata?Ini bisa gawat!" batin Martin."Jika Sinta sampai bicara dengan Sania, ini bisa gawat. Ini bisa merusak rumah tanggaku dengan Sinta," gumam Martin dalam hatinya.Sinta pun bangkit dan mendekati Martin yang berdiri di depan jendela."Mama ragu mereka akan mempertahankan rumah tangga. Apalagi Sabrina sedang sakit parah," ujar Sinta."Ya, siapa yang mau sakit, Ma," timpal Martin."Papa nggak aneh? Melihat tingkahnya Sania yang selalu menekan Sabrina. Mama nggak ngerti, seolah dia punya sentimen pribadi terhadap keluarga kita," pikir Sinta."Maksud Mama?" tanya Martin."Kenapa sih, Pa? Jadi aneh, bingung ...." cecar Sinta."Ah, Papa jalan dulu," dalih Martin yang ingin menghindar dan tidak mau Sinta mengetahui lebih soal hubungannya dengan Sania di masa lalu."Papa takut sama Sania?" ucap Sinta membuat langkah Martin terhenti.Martin pun sedikit membalikkan badannya da
"Saya sudah membuat keputusan. Setelah Sabrina sembuh, saya akan meminta anak saya untuk menceraikan anak kamu," pekik Sania menunjuk-nunjuk ke arah Martin yang berdiri dihadapannya. Martin terperangah Sania pun kembali duduk ke kursi kebanggaannya itu. Martin hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan sikap Sania yang .... "Kamu kok begitu ekstrim. Apa salah Sabrina?" tanya Martin pada mantan istrinya itu. "Apa salahnya?" cecar Martin. "Anak itu memang tidak pernah punya salah. Tetapi, kesalahan dia satu-satunya adalah dia tidak bisa memberikan keturunan pada anak saya." "Sania, kamu sadar. Kamu nggak berhak menentukan seseorang bisa mempunyai keturunan atau tidak punya keturunan," sergah Martin. Doni pun datang dan mencoba mendengarkan pembicaraan Bunda Sania dan Papa Martin. "Hanya Allah. Hanya Allah pemilik kehidupan ini," ucap Martin tegas. "Sudah. Cukup, cukup!" bentak Sania. Ia pun menutup kedua t
"Sampai aku tua dan mati!" pekik Doni."Selama Sabrina masih bernyawa, aku nggak akan menyerah kecuali Allah berkehendak lain," sahut Doni tegas.Prita dan Dinda tersenyum sinis. Begitupun Bunda Sania yang tidak tahu lagi bagaimana menasihati Doni.Bunda Sania menatap Sabrina yang masih tertidur dengan pandangan nanar."Sabrina, saya nggak tahu apa kamu itu menjadi karunia atau sebaliknya menjadi malapetaka untuk Doni, anakku ...." gumam Sania dalam hatinya.Doni pun tidak mampu menahan tangisnya melihat wajah sendu Bunda Sania.****Sania mengundang Fani untuk datang ke kantornya. Demi menghormati undangan Bunda Sania, Fani pun datang ke kantornya."Assalamualaikum," sapa Fani saat memasuki ruangan mewah Bunda Sania.Wa'alaikumsalam," jawab Sania mempersilakan fani duduk."Bunda ingin membicarakan sesuatu, Fani," kata Sania tersenyum.Tidak lama, Renny, Mama Fani pun datang. Fani dibuat terkejut dengan ked
