Ara meniti hidup barunya dengan berani. Tanpa lagi memikirkan Fery atau bayang-bayang ketakutan masa depan sang buah hati. Sebab, ia tahu ada orang yang bisa ia andalkan untuk bisa menepis semua kegundahan itu.Rangga. Siapa lagi jika bukan dia.Saat itu jam makan siang. Karena ingat saat makan, Ara memutuskan untuk menanyakan apakah Rangga sudah makan siang dengan baik.Rangga masih tersipu malu usai digoda rekan-rekannya. Dia mangkir menjauh, tak mau sampai obrolan dengan Ara kacau gara-gara diganggu para makhluk jomlo itu.“Ya, Ra? Ada apa? Perutmu kerasa lagi?” tanya Rangga cemas.Namun, kecemasannya bersambut tawa.“Bukan. Aku cuma mau tanya apa Mas udah makan atau belum. Kenapa, sih, tiap aku telepon duluan pasti nanya masalah kehamilan? Dasar.” Ara meredam tawanya yang tak tertahan. Dan dia sungguh kacau. Merasa Rangga sangatlah lucu.Desahan lega melesat di bibir Rangga begitu saja. Ternyata bukan seperti apa yang dia pikirkan.“Aku kira gitu. Cuma berjaga-jaga aja, takut kamu
Vanya sedang duduk manis menghadap meja kerjanya. Karena jam istirhat sedang berlangsung, ia sedikit bersantai, merias diri sehabis makan siang beberapa saat lalu.Di ruangan itu tak sendiri, ada beberapa guru lain yang juga sedang asyik mengobrol, ada juga yang sedang diskusi, membicarakan tentang murid-murid berprestasi.Rangga datang dengan emosi yang hampir meledak. Bagai lava yang siap muntah kapan saja, bergemuruh dalam perut bumi.Melihat Vanya sedang membenarkan rambutnya yang tergerai bebas, laki-laki itu langsung menghampiri tanpa menghilangkan raut kesalnya.“Ayo keluar dulu. Ada yang perlu saya sampaikan,” ajak Rangga. Dia tahu kalau ditegur di sini, nanti yang ada Vanya hanya akan mendapat malu. Selain itu, ia juga tahu kalau itu terjadi, nanti akan ada bahan gosipan miring lagi.Vanya menurunkan cermin kecil, menatap heran.“Sepenting itu, ya, Pak Rangga? Sampai harus keluar.”Rangga yang sedang berjuang meredam emosinya itu tersenyum sumir. Menganggap pertanyaan Vanya a
Pengakuan Vanya masih saja mengiang di telinga Rangga. Bahkan itu sudah terjadi dua minggu yang lalu. Akan tetapi, meski telah diminta untuk melupakannya oleh guru muda itu, dan berharap pengakuannya tak sampai terbawa ke lingkup pekerjaan agar tak sampai terjadi kecanggungan, Rangga sama sekali tak bisa lupa. Mau itu dipaksa sekalipun.Ini akhir pekan. Rangga bersiap untuk pulang kampung, mengantar Ara yang sudah hamil tua mudik ke rumah orang tuanya.Ditepislah semua bayangan yang sebenarnya tak mau dia ingat lagi itu. Tentang Vanya dan pengakuannya. Lantas, dia menyetir mobilnya menuju rumah Ara.Tiiid!Wah, hampir saja Rangga oleng dan berpindah jalur. Alamat celaka kalau tak cepat-cepat sadar.“Astagfirullah ...,” ucapnya.Rangga memilih fokus meski sulit. Dan ini hal yang tidak bagus. Bagaimana kalau nanti dia melakukannya lagi ketika sedang bersama Ara?“Tidak, jangan sampai itu terjadi. Dia sedang hamil besar, aku harus hati-hati.”Rangga menghentikan sejenak kendaraan roda em
“Aduh, Pak! Buruan!” Bu Ratna kesal, sudah berteriak ini dan itu hanya karena lama menunggu suaminya yang ada di toilet, sementara hati dan pikirannya sudah ada di Jakarta, memikirkan Ara yang sedang berjuang di ruang bersalin.Bukan tak panik, bapak Ara tak bisa pergi kalau aktivitas ini belum selesai.Gedoran pintu toilet entah sudah berapa kali diketuk istrinya.Di lain tempat, tepat di rumah Rangga, wanita yang menyendiri itu tengah merapalkan doa-doa untuk keselamatan Ara yang sedang melahirkan. Serta berharap agar proses persalinannya berjalan lancar.Ia menyesal karena tak bisa pergi ke Jakarta sebab urusan di kampung tak bisa ditinggalkan begitu saja. Rangga memaklum, dan laki-laki itu tak menuntut agar ibunya bisa datang. Cukup doakan saya dia sudah dangat bersyukur.Bu Ratna akhirnya bisa pergi setelah suaminya selesaikan aktivitasnya itu. Mereka menaiki pick up putih yang biasa Pak Wisnu pakai kalau sedang mengantar hasil pertanian ke pasar-pasar.“Eling, ya, Pak. Hati-hati
