Perjalanan melelahkan dan menyakit untuk Ara itu akhirnya selesai, pun dengan liburan masa sekolah. Rangga akan bersiap untuk kembali pada pekerjaannya.“Ra, kamu udah siap belum? Aku jemput sekarang, ya?” tanya Rangga di corong telepon. Laki-laki itu tak pernah menghilangkan senyumnya yang merekah sepanjang mengobrol dengan Ara.Bucin.“Sudah. Ini udah nungguin di depan.”“Kamu mau sarapan apa pagi ini? Nanti kubelikan di perjalanan.” Lagi, Rangga bertanya.“Oh, itu enggak perlu, Mas. Aku lagi sarapan bubur di sini, di depan rumah,” ucap Ara mencegah.Saat ini Ara memang sedang sarapan pagi. Entah mengapa tadi terpikir ingin makan bubur. Ara pun memesan secara online. Sambil menunggu Rangga, dia menyantapnya di depan. Duduk di kursi teras.“Ya, udah. Aku on the way sekarang kalau kamu enggak butuh makan yang lain.”“Heem. Tutup aja teleponnya, Mas. Nanti kamu enggak fokus,” saran Ara mengingatkan. Ia tak mau kalau sampai Rangga mengalami kecelakaan kalau dia tetap ngotot mengendara s
Sumpah mati, Rangga serasa disetrum oleh tegangan listrik besar. Ketika masuk ke ruangan kepala sekolah, baru tahu ternyata ada gosip tentangnya tersebar buruk.“A-apa? Sa-saya ....”“Iya, saya tanya kamu apa benar itu? Benar kamu memiliki hubungan dengan wanita tanpa status pernikahan, dan dia hamil?” tanya ulang kepala sekolah.Dahi Rangga menciut, kerut. Dia tak tahu harus menjawab apa dalam situasi menegangkan seperti sekarang. Pikirannya tertuju pada Ara. Mungkinkah maksudnya dia? Sejak tadi pertanyaan itu menggelayut dalam benak.“Ini saya bukan lagi ikut campur tentang masalah asmara kamu. Ya, sebetulnya sah saja punya pasangan. Tapi, ya, tolong sebagai seorang guru jaga harga diri. Malu, lah, pacaran pakai gaya bebas sampai kalian melakukan hubungan terlarang itu. Sampai mau punya anak pula. Saya tidak mau citra sekolah tercoreng hanya karena masalah pribadi kamu, paham?” Pak kepsek melanjutkan kata-katanya. Pedas.Rangga tambah bingung. Dan mulai merasa tersinggung.“Jadi int
Langit mulai mendung seperti kemarin-kemarin. Nampaknya hujan akan kembali turun ke muka bumi.Ara menengadah ke atas langit sore itu. Sedikit menyipitkan mata karena merasa silau oleh matahari yang mengintip sedikit di antara awan kelabu.“Untung cucianku udah pada kering,” gumamnya sambil mengangkat semua jemuran di halaman belakang.Perutnya kini lebih membesar. Padahal kehamilannya baru saja memasuki usia empat bulan. Namun, wanita itu sudah sering merasa mudah lelah.Contohnya sekarang. Hanya berjalan dari halaman belakang menuju ruang tengah saja sudah membuat kakinya pegal.Ara menaruh pakaian-pakaian itu berserakan di atas Sofa. Dan ia berani bersumpah kalau sekarang dia tak kuat lagi untuk berjalan menaiki tangga.“Sepertinya mulai sekarang aku harus pindah kamar,” ucapnya sambil memijat betis.Ponselnya berbunyi. Rangga. Dia yang menghubunginya seperti biasa.“Ya, Mas?”“Kamu pulang belum? Aku baru selesai ngajar,” tanya Rangga di seberang telepon.“Udah. Ini aja udah di rum
Sejak itu, ketika Ara membakar foto Fery, hari-harinya kosong. Bagai telaga tanpa air. Kering. Sejak dia menghapus semua keinginan konyol yang baru disadari begitu terlambat.Sekarang kehamilan Ara sudah memasuki usia delapan bulan. Artinya empat bulan sudah dia berproses melupakan Fery.Namun, sayang sekali proses itu bisa dibilang gagal setelah Ara tetap tak bisa melupakannya. Sekeras apa pun mencoba.Pernah dia berpikir lebih konyol lagi, berharap datang seorang penyihir yang memberinya sebuah pil lupa. Ia tak peduli meski efeknya akan membuat dia lupa segalanya. Termasuk tentang dirinya sendiri.Beruntungnya semua itu hanyalah khayalan belaka. Khayalan yang pernah dia pikirkan saat stres kembali menyerang. Namun, sekarang sudah tidak pernah lagi Ara memikirkan hal yang tak mungkin terjadi di dunia. Bahkan dia sesekali menertawakan diri mengapa bisa-bisa sempat berpikir konyol begitu.“Bayinya sehat dan berkembang dengan baik. Selalu jaga kesehatan, banyak makan sayur dan buah, ya,