Bunda Sania mengajak Dinda serta Prita untuk menemui Doni di rumah sakit. Bunda Sania ingin segera menikahkan Doni dan Fani, di saat Sabrina masih terbaring koma.Sesampainya di ruangan Sabrina"Don, mau sampai kapan kamu menunggu Sabrina seperti ini?" tanya BUnda Sania dengan tatapan nanar.Doni hanya terdiam memandangi istri yang sangat dicintainya itu. Pandangannya nanar. Bulir bening itu terasa mulai jatuh."Don, Fani itu wanita yang baik. Dia pintar dan pastinya akan memberikan kamu keturunan. Cucu yang selama ini diharapkan Bunda," tutur Prita membuat Doni seketika memandanginya dengan sorot mata tajam."Nggak kak, Fani hanya kuanggap sebatas sahabat.Bagaimana mungkin ...." ucap Doni terbata.Tiba-tiba ...Bunda Sania mengalami serangan jantung lagi saat Doni menolak permintaannya menikahi Fani."Don, menikahlah. lihat tuh, Bunda, gara-gara memikirkan kamu, sampai sakit dan ....""Iya, Kak, apa Kakak nggak kasihan
Bunda Sania yang sangat menginginkan pernikahan Doni dan Fani segera terlaksana akhirnya mulai menyusun sebuah rencana. Rencana untuk mendekatkan keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai, bukan sebatas sahabat.Bunda Sania siang itu sengaja berbelanja di sebuah mall elite di bilangan Jakarta Selatan dan membuat janji dengan Fani. Fani yang tahu hanya ada Bunda Sania pun mau saja mengikutinya.Tanpa sepengetahuan Fani, Doni pun diminta datang untuk menjemputnya. Bunda Sania beralasan jika sedang tidak ada supir dan meminta putra kesayangannya itu datang ke mall.Bunda Sania akhirnya menghubungi Doni.[Hallo, Bunda, ada apa?][Doni, anak kesayangan Bunda, kamu di mana?][Aku lagi dijalan, Bun. Mau ke rumah sakit. Semoga hari ini ada perkembangan dari kondisi Sabrina]Sambil membawa kendaraannya, Doni mengangkat telepon sang Bunda.[Doni ke mall sekarang ya. Jemput Bunda ke si
"Doni ...."Fani pun menunduk malu."Kok, bisa ada Fani di sini sih?" tanya Doni dengan wajah kesal."Iya. Bunda juga ajak Fani ke sini," jawab Sania seolah tidak bersalah."Bunda, jangan bilang sama aku, kalau Bunda sudah merencanakan semua ini.""Bunda sengaja ingin kalian bertemu dengan suasana yang tidak sengaja seperti ini. Ya seperti sekarang, kita bisa jalan-jalan, rileks, kita belanja. Ayok!" ajak Sania tersenyum.Doni pun menahan emosinya. Sedangkan Fani hanya diam saat melihat reaksi Doni yang tidak suka dengan cara sang Bunda yang mempertemukan mereka secara diam-diam ini."Eh, Doni, Bunda masih ada yang mau dilihat sebentar ya. Doni temanin Fani dulu sebentar ya," ucap Sania. Sania pun melangkah pergi agar Doni dan Fani bisa mengobrol berdua saja.Doni dan Fani terdiam.Di rumah sakit, Dokter Indra bersama beberapa perawat terus berjuang sekuat tenag
Sejak Doni menceraikannya dan mengusirnya begitu saja dari rumah, ia kembali tinggal di rumah Mamanya. Di sana ia tinggal seorang diri, meratapi nasibnya yang dipaksa menikah dengan oleh Mamanya dan Bunda Sania. Namun, saat Doni membuangnya bagai sampah, Bunda Sania tidak sedikitpun membelanya.Kebencian Fani bukan saja pada Sabrina. Namun, ia akan membalaskan semua sakit hatinya pada seluruh keluarga Doni. Terutama Bunda Sania. Fani pun mengusap air matanya, ia menatap tajam foto pernikahannya dengan Doni."Ingat, Mas, kalian semua harus membayar atas semua perlakuan kalian padaku. Aku takkan pernah membiarkan kalian semua hidup tenang!" ucap Fani dalam tangisnya.Fani yang dulu lembut, kini berubah menjadi Fani yang bengis. Fani yang dendam dan rela melakukan segala cara demi menghancurkan keluarga Natanegara. Terutama Sabrina. Ya, jika anak yang dikandungnya tidak dapat hidup bersama Ayahnya, anak itu juga harus mati.
