Ara mendesah berat kalau kembali diingatkan tentang masa lalu yang satu itu. Setiap kali diingat ulang, sakitnya kembali timbul.“Mas, tolong jangan bahas kepergian kita waktu itu. Aku enggak suka.” Wajah Ara kontan masam. Hal ini membuat perasaan Rangga tak nyaman.“I-iya. Maaf, Ra.” Namun, hanya kata maaf saja yang mampu bibirnya ucapkan. Padahal, jika dia tenang sebentar saja, masih banyak kalimat lain yang mungkin bisa menenangkan Ara. Rangga terlalu refleks.Hening. Sepanjang perjalanan berakhir dengan saling perang diam. Sesekali suara tangis Dinda terdengar saat dia bangun dari tidurnya. Namun, gadis mungil itu akan kembali memejam mata saat Ara memberinya susu dalam botol.Oh, ya. ASI Ara sudah tak keluar lancar lagi sejak Dinda berusia tiga hingga masuk empat bulan. Jadi, kebutuhan ASI-nya dibantu dengan susu formula. Meski sejatinya Ara ingin anaknya murni minum air susunya, tetapi karena keadaan itu yang membuat dia terpaksa memberi Dinda susu formula. Dan semakin parah dar
Hari telah berganti gelap kala Ara telah berhasil menidurkan putrinya. Setelah berjam-jam mencoba berjuang menahan kekesalan karena anak itu tak juga mau berhenti menangis.Rangga turut menemani, memantau agar Ara tak melakukan suatu hal yang bisa saja terjadi diluar kendali.Ara menjatuhkan diri di atas sofa yang terletak tak jauh dari ranjang bayinya. Menyandarkan punggung yang terasa sangat pegal sambil menghela napas lelah.Laki-laki yang sedari tadi memerhatikan di luar ruangan dari pintu kamar yang terbuka lebar itu memilih pergi ke dapur, membuatkan Ara teh hangat. Dengan begitu, ia berharap lelah yang Ara rasa akan berkurang walau sedikit.Ia kembali ke kamar yang dihuni Ara dan Dinda sambil membawa secangkir teh hangat di tangannya. Rangga memanggil Ara untuk keluar kamar. Dirinya tak berani masuk ke sana sebab Ara bukanlah istrinya.Ini Jakarta. Bukan London. Rangga sangat takut mendadak digrebek warga dan posisinya sedang ada dalam kamar berduaan dengan Ara. Wah, bisa bahay
Bukan main tegangnya Rangga. Setelah melakukan ciuman panas dengan Ara di ruang tengah itu, rasa hati masih saja melayang setinggi-tingginya.Sepanjang perjalanan pulang ia tak fokus. Hampir beberapa kali salah jalur gara-gara melamun.Beruntung dia tidak sampai mengalami kecelakaan. Dan hanya mendapat omelan para pengendara lain, juga tidak sampai terciduk polisi lalu lintas dan berakhir kena tilang dadakan karena dia mengendara dengan tidak stabil.“Duh, sial. Malah kepikiran terus,” gumamnya ketila mobil telah terparkir di depan kosan huniannya. Rangga menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kini masih terasa panas laksana daun terbakar api.Mati-matian berusaha mengusir rasa yang membuat pipinya panas terbakar. Rangga turun dari mobil dan segera masuk ke dalam. Dia memilih untuk menyegarkan diri dengan cara mengguyur badan di bawa shower berair dingin.Akan tetapi usahanya tetap gagal. Ketika sesi mandi telah selesai, Rangga masih merasakan ketegangannya. Dan dia sangat tersiksa.’
Waktu demi waktu terlewati. Kisah duka dan bahagia silih berganti menghiasi hari.Setelah berhasil melewati berbagai tantangan hidup yang hampir membuat Ara setengah gila, kehidupan baru telah menyongsong tanpa terasa.Usaha Ara yang sempat terancam bangkrut pun kini kembali mendapatkan kesuksesannya lagi. Berkat Mirna, Rangga, dan juga kegigihan yang tak pernah padam dalam dada.Ara mampu berdiri lagi. Bahkan lebih kuat dari Ara yang dulu. Ara yang cengeng dan gampang sekali stres.Luka yang dia rasa sekian lama telah menjadikan dia perempuan tegar dan luar biasa, Ara kini telah berubah menjadi perempuan yang tak mudah menyerah.Inilah mengapa sering disebut pengalaman adalah guru terbaik. Yang bisa membentuk seseorang menjadi lebih kuat lagi.“Sayang, jangan lari-lari! Bahaya!” teriak Ara setelah berhasil mengejar putrinya yang hampir saja melintas di jalan raya di saat lampu merah belum menyala.Ara memeluknya dengan debaran jantung yang berdentum sekerasnya. Mengelus putrinya yang
Hari ini langit cerah, secerah hati tiga manusia yang sedang tertawa riang sambil berlarian di taman hiburan.Ara, Dinda, dan juga Rangga tengah bersenang-senang di sana. Mencoba wahana-wahana seru yang mampu membuat Dinda tak henti berteriak bahagia.Ini adalah momen yang akan menjadi jejak rekam Dinda yang suatu saat akan dia rindukan.Mereka tertawa lepas. Katakan saja tawa yang tak tahu malu. Dan mungkin hanya saat ini saja mereka bisa melakukannya. Tak ada yang tahu jika bisa saja esok kepedihan menyambut, membuat kontan bibir cemberut.“Aduh, Sayang kamu aktif banget. Nggak capek, hm?” tanya Rangga pada Dinda yang baru saja turun dari wahana kereta.Gadis kecil itu menampilkan semburat senyum menawannya, mengangkat jempol.“Seru banget, Yah!” ujarnya langsung melompat ke dalam pelukan Rangga.Lagi-lagi hal ini membuat hati Ara terenyuh. Sudah tak terhitung berapa kali ia merasakan perasaan itu. Hanya satu yang pasti, perasaan itu mulai dia rasakan semenjak Ferry meninggalkannya,
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us