“Adinda Permata Biru. Segalanyaku, nafasku, hidupku. Kehadirannya laksana pengobat sakit yang tak pernah kunjung sembuh, kehadirannya menyejukan hatiku seperti hujan di kekeringan. Jika Mas Rangga inginkan aku, Mas harus menerima anakku dengan setulus hati kamu. Karena dia hidup dan matiku. Ingat, aku tak pernah memaksa Mas melakukan ini, tapi Ms sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi ayah anakku. Darah daging orang lain,” ucap Ara lirih. Matanya berkaca, sedih usai mengatakannya.Rangga menatap dalam, menghayati setiap kata yang terucap dari bibir manisnya. Tangan yang berpasangkan selang infus itu disentuh lembut.“Aku tahu. Dan aku sudah bertekad untuk memberikan segala yang kupunya. Termasuk hidupku. Aku akan menyayangi Adinda sepenuh hatiku tanpa melihat dia darah daging siapa.”“Terima kasih, Mas.”***Enam bulan berlalu. Bayi mungil Ara sudah tumbuh lebih besar, cantik, dan menggemaskan. Bahkan kedua pipinya sampai tumpah-tumpah saking gemuknya.“Matamu berkilau, bersih ban
’Mas Rangga ....'Ara termenung memandang layar ponsel yang menampilkan nama kontak lelaki itu serta isi pesannya. Entah mengapa ada segunduk sesal yang menggerayangi dada.Terpikir kembali dengan sikapnya yang seakan memusuhi Rangga sejak berakhirnya percakapan empat mata di pelataran.Wanita yang tengah menemani putrinya tidur ini terus merasa bersalah karena banyak hal. Dan dia dilema, apakah harus membalas pesan Rangga atau jangan setelah ingat apa yang ia lakukan.[Maaf kalau lisanku membuat kamu kesal. Aku tak bermaksud begitu]Satu pesan kembali datang. Ara membacanya dari layar notifikasi. Namun, tak lama pesan itu dihapus oleh si pengirim.“Loh, kenapa dihapus? Hm, dia pikir aku belum membacanya, ya.”Sekali lagi dia mengesah dalam. Bertanya dalam hati, kenapa Rangga tiba-tiba minta maaf?[Kamu tahu, hal yang paling membuatku bahagia adalah di saat aku diizinkan untuk mencintaimu dan juga anakmu. Aku bahagia saat bisa menyentuh lembutnya jemari Dinda dan meng-azaninya beberap
Air muka Ara berubah kecut dan wanita itu tak mau membuang waktu. Ia segera mengemas pakaiannya ke dalam koper.“Ra, kamu mau ke mana? Kok, malah buka lemari dan masukin baju ke koper.” tanya bapaknya yang saat itu sedang menggendong Dinda.“Iya, Ra. Ada apa? Kok, ibu jadi ikutan resah gini.”“Bukan cuma Ibu aja, tapi Dinda juga, nih,“ tunjuk ayah Ara kepada si kecil.Layaknya seorang anak yang memiliki ikatan batin kuat terhadap sang ibu, gadis mungil itu kini tengah rewel, ingin masuk ke dalam pangkuan Ara. Dia menangis seakan ikut merasakan kegelisahan ibunya.“Gedung tempat Ara buka usaha kebakaran, Pak. Sepertinya sudah waktunya bagi Ara kembali ke Jakarta.” Wajahnya mengekspresikan sesal yang amat dalam ketika harus menyampaikan berita buruk itu.Bukan hanya sesal saja yang Ara rasa dalam dada, tetapi segelintir rasa syok yang kini membebani pikirannya juga telah menguasai setengah dari pikirannya.Ibu dan bapaknya saling lempar pandang, sementara Ara masih sibuk mengemas pakaia
Ara mendesah berat kalau kembali diingatkan tentang masa lalu yang satu itu. Setiap kali diingat ulang, sakitnya kembali timbul.“Mas, tolong jangan bahas kepergian kita waktu itu. Aku enggak suka.” Wajah Ara kontan masam. Hal ini membuat perasaan Rangga tak nyaman.“I-iya. Maaf, Ra.” Namun, hanya kata maaf saja yang mampu bibirnya ucapkan. Padahal, jika dia tenang sebentar saja, masih banyak kalimat lain yang mungkin bisa menenangkan Ara. Rangga terlalu refleks.Hening. Sepanjang perjalanan berakhir dengan saling perang diam. Sesekali suara tangis Dinda terdengar saat dia bangun dari tidurnya. Namun, gadis mungil itu akan kembali memejam mata saat Ara memberinya susu dalam botol.Oh, ya. ASI Ara sudah tak keluar lancar lagi sejak Dinda berusia tiga hingga masuk empat bulan. Jadi, kebutuhan ASI-nya dibantu dengan susu formula. Meski sejatinya Ara ingin anaknya murni minum air susunya, tetapi karena keadaan itu yang membuat dia terpaksa memberi Dinda susu formula. Dan semakin parah dar