Fani hanya menangis. Ia histeris, memelas maaf suaminya. Tetapi kemarahan Doni sudah pada puncaknya dan tidak bisa lagi memberikan kata maaf. Bagi Doni, Sabrina adalah segalanya. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga Sabrina.Kesalahan yang dilakukan Fani sudah kriminal, tidak mungkin lagi ia membelanya. Bunda Sania yang sangat menyayangi Fani pun tidak lagi bisa membelanya.----------Fani masih tergeletak di depan pintu rumah mertuanya. Dia menahan sakit yang luar biasa. Fani semakin banyak mengeluarkan darah. Dia pun terus berteriak, memanggil Doni juga Bunda Sania. Tidak ada satupun yang keluar. Fani mulai takut jika ia akan kehilangan bayinya. Hanya bayi itulah sebagai pengikat agar Doni tetap mau bertahan dan tidak menceraikannya."Mas, tolong aku! Aku enggak mau kehilangan anak kita. Tolong aku, Mas …." Fani terus menerus berteriak dengan sisa tenaga yang ia punya. Hingga akhirnya, Bunda Sania pun keluar. Walau
Sabrina hampir saja tertabrak mobil Beck. Seorang lelaki dengan sigap menyelamatkannya. Sabrina yang pingsan karena syok, segera dilarikan ke rumah sakit. Ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan kandungan Sabrina."Bertahan, Sabrina. Bertahanlah demi anakmu!" kata Aryo yang membawa iparnya itu ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Sabrina segera dibawa ke ruang UGD. Di sana, ia ditangani oleh Om Indra. Aryo hanya bisa menunggu di luar. Aryo pun segera menghubungi Doni.[Sabrina kecelakaan. Sekarang di tangani Om Indra. Kamu secepatnya ke sini ya!]Doni langsung panik ketika membaca pesan Kakak iparnya itu. Ia segera berlari cepat menuju mobilnya. Di dalam perjalanan Doni pun menghubungi Aryo. [Gimana, Sabrina?][Dia masih ditangani. Kamu segera ke sini ya.]Tidak lebih dari lima belas menit, Doni sampai di rumah sakit. Tidak lama berselang, ke
Doni yang panik, akhirnya membawa Sabrina ke rumah sakit. Sesampainya di sana, sang istri segera ditangani dokter jaga.Doni hanya bisa menunggu di luar, dengan harap cemas. Beberapa saat kemudian dokter jaga pun keluar. Berbarengan dengan Dokter Indra yang tidak lain omnya sendiri."Gimana, Sabrina?" cecar Doni yang panik memikirkan keadaan istrinya itu."Biar Dokter Indra saja yang berbicara. Maaf, saya harus mengecek pasien lain." Dokter jaga itupun berlalu pergi."Om, gimana, Sabrina?" tanya Doni."Kita bicara di ruangan Om saja.""Duh, ada apa sebenarnya?Jangan buatku takut seperti ini, Om?" gerutu Doni.Om Indra pun mengajak Doni ke ruangannya untuk membicarakan hal ini. Doni yang semakin tidak menentu perasaannya semakin dibuat penasaran. Ia takut, ada hal buruk menimpa istri yang paling dicintainya itu."Duduklah, Doni."
Fani pun mulai merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk pergi lebih dulu. Fani mulai kesal dan menganggap Sabrina sengaja mempermalukannya.Saat di parkiran, Fani mengirimkan pesan pada Doni. Fani meminta sang suami datang ke rumah Mamanya karena ia akan kembali ke sana. Fani ingin menghabiskan waktu bersama Doni. Hanya berdua.[Nanti sore, kamu pulang ke rumah Mamaku. Aku butuh kamu malam ini.]Fani akhirnya langsung pergi meluncur dengan mobilnya. Di dalam perjalanan, ia menggerutu dalam hati. Rasa bersalah yang kemarin dirasakannya kini hilang berganti dengan kebencian pada madunya, Sabrina."Awas kamu, Sabrina. Kamu akan rasakan pembalasanku. Dari dulu, kamu selalu saja mengambil perhatian Mas Doni. Padahal, aku yang lebih dulu mengenal dan mencintainya," gerutu Fani.Fani pun membuat sebuah rencana untuk mulai membongkar pernikahan poligami ini. Nanti malam, saat Doni datang, Fani aka
Fani pingsan. Ia tidak kuat menerima kenyataan kalau Mamanya kini sudah tiada. Fani pun dilarikan ke UGD. Setelah beberapa saat, Fani pun tersadar. Ada Bunda Sania dan Sabrina yang menungguinya sampai tersadar.Fani pun menangis di pelukan Sabrina. Sabrina sangat tahu, Fani sangat kehilangan. Mamanya yang mendadak pergi, tanpa diketahui selama ini mengidap penyakit kronis."Sabrina, aku sendiri sekarang. Aku enggak punya siapa-siapa lagi." Fani pun terisak.Sabrina paham, Fani sangat berduka, ia butuh teman yang selalu menjaga dan menemaninya dalam kondisi apapun."Fan, ada aku, Mas Doni dan keluarga yang akan selalu jaga kamu. Iya kan, Mas?" tanya Sabrina sambil menatap wajah suaminya yang panik."E-ee ....""Iya, dong! Fani kan sudah jadi keluarga, Doni akan selalu menjaga semua anggota keluarga kita. Betul, Doni?" Bunda Sania menatap tajam."Iya, kamu t
Sejak hubungan Doni dan Fani melunak, mereka semakin dekat. Meski Doni hanya mencintai Sabrina, tetapi kini dia mulai mau menjalankan kewajibannya sebagai suami pada Doni. Doni pun memberikan nafkah batin kepada Fani. Hal yang tidak pernah dilakukan Doni.Tidak dipungkiri, Doni sepertinya mulai menikmati pernikahannya dengan Fani. Fani yang mencintai Doni sejak lama pun cukup bahagia. Meski ia tahu, Doni melakukannya hanya untuk memenuhi kewajibannya, tetapi ia yakin, suatu saat hatinya akan luluh dan suaminya itu bisa mencintainya, meski tak sebesar cintanya pada Sabrina.Bunda Sania sangat menyayangi Fani. Dia berharap jika Fani bisa segera hamil dan memberikan cucu laki-laki padanya. Karena hasratnya yang besar, Ibu mertuanya pun meminta Fani memeriksakan kondisi kesehatan rahimnya."Fan, gimana hasilnya?" tanya Bunda Sania."Alhamdulillah, Bun, semuanya baik-baik saja dan kata dokter, aku s
Keputusan Fani menikah dengan Doni memang karena perjodohan. Kedua orang tua mereka yang sudah bersahabat sejak lama, ingin agar anak-anaknya itu berjodoh. Apalagi Sania, ia ingin Doni memiliki keturunan.Bunda Sania syok saat mendengar keputusan Fani meminta cerai.dari putra kesayangannya itu. Doni pun terdiam, ia bingung harus mengambil keputusan apa.Di satu sisi dia sangat mencintai Sabrina, tetapi Bunda Sania juga tidak menginginkan dia dan Fani bercerai."Apa yang harus kulakukan?" gumam Doni dalam hatinya.Fani pun memutuskan keluar dari rumah kedua orang tua suaminya itu. Dia kembali ke rumah Mamanya. Fani menangis, bersimpuh dihadapan Mamanya dan meminta kerelaan Nyonya Renny agar mengikhlaskan jika ia harus bercerai dengan Doni dan menjadi seorang janda."Ma, aku mau bercerai dengan Mas Doni. Ak
Aryo dilema.Antara memberitahu keadaan suaminya yang sudah berbagi cinta atau ikut menyembunyikan pernikahan kedua adik iparnya itu."Mas, ada apa?" tanya Sabrina lagi."Nggak kok. Kita kan sudah lama nggak ketemu, Sabrina. Kamu kan tahu, sejak hubunganku dan Prita memburuk, aku jarang ikut kumpul bersama keluarga Bunda. Makanya setelah mendengar kabar kamu, aku ingin bertemu. Alhamdulillah ya, sekarang kamu sehat dan baik-baik aja," dalih Aryo. Aryo pun menghentikan langkahnya memberitahu Sabrina yang sebenarnya. Aryo tidak ingin terjadi sesuatu pada wanita solehah itu. "Oh, aku kira ada apa?" kata Sabrina tertawa."Aku kangen deh Mas sama Sisil. Gimana kabarnya Sis, Mas?" tanya Sabrina.."Sisil baik. Kenapa kamu nggak ke rumah Bunda aja?" timpal Aryo. Ia berusaha menyelidiki apakah Sabrina sudah curiga atau belum."Aku nggak boleh ke sana, Mas. Karena