“Duh, Bu Ara. Perut udah sebesar ini masih aja maksain kerja. Istirahat aja. Nanti kelelahan gimana?” Mirna pasti menjadi orang pertama paling bawel tentang kondisinya.Namun, wanita itu hanya tertawa menanggapinya.“Di rumah terus malah bosen, Mir. Enggak ada kegiatan. Kesepian.”Sigap Mirna membantu Ara untuk duduk di kursinya. Dia sedikit mengeluh karena akhir-akhir ini pinggangnya sering merasa sakit. Hari ini juga.“Ya, kan namanya juga lagi hamil, Bu. Gimana, sih?” Mirna menyela ucapan atasannya. Tanpa dipinta, ia memijat bahu Ara, sesekali mengusapnya.“Kayak udah pengalaman aja kamu, Mir.” Ara tertawa renyah.Dan tawanya bersambut.“Ada, kan, tuh materinya. Materi saja dulu, prakteknya nanti kalau udah ada jodohnya,” jawab Mirna pintar. Dia mengakhiri kalimatnya dengan tawa lebih kencang.Ada-ada saja.“Duh, enak banget dipijitin. Tapi kamu harus balik ke ruanganmi segera, deh. Ada tanggung jawab yang lebih penting di meja kerjamu, Mir.”Mirna tahu itu. Ia pun berhenti memijat
Ara meniti hidup barunya dengan berani. Tanpa lagi memikirkan Fery atau bayang-bayang ketakutan masa depan sang buah hati. Sebab, ia tahu ada orang yang bisa ia andalkan untuk bisa menepis semua kegundahan itu.Rangga. Siapa lagi jika bukan dia.Saat itu jam makan siang. Karena ingat saat makan, Ara memutuskan untuk menanyakan apakah Rangga sudah makan siang dengan baik.Rangga masih tersipu malu usai digoda rekan-rekannya. Dia mangkir menjauh, tak mau sampai obrolan dengan Ara kacau gara-gara diganggu para makhluk jomlo itu.“Ya, Ra? Ada apa? Perutmu kerasa lagi?” tanya Rangga cemas.Namun, kecemasannya bersambut tawa.“Bukan. Aku cuma mau tanya apa Mas udah makan atau belum. Kenapa, sih, tiap aku telepon duluan pasti nanya masalah kehamilan? Dasar.” Ara meredam tawanya yang tak tertahan. Dan dia sungguh kacau. Merasa Rangga sangatlah lucu.Desahan lega melesat di bibir Rangga begitu saja. Ternyata bukan seperti apa yang dia pikirkan.“Aku kira gitu. Cuma berjaga-jaga aja, takut kamu
Vanya sedang duduk manis menghadap meja kerjanya. Karena jam istirhat sedang berlangsung, ia sedikit bersantai, merias diri sehabis makan siang beberapa saat lalu.Di ruangan itu tak sendiri, ada beberapa guru lain yang juga sedang asyik mengobrol, ada juga yang sedang diskusi, membicarakan tentang murid-murid berprestasi.Rangga datang dengan emosi yang hampir meledak. Bagai lava yang siap muntah kapan saja, bergemuruh dalam perut bumi.Melihat Vanya sedang membenarkan rambutnya yang tergerai bebas, laki-laki itu langsung menghampiri tanpa menghilangkan raut kesalnya.“Ayo keluar dulu. Ada yang perlu saya sampaikan,” ajak Rangga. Dia tahu kalau ditegur di sini, nanti yang ada Vanya hanya akan mendapat malu. Selain itu, ia juga tahu kalau itu terjadi, nanti akan ada bahan gosipan miring lagi.Vanya menurunkan cermin kecil, menatap heran.“Sepenting itu, ya, Pak Rangga? Sampai harus keluar.”Rangga yang sedang berjuang meredam emosinya itu tersenyum sumir. Menganggap pertanyaan Vanya a
Pengakuan Vanya masih saja mengiang di telinga Rangga. Bahkan itu sudah terjadi dua minggu yang lalu. Akan tetapi, meski telah diminta untuk melupakannya oleh guru muda itu, dan berharap pengakuannya tak sampai terbawa ke lingkup pekerjaan agar tak sampai terjadi kecanggungan, Rangga sama sekali tak bisa lupa. Mau itu dipaksa sekalipun.Ini akhir pekan. Rangga bersiap untuk pulang kampung, mengantar Ara yang sudah hamil tua mudik ke rumah orang tuanya.Ditepislah semua bayangan yang sebenarnya tak mau dia ingat lagi itu. Tentang Vanya dan pengakuannya. Lantas, dia menyetir mobilnya menuju rumah Ara.Tiiid!Wah, hampir saja Rangga oleng dan berpindah jalur. Alamat celaka kalau tak cepat-cepat sadar.“Astagfirullah ...,” ucapnya.Rangga memilih fokus meski sulit. Dan ini hal yang tidak bagus. Bagaimana kalau nanti dia melakukannya lagi ketika sedang bersama Ara?“Tidak, jangan sampai itu terjadi. Dia sedang hamil besar, aku harus hati-hati.”Rangga menghentikan sejenak kendaraan roda em