Hari telah berganti gelap kala Ara telah berhasil menidurkan putrinya. Setelah berjam-jam mencoba berjuang menahan kekesalan karena anak itu tak juga mau berhenti menangis.Rangga turut menemani, memantau agar Ara tak melakukan suatu hal yang bisa saja terjadi diluar kendali.Ara menjatuhkan diri di atas sofa yang terletak tak jauh dari ranjang bayinya. Menyandarkan punggung yang terasa sangat pegal sambil menghela napas lelah.Laki-laki yang sedari tadi memerhatikan di luar ruangan dari pintu kamar yang terbuka lebar itu memilih pergi ke dapur, membuatkan Ara teh hangat. Dengan begitu, ia berharap lelah yang Ara rasa akan berkurang walau sedikit.Ia kembali ke kamar yang dihuni Ara dan Dinda sambil membawa secangkir teh hangat di tangannya. Rangga memanggil Ara untuk keluar kamar. Dirinya tak berani masuk ke sana sebab Ara bukanlah istrinya.Ini Jakarta. Bukan London. Rangga sangat takut mendadak digrebek warga dan posisinya sedang ada dalam kamar berduaan dengan Ara. Wah, bisa bahay
Bukan main tegangnya Rangga. Setelah melakukan ciuman panas dengan Ara di ruang tengah itu, rasa hati masih saja melayang setinggi-tingginya.Sepanjang perjalanan pulang ia tak fokus. Hampir beberapa kali salah jalur gara-gara melamun.Beruntung dia tidak sampai mengalami kecelakaan. Dan hanya mendapat omelan para pengendara lain, juga tidak sampai terciduk polisi lalu lintas dan berakhir kena tilang dadakan karena dia mengendara dengan tidak stabil.“Duh, sial. Malah kepikiran terus,” gumamnya ketila mobil telah terparkir di depan kosan huniannya. Rangga menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kini masih terasa panas laksana daun terbakar api.Mati-matian berusaha mengusir rasa yang membuat pipinya panas terbakar. Rangga turun dari mobil dan segera masuk ke dalam. Dia memilih untuk menyegarkan diri dengan cara mengguyur badan di bawa shower berair dingin.Akan tetapi usahanya tetap gagal. Ketika sesi mandi telah selesai, Rangga masih merasakan ketegangannya. Dan dia sangat tersiksa.’
Waktu demi waktu terlewati. Kisah duka dan bahagia silih berganti menghiasi hari.Setelah berhasil melewati berbagai tantangan hidup yang hampir membuat Ara setengah gila, kehidupan baru telah menyongsong tanpa terasa.Usaha Ara yang sempat terancam bangkrut pun kini kembali mendapatkan kesuksesannya lagi. Berkat Mirna, Rangga, dan juga kegigihan yang tak pernah padam dalam dada.Ara mampu berdiri lagi. Bahkan lebih kuat dari Ara yang dulu. Ara yang cengeng dan gampang sekali stres.Luka yang dia rasa sekian lama telah menjadikan dia perempuan tegar dan luar biasa, Ara kini telah berubah menjadi perempuan yang tak mudah menyerah.Inilah mengapa sering disebut pengalaman adalah guru terbaik. Yang bisa membentuk seseorang menjadi lebih kuat lagi.“Sayang, jangan lari-lari! Bahaya!” teriak Ara setelah berhasil mengejar putrinya yang hampir saja melintas di jalan raya di saat lampu merah belum menyala.Ara memeluknya dengan debaran jantung yang berdentum sekerasnya. Mengelus putrinya yang
Hari ini langit cerah, secerah hati tiga manusia yang sedang tertawa riang sambil berlarian di taman hiburan.Ara, Dinda, dan juga Rangga tengah bersenang-senang di sana. Mencoba wahana-wahana seru yang mampu membuat Dinda tak henti berteriak bahagia.Ini adalah momen yang akan menjadi jejak rekam Dinda yang suatu saat akan dia rindukan.Mereka tertawa lepas. Katakan saja tawa yang tak tahu malu. Dan mungkin hanya saat ini saja mereka bisa melakukannya. Tak ada yang tahu jika bisa saja esok kepedihan menyambut, membuat kontan bibir cemberut.“Aduh, Sayang kamu aktif banget. Nggak capek, hm?” tanya Rangga pada Dinda yang baru saja turun dari wahana kereta.Gadis kecil itu menampilkan semburat senyum menawannya, mengangkat jempol.“Seru banget, Yah!” ujarnya langsung melompat ke dalam pelukan Rangga.Lagi-lagi hal ini membuat hati Ara terenyuh. Sudah tak terhitung berapa kali ia merasakan perasaan itu. Hanya satu yang pasti, perasaan itu mulai dia rasakan semenjak Ferry meninggalkannya,