Ponsel Rangga bergetar, pertanda telepon masuk. Saat itu dia sedang berada di warteg untuk membeli makanan. Katanya Ara masih lapar walau tadi sudah makan makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit.Rangga memaklum. Memangnya siapa yang tak akan kelaparan setelah berjuang di antara hidup dan mati dalam ruang bersalin? Setelah mendengar Ara ingin makan lagi, ia segera pamit pergi untuk membelikannya.Bu Ratna. Jelas sekali nama itu tertera di layar utama.“Assalamualakum, Bu.”“Waalaikumsallam. Rangga, sebentar lagi kami sampai ke Jakarta. Di sini masih macet. Gimana Ara? Dia sudah mau keluar ASI-nya?”Itulah hal pertama yang ditanyakan calon mertuanya.“Sudah, Bu katanya tadi sudah bisa,” jawab Rangga sedikit kurang nyaman.Bahas ASI? Rangga tak habis pikir.“Syukurlah. Ibu senang dengarnya. Tolong jaga Ara dan cucu kami, ya, Ga. Jangan ditinggal. Sampaikan pesan maaf kami karena terlambat datang hingga akhirnya nggak bisa menyambut kelahiran si kecil lebih awal.”Rasa sesal itu m
Usaha dibarengi kesabaran tak akan membawa hasil buruk. Setelah berjuang melawan kemacetan dan emosi karena kesalnya, Pak Wisnu serta istri berhasil sampai ke rumah sakit tujuan. Rumah sakit di mana Ara dirawat intensif setelah melahirkan cucu mereka.Rangga menyambut kedangan keluarga Ara. Sedikit antusias karena ia juga lelah. Berharap bisa istirahat sebentar saja kalau ada yang berjaga di sana.“Pak, Bu.” Rangga menyalami kedua orang tua Ara takzim, penuh hormat.“Ara mana, Ga? Cucu kami mana?” Ibu Ara celingukan mencari pintu ruangan mana yang Ara huni. Tak sabar ingin melihat wajah mereka.“Di sini, Bu. Mari,” ajak Rangga menunjuk satu ruangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.Ara tengah terlelap menghadap ke kiri. Bayinya juga terlelap dalam box-nya sendiri.Pelan sekali kedua orang tua Ara melangkahkan kaki. Mengendp masuk dengan hati-hati. Takutnya membangunkan Ara.Ditatapnya wajah pucat Ara dengan mata berkaca, bergantian dengan menatap bayi mungil yang terpejam tak
“Adinda Permata Biru. Segalanyaku, nafasku, hidupku. Kehadirannya laksana pengobat sakit yang tak pernah kunjung sembuh, kehadirannya menyejukan hatiku seperti hujan di kekeringan. Jika Mas Rangga inginkan aku, Mas harus menerima anakku dengan setulus hati kamu. Karena dia hidup dan matiku. Ingat, aku tak pernah memaksa Mas melakukan ini, tapi Ms sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi ayah anakku. Darah daging orang lain,” ucap Ara lirih. Matanya berkaca, sedih usai mengatakannya.Rangga menatap dalam, menghayati setiap kata yang terucap dari bibir manisnya. Tangan yang berpasangkan selang infus itu disentuh lembut.“Aku tahu. Dan aku sudah bertekad untuk memberikan segala yang kupunya. Termasuk hidupku. Aku akan menyayangi Adinda sepenuh hatiku tanpa melihat dia darah daging siapa.”“Terima kasih, Mas.”***Enam bulan berlalu. Bayi mungil Ara sudah tumbuh lebih besar, cantik, dan menggemaskan. Bahkan kedua pipinya sampai tumpah-tumpah saking gemuknya.“Matamu berkilau, bersih ban
’Mas Rangga ....'Ara termenung memandang layar ponsel yang menampilkan nama kontak lelaki itu serta isi pesannya. Entah mengapa ada segunduk sesal yang menggerayangi dada.Terpikir kembali dengan sikapnya yang seakan memusuhi Rangga sejak berakhirnya percakapan empat mata di pelataran.Wanita yang tengah menemani putrinya tidur ini terus merasa bersalah karena banyak hal. Dan dia dilema, apakah harus membalas pesan Rangga atau jangan setelah ingat apa yang ia lakukan.[Maaf kalau lisanku membuat kamu kesal. Aku tak bermaksud begitu]Satu pesan kembali datang. Ara membacanya dari layar notifikasi. Namun, tak lama pesan itu dihapus oleh si pengirim.“Loh, kenapa dihapus? Hm, dia pikir aku belum membacanya, ya.”Sekali lagi dia mengesah dalam. Bertanya dalam hati, kenapa Rangga tiba-tiba minta maaf?[Kamu tahu, hal yang paling membuatku bahagia adalah di saat aku diizinkan untuk mencintaimu dan juga anakmu. Aku bahagia saat bisa menyentuh lembutnya jemari Dinda dan meng-azaninya beberap
Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah